Wednesday, 13 May 2015

Jangan Malu Menghentikan Demokrasi


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


            Sudahlah jujur saja, demokrasi itu tidak bisa menyelesaikan masalah dengan baik. Bahkan, sistem politik demokrasi itu menimbulkan kekusutan yang panjang serta pemborosan biaya dan waktu. 


            Kita tidak perlu malu untuk menghentikan sistem politik demokrasi. Buktinya sudah jelas kok, tidak ada negara yang sejahtera lahir dan batin karena demokrasi. Yang ada pada kalang kabut. Kita pun, Indonesia, sudah melaksanakan lima kali bentuk demokrasi dan semuanya babak belur. Kita pernah punya volksraad, demokrasi awal kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi pasca-Reformasi. Seluruhnya pada tegang, mudah bertengkar, dan menyuburkan praktik korupsi.


            Jujur atau tidak, sengaja atau tidak, kita ini seluruhnya sudah menunjukkan diri sebagai bangsa yang sangat kurang percaya pada demokrasi. Itu bagus. Tinggal kita menyatakan saja dalam kata-kata, seperti, orang yang sedang jatuh cinta. Seseorang bisa sangat mencintai seseorang, tetapi cinta itu tidak akan pernah berjalan baik baik jika tidak diucapkan dengan kata-kata. Keduanya saling mencintai, tetapi harus diucapkan dengan kata-kata sebagai bentuk penegasan yang nyata.


            Kita bisa lihat semakin menurunnya kepercayaan kita terhadap demokrasi, tetapi masih malu-malu dan pengecut untuk tegas menyatakan diri tidak percaya pada demokrasi. Dari jumlah pemilih di masyarakat sudah jelas angka Golput dan angka antipati masyarakat terhadap partai sangatlah tinggi. Dari tingkat elit pun demikian, lihat saja partai-partai besar itu memilih ketuanya dengan cara aklamasi. Megawati, SBY, dan Abu Rizal Bakrie tetap menjadi ketua-ketua partai. Saya melihat baik mereka, maupun para pendukungnya masih menginginkan keadaan yang tetap dan berkembang di bawah kepemimpinan yang sama yang jauh lebih paham dan lebih berpengalaman dibandingkan orang-orang lain. Partai Amanat Nasional memang ketuanya berganti-ganti, tetapi semua orang tahu bahwa the real leader adalah tetap Amien Rais. Jangan bohong, hal itu tidak bisa dipungkiri. 


            Mereka tetap menjadi ketua bukanlah karena rakus kekuasaan. Saya sama sekali tidak melihat itu dari mereka, tetapi mereka ingin tetap menjaga organisasinya tetap solid dan maju lebih berkembang sebagaimana tujuan awal mereka berdiri sebagai suatu organisasi. Mereka atau orang lain boleh berkilah masih percaya demokrasi dan mereka menjadi ketua tetap berada dalam koridor demokrasi. Kalimat itu hanya menutupi diri dari rekayasa yang dilakukan dalam proses demokrasi agar hasilnya tetap sebagaimana yang direncanakan. Pihak-pihak lain menuding mereka tidak demokratis. Itu bisa saja. Akan tetapi, yang pasti adalah mereka tidak percaya bahwa organisasinya akan lebih baik jika dipimpin orang lain.


            Demikian pula Sultan Hamengkubuwono X yang sekarang menjadi Sultan Hamengkubawono X mengeluarkan sabda raja yang mungin dituding tidak demokratis. Dia sama sekali tidak tampak sebagai orang yang rakus kekuasaan, tetapi dia merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu yang tegas dan jelas agar tidak terjadi keburukan yang sangat tidak diharapkan.


            Mereka melakukan aklamasi karena di samping hemat biaya, hemat waktu, juga meminimalisasi keburukan yang akan terjadi. Sudahlah akui saja, demokrasi itu sama sekali tidak beradab. Plato juga menghinanya karena demokrasi itu sedikit saja mudah tergelincir ke arah anarkis. Jangan sok sok pandai, jangan sok sok mengikuti isu internasional. Biar saja negara lain hidup dengan caranya. Kita pun hidup dengan cara kita sendiri.


            Apakah kalian tidak bisa melihat Arab Saudi atau Brunai Darussalam yang lebih makmur dan lebih aman dibandingkan kita? Padahal, mereka tidak berdemokrasi.


            Kita yang sok intelek malah mengikuti jejak negara-negara yang gemar berperang dan bertengkar. Ngapain sih?


            Jika kita memelihara demokrasi, sama saja dengan membiarkan orang-orang goblok berkeliaran karena ambisi kekuasaan dan membuka jalan pada orang-orang bodoh untuk duduk di legislatif sehingga mudah ditunggangi kepentingan asing. Orang-orang kapitalis itu senang dengan demokrasi di Indonesia karena mereka bisa sangat mempengaruhi orang-orang bodoh yang memiliki kewenangan dalam menentukan undang-undang. Akibatnya, undang-undang yang tersusun di dalamnya sudah termasuk “pesanan” orang-orang yang sama sekali tidak mencintai Indonesia, tetapi hanya mencintai uang dan kekuasaan.


            Sudahlah jangan mencla-mencle, jangan berputar-putar, bilang aja demokrasi itu membahayakan kita. Susah amat sih. Emangnya takut sama siapa? Malu? Gak perlu malu. Berdiri saja dengan penuh keyakinan dan cinta. Mudah-mudahan Allah swt memberikan pengetahuan dan kekuatan pada kita jika memang benar-benar ingin hidup lebih baik lagi di dunia maupun di akhirat.
      
                 Amin

No comments:

Post a Comment