Sunday, 21 October 2012

Keramah-tamahan Indonesia Bukan Mitos



oleh Tom Finaldin
 

Bandung, Putera Sang Surya

Budaya orang Indonesia itu luar biasa, tinggi bukan main. Orangnya juga ramah-ramah. Meskipun saat ini keramahan itu sudah mulai tergerus modernisasi dan demokrasi sehingga agak berkurang rasanya, sejatinya kita tetap bangsa yang ramah. Jika kita memiliki sistem politik yang mampu kembali mewujudkan keistimewaan budaya dan keramah-tamahan Indonesia dalam kehidupan nyata, niscaya hidup kita akan lebih tenang, berkualitas, dan menjadi anutan bangsa-bangsa lain di dunia.

            Meskipun sudah jelas bahwa budaya Indonesia itu luar biasa dan orangnya terbukti ramah-ramah, masih ada orang yang tidak meyakininya. Bahkan, orang Indonesia sendiri tidak merasa yakin. Soal kenyataan bahwa budaya Indonesia itu luar biasa, cukup kiranya jika tidak percaya sama saya, percaya saja sama Jaya Suprana. Ya benar, Jaya Suprana yang itu. Jaya Suprana yang menghargai karya anak-anak bangsa dengan Muri-nya. Ia mengatakan bahwa budaya Indonesia itu benar-benar luar biasa.

Menurutnya, sudah tidak perlu ada lagi pertanyaan seperti ini, “Apakah benar budaya Indonesia itu luar biasa?”

Kalau ada pertanyaan seperti itu, ia akan balik bertanya, “Kenapa Anda masih bertanya? Kok nanya sih?”

Pertanyaan tentang apakah budaya Indonesia itu tinggi dan luar biasa, jelas tak perlu dijawab karena sudah pasti jawabannya adalah benar bahwa budaya Indonesia itu bernilai tinggi dan luar biasa.

Soal budaya Indonesia itu sangat tinggi sudah saya tulis pada artikel yang lalu. Bahkan, saya membandingkannya dengan budaya barat. Hasilnya, budaya Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan budaya barat. Di barat itu dikembangkan pemahaman budaya bahwa manusia harus menang mengalahkan alam, sedangkan di Indonesia manusia tidak boleh mengalahkan alam, tetapi manusia harus bermitra dengan alam.

Kalau Indonesia sekarang dirundung berbagai kesulitan, itu disebabkan kita yang ngikut-ngikut kebiasaan hidup orang barat yang penuh pertarungan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk bersaing dengan manusia di luar dirinya. Padahal, kalau mau bahagia, kita harus kembali hidup seimbang dengan lingkungan sekitar, kemudian secara otomatis akan tercipta harmonisasi kehidupan dalam suasana gotong royong. Akan tetapi, bukan itu yang akan menjadi bahasan dalam tulisan kali ini.

Saya hanya ingin membuktikan bahwa orang Indonesia itu aslinya ramah-ramah. Soalnya, masih ada yang mengatakan bahwa keramahtamahan orang Indonesia itu hanya mitos. Tak tanggung-tanggung yang mengatakan bahwa keramahtamahan Indonesia itu hanya mitos adalah orang sekaliber Sudjiwo Tedjo,  dalang wayang kulit yang terkenal se-Indonesia itu. Ia dipandang budayawan hebat yang wajahnya sering tampil pada berbagai stasiun televisi.

Saya sungguh “patah hati” ketika menyaksikan Sudjiwo Tedjo mengatakan hal tersebut dalam acara talkshow di tvOne. Hal itu disebabkan saya orang yang suka banyak belajar, apalagi mengenai keluhuran budaya Indonesia. Oleh sebab itu, saya sangat ingin mendengar berbagai hal baru tentang budaya dari Mas Tedjo itu. Namun, sayang, saya jadi “patah hati”. Harapan tak sesuai kenyataan.

Sudjiwo Tedjo menjelaskan bahwa jangan-jangan sebutan orang Indonesia itu ramah-ramah hanya merupakan upaya “retorika” dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno untuk mempersatukan dan menguatkan Indonesia dalam melaksanakan revolusi melawan penjajahan Belanda. Memang Sudjiwo Tedjo memiliki cukup alasan untuk itu karena ternyata saat ini tawuran terjadi di mana-mana, baik itu di lingkungan pendidikan ataupun di kalangan masyarakat umum.

Di samping itu, ia merasa kurang yakin bahwa orang Indonesia ramah-ramah karena di Jawa dalam kisah-kisah masa lalu ada kalimat-kalimat penuh kekerasan yang diucapkan para tokohnya. Ia mencontohkan, kalau saya tidak salah, pada masa Ken Arok atau Amangkurat, ada kalimat ancaman kepada musuhnya yang diucapkan dalam bahasa Jawa yang kira-kira seperti ini artinya aku akan membunuhmu beserta seluruh keturunanmu sampai yang paling kecil. Sayang, saya tidak ingat redaksi bahasa Jawa-nya karena saya orang Sunda dan artinya pun sangat mungkin kurang tepat, tetapi maksudnya, saya pahami seperti itu. Sudjiwo Tedjo pun menegaskan bahwa kalimat keras penuh ancaman seperti itu hanya ada di Indonesia, maksudnya Jawa. Ia sama sekali tidak melihat ada kalimat-kalimat seperti itu di luar negeri. Ia menjelaskan di Jerman tidak ada kalimat semacam itu.

Okelah kalau begitu. Mari kita lihat yang sesungguhnya.

Orang Indonesia itu ramah-ramah sejak lahirnya. Kalaupun sekarang dirundung banyak kemalangan, tetap saja jiwa aslinya itu ramah-ramah. Memang untuk membuktikannya dengan lebih tepat mesti menggunakan survey yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga survey terpercaya. Akan tetapi, tanpa survey pun bisa dibuktikan bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Kalaupun dilakukan survey, tetap saja hasilnya akan seperti yang saya pikirkan. Saya pasti 100% benar.

Begini Saudara Pembaca yang Ramah-ramah, dalam kehidupan dunia saat ini ketika jarak dan teritorial antarnegara tidak lagi menjadi hambatan berarti, bahkan disebut zaman borderless world, terjadi migrasi manusia. Orang luar negeri bisa pindah ke Indonesia untuk kemudian menetap menjadi warga Negara Indonesia. Demikian pula sebaliknya, orang Indonesia bisa pindah ke luar negeri, ke mana saja yang disukainya. Tentunya, setelah menyelesaikan banyak persyaratan. Nah, dari seluruh orang Indonesia yang pindah ke luar negeri, baik sementara maupun selamanya, sebagian besar alasan mereka adalah untuk mencari nafkah, ingin uang lebih banyak, dan mendapatkan pekerjaan yang di Indonesia tidak bisa didapatkan. Kalau bukan alasan ekonomi, mereka pindah karena menginginkan kebebasan yang di Indonesia tidak bisa dilakukan. Akan tetapi, biasanya, sudah menjadi kultur orang Indonesia, mereka sebagian besar pulang lagi ke Indonesia, kampung halamannya.

Saya tidak pernah mendengar ada orang Indonesia yang pergi lama atau pindah ke luar negeri dengan alasan bahwa di luar negeri itu orangnya baik-baik, ramah-ramah, dan alamnya menyenangkan. Pasti alasannya kalau bukan ekonomi, ya kebebasan sebebas-bebasnya.

Mari kita lihat sebaliknya. Kalau orang luar negeri pindah atau menetap lama di Indonesia alasannya selalu bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah, baik-baik, dan alamnya menyenangkan.

Nggak percaya?

Tanya aja langsung sama mereka.

Adalah hal yang teramat menggelikan jika ada orang luar negeri yang pindah menetap ke Indonesia karena alasan ekonomi. Ajaib sekali jika mereka pindah ke Indonesia tujuannya adalah untuk mencari pekerjaan karena di negara asalnya tidak mendapatkan pekerjaan. Adalah keanehan yang membingungkan jika mereka datang ke Indonesia karena miskin di negaranya, lalu cari uang banyak di Indonesia.

Memang sih ada yang datang ke Indonesia dengan alasan pekerjaan, misalnya, pemain bola dan pegawai asing yang bekerja di perusahaan asing milik mereka yang ada di Indonesia. Akan tetapi, di samping jumlahnya sedikit, mereka itu kan bukan disebabkan kesulitan ekonomi datang ke Indonesia, melainkan keterampilannya dibutuhkan di Indonesia. Hal itu tidak ada hubungan dengan ramah-tidaknya orang Indonesia.

Orang-orang asing yang sudah terlalu lama di Indonesia biasanya betah dan berupaya keras menjadi warga Negara Indonesia. Alasannya sama, yaitu orangnya ramah-ramah dan baik-baik di samping sudah punya bisnis dan cinta di Indonesia. Mereka pun sampai matinya berada di Indonesia dan ingin dikubur pula di Indonesia. Berbeda dengan orang Indonesia yang pergi ke luar negeri, dalam hatinya selalu ingin pulang dan ingin mati dikubur di Indonesia.

Iya kan?

Nggak percaya?

Tanya saja pada hati diri sendiri. Jika Anda pergi lama ke luar negeri bertahun-tahun, pasti pada masa tuanya ingin berada di Indonesia dan mati dikubur di Indonesia. Berbeda dengan orang luar negeri yang sudah lama di Indonesia, tak ingin kembali ke negaranya, dikubur pun ingin di Indonesia.

Benar kan?

Ada artis Indonesia yang kuliah di Amerika Serikat yang selalu senang jika pulang ke Indonesia karena di Indonesia itu orangnya selalu tersenyum kalau bertemu berpapasan. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang boro-boro tersenyum, apalagi nyapa, nengok pun nggak. Begitu katanya. Duh, saya lupa nama artisnya, itu tuh yang ngomong bahasa Indonesia-nya menggunakan dialek Amerika Serikat.

Memang benar orang Indonesia itu mudah tersenyum, apalagi kalau di pedesaan. Walaupun jika kita terkesan bersikap agak sombong sedikit, mereka tetap menyapa. Ini benar, pengalaman. Saya berkali-kali ke daerah Kuningan dekat Gunung Ciremai. Setiap selesai shalat Shubuh, saya jalan-jalan menghirup udara yang sangat segar. Saat jalan-jalan itu banyak sekali orang yang tersenyum dan menyapa, padahal sama sekali tidak saya kenal.

Kalimat yang diucapkan mereka hampir selalu sama, yaitu bertanya basa-basi, “Bade ka cai, Pa? (Mau ke air, Pak?)”

Ka cai atau ke air yang dimaksudkan mereka itu seperti kita ke kamar mandi atau berwudhu. Memang di daerah sana masih sangat banyak rumah yang tidak memiliki kamar mandi. Oleh sebab itu, kalau ingin mandi, wudhu, bersih-bersih, dan mendapatkan air, harus ke luar rumah menuju pancuran air yang bisa dipergunakan bersama-sama warga lainnya.

Sepanjang saya jalan-jalan, sepanjang itu pula orang-orang yang berpapasan selalu tersenyum sambil bertanya dalam kalimat yang sama, “Bade ka cai, Pa?

Demikianlah, walaupun dilakukan survey, hasilnya pasti sama bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Saya pasti benar.

Sekarang mari kita lihat kalimat ancaman seperti yang diucapkan Sudjiwo Tedjo ketika zamannya Ken Arok atau Amangkurat yang akan membunuh musuh beserta keluarga dan keturunannya itu.

Sungguh, saya orang Sunda. Di Sunda tidak pernah saya mendengar ada sumpah permusuhan seperti itu yang akan membunuh musuh sampai keturunannya yang paling akhir. Mungkin juga ada, tetapi saya tidak tahu karena tidak pernah mendengarnya. Yang ada paling-paling sumpah untuk tidak melakukan sesuatu sampai tujuh generasi. Misalnya, kakek saya sebelum meninggal berpesan bahwa tujuh turunan ulah nyekel pestol, ‘tujuh generasi dilarang memegang pistol’. Maksudnya, tujuh keturunan yang dimulai dari anaknya, yaitu ibu saya, sampai keturunan yang ketujuh, jangan ada yang memegang pistol. Kakek saya tidak ingin keturunannya seperti dirinya yang kalau tidak membunuh, ya dibunuh. Kakek saya kan anggota TNI masa lalu yang hidup dalam zaman pertempuran.

Ada juga contoh lain, tetangga saya, Pak RW, diamanatkan oleh orangtuanya bahwa tujuh turunan ulah urusan jeung pulisi, ‘tujuh generasi jangan berurusan dengan polisi’. Kabarnya sih, dia pernah punya pengalaman buruk berurusan dengan polisi yang saya tidak ingin menceriterakannya. Lagian, kejadiannya waktu Pak RW itu masih kecil dan saya sendiri belum lahir.

Ya sudah, saya tidak berniat membandingkan antara sumpah yang ada di Jawa dengan yang ada di Sunda. Begini saja. Saya yakin kok meskipun zaman Ken Arok atau Amangkurat ada kalimat ancaman kejam dan sadis seperti itu, kenyataannya tidak pernah terjadi. Kalau di Sunda, kalimat semacam itu disebut ngagos, ‘menggertak’, dan menunjukkan kemarahan luar biasa. Kalau dalam permainan kartu di kalangan anak muda Sunda, disebut ngakik, ‘membuat lawan merasa terjepit’ hinga nyalinya ciut. Akan tetapi, ya cuma segitu. Nggak pernah terlaksana dengan nyata. Rasa-rasanya, di Indonesia ini tak pernah ada yang terus-terusan bermusuhan saling bunuh sepanjang tujuh generasi. Malahan, para keturunannya itu bisa jadi menjalin hubungan yang lebih baik sambil sama-sama berusaha melupakan kisah masa lalu yang buruk.

Nah, sekarang mari kita periksa lagi kata-kata Sudjiwo Tedjo yang lainnya. Katanya, di luar negeri tidak ada kalimat ancaman mengerikan seperti di Jawa. Menurutnya, tidak ada kalimat semacam itu di Jerman.

Kalau berbicara Jerman, mari kita kenang Adolf Hitler.

Nah, lho. Mulai deh panas dingin ngomongin Hitler.

Hitler itu habis-habisan membantai kaum Yahudi sampai ke bayi-bayinya. Yang dilakukan Hitler itu merupakan pembersihan etnis. Memang di Jerman nggak ada kalimat semacam di Jawa itu, tetapi kekejamannya sadis pisaaan…!

Okelah, kata banyak orang kisah Hitler membantai Yahudi itu hanya rekaan Yahudi agar dunia merasa kasihan kepada mereka hingga bisa ditempatkan di wilayah Palestina sekarang. Memang kenyataannya Yahudi berhasil kok memanipulasi dunia.  Akan tetapi, meskipun demikian, Hitler dan Nazi-nya itu yang pasti adalah menyerang negara-negara di sekitarnya dan tentu saja melakukan banyak pembunuhan karena merasa bahwa Jerman adalah Ras Aria, ras terunggul di dunia yang paling berhak memerintah dunia.

Jadi, jangan memuji-muji Jerman. Wong mereka itu seperti itu.

Ngaco kan ketika mereka menganggap diri sebagai ras terunggul di dunia, iya kan?

Akan tetapi, yang lebih ngaco lagi adalah orang-orang Indonesia yang menganggap bahwa bangsa Jerman lebih beradab dibandingkan orang Indonesia. 

Mau lebih beradab bagaimana, wong dirinya menganggap ras terunggul di dunia?

Memangnya mereka bikin request sama Tuhan sebelum lahir ke dunia untuk dijadikan bangsa Jerman?

Siapa orangnya yang bisa pesan sama Tuhan untuk menjadi bangsa tertentu?

Tuhan sendiri kok yang punya kebijaksanaan Si A menjadi bangsa itu, Si B jadi bangsa ini, Si C jadi bangsa anu. Ngaco jika menganggap diri merupakan ras atau keturunan terhebat di muka Bumi. Lebih ngaco lagi jika menganggap orang ngaco sebagai orang yang lebih beradab dibandingkan dirinya.

Ah, itu kan cuma Jerman, negara luar yang lain tidak seperti itu. Mereka itu orang-orang dari negara maju yang patut kita tiru

Mungkin ada orang yang mengatakan seperti itu.

Oke, kalau masih juga gemar mengekor kelakuan orang asing, saya kasih tahu lagi. Seluruh Eropa itu dipenuhi dengan sejarah pertikaian dan pertarungan yang teramat mengerikan dan dahsyat. Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno menggambarkannya seperti ketel penuh minyak yang mendidih panas sekali.
 
Amerika Serikat?

Wah, sampai sekarang dia masih membunuhi orang-orang sambil ngajak negara sekutunya untuk menyerang negeri orang. Ngomongnya aja polisi dunia, tetapi Irak dan Afghanistan yang telah dikuasainya tidak pernah ada kata aman dan tenteram. Sampai sekarang kusut melulu, terus ikut-ikutan lagi manas-manasin Suriah.

AS itu memang gemar bertengkar, seperti kata penyair dunia Kahlil Gibran yang mengatakan bahwa orang-orang Amerika itu terlalu bising, gemar keributan, sering bertengkar, gampang marah, dan mudah membunuh. Oleh sebab itu, ia memilih pulang dari Amerika  ke kampung halamannya di Libanon. Padahal, Libanon itu diberitakan sebagai wilayah yang tidak aman, tetapi Gibran merasa nyaman meskipun dia bukan seorang muslim.

Nah, kita yang ramah-ramah ini sangat tidak patut meniru orang-orang yang gemar ribut, bertikai, banyak bohong, dan rakus.

Jadi, keramahtamahan orang-orang Indonesia itu bukan mitos. Asli bukan mitos.

Percaya deh sama saya.

Dengan kekuatan senyum dan keramahan, kita akan menjadi bangsa paling beradab di muka Bumi ini. Kuncinya, jangan terlalu sering menoleh apalagi ngikutin perilaku dan hasil pikiran orang-orang luar negeri yang punya banyak kekusutan itu. Percaya saja sama diri sendiri sambil berdoa kepada Allah swt, niscaya jalan-jalan kebaikan akan ditunjukkan-Nya untuk kita semua.

Insyaallah. Amin. Demi Allah swt.

Tawuran Bikin Karni Ilyas Bingung dan Membingungkan



oleh Tom Finaldin
 

Bandung, Putera Sang Surya

Bukan cuma Karni Ilyas yang bingung, semua orang juga saat ini dibuat bingung oleh maraknya aksi tawuran di sekolah, kampus, dan masyarakat umum. Saat ini tawuran memang seperti menjadi trend yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang sudah lama tidak terpecahkan.

            Adalah sebuah acara menarik yang digelar Karni Ilyas tentang membudayanya tawuran pelajar di tvOne dalam acara ILC. Bung Karni mencoba mencari tahu dari narasumber-narasumber yang diundangnya mengenai tawuran ini dengan harapan bisa menemukan akar masalah serta penyelesaiannya sekaligus. Sebuah acara yang positif untuk mendapatkan hal positif pula.

            Sayangnya, sampai acara berakhir, akar permasalahan tawuran dan penyelesaiannya tidak didapatkan dengan baik. Tentu saja tidak mungkin mendapatkan hal-hal yang sangat menentukan dan menjadi rujukan tepat dari acara yang dibatasi waktu dan diselingi iklan tersebut. Meskipun demikian, acara tersebut membuat banyak pihak memiliki wawasan lebih luas mengenai hal-ihwal tawuran.

            Ada hal yang menggelitik dalam acara tersebut, yaitu Karni Ilyas menyarankan untuk belajar ke luar negeri dalam rangka mengatasi perilaku tawuran tersebut. Itulah yang saya sebut membingungkan.

            Mengapa sih kita harus selalu melihat ke luar negeri?

            Mengapa sih kita harus selalu mencontek cara-cara hidup orang lain?

            Mengapa sih kita tidak mau menyelesaikan permasalahan dengan bertanya kepada diri sendiri, bertanya pada budaya dan nilai luhur sendiri?

            Dalam acara itu, kalau saya tidak salah, Karni Ilyas mengatakan seperti ini, “Mengapa di Eropa sana ketika ada dua sekolah sudah berhadap-hadapan, tak ada satu benda pun yang melayang? Itu karena jika ada yang memukul, langsung masuk sel.”

            Jujur saja, saya tidak percaya dengan kata-katanya itu. Hal itu disebabkan pertama, ia mengatakan Eropa, tetapi tak menjelaskan negara yang mana. Kedua, dia bilang ada dua sekolah yang berhadapan, juga tak diterangkan sekolah mana di kota apa. Ketiga, tidak dijelaskan dalam rangka apa kedua sekolah itu berhadapan, mau berkelahi atau sepakbola?

       Perkataannya itu hanyalah mirip kebiasaan orang-orang Indonesia yang selalu mengatakan bahwa segala yang berasal dari luar negeri itu lebih baik dan lebih bagus. Bukan cuma Karni Ilyas yang begitu kok, yang lainnya juga sering seperti itu. Misalnya, saya pernah mendengar langsung dari seorang pejabat pusat yang heboh menceriterakan penanganan lanjut usia di Jepang saat mengadakan kunjungan ke organisasi lanjut usia di Bandung.

Kok harus selalu bersandar pada pengalaman luar negeri sih?

Padahal, program yang dimiliki oleh organisasi lanjut usia yang dikunjunginya di Bandung itu sebenarnya lebih baik dan lebih tepat karena menggunakan kearifan lokal, yaitu program Nyaah ka Kolot, ‘Menyayangi Orang Tua’.  Dalam program itu, terlibat berbagai elemen, seperti, pemerintah, pengusaha, masyarakat, terutama generasi muda.

           Masih dalam acara ILC kemarin-kemarin itu, ada narasumber, seorang psikolog hebat, mengatakan, “Kita kurang pintar mencontek negara lain.”

           Masyaaallah, kok disarankan kita harus pintar mencontek orang lain?

Hanya segitukah kepandaian kita? 

Mencontek orang lain?

            Ada anggota DPR RI yang mengupayakan ajaran agama agar lebih diperhatikan di sekolah-sekolah dengan cara lebih memantapkan materi pelajarannya dan  waktunya ditambah. Karni Ilyas setuju dengan itu, tetapi tetap menyarankan untuk mencontoh aturan di negara-negara lain.

            Bagi saya, segala yang dilakukan negara lain memang tidak salah untuk dipelajari, tetapi bukan untuk dicontek, melainkan untuk dijadikan sekedar wawasan dan bahan pertimbangan. Upaya yang sangat tepat adalah mencari penyelesaian berdasarkan pengalaman hidup dan budaya sendiri. Kalau ternyata kurang cukup, baru melirik dari negara lain. Contoh dari negara lain itu hendaknya hanya berupa pelengkap jika dirasakan kurang setelah menggunakan cara-cara sendiri. Kalau sudah cukup dengan cara-cara yang berasal dari jiwa sendiri, ya tidak usah ngikutin orang lain.

            Lumayan berbahaya jika kita menggunakan cara-cara bangsa lain dalam menangani masalah tawuran atau perilaku kekerasan yang terjadi di kampus-kampus. Bahayanya adalah kita bisa mengalami keburukan yang sama seperti yang dialami mereka. Menurut saya, tawuran siswa atau mahasiswa Indonesia yang telah menimbulkan kematian setidaknya 21 jiwa itu masih lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah negara barat. Korban yang 21 itu berasal dari berpuluh-puluh kali tawuran di berbagai sekolah dan daerah di Indonesia dalam waktu lama. Artinya, tidak setiap tawuran menimbulkan kematian.

            Memang di kampus-kampus barat tidak ada itu yang namanya tawuran antarpelajar. Saya setuju dengan Karni Ilyas yang wartawan berpengalaman luas itu. Menurutnya, jika ada tawuran di luar negeri, pasti ada beritanya di CNN. Saya pun meyakininya, tidak ada tawuran pelajar di barat. Kalau ada, pasti banyak film barat yang bertemakan tawuran semacam itu. Saya lumayan sering menonton film-film barat. Yang ada bukan tawuran pelajar, tetapi tawuran antargeng.

            Bahaya dari mencontek aturan barat adalah korban dan peristiwanya bisa seburuk yang terjadi di barat. Hal itu jauh lebih buruk dan lebih sadis dibandingkan tawuran yang terjadi di Indonesia.

            Pengen tahu apa peristiwanya?

        Di barat itu satu kali kejadian, korbannya bisa mencapai belasan orang. Dua kali kejadian, bisa puluhan orang. Jika dihitung seluruhnya, lebih banyak lagi korban yang sudah tercatat dan terkubur di berbagai pemakaman.

           Tahu kan peristiwanya?

           Kalau sudah lupa, saya ingatkan lagi.

           Benar di negara barat tak ada tawuran pelajar, tetapi siswa atau mahasiswa mereka bisa dengan mudah membawa pistol berpeluru ke dalam kelas, kemudian menembak siswa lain berikut gurunya dengan membabi buta.

Sudah ingat sekarang?

Memang aturan di sana kelihatannya mencegah tawuran dan itu benar karena tawurannya pun tidak pernah ada. Jadi, tawuran tidak ada bukan karena aturannya yang hebat, melainkan memang tak pernah terjadi tawuran antarkampus. Akan tetapi, mereka tidak bisa mencegah peluru-peluru yang berdesingan di kelas-kelas yang berasal dari senjata yang dibawa para siswanya. Bahkan, peluru-peluru itu ada yang menembus tubuh warga Negara Indonesia yang sedang berada di negara mereka hingga tewas.

Kita bersyukur tidak ada kasus seperti itu. Kita bersyukur hanya punya kasus tawuran yang lebih mudah diselesaikan dibandingkan kasus seperti di negara mereka. Tekanan ideology of success yang diderita mereka lebih parah dibandingkan di Indonesia. Maksudnya, sukses dalam pencapaian materi dan kekuasaan.

Imam Prasodjo benar bahwa ada orientasi yang salah dalam diri para pelajar kita, yaitu bangga atau sangat senang jika ditakuti, dihargai, dianggap paling tinggi dan penting karena sudah melakukan hal-hal negatif. Hal itu menjadi salah satu penyebab tawuran. Akan tetapi, hal itu kan memang sudah terjadi sejak zaman purba sampai saat ini setiap hari di mana pun. Ada sebagian orang yang sangat senang dan bangga jika dipatuhi, diakui, dihormati, dan dianggap lebih hebat serta lebih berkuasa dibandingkan yang lainnya setelah menunjukkan perilaku-perilaku negatifnya, baik itu fisik maupun nonfisik.

Ebiet G. Ade pun sudah sejak lama melantunkan syair mengenai hal itu, … mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa ….

Untuk hal itu, diperlukan upaya agar orientasi dan pandangan para pemuda kita berubah.

Memang tidak mudah menguraikan benang kusut masalah tawuran ini, tetapi setidak-tidaknya ada kunci yang dapat dipergunakan oleh kita semua, yaitu ada pakar yang mencatat bahwa aksi tawuran ini disebabkan terjadinya perubahan tren yang mendadak sejak 1968. Artinya, aksi tawuran ini sudah berlangsung selama 44 tahun di Indonesia sejak 1968.

Kita bisa melakukan penelaahan dan penelitian mengapa tidak terjadi tawuran sebelum 1968 dan mengapa setelah tahun itu terjadi tawuran.

Ada apa pada kedua masa itu?

Apa perbedaan di antara kedua masa itu?

Kita bisa melihatnya dari berbagai sisi, baik itu politik, leadership, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.

Saya menduganya dengan keras bahwa mulai tahun itu sampai sekarang terjadi penurunan kepemimpinan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tekanan perlombaan mengejar materi yang mulai semakin keras, masuknya budaya asing yang lebih cepat melalui media televisi, dan lain sebagainya.

Perilaku siswa SD pada tahun tujuh puluhan sudah mulai dikeluhkan oleh para guru. Para guru mulai merasakan perbedaan yang jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu contohnya adalah guru saya sendiri sewaktu masih SD yang mengatakan bahwa penghormatan kepada guru sudah mulai kurang. Berbeda dengan siswa masa lalu yang sangat menghormati guru. Saking hormatnya, anak-anak tidak pernah ribut di kelas jika di meja guru ada kopiah gurunya. Hanya ada kopiahnya saja, para siswa hening seolah-olah gurunya ada di kelas, padahal tidak ada.

Dalam hal cepat dan derasnya pengaruh budaya asing melalui media televisi pun sangat terasa. Saat itu lebih parah dibandingkan saat ini perihal pemujaan dan pemujian terhadap budaya asing.  Pada masa itu segala yang berasal dari barat adalah dianggap lebih baik, lebih bagus, dan lebih hebat sambil melecehkan budaya dalam negeri sendiri. Orang-orang malu untuk menggunakan batik serta gengsi menyanyikan lagu-lagu daerah dan atau lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lagu-lagu barat lebih mendominasi meskipun nggak ngerti arti dari syairnya. Demikian pula perilaku pergaulan anak muda yang sangat kebarat-baratan. Jika ada anak muda yang tidak berperilaku meniru barat, dianggap ketinggalan zaman. Malahan, anak-anak muda sangat bangga jika sudah berpenampilan seperti gipsy atau hippies. Padahal, gaya itu acak-acakan sekali. Saya mengalami hal-hal ini. Parahnya, yang namanya alkohol, ganja, dan obat terlarang pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya seorang pemuda.

Saya masih ingat dengan benar bahwa mewabahnya breakdance disebabkan TVRI menayangkan tarian itu dalam acara Dunia dalam Berita. Padahal, tayangan itu tidak lebih dari satu menit. Dari tayangan beberapa detik itu, orang-orang mulai mencari tahu lebih jauh tentang breakdance. Akhirnya, bermunculan di mana-mana kursus breakdance dan pantomim. Yang tidak mampu kursus pun belajar sendiri dari teman-temannya. Tarian ini pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya bagi para pemuda.

Media televisi ditambah video kaset yang kerap memutar film-film barat bernuansa kekerasan dan seks menguasai tontonan generasi muda. Hal itu membuat saya berpendapat bahwa orang barat itu kalau bikin film selalu kurang percaya diri. Mereka tak pernah percaya diri menyuguhkan ceritera sebenarnya tanpa dibarengi adegan kekerasan dan seks. Tanpa kekerasan dan seks, mereka ragu akan mendapatkan penonton yang banyak.

           Kekuatan media TV dan film yang sangat kuat itu mempengaruhi para pemuda kita untuk menirunya. Bermunculanlah geng-geng mirip yang ada di film-film Amerika. Para pemuda kita bangga dengan itu. Memang dalam film-film Amerika itu disuguhkan kisah-kisah tawuran antargeng. Di sana memang banyak geng, misalnya, Geng Meksiko, Geng Asia (Cina atau Jepang), geng kulit hitam, dan geng-geng lain yang terlibat dengan Napza, baik kulit putih maupun kulit berwarna. Rupa-rupa geng itu sering terlibat tawuran.

           Nah, perilaku-perilaku geng itu dengan segala atributnya dicontoh oleh pemuda-pemuda kita yang gemar mengikuti perilaku bangsa asing. Lembaga sekolah adalah salah satu tempat yang mudah untuk membentuk geng dan merekrut anggotanya. Oleh sebab itu, kita sering mendengar istilah kebarat-baratan yang dialamatkan para orangtua kepada para pelajar.

            Ada salah satu contoh yang nyata terjadi. Beberapa waktu lalu kita diresahkan oleh perilaku geng motor. Televisi sempat menayangkan bagaimana “pelantikan” anggota baru geng motor di Bandung yang penuh dengan kekerasan. Anak-anak yang ingin menjadi anggota geng diharuskan adu jotos dulu sampai babak belur. Tayangan itu mengingatkan pada salah satu film yang pernah saya tonton mengenai tawuran antara Geng Meksiko dengan geng kulit hitam Amerika. Dalam film itu dikisahkan para pemuda Meksiko yang awalnya hidup normal dan wajar di Amerika tiba-tiba mendapatkan perlakuan buruk dan merasa terancam oleh geng kulit hitam. Mereka pun dengan sangat terpaksa mencari perlindungan pada Geng Meksiko dengan cara menjadi anggotanya. Untuk menjadi anggota geng, mereka diwajibkan berkelahi di antara sesama mereka serta para seniornya sampai babak belur mengeluarkan darah. Setelah itu, mereka diterima dengan baik dan akan mendapat perlindungan untuk selanjutnya saling melindungi sesama anggota geng.

            Saat ini masuknya pengaruh asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa diperkuat oleh internet. Banyak hal yang didapat dari internet. Mereka pun semakin baik meniru kehidupan geng-geng di barat. Hal-hal detil mengenai kehidupan geng sangat mudah diketahui.

            Adik bungsu saya, perempuan, pernah diajak untuk menjadi anggota geng tertentu. Ia dijanjikan perlindungan dan pertemanan yang lebih jujur dan setia dalam geng tersebut. Adik saya akan aman di mana saja untuk keperluan apa saja karena berada dalam perlindungan geng tersebut. Akan tetapi, adik saya menolaknya karena salah satu syarat yang harus dilakukan adalah menginjak Kitab Suci Al Quran sebagai lambang pembebasan diri dari ikatan apa pun dan menyandarkan dirinya pada kesatuan geng. Ia pun menceriterakannya kepada saya. Malahan, adik saya memberitahukan dengan jelas siapa saja anak-anak muda yang mengajaknya kepada saya. Beruntung, hubungan kami berdua sangat-sangat dekat sehingga mudah sekali untuk berdiskusi dalam segala hal. Nah, perilaku menginjak kitab suci itu diadopsi dari perilaku para anggota geng barat yang memang sudah sangat rusak kepercayaannya pada agama, kitab suci, dan para pemimpin agamanya sendiri. Mereka merasa lebih aman dan lebih dihargai oleh komunitas di dalam gengnya.

            Benar sekali bahwa tawuran pelajar di luar negeri tidak ada, tetapi perilaku kehidupan geng barat itu hidup dalam geng-geng pelajar kita yang akhirnya mempengaruhi lembaga sekolah sehingga sebuah sekolah bisa dianggap sebuah geng tertentu. 

           Perlu pula diperhatikan bahwa seseorang menjadi anggota geng itu bukan karena selalu harus ingin ditakuti atau dihormati, melainkan pula didorong oleh keterpaksaan karena takut oleh geng lain sehingga mencari perlindungan terhadap geng lainnya. Keterpaksaan menjadi anggota geng tersebut di Indonesia diakui oleh salah seorang anggota geng motor yang pernah diinterogasi polisi.
        
        Oh ya, yang sangat teramat tidak boleh disepelekan adalah bahwa geng-geng yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia ini bisa pula sangat mungkin dibentuk oleh orang-orang atau pihak-pihak di luar sekolah untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Begini. Ini pengalaman saya pribadi. Usia SMA adalah usia pancaroba yang dipenuhi rasa penasaran dalam keadaan emosi yang kurang seimbang. Hal itu digunakan oleh para pengusaha untuk memasarkan barangnya pada siswa SMA. Sekolah kami berkali-kali pada jam-jam istirahat didatangi oleh para sales rokok. Rokok yang terkenal sampai hari ini. Para sales itu memang sangat mahir berkomunikasi dan membaur dengan kami meskipun usianya jelas sudah bukan usia SMA lagi. Mereka mengarahkan agar kami membentuk kelompok untuk mengadakan berbagai kegiatan semisal touring ke tempat-tempat wisata serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya bisa diikuti secara massal. Para sales itu jelas menyediakan dana untuk berbagai kegiatan yang kami lakukan, bahkan perusahaannya memberikan sumbangan pada pihak sekolah semisal bola voli, net untuk bulutangkis, raket, dan hal-hal lainnya. Yang mengantarkan sumbangan pada pihak sekolah bukan para sales itu, melainkan pentolan-pentolan kelompok yang masih siswa SMA tersebut. Mereka hanya titip sumbangan untuk kemudian diberikan pada sekolah. Tentu saja hal itu merupakan taktik agar kelompok yang telah dibentuk mereka mendapat restu dari pihak sekolah.
       
     Awalnya, saya dan teman-teman kurang ngeh dengan saran para sales itu. Kami tidak begitu tertarik. Akan tetapi, para sales itu tidak kenal menyerah sampai-sampai meledek kami sebagai siswa yang nggak punya kreativitas. Mereka mencontohkan bahwa di sekolah-sekolah lain sudah terbentuk kelompok-kelompok sesuai arahan mereka. Tentunya, tidak semua sekolah di Bandung yang mereka datangi dan arahkan. Hanya sekolah-sekolah favorit tertentu yang dianggap layak untuk membantu pemasaran dan atau promosi produk rokok mereka. Akhirnya, terbentuk juga sih kelompok seperti yang mereka inginkan. Lagian, kami nggak keluar uang banyak karena dibiayai perusahaan rokok. Malahan, para pentolan kelompok mendapatkan semacam insentif, minimal rokok gratis. Jika mengadakan  tour, kami bisa main-main, senang-senang, dan bergembira.

            Nah, tanpa terasa besar kemungkinan kelompok ini pada sekolah-sekolah tertentu kemudian menjadi komunitas yang eksklusif di sekolah. Kelompok ini dengan sendirinya menjadi komunitas tertentu di sekolah. Mereka memiliki prestise tertentu di kalangan siswa lainnya. Meskipun program dari para sales rokok itu sudah selesai dan tak kembali lagi, kelompok ini tidak bubar. Mereka pun berubah menjadi sebuah geng. Geng ini punya kelebihan keberanian sehingga tampak lebih “berkuasa” dibandingkan siswa lainnya. Kelompok ini di lingkungan sekolah menjadi kelompok yang ditakuti. Akan tetapi, jika siswa di sekolahnya mendapatkan gangguan dari sekolah lain, kelompok ini pula yang akan berada paling depan untuk membela harga diri sekolahnya. Akhirnya, tawuran deh. Memang pada saat saya masih SMA tawuran itu tidak pernah ada, yang ada paling-paling sebatas “mau” tawuran, tetapi tidak pernah terjadi.

            Maksud saya menceriterakan pengalaman saya adalah agar kita lebih berhati-hati karena bisa saja bukan sales rokok yang pada zaman ini mendatangi para siswa, melainkan para pengedar Napza dengan menggunakan pendekatan seperti para sales rokok seperti yang saya ceriterakan. Para pengedar itu jelas membutuhkan pasar dan alat promosi. Jika itu terjadi dan memang sangat mungkin terjadi, bahayanya akan sangat besar. Jika para sales rokok itu dibatasi oleh program promosi dari perusahaannya, para pengedar Narkoba itu tidak seperti itu. Mereka akan terus bersama geng yang telah terbentuk, kemudian menjadikan geng itu sebagai bagian dari sindikatnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pengarah geng-geng dari para pelajar kita. Geng-geng di sekolah yang sangat berpengaruh di lingkungan teman-teman satu sekolahnya inilah yang pertama kali bisa menimbulkan penyebab tawuran dengan sekolah lain. Misalnya, salah seorang anggota geng di sebuah sekolah melakukan penghinaan kepada salah seorang siswa dari sekolah lain. Kemudian, siswa yang terhina itu mengadu kepada geng yang ada di sekolahnya. Mereka pun marah, lalu melakukan pembalasan. Dalam melakukan pembalasan itu, mereka tidak memilih mana siswa yang menjadi anggota geng, mana siswa yang baik-baik. Pokoknya, mereka akan membalas kepada siswa yang satu sekolah dengan siswa yang telah melakukan penghinaan kepada teman satu sekolahnya. Akibatnya, masalah bertambah luas dan semakin rumit. Tawuran pun tak bisa dihindari.

            Adalah lebih parah jika yang dikatakan Henri Yosodiningrat, benar-benar terbukti. Henri mengatakan bahwa urusan Narkoba atau Napza ini bukan hanya urusan bisnis, melainkan pula urusan politik. Artinya, ada negara luar yang disebut oleh banyak orang sebagai negara maju dan sering dipuji-puji oleh para elit Indonesia sebagai negara beradab tidak menginginkan Indonesia menjadi negara besar, kuat, dan makmur. Mereka berupaya melemahkan Indonesia dari berbagai sisi, salah satunya melalui Narkoba yang jelas akan melemahkan generasi muda Indonesia. Dengan demikian, negara luar yang sering disembah-sembah pikirannya oleh para elit Indonesia itu bisa dengan mudah menguasai sektor-sektor ekonomi dan politik di Indonesia. Kalaupun mereka tidak bisa menguasai, minimal Indonesia dibikin kalang kabut.

            Begitulah yang terjadi dan demikianlah kekhawatiran saya.

            Memang banyak hal yang harus dibenahi untuk menanggulang urusan tawuran ini, salah satunya, guru jangan dijadikan hanya penyalur mata pelajaran, tetapi juga harus diberi keleluasaan untuk memberikan ajaran-ajaran moral dan budi pekerti. Untuk itu, tentunya para guru harus diberikan kewenangan dalam memberikan hukuman dan penghargaan kepada siswa, jangan ditakut-takuti oleh undang-undang hak azasi manusia yang terlalu mencontek barat.

            Jangan mencontek aturan-aturan barat karena sebenarnya geng-geng yang ada di negeri ini merupakan bentukan yang mencontoh geng-geng barat itu. Kita hendaknya kembali mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur bangsa hingga para pemuda kita paham terhadap dirinya sendiri yang pada gilirannya bisa memberikan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Cari pula cara atau jalan atau aturan yang disesuaikan dengan budaya dalam negeri karena akan lebih mudah diresapi. Di samping itu, para elit pun harus memberikan contoh yang baik karena kita ini sangat kekurangan teladan dari para pemimpin. Merosotnya keteladanan telah membuat merosot moral dan budi pekerti generasi muda. Meningkatnya keteladanan positif dari para elit akan menjadikan negeri ini memiliki pola dan contoh yang bisa diikuti untuk kemudian dibanggakan.

            Sekali lagi, kita hendaknya melakukan penelitian mengenai berbagai hal sebelum 1968 dan sesudahnya. Jika penelitian itu telah mendapatkan kesimpulan dan saran, hendaknya tidak hanya dijadikan pengaya khazanah kepustakaan nasional, melainkan dijadikan rujukan untuk membentuk dan menjalankan program nyata. Sangatlah disayangkan jika hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut hanya jadi pajangan di perpustakaan sampai berdebu karena tidak ada yang memanfaatkannya.

Friday, 5 October 2012

Sosialisasi Wawasan Kebangsaan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pembangunan karakter bangsa dari dulu sudah dilakukan dan terus dilakukan di negeri ini. Agaknya, berbagai penataran, Diklat, atau pemberian materi mengenai kebangsaan ini merupakan salah satu penyebab utuhnya Negara Indonesia sampai sekarang. Di samping itu, tentu saja pelajaran-pelajaran di sekolah pun menguatkan keutuhan Negara Indonesia. Pada masa Ir. Soekarno ada yang namanya Diklat Nasakom dan masa orde baru ada P4. Kedua hal itu sama-sama membangun karakter bangsa. Meskipun pada setiap orde upaya-upaya itu ada plus-minusnya, tak bisa dipungkiri tetap menjadi pengikat rasa warga Negara Indonesia.

            Ketika memasuki orde reformasi, pilar-pilar kebangsaan yang telah diajarkan pada masa Orla dan Orba mulai ditinggalkan karena orang-orang memandang pilar-pilar itu hanya dijadikan kedok kesewenang-wenangan penguasa, terutama pada masa Orba. Masyarakat pun dalam keadaan euphoria menoleh budaya kebebasan yang diimpor dari barat. Pada masa awal reformasi tampaknya terasa kita telah menggunakan jalan yang benar dengan cara meniru-niru struktur dan susunan kehidupan orang barat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa kita terjebak dalam kebebasan itu sendiri sehingga merindukan kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa. Berbagai tindak-tanduk para politisi serta hiruk-pikuknya kehidupan mulai mengeringkan ruhani orang-orang. Masyarakat pun ingin kembali pada kesejukan dirinya dan terlindungi dari kekeringan jiwanya.
          
          Salah satu jawabannya adalah reaktualisasi pilar-pilar kebangsaan. MPR RI menjalankan proyek sosialisasi empat pilar kebangsaan yang terdiri atas Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Proyek itu memang banyak bolongnya dan sangat tampak kekurangannya, sobek di sana-sini. Akan tetapi, itu merupakan langkah awal yang teramat baik untuk kembali membangun karakter bangsa. Minimal, mengenalkan kembali, terutama kepada generasi muda bahwa kita, bangsa Indonesia, memiliki empat pilar yang dapat menyelamatkan bangsa dan rakyatnya dari kehancuran pada berbagai segi, baik itu batin maupun lahir.

       Saya sangat tidak setuju kepada orang-orang yang menganggap sia-sia proyek sosialisasi empat pilar kebangsaan tersebut. Mereka berpendapat dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyat tidak memerlukan empat pilar kebangsaan.

Gila mereka itu. Bodoh teramat tolol!

Saat ini kita saksikan perilaku korup semakin semarak, tawuran pelajar, tawuran antarkampung, pertengkaran di tingkat elit yang merembet ke grassroot, terorisme, kriminalitas, turunnya moral serta rusaknya penghormatan kepada orangtua dan guru, jual-beli legislasi, dan seabrek kekisruhan lainnya. Perilaku-perilaku menyimpang itu salah satu penyebab terbesarnya adalah jauhnya kita dari nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

Orang-orang sok pintar yang tidak menganggap penting pilar-pilar kebangsaan itu lebih percaya pada penegakkan hukum dan perbaikan sistem. Menurut mereka, kejahatan dan atau kerusakan yang terjadi di Indonesia bisa diselesaikan dengan hukum, penguatan lembaga pemerintah termasuk yang ad hoc, serta penyempurnaan sistem. Mereka tidak terlalu salah, tetapi juga tidak benar.

Hukum, sistem, dan pemerintahan itu sesungguhnya seharusnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar nilai-nilai itu mendapatkan jaminan tetap terjaga serta dipatuhi. Jika jauh dari nilai-nilainya sendiri, masyarakat akan selalu bermasalah dengan hukum, sistem, dan pemerintahan itu sendiri.

Supaya lebih jelas dan tidak pusing, saya kasih contoh. Begini. Islam diisukan oleh Yahudi memiliki hukum-hukum yang sadis dan tidak berperikemanusiaan, misalnya, potong tangan, potong leher, atau rajam. Isu itu kemudian diterima juga di Indonesia sehingga enggan menggunakan hukum Islam. Anehnya, cuma itu yang diisukan sebagai hukum Islam, yaitu potong tangan, potong leher, dan rajam, yang lainnya enggak muncul. Itu dan itu terus yang diomongin di mana-mana, malahan di pesantren juga cuma itu yang ramai dibicarakan. Bedanya, orang-orang pesantren itu yakin bahwa hukum yang sadis itu pantas dijalankan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. 

Meskipun dianggap sadis dan melanggar Ham, orang-orang tidak pernah belajar dan memahami, memangnya ada berapa orang pada zaman Rasulullah saw dan para khalifah yang mendapatkan hukuman itu?

Ketika Abu Bakar As Shidiq menjadi khalifah yang sekaligus pemegang kendali hukum, sama sekali tidak ada orang yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab itu, Abu Bakar ra hampir saja mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya. Ia merasa malu karena tidak melakukan apa pun. Ia merasa seolah-olah memiliki jabatan, tetapi tak memiliki pekerjaan karena tidak ada satu orang pun yang dihukum.

Apa yang menyebabkan situasi aman tersebut pada masa Abu Bakar ra?

Aturannya yang keras? UU-nya yang tegas? Pemerintahannya yang sempurna?

Oh bukan, bukan itu.

Penyebabnya adalah sudah sejak awal kaum muslimin diajari nilai-nilai kebaikan dari jiwa Islam yang suci dan luhur. Mereka diberi pemahaman bahwa orang Islam itu harus berbuat baik kepada seluruh manusia, jangan merusak, dan jangan melakukan keburukan di muka Bumi. Jika melakukan kesalahan atau kejahatan, Allah swt Mahamelihat dan akan memberikan hukuman yang keras. Pemahaman dan pengajaran itulah yang selalu diulang-ulang ditanamkan sehingga orang-orang mengerti untuk tidak melakukan keburukan dan berupaya selalu berbuat baik. Menurut Muhammad Rasulullah saw, yang disebut manusia Islam itu adalah orang yang mampu menjaga dirinya dari melukai orang lain. 

Nah, pemahaman-pemahaman itu akhirnya menjiwai kaum muslimin secara kuat. Dengan demikian, aturan dan hukum-hukum yang diterapkan semacam potong tangan dan potong leher itu hanya menjadi penjaga untuk memastikan orang-orang agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu, wajar saja pada masa Abu Bakar ra memimpin tak ada kasus hukum karena orang-orang sudah paham dengan jiwa Islam-nya sendiri
.
Begitu, Bro.

Berkaca dari sana, menjadi teramat penting sosialisasi wawasan kebangsaan di Indonesia ini agar masyarakat Indonesia bisa menjaga dirinya sendiri untuk tidak melakukan perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma luhur bangsa Indonesia. Pelanggaran hukum itu kan berarti pula pelanggaran terhadap nilai dan norma bangsa, iya kan?

Untuk memahami nilai-nilai bangsanya, warga Negara Indonesia harus diberi pelajaran mengenai dirinya sendiri yang sudah terkristal dalam pilar-pilar kebangsaan itu. Jika sudah mengerti, paham, dan menjiwai nilai-nilainya sendiri, setiap warga lebih memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, perilaku melanggar hukum sudah mulai tercegah oleh dirinya sendiri, bukan oleh seabrek aturan-aturan yang ada dan senjata para aparat.

Hukum apa pun sekarang ini bisa dibeli di dunia ini. Sistem bisa diakal-akalin. Lembaga pemerintah bisa diacak-acak. Akan tetapi, jiwa dan nurani tak bisa dibohongi. Jiwa dan nurani itulah yang akan bersentuhan dengan wawasan kebangsaan.

Memang benar sosialisasi empat pilar yang kata orang-orang adalah proyeknya Taufiq Kiemas itu banyak kekurangannya, tetapi semangatnya sudah benar. Saya sendiri melihat kekurangan yang terjadi, misalnya, pematerinya tidak jelas siapa orangnya, tidak mempersiapkan materi dengan baik, materinya pun kabur kesana-kemari, nggak jelas mana ujungnya, mana awalnya. Bahkan, pematerinya ada yang berasal dari kalangan politisi yang jelas-jelas pasti lebih banyak berbicara mengenai dirinya sendiri dan menjadi sarana untuk kampanye terselubung. Belum lagi ukuran yang bisa menjadi alat evaluasinya tidak ada.

Adalah teramat baik sosialiasi wawasan kebangsaan tersebut dipersiapkan dengan matang mulai materinya, waktu pelaksanaannya, pematerinya, berikut evaluasinya. Cari di negeri ini orang-orang bersih yang tidak ditunggangi kekuatan politik apa pun agar bisa lebih bebas berimprovisasi. Tentunya, orang-orang ini adalah orang yang mencintai Indonesia, terutama teramat peduli dengan generasi masa depan. Di samping itu, orang-orangnya harus bersih, terbebas dari catatan keburukan dan yang teramat penting adalah bukan kaki tangannya kapitalis. Biarkan mereka berupaya keras dan fasilitasi untuk melakukan yang terbaik dalam menyosialisasikan wawasan kebangsaan.

Ada contoh buruk dari pelaksanaan P4 pada masa Orba. Ayah saya adalah kepala sekolah SD. Ia mengikuti P4 bersama para kepala sekolah lain di Bandung. Ayah saya termasuk ranking sepuluh besar dalam penataran itu. Akan tetapi, ia melihat kekurangan yang nyata dalam penataran itu, yaitu perilaku para pemateri sendiri. Karena pemateri itu selaku penatar, perilakunya sangat sombong dan angkuh seolah-olah merekalah yang lebih Pancasilais dibandingkan para peserta. Nah, perilaku menganggap diri paling Pancasilais itu sudah merupakan pelanggaran tersendiri terhadap nilai-nilai Pancasila.

Kita semua bisa belajar dari seluruh program yang telah berjalan di negeri ini dalam setiap masa mengenai pembangunan karakter bangsa. Kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi dapat menjadi pelajaran berharga untuk melaksanakan sosialisasi wawasan kebangsaan dengan lebih baik agar bisa memberikan perubahan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wawasan kebangsaan adalah sangat penting dalam membangun karakter bangsa yang pada gilirannya akan menumbuhkan manusia berbudi pekerti luhur yang mampu menjaga wibawa serta kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia.

Insyaallah.