oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sudah berkali-kali
sebenarnya saya menulis bahwa Masjid Al Aqsha di Palestina itu bukanlah masjid
yang dimaksud Allah swt di dalam Al Quran. Allah swt tidak pernah menyatakan
bahwa Masjid Al Aqsha itu berada di Palestina. Orang-orang hanya menduga bahwa
masjid tersebut adalah berada di Palestina sebagaimana yang diyakini hingga
hari ini. Dugaan tersebut bisa dipahami dan tidak mengandung dosa sepanjang
belum ada keterangan yang nyata tentang masjid tersebut. Akan tetapi, jika
sudah ada keterangan yang jelas dan benar, keyakinan itu pun harus segera diubah
karena jika dipertahankan, akan menjadi dosa.
Mengapa mesti malu untuk mengubah keyakinan jika sudah
jelas keyakinan itu salah?
Memang sulit mengubah keyakinan jika sudah berurat
berakar dan tertanam dalam aliran darah. Hal seperti ini pernah ditegaskan oleh
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno bahwa keyakinan yang sudah
tumbuh subur dalam urat-urat darah sangat sulit untuk diubah. Ia menjelaskan
bahwa betapa susahnya menyadarkan bangsa Indonesia untuk bersatu dan berjuang
melawan penjajahan. Bangsa Indonesia yang sudah terlalu lama dijajah memiliki
keyakinan bahwa dirinya adalah bangsa rendahan dan percaya bahwa dirinya harus
selalu hidup dituntun oleh orang-orang Barat dan kaum penjajah. Sampai hari ini
pun mental-mental terjajah masih ada dalam diri banyak orang yang ditandai
dengan selalu membangga-banggakan orang Barat yang sebetulnya telah menunjukkan
perilakunya yang jahat dan membingungkan. Oleh sebab itu, Soekarno saking
kesalnya pernah melabeli rakyat Indonesia sebagai 100 persen rakyat kelas kambing. Ia menggunakan istilah kambing
untuk menunjukkan bahwa betapa bodohnya bangsa Indonesia yang selalu dengan
mudah dan rela ditarik hidungnya kesana-kemari oleh kaum Barat. Bahkan,
Soekarno pun pernah mengejek bangsa Indonesia sebagai kukuk beluk. Gambaran kukuk beluk adalah sejenis unggas yang jika
sudah lama dikurung dalam kegelapan kandang, akan blingsatan dan ribut tidak
karuan jika mendapatkan cahaya. Begitu juga rakyat Indonesia yang ketika
Soekarno menyadarkannya untuk segera bangkit melawan penjajahan, malah berbalik
menyerang dan mengejek Soekarno sebagai “pembuat keonaran” dan melakukan
tindakan “ada-ada saja”. Hal itu disebabkan rakyat sudah mati harga dirinya dan
hanya rela patuh dengan yakin kepada para penjajah.
Bukan hanya bangsa Indonesia yang bersikap seperti itu.
Semua manusia pun di dunia ini selalu bersikap sama jika telah terlalu lama
hidup dalam keyakinannya meskipun keyakinannya tersebut merupakan kesalahan.
Dengan melihat pengalaman Soekarno seperti itu, tak heran jika kaum muslimin di
dunia ini banyak yang masih percaya bahwa Masjid Al Aqsha itu adalah yang
berada di Palestina itu. Hal itu disebabkan sudah terlalu lama yakin bahwa
kebohongan itu adalah kebenaran. Hanya orang-orang yang pikirannya bersedia
terbuka yang mampu menerima kebenaran.
Menggunakan
Al Quran sebagai Alat Analisis
Mari kita gunakan Al Quran
untuk menganalisa kebenaran tentang Masjid Al Aqsha.
Al Quran adalah kumpulan wahyu yang disampaikan Allah swt
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk diberitakan kepada
seluruh manusia. Di dalamnya terdapat berita mengenai perjalanan Nabi Muhammad
saw dari Mekah ke Masjidil Aqsha. Perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad saw
tersebut terjadi pada 620 Masehi. Berikut salah satu ayatnya.
“Mahasuci (Allah)
yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia
Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Al Isra 17 : 1)
Mari kita lihat bagaimana kondisi Masjidil Aqsha yang
berada di Palestina itu pada 620 Masehi ketika peristiwa Isra Miraj terjadi.
Duh, ternyata, sayang sekali Saudara-saudara, Masjidil
Aqsha yang di Palestina itu tidak ada. Sama sekali tak ada masjid di tempat itu
pada 620 Masehi. Jadi, tak ada yang bisa dilihat di sana karena memang tak ada
masjid.
Pertanyaannya, mungkinkah Allah swt Yang Mahaagung,
Mahamulia, dan Mahabenar itu memperjalankan Nabi Muhammad saw dari Mekah ke
Palestina untuk mengunjungi masjid yang tidak ada?
Mustahil!
Orang boleh berkilah bahwa Allah swt Mahatahu bahwa pada
638 M akan dibangun masjid oleh Umar bin Khattab. Jadi, memang benar bahwa
Masjidil Aqsha di Palestina itu adalah penghentian perjalanan Nabi sebelum mendapat
perintah shalat. Pendapat itu sangat keliru dan menggelikan. Hal itu disebabkan
masjid yang dinamai Al Aqsha itu banyak tersebar di seluruh di negeri-negeri
muslim.
Mengapa harus masjid yang di Palestina yang dimaksud
Allah swt, bukan yang di tempat-tempat lain?
Mengapa bukan Al Aqsha yang ini? Ini ada di Bandung, Jawa Barat Indonesia |
Apa dasar untuk meyakini bahwa masjid yang dimaksud Allah
swt itu yang berada di Palestina?
Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa siapa pun
yang bersikukuh mempertahankan pendapat bahwa masjid yang dimaksud Allah swt
itu adalah masjid yang berada di Palestina adalah sama dengan “berbohong dengan
menggunakan nama Allah swt”. Hal itu disebabkan saat terjadi peristiwa Isra
Miraj Nabi Muhammad saw di area itu sama sekali tidak ada masjid. Mustahil
Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw menuju masjid yang tidak ada.
Menggunakan
Perilaku Romawi sebagai Alat Analisis
Ketika terjadi peristiwa
Isra Miraj, Yerusalem masih dikuasai oleh Kerajaan Romawi, termasuk area yang
diklaim sebagai area yang sekarang berdiri Masjid Al Aqsha. Romawi berkuasa di
sana sejak 63 SM s.d. 636 M. Isra Miraj sendiri terjadi pada 620 M ketika area
itu masih sangat dikuasai oleh pasukan Romawi dan tidak ada bangunan masjid.
Mungkinkah Allah swt menempatkan Nabi Muhammad saw pada
area yang dikuasai penuh oleh pasukan Romawi?
Apa yang terjadi terhadap Nabi Muhammad saw jika
benar-benar diturunkan di sana yang secara teratur diawasi patroli Romawi?
Orang boleh berkilah dengan berkhayal bahwa Isra Miraj
itu terjadi pada malam hari. Saat itu pasukan dan penduduk Romawi sedang pada
nyenyak molor, sebagian pasukan patroli sedang main gapleh, sebagian lagi
sedang catur, sebagian lagi sedang mabuk-mabukan dan melacur. Berkhayal sih
boleh-boleh saja, tetapi itu kan hanya khayalan, bukan kenyataan.
Apabila kita melihat perilaku Romawi, kehadiran Nabi
Muhammad saw di tempat itu sangat mustahil terjadi. Romawi itu kerajaan yang
sangat besar dan kuat. Mereka memiliki tentara yang kuat dengan disiplin
tinggi. Romawi adalah kerajaan yang lebih tertib dibandingkan komunitas manusia
lainnya yang berada di sekelilingnya. Di samping itu, menurut S.H. Alatas, Romawi
adalah kerajaan yang gemar sekali berpesta. Hal itu disebabkan memang pesta
menjadi alat politik untuk “mengalihkan perhatian” masyarakat dari berbagai
kekurangan atau kecurangan yang ada dalam pemerintahan kerajaan Romawi. Bahkan,
rakyat yang berada di bawah kekuasaan Romawi selalu menilai bagus-tidaknya
pemimpin adalah dari seberapa banyaknya Sang Pemimpin mampu mengadakan
pesta-pesta besar bagi rakyatnya. Artinya, dengan kekuatan pasukan yang
berdisiplin tinggi dan kegemaran berpesta, siang malam hampir tidak ada
bedanya. Mereka selalu ramai dengan berbagai keriuhan.
Mungkinkah Allah swt menempatkan Nabi Muhammad saw di
tempat orang-orang yang gemar berpesta dan diawasi oleh patroli Romawi yang
kuat?
Tidak mungkin Saudara. Lagian, Isra Miraj itu adalah
perjalanan untuk mendapatkan perintah shalat yang sudah pasti harus di tempat
yang tenang, khidmat, dan penuh dengan kekhusyukan.
Kesemrawutan
Sejarah
Sejarah mengenai area yang
diklaim sebagai tempat pemberhentian Nabi Muhammad saw tersebut sangat
semrawut, kacau balau, tak ada yang bisa dijadikan pegangan. Para peneliti
selalu memiliki versi yang berbeda mengenai tempat tersebut. Kalau bedanya
sedikit-sedikit sih, masih bisa ditarik benang merah atau kesamaan dari
pendapat para peneliti itu. Akan tetapi, ternyata bukan hanya berbeda versi,
melainkan pula saling bertolak belakang. Dengan demikian, kita sangat kesulitan
mendapatkan keseragaman dari berbagai hasil penelitian tersebut. Hasil
penelitian yang satu menolak hasil yang lainnya. Oleh sebab itu, saya tidak
ingin menuliskan sejarah tempat itu karena saking kalang kabutnya keterangan.
Dari berbagai versi sejarah yang kacau balau itu, ada
satu nama yang lebih sering disebut-sebut, yaitu Umar bin Khattab ra. Meskipun
demikian, ada versi lain yang menyanggah peran Umar bin Khattab di area
tersebut.
Apabila dilihat lebih saksama, kekacauan sejarah tempat
tersebut disebabkan adanya motif-motif politik dan ekonomi dari berbagai pihak
yang ingin mengeruk keuntungan dari tempat tersebut. Motif-motif murahan ini
mengacaukan pula sejarah Islam di seluruh dunia.
Peran Umar bin Khattab ra di tempat itu adalah setelah pasukan
muslim berhasil mengalahkan Kerajaan Romawi, mencari tempat untuk shalat. Lalu,
Umar ra menemukan tempat yang tepat. Di sanalah Umar ra membangun masjid kecil
yang dinamai Masjid Umar pada 638 M.
Namanya bukan Masjid Al Aqsha, melainkan Masjid
Umar. Masjid kecil inilah yang kemudian dikembangkan dan diubah namanya
menjadi Masjid Al Aqsha pada dinasti berikutnya.
Pada saat Umar ra melakukan shalatnya yang pertama tanpa
masjid di tempat ini pun sudah terjadi kesemrawutan sejarah. Kisah yang dialami
Umar ra pun saling bertolak belakang. Ada yang mengatakan di sana sudah ada gereja,
ada yang mengatakan bukan gereja, tetapi kuil, ada pula yang mengatakan bahwa
di sana hanya ada reruntuhan puing-puing bangunan. Demikian pula mengenai siapa
yang melakukan pembangunan selanjutnya dalam memperluas Masjid Umar ini hingga
menjadi Masjid Al Aqsha, banyak sekali versinya. Benar-benar semrawut.
Berawal
dari Khayalan
Sesungguhnya, dari sejak
dulu pun sudah banyak akademisi yang mempertanyakan kebenaran Masjid Al Aqsha
ini. Para akademisi ini melihat adanya motif-motif politik dalam mengisahkan
Masjid Al Aqsha di Palestina ini sehingga melebihi keterangan Al Quran atau
lebih tepatnya saya mengistilahkan sebagai “membelokkan maksud” dari apa yang
sebenarnya dimaksudkan Allah swt sendiri di dalam Al Quran.
Pada masa Dinasti Umayah di Timur Tengah berkembang
sebuah genre sastra tertentu, yaitu Al Fadhail yang mengisahkan sejarah
kota-kota. Kaum muslimin yang tertarik pada bidang sastra terinspirasi oleh
genre sastra tersebut. Kemudian, membuat banyak kisah khayalan yang berakibat
pada terangkatnya status Kota Yerusalem yang sebenarnya tidak ada di dalam Al
Quran maupun Hadits. Para akademisi pun mencium adanya kesengajaan dari Dinasti
Umayah untuk memperkuat posisi politik dengan mengangkat Yerusalem sebagai Kota
Suci umat Islam. Khayalan para penyair inilah yang memperkuat keyakinan umat
Islam terhadap Masjid Al Aqsha sebagai masjid pemberhentian Nabi Muhammad saw
ketika Isra Miraj. Padahal, itu hanya khayalan.
Bukan hanya para penyair yang membuat runyam sejarah
Islam dan kebenaran Islam, melainkan pula para ahli tafsir dan para sufi yang
gemar berkhayal penuh imajinasi takhayul. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan
oleh Muhammad Husein Haekal yang
menyusun biografi Nabi Muhammad saw dengan judul Sejarah Hidup Muhammad. Haekal melihat bahwa banyak sekali ahli
tafsir dan sufi yang mengisahkan tentang Muhammad saw berdasarkan imajinasinya
sendiri tanpa menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula. Bahkan, menurutnya sangat banyak
penulis muslim yang menulis tentang Nabi Muhammad saw berdasarkan
tulisan-tulisan nonmuslim yang sesungguhnya sedang menyerang Nabi Muhammad saw
sendiri. Hasil kerja Muhammad Husein Haekal mendapatkan dukungan penuh dari
ulama besar Indonesia sekaligus cendekiawan papan atas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Hamka.
Motif
Politik dan Ekonomi
Tadi sudah dijelaskan bahwa
para akademisi masa lalu pun sudah mencium adanya kesengajaan Dinasti Umayah
mengangkat Yerusalem sebagai Kota Suci umat Islam adalah untuk memperkokoh
posisi politiknya. Pada masa kini pun motif politik penyebaran isu bahwa Yerusalem
merupakan Kota Suci umat Islam dan Masjid Al Aqsha adalah tempat pemberhentian
Nabi Muhammad saw ketika Isra Miraj terlihat jelas dari terbentuknya Organisasi
Konferensi Islam (Oki) pada 1971 gara-gara pembakaran Masjid Al Aqsha pada 21
Agustus 1969.
Motif ekonomi dari dibangunnya khayalan tersebut lebih
mudah dapat dipahami. Dengan diyakininya Yerusalem sebagai Kota Suci umat Islam
dan Nabi Muhammad berhenti di sana, kaum muslimin akan berduyun-duyun
berdatangan ke sana dan itu adalah keuntungan melalui sektor pariwisata.
Kehadiran kaum muslimin ke sana pun bukan hanya menguntungkan sesama muslim,
melainkan pula menguntungkan Israel dan wilayah-wilayah lain yang berbatasan
dengan tempat itu. Yang namanya wisata kan pasti mengeluarkan uang untuk biaya
macam-macam dan juga belanja.
Di samping itu, motif politik dan motif ekonomi tersebut
selalu dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani Najran ketika pada masa
Nabi Muhammad saw masih hidup. Asbabun Nuzul QS Al Baqarah 2 : 120 dalam Tafsir Quran Per Kata: Dilengkapi Asbabun Nuzul & Terjemah yang
disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A. menyebutkan Ibnu
Abbas ra menjelaskan bahwa kaum Yahudi
dan Nasrani Najran mengharapkan Rasulullah saw shalat menghadap kiblat mereka.
Kiblat Yahudi dan Nasrani Najran itu berada pada satu tempat yang sama, yaitu
di tempatnya yang sekarang berdampingan dengan Masjid Al Aqsha. Dalam
perhitungan manusia, jelas sekali jika di tempat itu bergabung tiga kiblat
agama besar dunia, keuntungan politik dan ekonomi akan didapatkan dengan sangat
besar berlimpah ruah. Hal itu menunjukkan bahwa khayalan para penulis muslim
zaman Dinasti Umayah mengenai kesucian Yerusalem mendapatkan dukungan pula dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sangat terang benderang pula bahwa pembangunan khayalan
Yerusalem adalah Kota Suci bagi tiga agama besar dunia, yaitu Islam, Kristen,
dan Yahudi diharapkan menyedot perhatian dunia yang ujung-ujungnya orang-orang
akan datang berziarah untuk menghasilkan keuntungan ekonomi berlipat-lipat
melebihi Kota Mekah. Sejak dulu memang banyak orang yang iri terhadap Mekah dan
bangunan Kabah yang suci itu. Hal itu disebabkan orang-orang dari berbagai
belahan dunia tujuannya selalu mengarah ke rumah purba Kabah sebagai tempat
memuja Tuhan. Banyak sekali negeri yang membangun tempat ibadat untuk menyaingi
Mekah agar orang-orang tujuannya tidak selalu ke Kabah, tetapi ke tempat ibadat
yang lebih dekat, yaitu di negeri mereka sendiri, termasuk di Thaif. Akan
tetapi, bangunan-bangunan peribadatan itu sama sekali tidak membuat orang-orang
merasa tertarik. Hatinya selalu tertuju ke Kabah. Raja Abraha dari Yaman pun sempat
dibuat sangat marah terhadap bangunan Kabah. Pasalnya, ia telah membuat
bangunan peribadatan yang lebih megah dan modern di Yaman agar orang-orang
berpaling dari Kabah dan menuju Yaman. Akan tetapi, usahanya itu sia-sia, rumah
ibadat yang dibangunnya sama sekali tidak dilirik orang. Oleh sebab itu, ia
dengan pasukan gajahnya berniat menghancurkan Kabah tanpa sisa agar tak ada
tujuan yang ingin didatangi orang-orang. Dia berharap setelah Kabah hancur,
orang-orang akan mendatangi rumah ibadat yang telah dibangunnya di Yaman. Akan
tetapi, Allah swt menggagalkannya dengan mengirimkan burung-burung yang membawa batu panas dari neraka. Burung yang
membawa batu panas dari neraka itu sebenarnya
kuman yang membawa penyakit dari arah laut dan terbang bersama angin menuju ke
perkemahan Abraha. Hasilnya, seluruh pasukan Abraha kocar-kacir dilanda
wabah cacar yang sangat panas dan menular sangat cepat dalam waktu yang teramat
singkat. Abraha sendiri terkena penyakit itu dan kabur sampai berhasil pulang
ke Yaman, tetapi nyawanya tidak tertolong. Ia pun mati di Yaman karena serangan
cacar yang panas dan ganas mematikan.
Demikian pula dengan Yerusalem. Dengan terbangunnya
pikiran dunia bahwa kota itu adalah Kota Suci tiga agama besar dunia,
keuntungan ekonomi yang didapat akan sangat berlimpah. Akan tetapi, sayang
sekali, itu hanya khayalan yang menjadi dusta, bukannya keuntungan ekonomi
berlipat yang didapatkan, melainkan huru hara dan berbagai aksi pembunuhan yang
selalu menjadi pusat perhatian dunia.
Berapa nyawa manusia yang melayang di sana dari zaman ke zaman
hingga hari ini?
Berapa banyak kerusakan yang telah melanda wilayah itu?
Kedamaian apa yang telah terjadi di sana?
Bahagiakah mereka?
Masa ada Kota Suci, tetapi kehidupannya dipenuhi
pertumpahan darah, kebencian, kecemasan, dan kekalutan.
Berhenti dari kedustaan!
Allah
swt Membenci Kebohongan
Al
haqu mirobbika, “kebenaran itu datang dari Tuhan-mu”. Kebenaran
adalah Allah swt. Oleh sebab itu, Allah swt sangat membenci kebohongan dan
kedustaan.
Manusia boleh menginginkan langgengnya kekuasaan politik
dengan berdusta, tetapi hasilnya pasti adalah kekalahan. Manusia boleh
menginginkan keuntungan ekonomi berlimpah ruah dengan kebohongan, tetapi
hasilnya pasti kehancuran.
Lihat Organisasi Konferensi Islam, berhasilkah?
Kalau
dasarnya adalah khayalan yang telah menjadi dusta, hanya kebencian Allah swt
yang akan datang dan memang sudah datang. Jangan harap pertolongan Allah swt akan
tiba jika masih mendasarkan diri pada kebohongan. Tak ada kebahagiaan di sana
jika kebohongan masih menempel di tempat itu. Tak mungkin Allah swt
menganugerahkan kemenangan dan kebahagiaan hakiki atas dasar kedustaan.
Masjid Al Aqsha di Palestina itu bukanlah masjid yang
dimaksud Allah swt dalam Al Quran. Kalau masih bersikukuh dengan hal palsu,
sama artinya dengan menipu manusia dengan dalih bahwa hal itu berasal dari
Allah swt. Dosa besar. Jangan bermimpi mendapatkan kemenangan jika masih
percaya pada kepalsuan. Nikmatilah kesedihan dan ketidakamanan karena telah
menggunakan kebohongan untuk kepentingan duniawi yang rendah.
Allah swt sudah mengingatkan hal ini dalam Al Quran Surat
Al Baqarah ayat 120:
“…. Dan jika engkau
mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan
ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”
Jika masih mengikuti
khayalan para penyair yang mendapatkan dukungan penuh dari kaum Yahudi dan
Nasrani, Allah swt akan membiarkan kaum muslimin menderita tanpa ada seorang
pun yang mampu memberikan perlindungan dan pertolongan. Hanya Allah swt sajalah
yang sangat mampu memberikan perlindungan dan pertolongan bagi kaum muslimin
dengan cara-Nya sendiri. Akan tetapi, perlindungan dan pertolongan Allah swt
itu datang setelah kaum muslimin menyadari kesalahannya dan menghentikan
menyandarkan diri pada kebohongan serta berhenti dari upaya mendapatkan
keuntungan melalui kedustaan.
Khusus bagi Indonesia, hendaknya segera mengubah
pandangannya. Pembelaan terhadap Palestina seharusnya bukan karena “khayalan”
bahwa Nabi Muhammad saw pernah berada di sana saat Isra Miraj, melainkan karena
amanat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Kalimat dalam
Pembukaan UUD 1945 tersebut sesungguhnya lebih suci dan lebih diridhoi Allah
swt daripada kebohongan tentang Yerusalem. Oleh sebab itu, alinea-alinea
berikutnya lebih masuk akal dan lebih sakral dengan menyatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia itu dihasilkan oleh atas
rahmat Allah swt dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur.
Keyakinan yang tulus
terhadap rahmat Allah swt dan keinginan yang luhur dari segenap bangsa
Indonesia menjadikan Allah swt benar-benar ridho terhadap kemerdekaan Indonesia
karena tak ada kedustaan di sana. Berbeda jika keinginan untuk merdeka sangat
besar, tetapi mendasarkan diri pada khayalan yang telah menjadi kebohongan,
rahmat Allah swt pun tak akan ada di sana. Hal itu disebabkan Allah swt tak
akan pernah meridhoi segala bentuk kebohongan yang diniatkan untuk mendapatkan
keuntungan politik dan ekonomi.
The
Real Al Aqsha
Kaum muslimin seluruh dunia
harus menyiapkan mental untuk membuka diri, pikiran, dan perasaan bahwa
sesungguhnya yang dimaksud Masjidil Aqsha oleh Allah swt dalam Al Quran adalah Candi Borobudur. Masjidil Aqsha itu
adalah istilah yang digunakan Allah swt dalam Al Quran yang artinya “masjid
terjauh”. Istilah yang digunakan kita adalah Candi Borobudur. Hal ini
sebagaimana bahasa Allah swt yang menyebutkan bahwa Raja Abraha diserang oleh burung-burung yang membawa batu panas dari
neraka. Dalam pandangan manusia Raja Abraha diserang oleh kuman yang membawa penyakit yang terbang
bersama angin dari arah laut sehingga menimbulkan penyakit cacar yang panas dan
ganas serta menular dalam waktu teramat singkat. Itu berdasarkan penelitian
Muhammad Husein Haekal dalam Sejarah
Hidup Muhammad. Artinya, Al Aqsha dan Candi Borobudur itu adalah tempat
yang sama. Demikian pula bahwa burung-burung itu adalah kuman, batu panas dari
neraka adalah materi penyakit cacar yang panas dan ganas.
Kalau ingin mengetahui kebenaran Borobudur adalah Al
Aqsha bisa dipelajari dari hasil penelitian K.H. Fahmi Basya. Dia adalah
ilmuwan hebat yang menerangkan secara ilmiah.
Kalau saya sendiri berdasarkan pengalaman spiritual dan
pengetahuan yang diberikan Allah swt. Saya memang mengalami pengalaman
spiritual di Candi Borobudur sekitar 1998.
Nggak percaya?
It’s oke. No
problem.
Kalian boleh menganggap saya mengada-ada atau
mengaku-aku. Nggak ada masalah. Kalian juga boleh mengatakan saya pembohong dan
penipu. Bahkan, kalau ada yang mengatakan saya sesat dan menyesatkan orang lain,
juga boleh-boleh saja. Saya senang jika disebut sesat dan terbukti memang
sesat. Jika saya adalah sesat secara meyakinkan, saya bisa memperbaiki diri.
Akan tetapi, jika kalian mengatakan saya sesat tanpa ada bukti kecuali
bahasa-bahasa bodoh, kalianlah yang sesungguhnya yang tersesat. Kalianlah yang
sesungguhnya manusia-manusia sesat dan hina, baik di dunia sekarang ini maupun
di akhirat nanti jika tidak berhenti dari kesesatan kalian.
Sekarang, perhatikan ini!
“Mahasuci (Allah)
yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia
Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Al Isra 17 : 1)
Dalam banyak kitab terjemahan Al Quran, selalu dimuat
tafsir dari kalimat “Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya”. Kalimat itu ditafsirkan bahwa Masjidil
Aqsha di Palestina itu diberikan berkah
dengan banyaknya nabi di sana dan tanah yang sangat subur.
Jika disebutkan di sana banyak terdapat nabi, mungkin
iya. Akan tetapi, mungkin juga tidak benar. Hal yang patut diperhatikan adalah
di wilayah-wilayah yang mengelilingi Candi Borobudur juga terdapat banyak nabi.
Bahkan, Candi Borobudur sendiri dibangun oleh Nabi Sulaiman as. Di Indonesia
ini banyak sekali nabi. Hal itu diisyaratkan sendiri oleh Allah swt bahwa nabi
itu diutus dengan menggunakan bahasa
kaumnya.
Ada berapa ratus kaum dan bahasa di Indonesia?
Sebanyak itu pulalah nabi yang diutus Allah swt ke
Indonesia.
Ada berapa ribu kaum dan bahasa di seluruh dunia?
Sebanyak itu pulalah nabi yang diutus Allah swt ke
seluruh dunia.
Nabi-nabi itu ada yang dicatat dalam Al Quran dan ada
pula yang tidak. Nabi-nabi yang dicatat dalam Al Quran ada 25 nabi. Adapun yang
tidak tercatat dalam Al Quran ada dalam ayat-ayat kauniyah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bukanlah suatu
keistimewaan yang khusus bagi Yerusalem dengan adanya nabi-nabi di sana karena
di luar Yerusalem justru lebih banyak nabi.
Lantas, menurut para ahli tafsir, di seputar Masjidil
Aqsha di Palestina itu diberkahi dengan tanahnya yang subur.
Oh, ya?
Betulkah?
Sesubur apa sih tanah di sekelilingnya itu?
Apa saja yang dihasilkan di tanah yang katanya subur itu?
Apa bedanya dengan tanah di seputar Mekah?
Perbedaan kesuburan tanah di Mekah dengan di Yerusalem
paling sedikit-sedikit saja. Tak ada perbedaan yang sangat mencolok antara
tanah di sekeliling Mekah dengan di sekeliling Masjid Al Aqsha di Palestina
itu. Tak ada keistimewaan yang khusus. Biasa saja. Tanahnya kering dengan iklim
yang panas.
Terlalu rendah bagi Allah swt jika menempatkan Nabi
Muhammad saw ke Yerusalem dengan kalimat “….agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”. Hal
itu disebabkan tanah di Mekah dengan tanah di Yerusalem hanya beda-beda tipis, sama
sekali tidak terlalu istimewa bagi Allah swt untuk menunjukkan kebesaran
diri-Nya dengan hal itu.
Bandingkan dengan kesuburan tanah di sekeliling Candi
Borobudur.
Subur mana antara tanah di sekeliling Yerusalem dengan
tanah di sekeliling Candi Borobudur?
Hayo, subur mana?
Jujur!
Jangankan di sekeliling Candi Borobudur, di tanah tempat
Candi Borobudur berdiri saja sudah sangat subur. Di sekelilingnya apalagi
sampai sekarang masih sangat subur. Wilayah-wilayah yang mengelilinginya pun
subur sekali. Bahkan, kota-kota yang berdekatan dengan wilayah Borobudur,
teramat subur. Lebih jauh lagi, Borobudur berdiri di pulau yang sangat subur
dan berada di negara yang juga subur dan indah sehingga mendapat julukan The Beautiful Country. Itulah yang
dimaksud oleh Allah swt sebagai tanah
yang penuh berkah di sekelilingnya.
Masyarakat di seputar Candi Borobudur pun dipenuhi banyak
berkah dengan kehidupan yang lebih aman dan menyenangkan. Berbeda dengan di
Palestina itu yang penuh dengan ancaman, pertikaian, kebencian, dan pembunuhan.
Berkah dari mananya hidup dengan penuh pertengkaran
seperti itu?
Kita lihat lagi ayatnya.
Maksud Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw ke
Masjidil Aqsha adalah “….agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”
Coba bayangkan
Saudara. Isra Miraj itu terjadi pada 620 M. Saat itu wilayah Yerusalem sedang dikuasai
secara penuh oleh pasukan Romawi yang besar dan disiplin serta gemar
berpesta. Di samping itu, menurut
sejarah Yerusalem yang penuh kerancuan itu, di area itu ada yang mengatakan
sudah berdiri kuil, ada yang mengatakan bukan kuil, melainkan gereja, ada pula
yang berpendapat di sana hanya puing-puing reruntuhan bangunan. Anggap saja
semuanya benar-benar ada bahwa di sana ada gereja, kuil romawi, tembok Solomon,
dan reruntuhan puing bangunan.
Lantas, apa istimewanya pasukan dan rakyat Romawi yang gemar
bermabuk-mabukan itu?
Apa pula bagusnya bangunan-bangunan yang ada di sana
dengan reruntuhan puing-puingnya?
Apa maksudnya Nabi Muhammad saw diperlihatkan itu semua?
Apa manfaatnya?
Aneh!
Mari kita bayangkan Candi Borobudur pada 620 M. Kita memang
hanya bisa membayangkan dan menghubungkannya dengan catatan sejarah yang kita
miliki.
Malam Isra Miraj itu bangunan Borobudur hanya tampak
jelas bagian atasnya, Arupadatu, karena bagian tubuh lainnya masih terpendam
dalam lumpur yang telah mengeras menjadi tanah. Saat itu sangat sepi dan damai.
Udaranya hangat karena memang udara malam di sana cukup hangat. Berbeda dengan
di Bandung yang dingin dan selalu butuh jaket pada malam hari.
Tak ada orang di Borobodur karena masjid itu telah
ditinggalkan manusia setelah sebagian besarnya ditenggelamkan Allah swt ke
dalam tanah gara-gara telah disalahgunakan menjadi tempat penyembahan berhala
dan syetan-syetan gentayangan. Orang-orang menjauhi tempat itu dan memilih
untuk tinggal jauh dari sana karena takut ditimpa azab lagi.
Dari puncak Candi Borobudur, Nabi Muhammad saw menyaksikan
pemandangan luar biasa hebat yang belum pernah dilihat sepanjang hidupnya. Dia
takjub dengan keindahan yang tiada tara. Gunung dan perbukitan subur benar-benar nyata
di hadapannya. Ia seolah berada di tengah surga yang menyenangkan. Di
seputarnya dipenuhi pohon-pohon rindang berdaun lebat, sebagian berbuah,
sebagian lagi tidak. Suara burung malam mengiringi indahnya alam dengan
tumbuhan yang rupa-rupa warnanya. Banyak sungai yang mengalirkan air tanpa
henti dengan suara merdu. Sebagian airnya mengaliri sawah yang hanya terdiri atas
beberapa petak. Kebun-kebun pun tampak terlihat sebagian-sebagian. Langit
tampak cerah dengan bulan yang bercahaya tenang.
Para penduduk yang jumlahnya hanya sedikit sedang
terlelap tidur. Jumlah penduduk saat itu kira-kira 150 orang, tidak ramai
seperti sekarang ini. Mereka orang-orang sederhana dan menyukai kedamaian.
Allah swt memperlihatkan itu semua untuk menunjukkan
kebesaran diri-Nya. Allah swt menunjukkan bahwa ada belahan dunia lain yang
demikian indah tiada tara yang jauh berbeda dengan alam tempat Nabi Muhammad
saw lahir dan dibesarkan. Nabi Muhammad saw pun semakin bertambah imannya bahwa
Allah swt benar-benar Mahakuasa atas segala sesuatu. Ia merasakan benar-benar
perbedaan yang sangat jauh antara tempatnya hidup sehari-hari yang penuh
kegersangan dan cuaca yang sangat panas menyengat di Masjidil Haram dengan alam
di Masjidil Aqsha yang menawarkan pesona keindahan luar biasa yang sangat
nikmat dalam pandangan mata.
Itulah maksud Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw
ke Masjidil Aqsha yang kita kenal dengan Candi Borobudur.
“….agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”
Di masjid itulah terdapat pengetahuan tentang shalat,
cara mengabdi kepada Allah swt, serta cara menghadapi hidup dan kehidupan untuk
kemudian mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Tentu
saja, pengetahuan itu tidak didapat Nabi Muhammad saw dari relief-relief di
Candi Borobudur karena relief-relief itu masih terpendam dalam tanah. Nabi
Muhammad saw mendapatkan pengetahuan itu secara langsung dari Allah swt di Sidratul Muntaha. Akan tetapi, Allah swt
berkehendak bahwa semua manusia bisa mendapatkan pengetahuan yang diterima Nabi
Muhammad saw melalui relief-relief Candi Borobudur yang sekarang telah terbuka
dengan jelas.
Borobudur adalah kiblat umat Islam yang lebih modern
dibandingkan rumah purba Kabah di Mekah. Kabah hanya berbentuk persegi empat
yang dilengkapi Hajar Aswad. Adapun Borobudur dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan yang luar biasa luas.
Arti setiap putaran thawaf
di Mekah dijelaskan di Borobudur secara gamblang. Di Kabah manusia berthawaf sebanyak
tujuh keliling dalam area yang itu-itu saja dan pada tanah yang datar. Di
Borobudur manusia berthawaf tujuh keliling dalam tempat berbeda dengan makna
yang jelas tergambar dalam setiap relief. Thawaf di Borobudur lebih modern dan
lebih jelas dibandingkan di Mekah. Di Borobodur seharusnya manusia berthawaf
dengan cara seperti di depan Kabah, melawan arah jarum jam, dari kanan ke kiri.
Cara thawaf modern di Borobudur adalah perjalanannya membentuk aliran spiral.
Dari bawah ke atas dan dari tempat yang luas ke tempat yang lebih sempit,
kemudian menuju puncak yang luasnya tak terbatas. Dari Kamadatu meningkat ke
Rupadatu.
Di Kamadatu hanya ada satu keliling yang memperlihatkan
bagaimana manusia berperilaku tidak ubahnya seperti hewan. Perilaku itu harus
ditinggalkan dengan cara meningkatkan keimanan menuju thawaf berikutnya pada
tingkat lebih atas, yaitu Rupadatu. Pada tahap Rupadatu ada enam kali thawaf
untuk mencapai kesempurnaan. Dalam enam tingkatan itu manusia harus terus
memerangi nafsu duniawi dan hewaninya dengan melengkapi dirinya dengan cinta
terhadap Sang Pencipta, terhadap sesama manusia, sesama makhluk hidup, dan
seluruh ciptaan Allah swt. Di samping itu, manusia harus pula terus menambah
ilmu pengetahuannya untuk dapat mengendalikan dunia dan bukan untuk
dikendalikan dunia. Pergaulan harus semakin dibatasi, yaitu hanya dengan
orang-orang yang baik serta berpaling dari orang-orang jahat dan berperangai
buruk. Tingkat terakhir dari Rupadatu adalah batas akhir upaya manusia dalam mendekatkan dirinya
kepada Allah swt. Satu keliling di Kamadatu ditambah enam keliling di Rupadatu
dengan aliran spiral, jumlahnya menjadi tujuh keliling.
Bukankah sama jumlahnya dengan thawaf mengelilingi Kabah
yang tujuh keliling itu?
Thawaf di Candi Borobudur dapat diumpamakan sebagai bukti
bahwa jika Allah swt mau, seluruh manusia
akan dibuat beriman dan Allah swt berkuasa untuk melakukan itu. Perhatikan
saja, thawaf di Kabah itu dilaksanakan karena ada perintah untuk melakukannya,
tetapi thawaf di Borobudur sama sekali tidak menggunakan perintah. Tak ada
perintah untuk melakukan thawaf di Borobudur. Akan tetapi, siapa pun yang
mengunjungi Borobudur akan dengan sendirinya melakukan thawaf. Siapa pun orangnya, apa pun agamanya, apa pun rasnya,
di mana pun dia tinggal, dari mana pun dia berasal, pasti thawaf di Borobudur
dengan sendirinya. Otomatis. Allah swt yang membuatnya seperti itu.
Unik bukan?
Jika ia berhasil memaknai thawaf di Borobudur, akan
meningkat secara otomatis menuju bagian yang paling atas. Ia akan memasuki maqam Arupadatu yang sudah langsung
dikendalikan oleh Allah swt tanpa ada campur tangan dirinya lagi.
Pada tahap Arupadatu ada tiga tingkatan. Tingkat yang
pertama adalah stupa berlubang ketupat yang melambangkan manusia memasuki maqam Fana. Pada derajat ini manusia sudah benar-benar sangat menguasai
dirinya. Fana sendiri memiliki arti bahwa telah tunduknya seluruh sifat hewani
manusia secara total. Segala hal yang berbau materi dan duniawi sudah
tercerabut dari hatinya. Materi dan dunia tidak lagi bersemayam dalam dirinya,
melainkan ada dalam genggaman tangannya. Dengan demikian, hidupnya tidak
dikendalikan dunia, tetapi justru dialah yang mengendalikan dunia. Dirinya
sudah total menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Jika Allah swt berkehendak dan mengasihinya, secara
otomatis tanpa upayanya sendiri, Allah swt menariknya ke arah diri-Nya sehingga
kedudukannya meningkat dan berada dalam maqam
Baqa. Level ini digambarkan di
Borobudur sebagai stupa berlubang persegi empat. Pada derajat ini terjadi kebangkitan kembali diri manusia secara
total jauh berbeda daripada sebelumnya. Dorongannya untuk berkata-kata dan
melakukan tindakan tidak lagi berasal dari nafsunya atau keinginannya pribadi,
tetapi berasal dari wilayah ruhani yang penuh pengawasan Illahi. Dari wilayah
ruhani inilah munculnya berbagai sumber berlimpahnya tindakan yang bermanfaat
bagi kemanusiaan dan seluruh ciptaan Allah swt. Dirinya sudah tidak lagi
menggunakan nafsu dan keinginan pribadi untuk bertindak dan berbicara yang
biasanya menyebabkan pelanggaran terhadap hak dan kerancuan dalam kehidupan
sosial, tetapi berasal dari kesucian Illahi yang penuh rasa cinta, kasih, kedamaian,
dan keadilan hakiki.
Apabila Allah swt semakin mencintainya dan semakin
percaya terhadapnya, ia akan ditarik untuk menyatu dengan diri Allah swt dalam maqam Liqa. Derajat ini digambarkan di Borobudur dengan stupa tertinggi
berantena yang sudah tak ada lagi lubang. Liqa
adalah tingkatan yang di dalamnya manusia sudah memiliki pengetahuan ruhani
yang sangat tinggi. Ia seakan-akan sudah benar-benar melihat dan berhadapan
langsung dengan Allah swt. Mata batinnya benar-benar tajam melihat Allah swt.
Ia melebur dalam kemuliaan Allah swt. Dengan demikian, ia sudah terbebas dari
rasa takut terhadap masa depan esok hari, tak ada lagi kegelisahan dan
kecemasan atas yang telah terjadi pada masa lalu, tak ada lagi kebimbangan dan
ketidakpastian dalam menghadapi masa kini. Dirinya sudah benar-benar terwarnai
oleh sifat-sifat Allah swt. Ia sudah teramat ikhlas atas apa pun keputusan Allah
swt terhadap dirinya. Ketahuilah jika dia tersenyum, menyukai sesuatu, atau
ridho atas sesuatu hal, sesungguhnya Allah swt-lah yang sedang tersenyum, suka,
senang, gembira, atau ridho terhadap sesuatu itu. Demikian pula jika dia marah
dan murka, sesungguhnya Allah swt-lah yang sedang marah dan murka. Kalimatnya
sangat tajam terlimpahi daya cipta anugerah Allah swt. Dia sudah menjadi wakil
Allah swt atas segala sesuatu di muka Bumi. Jika dia menginginkan keberkahan
dan kemakmuran terhadap suatu negeri, negeri itu pun akan penuh rahmat dan
keberkahan. Doanya akan membuat panen kenikmatan bagi manusia. Demikian pula
kemarahan dan kemurkaannya atas suatu negeri akan benar-benar melumatkan negeri
itu. Hal itu disebabkan Allah swt telah menganugerahinya daya cipta yang dapat
menentukan arah sejarah manusia.
Borobudur-lah sesungguhnya The Real Al Aqsha.
Menjadikan
Borobudur Penyeimbang Kehidupan Manusia
Thawaf di Mekah menurut para
peneliti berfungsi pula menyeimbangkan rotasi dan revolusi Bumi terhadap
Matahari secara fisik. Secara spiritual, selama thawaf dan ibadat di Mekah,
kaum muslimin telah pula menyeimbangkan gelombang energi seluruh kehidupan
manusia. Ketika manusia banyak sekali yang tenggelam dalam berbagai
kemaksiatan, merusakkan tatanan pergaulan hidup, merusakkan dirinya sendiri,
terjerumus dalam tindakan dusta dan kebohongan, asyik dalam merugikan orang lain,
dan hal-hal buruk lainnya, kaum muslimin sedang terikat dalam kesucian yang
tertib dan teratur. Berbagai gelombang energi negatif yang dilakukan oleh banyak
manusia terimbangi oleh gerak ibadat ritual kaum muslimin selama melakukan ibadat
haji dan umroh.
Di samping itu, dalam kehidupan sehari-hari pun kaum
muslimin telah menjadi penyeimbang dalam kehidupan. Shalat yang minimal lima
kali dalam satu hari satu malam telah menjadi daya cegah dan tangkal dari
berbagai keburukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan
sekitarnya. Kekuatan daya cegah dan tangkal setiap muslim berbeda antara satu
dengan lainnya, bergantung sejauh mana kekuatan spiritualnya mampu memerangi energi
negatif yang berada dalam dirinya sendiri dan di lingkungan sekitarnya. Shalat
yang lemah mengakibatkan lemahnya pula energi positif dalam memerangi energi negatif.
Oleh sebab itu, shalat yang teramat lemah hanya berupa siulan dan tepukan tangan belaka. Shalat yang kuat dan kokoh akan
menimbulkan gelombang energi positif, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
lingkungan sekitarnya.
Apabila kita ingin dunia hidup dalam kedamaian, shalatlah
yang baik hingga menumbuhkan getaran positif dalam diri. Gelombang energi positif
itu akan memancar keluar dari dirinya dan memengaruhi lingkungan sekitarnya.
Semakin kuat shalat seorang muslim, semakin kuat pula lingkungannya tertarik ke
arah dirinya hingga menjadi teratur dan semakin tertib yang berujung pada
situasi yang penuh damai dan harmonis.
Kehidupan dunia sekarang ini dengan segala hiruk pikuknya
hanya baru terimbangi oleh thawaf di Mekah dengan berbagai ritualnya. Tak heran
jika kita masih melihat sangat kuatnya berbagai energi keburukan terjadi di
mana-mana. Energi negatif bermunculan pada berbagai belahan dunia di muka Bumi
ini, sedangkan energi positif yang mampu menyeimbangkan rotasi dan revolusi
Bumi hanya ada satu tempat, yaitu di Mekah depan Kabah. Dengan demikian, energi
positif dikeroyok energi negatif dari atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan
kanan.
Jika saja kita mau melakukan thawaf di Candi Borobudur
dengan baik dari kanan ke kiri secara teratur dengan memahami setiap adegan
dalam relief Borobudur, akan ada dua tempat positif yang menyeimbangkan rotasi
dan revolusi Bumi, yaitu Kabah dan Borobudur. Apalagi jika relief-relief di
Borobudur itu dijadikan ukuran bagi diri kita dalam berperilaku sehari-hari dan
diimplementasikan secara nyata dalam keseharian kita, kehidupan pun akan
semakin positif dan lebih menyenangkan.
Memang tidak ada perintah khusus untuk thawaf di
Borobudur, tetapi jika dilakukan, itu adalah tindakan yang sangat baik dan
pasti berpahala. Lebih hebat lagi jika pengetahuan dari Borobudur itu menjadi ukuran
bagi hidup kita. Dengan demikian, Timur
dan Barat dikendalikan oleh dua poros kebaikan, yaitu Kabah dan Borobudur, Masjidil Haram dan The Real Masjidil Aqsha. Itu artinya, kehidupan dunia ini akan
semakin dipenuhi oleh gelombang energi positif. Thawaf di Kabah adalah
perlambang pengikatan diri pada ketuhanan di Bumi bagian barat dan thawaf di
Candi Borobodur merupakan simbol tekad diri dalam mencapai kesempurnaan pengabdian
kepada Allah swt. Kedua tempat itu akan menjadi pemancar kebaikan bagi seluruh
kehidupan di dunia ini. Jika itu terjadi, semakin kuatlah harapan kita bahwa Al Mahdi hadir untuk memenuhi Bumi dengan
kebaikan setelah Bumi sebelumnya dipenuhi oleh kejahatan.
Bagaimana Bumi tidak akan dipenuhi oleh kebaikan jika
Timur dan Barat telah terhubung dan bersatu memancarkan gelombang energi positif?
Koneksi kebaikan yang memancar dari dua tempat itu akan
mengalahkan energi negatif yang selama ini terjadi di hampir seluruh bagian
Bumi tempat kita hidup. Semakin kuat kaum muslimin melakukan ibadat dan
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, energi jahat pun semakin pudar dan
musnah.
Selamatkan diri dan kehidupan ini dari berbagai
kejahatan. Hentikan kedustaan dan kebohongan agar kebaikan dan kedamaian
mendapatkan jalan yang lebih lebar untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.
Lailatul
Qadar
Saya menulis ini pada sepuluh
hari terakhir Ramadhan. Saya berharap, baik saya sendiri maupun siapa saja yang
membaca tulisan ini mendapatkan anugerah lailatul
qadar. Amin.
Jika saya salah, itu adalah kebodohan yang berasal dari
diri saya sendiri. Jika saya benar, sesungguhnya itu berasal dari Allah swt
yang Mahabenar dan Mahasuci terbebas dari berbagai keburukan.