oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Budaya orang Indonesia
itu luar biasa, tinggi bukan main. Orangnya juga ramah-ramah. Meskipun saat ini
keramahan itu sudah mulai tergerus modernisasi dan demokrasi sehingga agak
berkurang rasanya, sejatinya kita tetap bangsa yang ramah. Jika kita memiliki
sistem politik yang mampu kembali mewujudkan keistimewaan budaya dan
keramah-tamahan Indonesia dalam kehidupan nyata, niscaya hidup kita akan lebih
tenang, berkualitas, dan menjadi anutan bangsa-bangsa lain di dunia.
Meskipun sudah jelas bahwa budaya Indonesia itu luar
biasa dan orangnya terbukti ramah-ramah, masih ada orang yang tidak
meyakininya. Bahkan, orang Indonesia sendiri tidak merasa yakin. Soal kenyataan
bahwa budaya Indonesia itu luar biasa, cukup kiranya jika tidak percaya sama
saya, percaya saja sama Jaya Suprana. Ya benar, Jaya Suprana yang itu. Jaya
Suprana yang menghargai karya anak-anak bangsa dengan Muri-nya. Ia mengatakan
bahwa budaya Indonesia itu benar-benar luar biasa.
Menurutnya,
sudah tidak perlu ada lagi pertanyaan seperti ini, “Apakah benar budaya
Indonesia itu luar biasa?”
Kalau
ada pertanyaan seperti itu, ia akan balik bertanya, “Kenapa Anda masih
bertanya? Kok nanya sih?”
Pertanyaan
tentang apakah budaya Indonesia itu tinggi dan luar biasa, jelas tak perlu
dijawab karena sudah pasti jawabannya adalah benar bahwa budaya Indonesia itu bernilai tinggi dan luar biasa.
Soal
budaya Indonesia itu sangat tinggi sudah saya tulis pada artikel yang lalu.
Bahkan, saya membandingkannya dengan budaya barat. Hasilnya, budaya Indonesia
itu lebih tinggi dibandingkan budaya barat. Di barat itu dikembangkan pemahaman
budaya bahwa manusia harus menang
mengalahkan alam, sedangkan di Indonesia manusia tidak boleh mengalahkan
alam, tetapi manusia harus bermitra
dengan alam.
Kalau
Indonesia sekarang dirundung berbagai kesulitan, itu disebabkan kita yang
ngikut-ngikut kebiasaan hidup orang barat yang penuh pertarungan dengan
lingkungan sekitarnya, termasuk bersaing dengan manusia di luar dirinya.
Padahal, kalau mau bahagia, kita harus kembali hidup seimbang dengan lingkungan
sekitar, kemudian secara otomatis akan tercipta harmonisasi kehidupan dalam
suasana gotong royong. Akan tetapi, bukan itu yang akan menjadi bahasan dalam
tulisan kali ini.
Saya
hanya ingin membuktikan bahwa orang Indonesia itu aslinya ramah-ramah. Soalnya,
masih ada yang mengatakan bahwa keramahtamahan orang Indonesia itu hanya mitos.
Tak tanggung-tanggung yang mengatakan bahwa keramahtamahan Indonesia itu hanya
mitos adalah orang sekaliber Sudjiwo
Tedjo, dalang wayang kulit yang
terkenal se-Indonesia itu. Ia dipandang budayawan hebat yang wajahnya sering
tampil pada berbagai stasiun televisi.
Saya
sungguh “patah hati” ketika menyaksikan Sudjiwo Tedjo mengatakan hal tersebut
dalam acara talkshow di tvOne. Hal itu disebabkan saya orang
yang suka banyak belajar, apalagi mengenai keluhuran budaya Indonesia. Oleh
sebab itu, saya sangat ingin mendengar berbagai hal baru tentang budaya dari
Mas Tedjo itu. Namun, sayang, saya jadi “patah hati”. Harapan tak sesuai
kenyataan.
Sudjiwo
Tedjo menjelaskan bahwa jangan-jangan sebutan orang Indonesia itu ramah-ramah
hanya merupakan upaya “retorika” dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir.
Soekarno untuk mempersatukan dan menguatkan Indonesia dalam melaksanakan
revolusi melawan penjajahan Belanda. Memang Sudjiwo Tedjo memiliki cukup alasan
untuk itu karena ternyata saat ini tawuran terjadi di mana-mana, baik itu di
lingkungan pendidikan ataupun di kalangan masyarakat umum.
Di
samping itu, ia merasa kurang yakin bahwa orang Indonesia ramah-ramah karena di
Jawa dalam kisah-kisah masa lalu ada kalimat-kalimat penuh kekerasan yang
diucapkan para tokohnya. Ia mencontohkan, kalau saya tidak salah, pada masa Ken
Arok atau Amangkurat, ada kalimat ancaman kepada musuhnya yang diucapkan dalam bahasa
Jawa yang kira-kira seperti ini artinya aku
akan membunuhmu beserta seluruh keturunanmu sampai yang paling kecil.
Sayang, saya tidak ingat redaksi bahasa Jawa-nya karena saya orang Sunda dan
artinya pun sangat mungkin kurang tepat, tetapi maksudnya, saya pahami seperti
itu. Sudjiwo Tedjo pun menegaskan bahwa kalimat keras penuh ancaman seperti itu
hanya ada di Indonesia, maksudnya Jawa. Ia sama sekali tidak melihat ada
kalimat-kalimat seperti itu di luar negeri. Ia menjelaskan di Jerman tidak ada
kalimat semacam itu.
Okelah
kalau begitu. Mari kita lihat yang sesungguhnya.
Orang
Indonesia itu ramah-ramah sejak lahirnya. Kalaupun sekarang dirundung banyak
kemalangan, tetap saja jiwa aslinya itu ramah-ramah. Memang untuk
membuktikannya dengan lebih tepat mesti menggunakan survey yang bisa dilakukan
oleh lembaga-lembaga survey terpercaya. Akan tetapi, tanpa survey pun bisa
dibuktikan bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Kalaupun dilakukan survey,
tetap saja hasilnya akan seperti yang saya pikirkan. Saya pasti 100% benar.
Begini
Saudara Pembaca yang Ramah-ramah, dalam kehidupan dunia saat ini ketika jarak
dan teritorial antarnegara tidak lagi menjadi hambatan berarti, bahkan disebut
zaman borderless world, terjadi
migrasi manusia. Orang luar negeri bisa pindah ke Indonesia untuk kemudian
menetap menjadi warga Negara Indonesia. Demikian pula sebaliknya, orang
Indonesia bisa pindah ke luar negeri, ke mana saja yang disukainya. Tentunya,
setelah menyelesaikan banyak persyaratan. Nah, dari seluruh orang Indonesia
yang pindah ke luar negeri, baik sementara maupun selamanya, sebagian besar
alasan mereka adalah untuk mencari nafkah, ingin uang lebih banyak, dan
mendapatkan pekerjaan yang di Indonesia tidak bisa didapatkan. Kalau bukan
alasan ekonomi, mereka pindah karena menginginkan kebebasan yang di Indonesia
tidak bisa dilakukan. Akan tetapi, biasanya, sudah menjadi kultur orang
Indonesia, mereka sebagian besar pulang lagi ke Indonesia, kampung halamannya.
Saya
tidak pernah mendengar ada orang Indonesia yang pergi lama atau pindah ke luar
negeri dengan alasan bahwa di luar negeri itu orangnya baik-baik, ramah-ramah,
dan alamnya menyenangkan. Pasti alasannya kalau bukan ekonomi, ya kebebasan
sebebas-bebasnya.
Mari
kita lihat sebaliknya. Kalau orang luar negeri pindah atau menetap lama di
Indonesia alasannya selalu bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah, baik-baik,
dan alamnya menyenangkan.
Nggak
percaya?
Tanya
aja langsung sama mereka.
Adalah
hal yang teramat menggelikan jika ada orang luar negeri yang pindah menetap ke
Indonesia karena alasan ekonomi. Ajaib sekali jika mereka pindah ke Indonesia
tujuannya adalah untuk mencari pekerjaan karena di negara asalnya tidak
mendapatkan pekerjaan. Adalah keanehan yang membingungkan jika mereka datang ke
Indonesia karena miskin di negaranya, lalu cari uang banyak di Indonesia.
Memang
sih ada yang datang ke Indonesia dengan alasan pekerjaan, misalnya, pemain bola
dan pegawai asing yang bekerja di perusahaan asing milik mereka yang ada di
Indonesia. Akan tetapi, di samping jumlahnya sedikit, mereka itu kan bukan
disebabkan kesulitan ekonomi datang ke Indonesia, melainkan keterampilannya
dibutuhkan di Indonesia. Hal itu tidak ada hubungan dengan ramah-tidaknya orang
Indonesia.
Orang-orang
asing yang sudah terlalu lama di Indonesia biasanya betah dan berupaya keras
menjadi warga Negara Indonesia. Alasannya sama, yaitu orangnya ramah-ramah dan
baik-baik di samping sudah punya bisnis dan cinta di Indonesia. Mereka pun
sampai matinya berada di Indonesia dan ingin dikubur pula di Indonesia. Berbeda
dengan orang Indonesia yang pergi ke luar negeri, dalam hatinya selalu ingin
pulang dan ingin mati dikubur di Indonesia.
Iya
kan?
Nggak
percaya?
Tanya
saja pada hati diri sendiri. Jika Anda pergi lama ke luar negeri bertahun-tahun,
pasti pada masa tuanya ingin berada di Indonesia dan mati dikubur di Indonesia.
Berbeda dengan orang luar negeri yang sudah lama di Indonesia, tak ingin
kembali ke negaranya, dikubur pun ingin di Indonesia.
Benar
kan?
Ada
artis Indonesia yang kuliah di Amerika Serikat yang selalu senang jika pulang
ke Indonesia karena di Indonesia itu orangnya selalu tersenyum kalau bertemu
berpapasan. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang boro-boro tersenyum, apalagi
nyapa, nengok pun nggak. Begitu katanya. Duh, saya lupa nama artisnya, itu tuh
yang ngomong bahasa Indonesia-nya menggunakan dialek Amerika Serikat.
Memang
benar orang Indonesia itu mudah tersenyum, apalagi kalau di pedesaan. Walaupun
jika kita terkesan bersikap agak sombong sedikit, mereka tetap menyapa. Ini
benar, pengalaman. Saya berkali-kali ke daerah Kuningan dekat Gunung Ciremai.
Setiap selesai shalat Shubuh, saya jalan-jalan menghirup udara yang sangat
segar. Saat jalan-jalan itu banyak sekali orang yang tersenyum dan menyapa,
padahal sama sekali tidak saya kenal.
Kalimat
yang diucapkan mereka hampir selalu sama, yaitu bertanya basa-basi, “Bade ka cai, Pa? (Mau ke air, Pak?)”
Ka cai
atau ke air yang dimaksudkan mereka itu seperti kita ke kamar mandi atau
berwudhu. Memang di daerah sana masih sangat banyak rumah yang tidak memiliki
kamar mandi. Oleh sebab itu, kalau ingin mandi, wudhu, bersih-bersih, dan
mendapatkan air, harus ke luar rumah menuju pancuran air yang bisa dipergunakan
bersama-sama warga lainnya.
Sepanjang
saya jalan-jalan, sepanjang itu pula orang-orang yang berpapasan selalu
tersenyum sambil bertanya dalam kalimat yang sama, “Bade ka cai, Pa?”
Demikianlah,
walaupun dilakukan survey, hasilnya pasti sama bahwa orang Indonesia itu
ramah-ramah. Saya pasti benar.
Sekarang
mari kita lihat kalimat ancaman seperti yang diucapkan Sudjiwo Tedjo ketika zamannya
Ken Arok atau Amangkurat yang akan membunuh musuh beserta keluarga dan
keturunannya itu.
Sungguh,
saya orang Sunda. Di Sunda tidak pernah saya mendengar ada sumpah permusuhan
seperti itu yang akan membunuh musuh sampai keturunannya yang paling akhir.
Mungkin juga ada, tetapi saya tidak tahu karena tidak pernah mendengarnya. Yang
ada paling-paling sumpah untuk tidak melakukan sesuatu sampai tujuh generasi.
Misalnya, kakek saya sebelum meninggal berpesan bahwa tujuh turunan ulah nyekel pestol, ‘tujuh generasi dilarang memegang
pistol’. Maksudnya, tujuh keturunan yang dimulai dari anaknya, yaitu ibu saya,
sampai keturunan yang ketujuh, jangan ada yang memegang pistol. Kakek saya
tidak ingin keturunannya seperti dirinya yang kalau tidak membunuh, ya dibunuh.
Kakek saya kan anggota TNI masa lalu yang hidup dalam zaman pertempuran.
Ada
juga contoh lain, tetangga saya, Pak RW, diamanatkan oleh orangtuanya bahwa tujuh turunan ulah urusan jeung pulisi, ‘tujuh
generasi jangan berurusan dengan polisi’. Kabarnya sih, dia pernah punya
pengalaman buruk berurusan dengan polisi yang saya tidak ingin menceriterakannya.
Lagian, kejadiannya waktu Pak RW itu masih kecil dan saya sendiri belum lahir.
Ya
sudah, saya tidak berniat membandingkan antara sumpah yang ada di Jawa dengan
yang ada di Sunda. Begini saja. Saya yakin kok meskipun zaman Ken Arok atau
Amangkurat ada kalimat ancaman kejam dan sadis seperti itu, kenyataannya tidak
pernah terjadi. Kalau di Sunda, kalimat semacam itu disebut ngagos, ‘menggertak’, dan menunjukkan
kemarahan luar biasa. Kalau dalam permainan kartu di kalangan anak muda Sunda,
disebut ngakik, ‘membuat lawan merasa
terjepit’ hinga nyalinya ciut. Akan tetapi, ya cuma segitu. Nggak pernah
terlaksana dengan nyata. Rasa-rasanya, di Indonesia ini tak pernah ada yang
terus-terusan bermusuhan saling bunuh sepanjang tujuh generasi. Malahan, para
keturunannya itu bisa jadi menjalin hubungan yang lebih baik sambil sama-sama
berusaha melupakan kisah masa lalu yang buruk.
Nah,
sekarang mari kita periksa lagi kata-kata Sudjiwo Tedjo yang lainnya. Katanya,
di luar negeri tidak ada kalimat ancaman mengerikan seperti di Jawa.
Menurutnya, tidak ada kalimat semacam itu di Jerman.
Kalau
berbicara Jerman, mari kita kenang Adolf Hitler.
Nah,
lho. Mulai deh panas dingin ngomongin Hitler.
Hitler
itu habis-habisan membantai kaum Yahudi sampai ke bayi-bayinya. Yang dilakukan
Hitler itu merupakan pembersihan etnis. Memang di Jerman nggak ada kalimat
semacam di Jawa itu, tetapi kekejamannya sadis
pisaaan…!
Okelah,
kata banyak orang kisah Hitler membantai Yahudi itu hanya rekaan Yahudi agar
dunia merasa kasihan kepada mereka hingga bisa ditempatkan di wilayah Palestina
sekarang. Memang kenyataannya Yahudi berhasil kok memanipulasi dunia. Akan tetapi, meskipun demikian, Hitler dan
Nazi-nya itu yang pasti adalah menyerang negara-negara di sekitarnya dan tentu
saja melakukan banyak pembunuhan karena merasa bahwa Jerman adalah Ras Aria, ras
terunggul di dunia yang paling berhak memerintah dunia.
Jadi,
jangan memuji-muji Jerman. Wong
mereka itu seperti itu.
Ngaco
kan ketika mereka menganggap diri sebagai ras terunggul di dunia, iya kan?
Akan tetapi, yang lebih ngaco lagi adalah orang-orang Indonesia yang menganggap bahwa bangsa Jerman lebih beradab dibandingkan orang Indonesia.
Mau lebih beradab bagaimana, wong dirinya menganggap ras terunggul di dunia?
Memangnya mereka bikin request sama Tuhan sebelum lahir ke dunia untuk dijadikan bangsa Jerman?
Siapa orangnya yang bisa pesan sama Tuhan untuk menjadi bangsa tertentu?
Tuhan sendiri kok yang punya kebijaksanaan Si A menjadi bangsa itu, Si B jadi bangsa ini, Si C jadi bangsa anu. Ngaco jika menganggap diri merupakan ras atau keturunan terhebat di muka Bumi. Lebih ngaco lagi jika menganggap orang ngaco sebagai orang yang lebih beradab dibandingkan dirinya.
Ah, itu kan cuma Jerman, negara
luar yang lain tidak seperti itu. Mereka itu orang-orang dari negara maju yang
patut kita tiru.
Mungkin
ada orang yang mengatakan seperti itu.
Oke,
kalau masih juga gemar mengekor kelakuan orang asing, saya kasih tahu lagi.
Seluruh Eropa itu dipenuhi dengan sejarah pertikaian dan pertarungan yang
teramat mengerikan dan dahsyat. Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno menggambarkannya
seperti ketel penuh minyak yang mendidih
panas sekali.
Amerika
Serikat?
Wah,
sampai sekarang dia masih membunuhi orang-orang sambil ngajak negara sekutunya
untuk menyerang negeri orang. Ngomongnya aja polisi dunia, tetapi Irak dan
Afghanistan yang telah dikuasainya tidak pernah ada kata aman dan tenteram. Sampai sekarang kusut melulu, terus ikut-ikutan
lagi manas-manasin Suriah.
AS
itu memang gemar bertengkar, seperti kata penyair dunia Kahlil Gibran yang mengatakan bahwa orang-orang Amerika itu terlalu
bising, gemar keributan, sering bertengkar, gampang marah, dan mudah membunuh.
Oleh sebab itu, ia memilih pulang dari Amerika
ke kampung halamannya di Libanon. Padahal, Libanon itu diberitakan
sebagai wilayah yang tidak aman, tetapi Gibran merasa nyaman meskipun dia bukan
seorang muslim.
Nah,
kita yang ramah-ramah ini sangat tidak patut meniru orang-orang yang gemar ribut,
bertikai, banyak bohong, dan rakus.
Jadi,
keramahtamahan orang-orang Indonesia itu bukan mitos. Asli bukan mitos.
Percaya
deh sama saya.
Dengan
kekuatan senyum dan keramahan, kita akan menjadi bangsa paling beradab di muka
Bumi ini. Kuncinya, jangan terlalu sering menoleh apalagi ngikutin perilaku dan
hasil pikiran orang-orang luar negeri yang punya banyak kekusutan itu. Percaya
saja sama diri sendiri sambil berdoa kepada Allah swt, niscaya jalan-jalan
kebaikan akan ditunjukkan-Nya untuk kita semua.
Insyaallah. Amin. Demi Allah swt.