Friday, 29 May 2015

Pendapat Borobudur Dibangun oleh Wangsa Syailendra Harus Digugurkan


oleh Tom Finaldin
 
Bandung, Putera Sang Surya


Ilmu pengetahuan itu harus terbuka untuk diuji. Begitulah aturannya, demikianlah hukumnya. Jika ilmu pengetahuan tidak boleh atau tidak bisa diuji, namanya bukan lagi ilmu pengetahuan, melainkan doktrin yang harus diyakini tanpa diperbolehkan dipertanyakan.


                Ilmu pengetahuan harus terbuka untuk diuji karena harus bermanfaat bagi manusia yang selalu berkembang. Dengan demikian, ilmu pengetahuan akan mendorong manusia untuk dapat hidup lebih bermanfaat dan penuh arti. Adapun doktrin hanya membuat manusia berat untuk melangkah dan menghalangi kehidupan manusia untuk berkembang ke tingkat selanjutnya.


                Pendapat bahwa Borobudur dibangun oleh Wangsa Syailendra merupakan hasil penelitian J.G. de Casparis dalam rangka meraih gelar doktor. Hasil penelitian itu adalah ilmu pengetahuan yang diyakini kebenarannya sepanjang tidak ditemukan bukti baru yang menggugurkan pendapatnya. Apabila ditemukan bukti baru yang lebih baik, lebih ilmiah, dan lebih pasti, pendapat J.G. de Casparis itu wajib gugur, kemudian diganti oleh hasil penelitian terbaru yang menggunakan metode lebih canggih, alat lebih canggih, dan analisis lebih akurat. Begitulah aturannya dalam dunia akademisi. Apabila pendapat J.G. de Casparis itu dianggap final dan tidak boleh ada yang mengganggu-gugat, jatuhlah hasil penelitiannya hanya senilai doktrin penuh dongeng kedustaan. Hasil penelitiannya sudah bukan lagi ilmu pengetahuan, nilainya menjadi sebatas dongeng yang dipaksakan.


                Pada masa ini memang telah ditemukan bukti baru dengan hasil penelitian yang lebih akurat dan pasti oleh K.H. Fahmi Basya. Hasil penelitian terbaru menyatakan bahwa Borobudur itu adalah peninggalan Nabi Sulaiman dalam rangka hubungannya dengan Ratu Balqis. Penelitian itu harus diterima dan menjadi ilmu pengetahuan mutakhir, kecuali ada penelitian lain lagi yang lebih terbaru. Dengan demikian, pendapat J.G. de Casparis harus gugur demi ilmu pengetahuan.


                Apabila kita tidak mau menerima pengetahuan yang lebih terbaru, berarti kita mempertahankan kebodohan dan ketololan yang pada masa depan akan menjadi bahan tertawaan anak cucu kita. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa ditahan. Ia akan terus melaju menggilas orang-orang yang menentangnya.


                Mari kita lihat contoh bagaimana orang-orang yang apabila terus-terusan bertahan pada pengetahuan lama, pada masa depannya ditertawakan orang banyak. Saya punya dua contoh nyata tentang hal ini. Contoh ini bahkan diajarkan di seluruh perguruan tinggi, biasanya dalam mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar.


                Dulu sekali orang-orang sangat percaya bahwa yang namanya “pelangi” adalah jalan yang menghubungkan kehidupan langit dengan kehidupan dunia sekarang ini. Jalan itu digunakan oleh para “bidadari” untuk turun dan naik antara Bumi dan langit dalam menyelesaikan urusannya di Bumi ini. Para bidadari itu ada yang mandi, memberikan berkah, menyuburkan tanaman, dan lain sebagainya. 


                Pada masa lalu sesuai dengan kondisi Iptek saat itu manusia percaya bahwa “pelangi” itu adalah jalannya para “bidadari”. Hal itu menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan tak ada yang membantahnya. Akan tetapi, karena sifat manusia yang selalu ingin tahu, sesuai perkembangan zaman, manusia mempertanyakan lebih jauh mengenai pelangi  dan bidadari itu. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia melakukan banyak penelitian sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang lebih akurat, lebih bisa dipercaya, dan lebih masuk akal. Hasil penemuan terbaru yang diakui sampai saat ini menyatakan bahwa pelangi adalah bias dari sinar matahari yang masuk ke dalam butiran air di langit sehingga menimbulkan spektrum warna tertentu. Warna-warna itu menjadi lebih beraneka ragam ketika sinar matahari meninggalkan butiran-butiran air itu sehingga kita bisa melihatnya sebagaimana pelangi yang biasa terlihat. 


                Pengetahuan tentang pelangi yang terbaru tersebut jelas secara otomatis menggugurkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya. Artinya, ilmu pengetahuan tentang bidadari itu diuji dengan pengetahuan baru dan hasilnya bidadari yang mondar-mandir pada pelangi itu tidak ada. Begitulah yang namanya ilmu pengetahuan harus terbuka untuk diuji. Apabila dia tahan uji, pengetahuan itu tetap diterima karena pengetahuan yang baru tidak membuktikan bahwa pengetahuan yang diujinya itu salah.


                Apabila masih ada saat ini yang mempertahankan ilmu pengetahuan bahwa pelangi itu adalah jalan bagi para bidadari, pasti jadi tertawaan orang banyak serta jelas dianggap kampungan dan bodoh sekali. Bukan soal percaya pada pelangi dan bidadari yang membuatnya menjadi orang bodoh dan tertawaan orang lain, melainkan kedunguannya mempertahankan ilmu pengetahuan lama yang sudah gugur oleh pengetahuan yang baru.


                Contoh lainnya adalah kita tahu bahwa dulu gereja berpandangan bahwa Bumi berbentuk datar seperti tikar dan di ujungnya adalah neraka. Demikian pula Aristoteles berpendapat bahwa Bumi adalah pusat dari tatasurya. Pendapat gereja dan Aristoteles itu diterima sebagai pengetahuan yang sahih dan benar sehingga dunia percaya pada pendapat tersebut. Tak ada yang menolaknya karena belum ada penelitian lain yang menggugurkan pendapat mereka dengan disertai bukti yang kuat. 


Siapa yang akan membantah ketika gereja sangat kuat dan Aristoteles adalah ilmuwan yang sangat dihormati?


Akan tetapi, kebenaran ilmu pengetahuan itu terus berkembang dan menunjukkan jati dirinya. Galileo Galilei memiliki bukti yang lebih akurat bahwa Bumi tidaklah datar sebagaimana pendapat gereja. Di samping itu, ia pun menyatakan bahwa Bumi bukanlah pusat dari sistem tatasurya sebagaimana pendapat Aristoteles. Menurutnya, Bumi adalah bulat dan Matahari merupakan sumber pusat dari sistem tatasurya. Apalagi pendapatnya itu dikuatkan oleh pengalaman Copernicus yang berlayar mengelilingi dunia.


Pendapat yang benar itu tentu saja mendapatkan penentangan dari “orang-orang yang tidak siap” menerima ilmu pengetahuan baru. Akibatnya, pengetahuan yang baru dan lebih benar itu ditolak, dilecehkan, dianggap mengganggu keimanan, dan mengguncangkan keyakinan yang sudah mapan saat itu. Kebodohan dan kedunguan orang-orang itu mengakibatkan keburukan yang lebih serius, yaitu menghukum Galileo Galilei dengan hukuman pengucilan di rumahnya sendiri sampai meninggal. Hal yang lebih memalukan adalah tetap mempertahankan kedunguannya sampai kedunguannya itu benar-benar terhina dan tersingkir. Toh, kita sekarang meyakini bahwa yang namanya Bumi itu bulat dan Matahari merupakan pusat dari tatasurya.


Jika saat ini ada orang-orang yang mempertahankan pendapat lama bahwa Bumi adalah datar di ujungnya ada neraka dan merupakan pusat dari tatasurya, mereka akan menjadi bahan tertawaan. Bahkan, sangat disarankan untuk masuk dalam grup sirkus bersama para simpanse.


Nah, demikian pula dengan Borobudur. Hasil penelitian yang mutakhir dengan bukti-bukti lebih akurat menyatakan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman as dalam hubungannya dengan Ratu Balqis. Hasil penelitian itu menggunakan alat-alat dan hasil analisis yang lebih tinggi dibandingkan dugaan-dugaan J.G. de Casparis. Artinya, pendapat J.G. de Casparis harus gugur diganti oleh pendapat K.H. Fahmi Basya. Bukan hanya pendapat J.G. de Casparis yang harus gugur, melainkan pula pendapat para ahli tafsir yang mengatakan bahwa kisah Nabi Sulaiman as, Ratu Balqis, dan bendungan yang hancur itu terjadi di seputar Yaman. Para ahli tafsir itu juga kan mengemukakan ilmu pengetahuan berdasarkan kelengkapan yang dimiliki mereka saat itu. Ketika pengetahuan mereka diuji dengan pengetahuan yang baru, kemudian terkalahkan, sudah menjadi keharusan pendapat para ahli tafsir itu mendapat perbaikan. Itu namanya ilmu pengetahuan.


Kalau pendapat ahli tafsir itu tidak boleh diuji, sama saja dengan merendahkan ajaran Islam sebagai ajaran logis dan ilmiah. Orang-orang yang bertahan pada pendapat lama sama saja dengan menyudutkan Islam menjadi agama penuh doktrin dan dogmatis yang harus diyakini tanpa proses berpikir. Orang-orang seperti ini akan tergusur dan terhina jika terus tenggelam dalam kebodohannya, pada masa depan akan jadi tertawaan anak-cucunya sendiri.


Orang-orang dungu yang tidak siap dengan pengetahuan baru kata Soekarno sama dengan “kukuk beluk” dan sederajat dengan orang-orang dungu yang mempertahankan bahwa pelangi itu merupakan jalan milik bidadari serta Bumi itu datar di ujungnya adalah neraka dan merupakan pusat dari sistem tatasurya.


Bukalah pikiran kita. Jika kita mendapatkan ilmu pengetahuan baru, uji dengan cara yang ilmiah dengan metode-metode ilmiah. Jangan lantas terkaget-kaget, lalu menolak dengan penuh kedunguan sembari melecehkan kebenaran dengan kata-kata yang tidak ilmiah dan alasan-alasan mirip para perempuan yang sedang bertengkar.


Islam itu penuh dengan ilmu pengetahuan. Dirinya sendiri selalu menantang untuk diuji kapan pun dan oleh siapa pun. Demikian pula, orang Islam harus penuh dengan kesiapan menerima ilmu pengetahuan baru dan siap untuk diuji sekaligus menguji ilmu pengetahuan agar lebih bermanfaat bagi kehidupan orang banyak sehingga dirinya tercatat sebagai orang mulia yang bermanfaat bagi umat manusia, bukannya menghalangi umat manusia mendapatkan pencerahan dan kebaikan. 




No comments:

Post a Comment