oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sudahlah
jujur saja, demokrasi itu tidak bisa menyelesaikan masalah dengan baik. Bahkan,
sistem politik demokrasi itu menimbulkan kekusutan yang panjang serta
pemborosan biaya dan waktu.
Kita
tidak perlu malu untuk menghentikan sistem politik demokrasi. Buktinya sudah
jelas kok, tidak ada negara yang sejahtera lahir dan batin karena demokrasi.
Yang ada pada kalang kabut. Kita pun, Indonesia, sudah melaksanakan lima kali
bentuk demokrasi dan semuanya babak belur. Kita pernah punya volksraad, demokrasi awal kemerdekaan,
Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi pasca-Reformasi. Seluruhnya pada tegang, mudah
bertengkar, dan menyuburkan praktik korupsi.
Jujur
atau tidak, sengaja atau tidak, kita ini seluruhnya sudah menunjukkan diri
sebagai bangsa yang sangat kurang percaya pada demokrasi. Itu bagus. Tinggal
kita menyatakan saja dalam kata-kata, seperti, orang yang sedang jatuh cinta.
Seseorang bisa sangat mencintai seseorang, tetapi cinta itu tidak akan pernah
berjalan baik baik jika tidak diucapkan dengan kata-kata. Keduanya saling
mencintai, tetapi harus diucapkan dengan kata-kata sebagai bentuk penegasan
yang nyata.
Kita
bisa lihat semakin menurunnya kepercayaan kita terhadap demokrasi, tetapi masih
malu-malu dan pengecut untuk tegas menyatakan diri tidak percaya pada
demokrasi. Dari jumlah pemilih di masyarakat sudah jelas angka Golput dan angka
antipati masyarakat terhadap partai sangatlah tinggi. Dari tingkat elit pun
demikian, lihat saja partai-partai besar itu memilih ketuanya dengan cara
aklamasi. Megawati, SBY, dan Abu Rizal Bakrie tetap menjadi ketua-ketua partai.
Saya melihat baik mereka, maupun para pendukungnya masih menginginkan keadaan
yang tetap dan berkembang di bawah kepemimpinan yang sama yang jauh lebih paham
dan lebih berpengalaman dibandingkan orang-orang lain. Partai Amanat Nasional
memang ketuanya berganti-ganti, tetapi semua orang tahu bahwa the real leader adalah tetap Amien Rais.
Jangan bohong, hal itu tidak bisa dipungkiri.
Mereka
tetap menjadi ketua bukanlah karena rakus kekuasaan. Saya sama sekali tidak
melihat itu dari mereka, tetapi mereka ingin tetap menjaga organisasinya tetap
solid dan maju lebih berkembang sebagaimana tujuan awal mereka berdiri sebagai
suatu organisasi. Mereka atau orang lain boleh berkilah masih percaya demokrasi
dan mereka menjadi ketua tetap berada dalam koridor demokrasi. Kalimat itu
hanya menutupi diri dari rekayasa yang dilakukan dalam proses demokrasi agar
hasilnya tetap sebagaimana yang direncanakan. Pihak-pihak lain menuding mereka
tidak demokratis. Itu bisa saja. Akan tetapi, yang pasti adalah mereka tidak
percaya bahwa organisasinya akan lebih baik jika dipimpin orang lain.
Demikian
pula Sultan Hamengkubuwono X yang sekarang menjadi Sultan Hamengkubawono X
mengeluarkan sabda raja yang mungin dituding tidak demokratis. Dia sama sekali
tidak tampak sebagai orang yang rakus kekuasaan, tetapi dia merasa bahwa dia
harus melakukan sesuatu yang tegas dan jelas agar tidak terjadi keburukan yang
sangat tidak diharapkan.
Mereka
melakukan aklamasi karena di samping hemat biaya, hemat waktu, juga
meminimalisasi keburukan yang akan terjadi. Sudahlah akui saja, demokrasi itu
sama sekali tidak beradab. Plato juga menghinanya karena demokrasi itu sedikit
saja mudah tergelincir ke arah anarkis. Jangan sok sok pandai, jangan sok sok
mengikuti isu internasional. Biar saja negara lain hidup dengan caranya. Kita
pun hidup dengan cara kita sendiri.
Apakah
kalian tidak bisa melihat Arab Saudi atau Brunai Darussalam yang lebih makmur
dan lebih aman dibandingkan kita? Padahal, mereka tidak berdemokrasi.
Kita
yang sok intelek malah mengikuti jejak negara-negara yang gemar berperang dan
bertengkar. Ngapain sih?
Jika
kita memelihara demokrasi, sama saja dengan membiarkan orang-orang goblok
berkeliaran karena ambisi kekuasaan dan membuka jalan pada orang-orang bodoh
untuk duduk di legislatif sehingga mudah ditunggangi kepentingan asing.
Orang-orang kapitalis itu senang dengan demokrasi di Indonesia karena mereka
bisa sangat mempengaruhi orang-orang bodoh yang memiliki kewenangan dalam
menentukan undang-undang. Akibatnya, undang-undang yang tersusun di dalamnya
sudah termasuk “pesanan” orang-orang yang sama sekali tidak mencintai
Indonesia, tetapi hanya mencintai uang dan kekuasaan.
Sudahlah
jangan mencla-mencle, jangan
berputar-putar, bilang aja demokrasi itu membahayakan kita. Susah amat sih.
Emangnya takut sama siapa? Malu? Gak perlu malu. Berdiri saja dengan penuh
keyakinan dan cinta. Mudah-mudahan Allah swt memberikan pengetahuan dan
kekuatan pada kita jika memang benar-benar ingin hidup lebih baik lagi di dunia
maupun di akhirat.
Amin
No comments:
Post a Comment