oleh Tom
Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Indonesia tidak boleh
terseret-seret ke kiri atau ke kanan dan ke atas atau ke bawah. Negeri ini
tidak boleh mendukung kebijakan salah satu atau sekelompok negara dalam
percaturan politik atau ekonomi di dunia ini. Kita harus tetap berpijak pada
Proklamasi Kemerdekaan, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila. Setiap tindakan
ataupun kebijakan siapa pun yang berada dalam koridor pilar-pilar kebangsaan
harus kita dukung. Sebaliknya, jika bertabrakan dengan pilar-pilar kebangsaan,
kita pun harus menentangnya. Begitulah setidaknya yang diinginkan para pendiri
Negara Indonesia.
Posisi
Indonesia yang harus selalu berada di tengah dengan pilar-pilar kebangsaan
tersebut, sudah pernah diwujudkan dalam gerakan Nonblok. Negeri ini tidak
berkehendak untuk berada ikut campur dalam pihak-pihak yang bertikai. Kita
harus tetap jernih melihat segalanya dari sudut pandang pilar-pilar kebangsaan.
Kalaupun saat ini pertarungan Barat vs Timur atau kapitalis vs komunis sudah
selesai, tidak berarti nonblok harus bubar. Hal itu disebabkan dunia selalu
diliputi pertentangan. Kita tidak boleh ikut-ikutan dalam pertentangan
tersebut. Sebaiknya, kita harus menjadi kekuatan yang mampu menghentikan
pertentangan yang terjadi. Nilai-nilai keindonesiaan harus dikedepankan, yaitu
kita sangat percaya bahwa penyelesaian di meja perundingan adalah yang terbaik.
Membuka ruang komunikasi adalah yang terbaik, kecuali jika komunikasi sudah
dilakukan, tetapi kejahatan dan keserakahan tetap berlaku zalim, jalan terakhir
adalah perang dan intimidasi.
Posisi
Indonesia yang tetap tegar berada di tengah adalah satu keuntungan besar untuk
mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Di dunia kita akan disegani dan
tidak mudah untuk ditipu atau diseret-seret dalam kepentingan bangsa lain. Di akhirat
kita akan mendapatkan kemuliaan yang sangat tinggi karena dengan jumlah umat
Islam yang terbesar di dunia, Indonesia dituntut menjadi umatan wasathon, ‘umat penengah’, di dalam kancah kehidupan manusia
di dunia.
Apabila
tidak mampu berada di tengah dan jalur kebaikan, kita akan hanya memanen
keburukan demi keburukan seperti yang dialami bangsa-bangsa lain yang sering
sekali tampak kalut, cemas, dan penuh kegelisahan sehingga mudah sekali untuk
bertengkar, berbohong, berkelahi, dan membunuh. Nilai-nilai kebaikan yang kita
miliki dapat menjadi “penyembuh” berbagai kegoncangan saat ini.
Akan
tetapi, untuk mampu “menyembuhkan” orang lain, kita harus kembali dulu pada “jati
diri” sebagai bangsa Indonesia. Kita tidak perlu “mati-matian” berusaha cerdas
seperti negara lain jika harus sering melakukan pertikaian dan keburukan,
tetapi mampu bijak sebagaimana orang Indonesia yang mampu memaksimalkan potensi
yang dimilikinya, baik otak maupun hati, baik lahir maupun batin.
No comments:
Post a Comment