Tuesday, 30 August 2016

Mendesaknya Dwikewarganegaraan Sesaat

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Indonesia memang hanya mengakui satu identitas kewarganegaraan. Indonesia memang mengharamkan adanya dwikewarnegaraan, kecuali untuk anak-anak. Sampai hari ini pun harus seperti itu. Kita memang harus tegas mengenai hal ini. Setiap orang boleh memilih untuk menjadi warga Negara Indonesia atau menjadi warga negara asing. Tidak boleh ada dua kewarganegaraan. Terlalu banyak risiko dan bahaya yang harus ditanggung oleh Indonesia jika memberlakukan dwikewarganegaraan. Hal itu disebabkan banyak hal, seperti, keamanan, nasionalisme, ekonomi, lapangan kerja, dan lain sebagainya. Jangan dihubung-hubungkan dengan rasa “cinta tanah air”. Soal cinta itu tidak berhubungan dengan administrasi kewarganegaraan. Kalau para diaspora itu ingin dua kewarganegaraan atas dasar cinta, sama sekali tidak berdasar. Kalau cinta mah, ya cinta saja, tidak usah punya dua kewarganegaraan. Cinta itu bisa diwujudkan dalam hal apa saja dan dengan cara apa saja tanpa harus punya dua paspor berbeda negara. Meskipun sudah menjadi warga negara asing, kalau masih cinta, ya tinggal diwujudkan saja cinta itu dalam banyak hal.

            Kita untuk saat ini dan entah sampai kapan memang tidak perlu memberlakukan dwikewarganegaraan. Akan tetapi, saat ini ada situasi yang membuat kita “sebaiknya” memberlakukan “dwikewarganegaraan sesaat”, yaitu dua identitas kewarganegaraan dalam waktu yang sangat singkat dan ditentukan oleh pemerintah secara resmi dan legal. Hal ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah kuota haji yang sangat terbatas.

            Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang memiliki animo yang sangat tinggi untuk melaksanakan ibadat haji. Animo yang sangat tinggi ini bisa dilihat dari banyaknya antrian waiting list untuk berhaji. Ada orang yang harus menunggu sampai sepuluh tahun, bahkan mungkin dua puluh tahun lagi untuk bisa pergi haji. Malahan, bisa jadi orangnya sudah mati dan dikubur,  antrian hajinya masih panjang belum kebagian. Daftar tunggu berhaji yang sangat panjang dan lama itu disebabkan adanya pembatasan kuota dari pemerintah Arab Saudi.

            Salah satu cara untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenlu dan Kemenag dapat bekerja sama dengan negara-negara lain untuk sama-sama memberlakukan dwikewarganegaraan sesaat. Artinya, seseorang boleh memiliki dua identitas kewarganegaraan hanya untuk urusan berhaji. Setelah urusan perhajian selesai, identitasnya dikembalikan lagi menjadi satu kewarganegaraan, yaitu warga Negara Indonesia. Indonesia bisa bekerja sama dengan seluruh negara di dunia yang kuota hajinya masih belum terpenuhi atau masih di bawah kuota haji yang ditetapkan Arab Saudi. Tidak harus dengan negara muslim saja bisa bekerja sama, dengan negara asli Katolik Vatikan pun bisa dibangun kerja sama seperti itu.

            Memang biaya haji akan lebih mahal bagi yang melakukan haji dengan paspor negara lain.

            Akan tetapi, jika mereka mau, kenapa tidak?

            Daripada dilakukan secara ilegal dan tidak bertanggungjawab seperti yang terjadi beberapa tahun ini, sebaiknya dibuat legal saja. Itu kan hanya masalah teknis dan administrasi yang bisa dibicarakan dan disepakati secara G to G.

            Apa masalahnya?

            Justru kalau dilarang-larang, tindakan ilegal akan terus terjadi. Ini ibarat teori pascal yang jika sesuatu ditekan lebih kuat, akan terjadi perlawanan dengan kekuatan yang sama. Padahal, hal seperti ini bisa diakali dan disalurkan dengan program-program yang legal sehingga berbagai hal bisa terjamin, baik kesehatan, keamanan, maupun yang lainnya. Meskipun demikian, jelas harus dibuat dulu payung hukumnya agar ada landasan yang jelas dan bisa dilaksanakan secara tepat dan berhasil guna.


Keuntungan Dwikewarganegaraan Sesaat

Keuntungan dari dwikewarganegaraan sesaat untuk haji ini sangat banyak. Pertama, calon jemaah haji Indonesia yang mampu secara ekonomi dapat segera berangkat haji tanpa harus mengantri terlalu lama. Kedua, mereka bisa lebih mengenalkan Indonesia ke luar negeri sebagai promosi wisata Indonesia. Misalnya, seminggu atau sepuluh hari sebelum berangkat ke Mekah harus berada di negara antara yang sesaat itu sehingga bisa berkomunikasi dengan masyarakat lokal setempat. Ketiga, bagi negara antara sementara itu pun jemaah calon haji Indonesia bisa meningkatkan keuntungan karena mereka pasti berbelanja di negara itu. Artinya, ada keuntungan pula yang diberikan kita kepada negara luar negeri. Dengan demikian, banyak sekali keuntungannya sebetulnya jika kerjasama dwikewarganegaraan sesaat ini bisa terlaksana. Belum lagi dari segi syiar Islam. Para calon haji Indonesia di samping bisa menjadi agen promosi Indonesia, juga dapat memanfaatkan waktunya yang sebentar itu untuk menyiarkan Islam.

            Kalau dibilang risikonya tidak ada, sangat tidak mungkin. Akan tetapi, risikonya sangatlah kecil jika memberlakukan dwikewarganegaraan sesaat khusus untuk keperluan haji.


            Jangan ada yang bilang haram atau subhat untuk soal ini. Ini hanya masalah teknis kecil. 

Saturday, 27 August 2016

Bukan Sekolah Parlemen, Melainkan Sekolah Politik

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sekolah parlemen sebenarnya sangat bagus untuk meningkatkan kualitas anggota dewan, tetapi harus dikaji kemungkinan efektivitasnya. Hal itu disebabkan menurut kabar yang beredar, gagasan semacam ini sudah berkali-kali dilakukan dan pelaksanaannya kerap sepi peminat sehingga sama sekali tidak efektif. Banyak sekali anggota dewan yang tidak merasa perlu untuk  mengikuti pendidikan semacam itu.

            Wajar jika sepi peminat karena kemungkinan besar banyak sekali wakil rakyat yang menganggap bahwa posisinya sebagai anggota dewan merupakan tujuan, bukan merupakan alat. Mereka seperti pemburu rusa yang telah mendapatkan buruannya. Ketika berburu, semangatnya bukan main, apa pun akan dilakukannya untuk mendapatkan buruannya. Akan tetapi, ketika buruannya sudah didapatkan, mereka merasa tak harus semangat lagi, kemudian mereka merasa letih dan tidak ingin lagi berlelah-lelah dengan buruannya. Semangatnya sudah terkuras habis. Demikian pula jika seorang cowok atau cewek menyukai seseorang yang diinginkannya, akan mati-matian mengejarnya sampai mendapatkannya. Akan tetapi, ketika sudah berhasil, semangat mencintainya itu berkurang drastis dan mereka merasa lelah, tak perlu lagi melakukan kerja keras. Hal yang sama terjadi pada para wakil rakyat yang menjadikan posisi anggota dewan sebagai tujuan. Ketika tujuannya telah diraih, mereka merasa letih dan semangatnya jauh berkurang dibandingkan ketika mati-matian kampanye untuk memburu jabatan yang sangat diinginkannya. Berbeda dengan anggota dewan yang memiliki pandangan dan niat bahwa kursi anggota dewan hanya merupakan alat bagi dirinya untuk mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun bangsa dan negara. Bagi mereka, kegembiraan mendapatkan posisi sama dengan kegembiraan menemukan alat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, yaitu membangun bangsa dan negara. Mereka inilah orang-orang hebat, anggota-anggota dewan yang pantas disebut terhormat yang kualitasnya jauh berada di atas para pemburu rusa atau para pemburu cinta.

            Apabila yang dimaksud Sekolah Parlemen itu adalah untuk para wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah, tampaknya tidak akan efektif. Hal itu disebabkan masih banyak anggota dewan yang bisa jadi hanya menjadikan jabatannya sebagai tujuan perjuangan. Ketika tujuan sudah didapat, mereka merasa tak penting lagi untuk bekerja keras. Toh, apa yang diinginkannnya sudah didapat. Di samping itu, mereka pun masih banyak yang harus dipikirkan, yaitu mikirin hutang bekas kampanye kemarin dan memenuhi janji-janji yang pernah diumbar selama masa kampanye, kemudian memikirkan pula bagaimana caranya ngumpulin uang untuk kampanye pada periode berikutnya. Hal yang semakin membuat mereka enggan untuk ikut sekolah parlemen adalah karena memiliki tugas utama, yaitu menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan menyusun anggaran.


Sekolah Politik

Lembaga yang justru sangat penting diadakan adalah pendidikan politik bagi para politisi atau mereka yang berniat memiliki kedudukan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Pendidikan ini seharusnya diwajibkan bagi mereka yang hendak menjadi kepala daerah, kepala negara, maupun anggota dewan. Bentuknya harus mirip universitas dengan masa pendidikan bisa satu sampai dengan dua tahun. Sebelum lulus, mereka harus seperti mahasiswa biasa, yaitu menyusun penelitian yang nantinya bisa dijadikan visi dan misi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat pada masa kampanye. Mereka pun harus memiliki nilai yang tinggi atau cukup untuk bisa lulus pendidikan. Jika nilainya buruk, tidak perlu lulus. Dengan demikian, para calon eksekutif maupun legislatif merupakan orang-orang terdidik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dan siap menjalani tugasnya sebagai para penyelenggara negara. Meskipun demikian, mereka tidak serta merta dapat menduduki jabatannya karena harus melalui proses pemilihan. Masyarakat harus tahu berapa nilai pendidikan mereka, apa hasil penelitian mereka, dan apa yang akan didapatkan masyarakat jika memilih orang-orang itu.

            Para jebolan sekolah politik ini pun harus didukung oleh pemerintah dalam hal dana kampanye. Sebaiknya, negaralah yang membiayai mereka kampanye. Dengan demikian, tidak ada perlombaan uang dan meminimalisasi adanya politik uang di samping mencegah lebih dini adanya jual beli legislasi pada masa selanjutnya.  

            Partai memang kerap mengadakan pelatihan-pelatihan atau pendidikan bagi para kadernya. Akan tetapi, dari beberapa kegiatan pelatihan, pendidikan, atau pengaderan yang pernah saya saksikan, kegiatan itu banyak membicarakan partainya sendiri dan bukannya memberikan wawasan atau pemahaman untuk meningkatkan pembangunan masyarakat, memunculkan kebijakan-kebijakan prorakyat, serta teknik-teknik dalam menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, maupun menyusun anggaran. Pembicaraan yang paling menarik dalam acara-acara itu adalah biasanya mengenai upaya-upaya untuk memenangkan partainya dalam pemilihan dengan suara yang maksimal serta menjegal saingannya agar mendapatkan suara yang lebih kecil daripada partainya. Oleh sebab itu, tak heran jika Ketua DPR RI Ade Komarudin dan juga banyak masyarakat yang memandang bahwa banyak anggota dewan yang tidak berkualitas sehingga perlu dididik agar lebih berkualitas.

            Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan dalam partai tampak kurang disiplin dan terkadang diikuti setengah hati oleh pesertanya. Ada narasumber yang sering diminta untuk menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan pelatihan beberapa partai yang kesal tentang kualitas peserta pelatihan itu.

            Sang Narasumber yang bergelar doktor itu pernah berceritera, “Kacau sekali pesertanya. Waktu selesai jam istirahat siang, ruangan kelas kosong. Lama sekali kosongnya. Saya cari peserta-peserta itu. Eh, … ternyata mereka sedang tertawa-tawa di tempat makan sambil di kiri-kanannya ditemani perempuan-perempuan. Sebagian lagi matanya kelihatannya sedang mabok.”

            Dia meneruskan ceriteranya, “Terus saya tanya mereka, ‘Kenapa tidak masuk ruangan lagi?’ Mereka jawab seenaknya, ‘Ya, kami cukup di sini saja, tidak usah pintar-pintar amat. Bapak saja yang pintar. Nanti kalau ada apa-apa, kita tinggal tanya sama Bapak saja.’ Coba, gila nggak mereka?”

            Saya cuma tersenyum mendengar ceritera itu.

            Mungkin tidak semua partai seperti itu. Mungkin ada yang benar-benar serius penuh kesungguhan. Akan tetapi, dari yang pernah saya saksikan dan saya dengar, memang rata-rata kurang serius. Paling tidak, ada satu partai yang saya dengar lebih serius dan sungguh-sungguh. Itu pun saya hanya mendengar ceriteranya, tidak menyaksikan langsung. Saya memang tidak menyaksikan dan mendengar pelatihan atau pendidikan dari seluruh partai, hanya beberapa. Partai yang tidak pernah saya saksikan dan saya dengar, saya tidak tahu bagaimana pelatihan mereka. Bisa bagus, bisa pula buruk. Entahlah.

            Sekolah politik memang perlu dan mendesak dibuat jika masih percaya pada sistem politik demokrasi. Kalau dibiarkan seperti ini tanpa pendidikan lebih dulu sebelum menduduki jabatannya, baik eksekutif maupun legislatif, keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Sekolah politik ini harus diwajibkan, bukan diperbolehkan. Mereka yang berniat sungguh-sungguh menduduki jabatan politik harus memiliki ijazah dari sekolah politik yang diawasi oleh pemerintah. Jadi, tidak akan ada lagi orang-orang yang tiba-tiba mencalonkan diri hanya karena popularitasnya dengan menggeser kader-kader yang sudah lebih dahulu berkiprah dalam partainya.

            Salah seorang anggota dewan pernah menyatakan langsung kepada saya, “Politik itu tidak ada sekolahnya. Main saja langsung sampai hasil. Nanti kalau sudah jadi, ada yang ngajarin. Ikuti saja.”

            Pernyataannya itu menunjukkan bahwa para politisi yang telah menduduki jabatannya akan “diarahkan” oleh mereka yang telah lebih dahulu mendapatkan posisi politik atau menguasai permainan politik. Kalau yang ngajarin politisi baru itu orang-orang baik dan mengarahkan pada hal-hal yang baik, bagus sekali. Akan tetapi, kalau yang ngajarinnya orang-orang brengsek dan mengarahkan pada perilaku brengsek, bertambahlah para brengseker di negeri ini. Cita-cita pembangunan nasional pun akan selalu terhambat oleh orang-orang brengsek ini.

            Sekolah politik itu sangat penting dan harus diwajibkan. Dengan demikian, para politisi yang berkampanye itu sudah terdidik dengan baik, sedangkan modal politik dan sosialnya sebelum mengikuti pendidikan merupakan tambahan berharga bagi dirinya untuk menduduki jabatan yang diharapkan dapat mengantarkan rakyat menuju kemakmuran lahir dan kemakmuran batin.

            

Friday, 26 August 2016

Rusaknya Prabu Siliwangi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Keberadaan Prabu Siliwangi yang dikenal sebagai Raja Sunda yang paling agung dan memiliki keterkaitan dengan masyarakat di seluruh Pulau Jawa berasal dari folklore (ceritera lisan yang diwariskan turun-temurun). Bukan hanya masyarakat Sunda yang memiliki kisah-kisah lisan mengenai Prabu Siliwangi, melainkan pula masyarakat Jawa. Terdapat beberapa kisah mengenai dirinya yang diklaim berhubungan dengan Suku Jawa.

            Dari folklore itu, masyarakat umum, para penyair, keturunan raja-raja, dan para akademisi terbagi menjadi dua golongan. Kedua golongan itu adalah pertama, mereka yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata yang benar-benar pernah hidup di dunia, sedangkan golongan kedua adalah mereka yang berpandangan bahwa Prabu Siliwangi merupakan tokoh sastra hasil ciptaan para penyair pada saat Sunda mengalami penderitaan panjang dan merindukan figur yang kuat dan adil serta perkasa yang mampu menghilangkan segala kesusahan yang ada.

            Sampai hari ini kedua golongan itu sama kuatnya dalam berpendapat. Hal itulah yang menurut saya telah membuat kerusakan terhadap tokoh Prabu Siliwangi sendiri. Siapa pun yang menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi, selalu terbentur pada hal-hal yang membingungkan dan kusut. Keberadaan Prabu Siliwangi dan sejarah kebesaran Sunda selalu “macet” dan tak bisa bergerak lagi karena tertahan pada sosok Sri Baduga Maharaja. Siapa pun akan selalu menemukan kesemrawutan antara catatan sejarah dengan kisah-kisah pantun, apalagi para akademisi atau para ahi sejarah banyak yang menggunakan karya para penyair untuk dijadikan dasar penulisan sejarah. Tak heran jika sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda selalu kalang kabut karena berdasarkan tulisan-tulisan yang diklaim kuno. Tulisan-tulisan kuno yang berasal dari para penyair itu tentu saja ditulis para penyair dan tidak ada seorang pun yang mampu menjamin bahwa hal itu merupakan kebenaran. Tak ada naskah yang dijamin kebenarannya di dunia ini, kecuali Al Quran. Di samping itu, semua naskah atau teks di seluruh muka Bumi ini selalu rawan pemalsuan, selalu mudah diputarbalikkan, selalu gampang ditambah-tambahi dan dikurang-kurangi. Hanya ada satu naskah di dunia ini yang tidak bisa diubah-ubah, yaitu Al Quran.

            Kerusakan, kesemrawutan, dan kekacauan sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda kemungkinan besar disebabkan adanya banyak kepentingan politik, ekonomi, popularitas, dan otoritas keilmuan. Bukan hanya sejarah Sunda dan sosok Prabu Siliwangi sebenarnya yang sengaja dikacaukan, melainkan pula sejarah Nusantara ini. Hal itu disebabkan apabila sejarah kerajaan yang satu dikacaukan, akan mengakibatkan kekacauan pula terhadap sejarah kerajaan yang lainnya karena kerajaan-kerajaan itu saling berhubungan. Dengan dikacaukannya sejarah suatu kerajaan, menimbulkan konsekwensi bahwa harus ada yang diubah dalam hubungan-hubungan yang terjadi di antara kerajaan-kerajaan yang ada. Misalnya, suatu kerajaan diklaim lebih awal berdiri dibandingkan kerajaan yang lainnya dengan maksud agar keturunan kerajaan yang lebih belakang berdiri harus menghormati kerajaan yang lebih dulu berdiri. Dengan demikian, keturunan raja-raja yang lebih muda dapat menganggap wajar jika keturunan kerajaan yang lebih awal berdiri memiliki kekuasaan lebih di tanah Nusantara ini pada masa-masa selanjutnya. Hal itu semua merupakan permainan untuk mendapatkan kekuasaan politik dan ekonomi.

            Ada beberapa penyebab yang membuat sejarah Prabu Siliwangi dan Pajajaran menjadi rumit dan semakin rumit, bahkan mengarah pada mitos dan khayalan sehingga kabur dari kenyataan yang sesungguhnya. Paling tidak, ada tulisan Saleh Danasasmita yang diterbitkan oleh HU Pikiran Rakyat, Bandung, tertanggal 13-4-1985, hlm. 6. Tulisannya ini membuat kita mengerti mengenai penyebab kekacauan sejarah sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda. Tulisannya berjudul Disebabkan oleh Tiga Buah Teori, Sejarah Jawa Barat Macet.

            Teori-teori yang membuat kemacetan sejarah ini adalah Teori Holle, Teori Hoesein Djajadiningrat, dan Teori Poerbatjaraka. Ketiga teori inilah yang disalahkan oleh Danasasmita karena telah membuat macet sejarah Jawa Barat.

            Teori Holle (1867) mengatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga Maharaja. Teori Hoesein Djajadiningrat (1913) mengatakan bahwa tokoh Faletehan alias Tagaril dalam sumber Portugis identik dengan Syarif Hidayat yang oleh orang kebanyakan disebut Sunan Gunung Jati. Teori Poerbatjaraka (1912) mengatakan bahwa Sri Baduga Maharaja gugur di Bubat (Majapahit) tahun 1357.

            Ketiga teori itu telah membuat kerusakan dalam hal titimangsa berdirinya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, perjalanan atau perkembangan kerajaan, serta mengacaukan silsilah para keturunan raja.

            Hal yang lebih parah adalah para akademisi selanjutnya atau para ahli sejarah generasi selanjutnya semacam “diwajibkan” untuk selalu menyandarkan penelitiannya pada teori tersebut. Apabila terjadi perbedaan atau menemukan data yang berlainan dengan ketiga teori tadi, segera dituduh sebagai Een Pseudo Padjadjaransche Kroniek (Tambo Pajajaran yang palsu). Sering pula penelitian yang berbeda segera ditertawakan para ahli sehingga “membekukan” perbedaan itu. Hasil-hasil penelitian yang berlainan dengan ketiga teori tadi harus segera “dianggap tidak ada” dan harus disebut verward (kusut).

            Pemaksaan untuk selalu menganggap benar Holle, Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadiningrat mengakibatkan “pemerkosaan” terhadap ilmu pengetahuan dan menghancurkan banyak data sejarah. Hal itu disebabkan segala data yang bertentangan dengan ketiga orang tadi segera harus “dibuang”, “diberangus”, “dipensiunkan”, dan “dilecehkan”. Perilaku semacam itu sungguh merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan, meruntuhkan wibawa ilmu pengetahuan, dan merendahkan martabat para ilmuwan.

            Ilmu pengetahuan itu harus bersifat terbuka dan bersedia setiap saat untuk diuji kebenarannya. Jika suatu penelitian dapat tahan uji, ilmu pengetahuan itu harus dianggap benar sepanjang belum ada yang membuktikan kebalikannya. Jika suatu pengetahuan dapat dikalahkan oleh pengetahuan yang baru, pengetahuan yang lama harus digugurkan dan harus menggunakan pengetahuan yang lebih baru dan lebih benar. Itulah yang dimaksud Nabi Muhammad saw bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan hari kemarin dan masa depan harus lebih baik dibandingkan hari ini.  Kita harus selalu terbuka dengan data baru dan hasil penelitian terbaru yang terbukti mengalahkan penelitian lama.

            Apabila suatu penelitian tidak bersedia diuji dan tidak boleh dianggap salah, itu bukanlah pengetahuan, melainkan doktrin, dogma yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya. Orang tidak boleh bertanya dan menguji hal-hal itu. Oleh sebab itu, hasil-hasil penelitian Holle, Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadingrat harus dianggap bukan ilmu pengetahuan karena tidak bersedia diuji. Hasil penelitian mereka hanyalah melahirkan doktrin dan dogma yang harus selalu dianggap benar. Saya menyarankan bagi para pendukung mereka untuk segera mengumumkan bahwa penelitian ketiga orang itu adalah “kitab suci sejarah” yang tidak boleh diganggu gugat. Sungguh sangat rendah sekali perilaku seperti itu.

            Tindakan-tindakan membuang data, menertawakan hasil berbeda, mempensiunkan naskah-naskah kuno, memberangus data berbeda, dan melecehkan pendapat yang berbeda merupakan tindakan yang menghambat perkembangan manusia dan kemanusiaan. Alasan aneh yang digunakan mereka untuk menghalangi pendapat lain adalah dalam rangka “menjaga stabilitas kesejarahan yang ada”. Dengan alasan aneh itu, matilah ilmu pengetahuan karena harus selalu setuju pada sesuatu hal yang dianggap stabil, padahal yang stabil itu belum tentu benar.

            Akibat selanjutnya adalah sejarah sosok Prabu Siliwangi dan Sunda selalu dalam keadaan semrawut. Banyak pihak yang memiliki pendapat lain dengan ketiga teori yang “harus selalu dianggap benar” itu. Pihak-pihak itu tetap menyuarakan pendapatnya sendiri dan mendapat tempat pula di kalangan masyarakat secara umum. Bahkan, mereka lebih percaya pada naskah-naskah kuno yang masih dipegang masyarakat sampai hari ini. Untuk memperkuat pendapatnya masing-masing, setiap pihak yang berbeda menggunakan syair dan pantun-pantun yang diklaim sebagai kebenaran, tetapi ternyata isinya saling bertolak belakang, berbeda, dan terkadang berlebihan.

            Itulah buruknya jika memaksakan kehendak bahwa hasil suatu penelitian dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat. Bahaya itu akan menjadi lebih besar jika tujuan politik dan ekonomi dari penelitian itu berhasil mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Suatu kelompok masyarakat akan merasa lebih berhak dan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya dan itu akan menimbulkan keresahan serta ketimpangan dalam masyarakat.

            Pada akhir tulisannya Saleh Danasasmita (1985) mengingatkan kita semua.

            “Rasanya masyarakat Jawa Barat tak perlu mengeluh kalau sejarah daerahnya sulit disusun dan dikembangkan karena sumber-sumber yang ada dan sedikit jumlahnya itu hampir semuanya mengandung bahan yang bertentangan dengan teori-teori Holle, Hoesein Djajadiningrat, dan Poerbatjaraka. Dalam keadaan seperti ini (masih mengikatkan diri pada teori-teori tadi) janganlah berharap kita mampu menyusun Sejarah Jawa Barat periode klasik. Lebih-lebih jangan diharapkan lagi akan berhasil memecahkan identitas Siliwangi.”

             Bagi saya, sosok Prabu Siliwangi tidaklah rusak. Orang-orang sok tahu dan berlebihanlah yang membuat rusak Prabu Siliwangi dengan berbagai mitos dan dongeng yang saling bertolak belakang.

            Apabila kita ingin lebih mengenal dan memahami Prabu Siliwangi dengan nyata, aktifkan kembali sisa-sisa data dan naskah yang sempat, “dibuang, diberangus, ditertawakan, dibekukan, dan dilecehkan” itu. Susun lagi dari awal dengan jujur tanpa ada kepentingan politik dan ekonomi. Jangan ada lagi sikap menganggap sebuah penelitian merupakan kebenaran mutlak yang tidak boleh diuji atau dipertanyakan kebenarannya. Semua harus terbuka dan bersedia berkembang untuk mendapatkan kebenaran yang lebih baik dan lebih nyata.


            Begitulah yang diharapkan Allah swt. Siapa pun yang ingin mengenal Allah swt, maka dia harus mengenal dirinya sendiri. Sejarah adalah bagian dari diri kita. Dengan sejarah yang jujur dan terbuka, kita akan mengenal diri kita sendiri dan memahami apa yang Allah swt rencanakan untuk kita serta mengetahui apa yang Allah swt inginkan dari kita. Kita ini diciptakan berbangsa-bangsa dan Allah swt merencanakan sesuatu terhadap setiap bangsa itu agar mampu berperan lebih tepat dalam menjalani seluruh putaran roda kehidupan di muka Bumi ini.

Dunia Tidak Akan Damai Jika Masih Diurus Mereka

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dunia sampai hari ini harus diakui masih dikuasai oleh dua pemikiran besar yang memiliki kekuatan nyata dalam politik, ekonomi, dan militer. Kedua kekuatan ini adalah kekuatan kapitalis dan komunis. Belum ada pemikiran lain yang setara dengan kapitalis dan komunis dalam mengendalikan dunia. Itulah sebabnya dunia harus bersabar menderita dan terus menderita hingga ada pemikiran lain yang membuat kapitalis dan komunis tersingkir.

            Kapitalis dan komunis dari dulu sama sekali tidak membuat damai. Mereka selalu rebutan benda, kekuasaan, uang, sumber daya alam, dan kehormatan. Kedua pemikiran itu pun sebenarnya memang lahir dari persengketaan soal benda dan uang. Dengan demikian, apa pun yang dilakukan mereka selalu soal benda dan uang. Tak heran jika mereka terus bersaing memengaruhi dunia agar kelompok merekalah yang menang.

            Negara Indonesia pun sempat mengalami masa-masa teramat kelam akibat dari pertarungan antara kapitalis dan komunis ini. Masa-masa kelam itu memuncak dengan terjadinya G-30-S atau Gestok. Abu dari kekelaman masa-masa itu terbawa hingga hari ini dan menjadi gangguan bagi perkembangan bangsa Indonesia.

            Perang-perang dan pembantaian di dunia yang terjadi sekarang ini pun masih melibatkan pertarungan antara kapitalis dan komunis. Adapun orang-orang Islam yang berada di Timur Tengah sekarang ini sedang bertikai dan saling bunuh, hanyalah pion-pion catur yang mendapat pengaruh dari kapitalis dan komunis. Kaum muslim yang sedang berperang itu seolah-olah sedang berada pada jalan yang benar dengan tujuan mendirikan daulah Islam, padahal jika dilihat lebih jauh, tetap saja yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara kapitalis dan komunis dalam arti rebutan benda, uang, dan sumber daya alam.

            Dalam berbagai pemberitaan yang beredar pihak AS dan Rusia sepertinya bersungguh-sungguh untuk mengatasi kisruh yang terjadi di Timur Tengah, terutama di Suriah. Sebenarnya, sulit sekali bisa diyakini bahwa mereka mampu mengatasi konflik atau huru-hara yang terjadi. Hal itu disebabkan mereka mengupayakan perdamaian dengan menyertakan niat untuk mendapatkan keuntungan dari perang yang terjadi dan dari perdamaian yang terjadi. Perang atau damai tetap harus menghasilkan keuntungan bagi mereka. Di samping itu pun, kita bisa melihat dengan jelas bahwa kondisi negeri-negeri yang mereka terlibat di dalamnya tidak pernah selesai dari konflik dan selalu berada dalam bahaya. Kita lihat Irak, Libya, Afghanistan, Somalia, dan lain sebagainya yang tidak pernah sepi dari pertempuran dan pembunuhan. Padahal, jika dilihat dari kekuatan militer untuk “menenangkan” suatu kawasan, sangatlah mudah mereka lakukan. Akan tetapi, kenyataannya “ketenangan” itu tidak pernah terjadi. Katanya “Polisi Dunia”, tetapi tidak mampu menciptakan keamanan. Hal itu disebabkan mereka datang hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan kedok “perdamaian dan ketertiban”. Itu semua hanyalah kedok dan akal bulus karena perdamaian dan ketertiban itu tidak pernah terjadi.

            Harus ada kekuatan pemikiran lain yang mampu mengatasi pemikiran mereka. Sebetulnya, Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno sudah merancangnya dengan to build a world anew, ‘membangun kembali tatadunia baru’. Pemikiran yang dibawa Soekarno adalah Pancasila dengan mengedepankan kesamaan dan kebersamaan. Seharusnya, pemerintah dan bangsa Indonesia saat ini mampu menawarkan pemikiran yang lebih baik berdasarkan Pancasila untuk menciptakan perdamaian dunia. Kita sebenarnya memiliki pengalaman segudang penuh dalam menyelesaikan berbagai konflik dan pengalaman itu dapat ditawarkan dalam bentuk konsep, proposal, atau gagasan ilmiah yang lebih detail dan rinci. Kita memang memiliki cara yang lebih bermutu dibandingkan AS dan Rusia dalam menciptakan perdamaian dunia. Hal itu disebabkan setiap menyelesaikan masalah, dalam pandangan saya, selama ini Indonesia lebih mengedepankan persatuan, pride dan dignity, tanggung jawab terhadap sejarah, dan gotong royong tanpa mengambil keuntungan sepihak sebagai hasil dari proses penyelesaian konflik yang terjadi. Ambon, Papua, Kalimantan, dan Aceh dapat diselesaikan dengan lebih baik dan meminimalisasi pertumpahan darah. Bahkan, Papua dan Aceh diberi kesempatan besar agar mampu berdiri dengan lebih kokoh dan lebih menikmati sumber daya alamnya dengan pembangunan dan pendidikan yang lebih baik. Mereka tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah Indonesia lainnya serta tidak menjadi wilayah “jajahan” yang dikeruk untuk keuntungan sepihak. Kalau ada yang berniat curang terhadap mereka, seluruh warga Indonesia dari wilayah lain yang sadar akan melakukan penentangan terhadap kecurangan itu. Itulah yang disebut dengan senasib sepenanggungan.

            Konflik Aceh yang sangat terkenal di dunia berhasil diselesaikan dengan lebih baik meskipun harus terlebih dahulu mendapatkan “campur tangan Allah swt”. Aceh bisa selesai dan tetap dalam pangkuan NKRI karena ada “intervensi langsung dari Allah swt”. Intervensi itu berupa peringatan dari Allah swt yang terwujud dalam bencana “tsunami yang teramat dahysat”. Tanpa tsunami yang datang dari sisi Allah swt secara langsung, saya ragu Aceh bisa lebih tenang seperti hari ini. Mungkin jika tidak ada tsunami, Aceh masih bertikai dengan pemerintah pusat RI. Tsunami yang terjadi benar-benar membuat sulit konflik berkembang terus. Hal itu disebabkan pihak-pihak yang bertikai akan mendapatkan kecaman yang keras dan kehilangan dukungan karena terus melakukan huru-hara di tengah-tengah orang-orang yang sedang menderita dan menyita perhatian dunia. Mau tidak mau Aceh harus berdamai dengan RI dan tetap berada dalam NKRI. Itulah yang namanya Allah swt Maha Berkehendak.

            Indonesia harus mampu menawarkan gagasan yang lebih baik untuk perdamaian dunia berdasarkan pengalaman hidup dan dasar negara Pancasila. Syarat yang paling utama adalah harus terlepas dulu dari ketergantungan pada kapitalis maupun komunis. Jika masih ada ketergantungan itu, jalan untuk memberikan sumbangsih bagi perdamaian dunia masih sangat panjang dan berliku.

            Saya pribadi memiliki keyakinan jika dunia ini diselesaikan dengan berdasarkan pada pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik yang dilandasi semangat Pancasila, perdamaian pun akan lebih cepat tercipta. Hal itu disebabkan Pancasila mengajarkan bahwa perdamaian dan persamaan itu harus diwujudkan agar keadilan dapat tercipta dalam rangka mengabdikan diri pada Allah swt. Jadi, bukan menciptakan perdamaian untuk mendapatkan keuntungan sepihak, melainkan untuk kepentingan bersama seluruh umat manusia.

            Sesungguhnya, kapitalis pun ingin berdamai asal …. Nah, kata asal ini yang membuat perdamaian sulit sekali tercipta karena merupakan persayaratan yang harus dipenuhi musuhnya yang belum tentu disetujui. Demikian pula komunis, perdamaian boleh terjadi asal …. Nah, mereka pun memiliki kata asal yang berupa syarat yang membuat segalanya tetap runyam.

            Berbeda dengan Pancasila yang mengharuskan terjadinya perdamaian tanpa ada kata asal …. Pancasila mewajibkan kita untuk saling menghormati dan menghargai dalam menikmati dan memiliki materi sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah swt.

            Dunia tidak akan pernah mengalami perdamaian yang hakiki dan akan terus dalam pertikaian dan permusuhan karena setiap pihak ingin memiliki keuntungan rendah dari pertikaian dan penyelesaian yang terjadi. Pancasila pun tetap tidak akan mampu berbicara banyak di dunia internasional jika bangsa Indonesia masih terikat pada kapitalis atau komunis. Kalau sudah benar-benar terlepas dari kendali kapitalis atau komunis, Indonesia bisa berteriak keras pada dunia untuk segera berhenti dari pertengkaran dengan mengikuti keluhuran budi nusantara dalam menyelesaikan masalah dibandingkan terus-terusan rebutan benda dan uang dengan cara saling bunuh, saling tuduh, saling tuding lewat media-media massa.

            Indonesia memiliki tanda-tanda kekuatan itu.

            Bukankah kita sudah tidak takut membuat kapal para pencuri ikan tenggelam?

            Siapa yang kita takuti?

            Bukankah kita sudah tidak takut untuk menghukum mati para penjahat besar Narkoba meskipun kita dikecam negara-negara lain?

            Siapa yang kita takuti?

            Bukankah kita sudah tidak takut untuk mengklaim kedaulatan wilayah NKRI, baik di darat, di laut, maupun di udara?

            Siapa yang kita takuti?

            Bukankah kita sudah tidak takut menghentikan pesawat terbang asing yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin?

            Siapa yang kita takuti?

            Bukankah kita sudah merasa terhina jika ada WNI mendapat perlakuan buruk di negara lain dan mulai memberikan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikan itu?

            Siapa yang kita takuti?


            Untuk memberikan gagasan mengenai perdamaian dunia, kita sudah memiliki modal yang cukup untuk tegak berdiri. Yang masih harus dilakukan oleh kita semua adalah meningkatkan rasa pede, ‘percaya diri’, bahwa kita mampu memberikan solusi yang teramat baik bagi dunia. 

Wednesday, 24 August 2016

Tahun "Rasa" Kemenangan Indonesia

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Tahun 2016 terasa ada yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Memang tidak dapat dibuktikan dengan nyata, tetapi fenomenanya terasa nyata. Ramadhan tahun 2016 terasa sekali aura semangat kaum muslim dan saudara-saudara nonmuslim Indonesia dalam menyambut dan melewati setiap waktunya. Banyak yang sangat terpengaruh dan merasakan kegembiraan luar biasa. Kegembiraan dan semangat hidup yang lebih baik itu pun terlihat pada saat memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-71. Seluruh masyarakat, baik di pusat, provinsi, kota, kabupaten, kecamatan, bahkan kelurahan dan desa merasakan semangat yang tinggi dalam memperingatinya. Berbagai atraksi permainan dan patriotisme ditampilkan untuk menunjukkan diri sebagai rakyat yang bangga terhadap negerinya. Bahkan, kegembiraan, keriangan, dan semangat ini pun bukan hanya terasa di dalam negeri, melainkan pula sampai ke luar negeri sekalipun mereka bukan orang Indonesia asli dan belum pernah ke Indonesia. Tak heran Presiden AS Barack Obama menyampaikan ucapan selamat HUT RI ke-71, demikian pula warga Brazil yang ikut mengucapkan selamat ulang tahun sekaligus ikut gembira atas kemenangan Tontowi & Liliyana dalam cabang bulu tangkis yang berhasil mendapatkan medali emas di Rio de Janerio. Kemenangan bulu tangkis itu merupakan pula bonus “rasa” kemenangan bagi Indonesia.

            Rasa kemenangan seperti yang banyak orang Indonesia rasakan hanyalah perasaan yang ada di Indonesia, sama sekali tidak dimiliki di negara lain di dunia ini. Hal itu disebabkan Proklamasi Kemerdekaan RI dilaksanakan pada tanggal 9 Jumat bulan Ramadhan yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Hal itu pula yang menyebabkan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia disebut “Hari Kemenangan”. Disebut hari kemenangan karena pada saat itu Indonesia berhasil menang atas perlawanan terhadap penjajahan yang ditandai dengan dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan ditambah dengan kemenangan selesai melaksanakan ibadat shaum Ramadhan. Jadi, ada dua kemenangan yang dirasakan bangsa Indonesia, yaitu menang dengan proklamasi dan menang selesai shaum.

            Selepas itu, diselenggarakan pula mudik dan tradisi halal bil halal yang hanya terjadi di Indonesia. Mudik dan halal bil halal itu terjadi untuk mencairkan suasana bangsa Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan. Hal itu disebabkan ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan para penjajah, sering terjadi bentrokan di antara rakyat Indonesia sendiri. Sebagian rakyat melawan penjajahan, sebagian lagi membela penjajahan. Kedua kelompok ini sering sekali bentrok dan bertikai. Para pejuang menyebut mereka yang membela penjajahan sebagai “pengkhianat bangsa”. Akan tetapi, ketika Belanda dan Jepang berhasil dikalahkan melalui jalur diplomasi dan militer oleh Indonesia, kemudian dikumandangkan proklamasi oleh Soekarno-Hatta, para “pengkhianat bangsa” kelimpungan, kehilangan induk karena pihak-pihak yang mereka bela harus angkat kaki diusir dari tanah air Indonesia. Mereka bingung dan kehilangan arah, tak tahu lagi harus bagaimana. Orang-orang yang mereka perangi telah menang. Mereka pun takut terjadi pembalasan dan penghukuman dari para pejuang yang telah menjadi pemenang perang. Para santri melihat hal itu, kemudian merasa kasihan kepada para pengkhianat bangsa itu. Akhirnya, diselenggarakanlah acara halal bil halal sebagai sarana untuk saling memaafkan yang artinya para pengkhianat itu hendaknya segera dimaafkan karena para penjajah telah kalah dan sebagai sesama bangsa Indonesia harus tetap menjalin silaturahmi. Dimulailah kegiatan mudik dan halal bil halal yang terus berlangsung sampai hari ini untuk saling melupakan masa lalu yang kelam. Itulah kearifan lokal yang hanya ada di Indonesia.


Memupuk Rasa Kemenangan

Perasaan itu harus tetap dijaga dan disirami agar selalu tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat. Ramadhan dan HUT RI itu harus tetap mampu membakar jiwa agar selalu bersemangat dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Semangat kemenangan kebersamaan itu lambat laun akan membuat malu para koruptor, para pengkhianat, para kaki tangan asing, para pedagang undang-undang, para provokator, para perusuh, para penipu, para petualang curang, dan para penjahat di negeri ini. Biarkan mereka malu karena ketika orang-orang bersemangat menunjukkan cinta dan baktinya pada negeri, mereka justru merusakkannya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan hasil yang tidak seberapa besar. Semangat kebersamaan itu pun akan memberikan sinyal pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang satu dan mencintai kesatuan; negara yang tidak mudah dirobek-robek, dipecah-pecah, dan diadudomba hanya untuk kepentingan mengumpulkan uang; negara yang memiliki rakyat yang penuh patriotisme tinggi yang akan melakukan hal apa saja untuk melindungi negerinya; negara yang ingin tumbuh dengan keadilan bagi setiap rakyatnya; negara yang menganggap setiap rakyat adalah saudara bagi yang lainnya. Dengan demikian, negara lain yang gemar mencampuri urusan negara lain dan hobi membuat huru-hara di negara orang lain serta senang melakukan fitnah di negara lain, akan berpikir ulang untuk membuat kekacauan di Indonesia karena yang mereka lawan adalah seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia akan senang sekali menyingkirkan para pengacau seperti senangnya rakyat Indonesia memenjarakan para koruptor dan menghukum mati para pengedar Narkoba.

            Kita bisa menunjukkan kegembiraan dan kesenangan kita melalui media-media sosial yang ada di internet. Kita dapat meng-upload  berbagai kegiatan patriotisme dan permainan dalam youtube. Upayakan selalu membuat dua tayangan jika ditayangkan di Youtube. Tayangan pertama berbahasa Indonesia sebagaimana aslinya. Tayangan kedua dengan menggunakan bahasa Inggris agar dunia lebih mengenal lagi Indonesia dan semakin menghormati Indonesia. Gunakan judul-judul dengan menggunakan bahasa Inggris dan itu cukup mudah dengan menggunakan fasilitas google translate. Dengan lebih dikenal oleh dunia, orang-orang dari berbagai negara akan lebih penasaran pada Indonesia. Dengan demikian, mereka pun akan datang dengan sendirinya. Jika mereka telah datang ke Indonesia, kita bisa menawarkan banyak kebaikan pada mereka. Jangan kita yang terpengaruhi oleh mereka, tetapi kita yang harus memberikan pengaruh positif bagi mereka karena kita telah cukup mampu menyelesaikan banyak sengketa bersenjata pada berbagai daerah di Indonesia dan cukup mampu mempertahankan kehidupan yang lebih harmonis tanpa rasisme. Hal itu disebabkan mereka masih terjebak dalam rasisme, keberbangga-banggaan diri, dan tujuan hidup yang salah, yaitu hanya bertujuan mendapatkan uang dan materi sebanyak-banyaknya. Itulah yang membuat mereka dan juga banyak orang dari kita hidup tidak pernah tenang karena setiap hari hanya memikirkan uang, uang, dan uang.

            Kata Imam Al Ghazali, “Sungguh malang orang-orang yang pergi pagi pulang sore yang di kepalanya dipenuhi pikiran soal uang dan uang. Mereka sesungguhnya orang-orang yang tidak berilmu.”

            Kata Nabi Muhammad saw, “Seseorang yang hidupnya hanya memikirkan dunia akan diberi pekerjaan yang tidak akan pernah selesai. Sepanjang hidupnya hanya akan dipenuhi pikiran duniawi sejak bangun tidur sampai tidur lagi.”

            Dengan kebaikan, semangat, dan kebersamaan yang kita miliki, kita akan mampu menawarkan kebaikan pada dunia. Syaratnya, kita yang harus menyadari diri bahwa diri kita memiliki banyak kebaikan dan mampu melaksanakan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita tidak menyadari kebaikan yang kita miliki, kitalah yang akan terpengaruhi orang lain sehingga kita pun akan hidup sama sesatnya dengan orang lain.

            Begitulah yang ayah saya ajarkan ketika saya kecil, “Jangan mudah terpengaruhi orang lain, tetapi kamu yang harus mampu mempengaruhi orang lain.”


Tuesday, 23 August 2016

UU Terkait Ham Yang Patut Dicurigai

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini mulai ada beberapa pemberitaan tentang hal yang dianggap sebagai kekerasan guru terhadap murid. Perilaku guru yang dianggap melanggar Ham tersebut menyebabkan guru harus mendapatkan hukuman.

            Saya merasa ada yang aneh dari hal-hal ini. Ketika ada berita guru yang dilaporkan, diadili, atau divonis bersalah telah melakukan pelanggaran Ham, reaksi masyarakat adalah sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan atau kesetujuan atas nasib yang menimpa guru tersebut. Masyarakat justru tampaknya cenderung menyalahkan para orangtua dan murid yang telah melaporkan guru tersebut pada pihak yang berwajib. Masyarakat dengan spontan banyak yang segera bersimpatik dan memberikan dukungan kepada guru yang tengah menjalani nasib buruk tersebut. Masyarakat banyak yang menyayangkan adanya kasus tersebut. Kelihatannya, tak ada masyarakat yang sangat senang atas peristiwa tersebut. Mereka yang bergembira mungkin hanya para penggemar Ham made in barat itu. Berbeda dengan pelaksanaan hukuman mati bagi para pengedar Narkoba, rakyat langsung banyak sekali yang mendukung hukuman itu.

            Jadi, undang-undang atau aturan yang bisa menjerat para guru itu sebenarnya aspirasi dari mana?

            Kalau aspirasi dari rakyat, kita tidak melihat adanya rakyat yang menyambut gembira atas hukuman yang diberikan kepada para guru itu. Rakyat justru agak terganggu dengan adanya kasus-kasus tersebut. Apalagi ketika ada guru yang dikeroyok oleh murid dan orangtua murid, rakyat benar-benar terganggu dan langsung mendukung guru yang teraniaya.

            Ketika guru diadili sampai dihukum karena dianggap telah melanggar Ham, rakyat banyak yang memberikan dukungan kepada guru. Ketika guru dilangggar kehormatannya oleh siswa dan orangtua siswa, rakyat tetap mendukung guru. Rakyat masih selalu mendukung guru meskipun telah melakukan hukuman fisik pada muridnya. Rakyat tampaknya menganggap hukuman yang diberikan oleh guru-guru itu kepada siswanya yang bermasalah merupakan sesuatu yang “wajar” dilakukan.

            Mungkin rakyat mendukung para guru tersebut karena tidak tahu dengan utuh kekerasan yang terjadi. Bisa jadi sebenarnya guru telah melakukan kekerasan yang keterlaluan, misalnya, mencubit sampai kulit terkelupas dan berdarah, melakukan tindakan kasar dengan kata-kata yang berasal dari kebun binatang, menggampar sampai menimbulkan luka serius apalagi sampai luka permanen, atau menjemur murid hingga pingsan. Kalau sampai mengetahui kekerasan tersebut dilakukan dengan keterlaluan, rakyat pasti setuju agar guru tersebut mendapatkan hukuman. Akan tetapi, jika Sang Guru memberikan hukuman fisik yang dianggap wajar untuk mendisiplinkan muridnya, rakyat pasti tidak setuju dan akan tetap mendukung guru yang artinya tidak setuju terhadap aturan-aturan yang membuat guru ketakutan untuk memberikan pendidikan dalam kedisiplinan. Kalau hanya mencubit tanpa menimbulkan luka serius apalagi permanen, rakyat menganggapnya sesuatu yang wajar. Saya juga salah seorang anggota rakyat Indonesia yang pasti memiliki penilaian mengenai apakah sebuah hukuman fisik itu dapat dikategorikan wajar atau keterlaluan.

            Hal yang membuat khawatir banyak orang adalah undang-undang tentang Ham tersebut menghalangi guru untuk memberikan pengalaman hidup agar siswa dapat berdisiplin, tidak mengganggu teman-temannya, selalu menghormati guru, menghormati hak milik orang lain, dan lain sebagainya. Kalaulah hukuman fisik ringan dan bentakan wajar yang dipicu oleh kebandelan seorang siswa membuat guru harus menanggung derita sebagai pelanggar Ham, itulah yang menjadi pertanyaan saya bahwa aspirasi dari mana undang-undang itu lahir. Hal itu disebabkan rakyat merasa tidak benar dengan hal-hal seperti itu.

            Sangat disayangkan jika undang-undang yang bisa menjerat para guru itu lahir dengan klaim merupakan aspirasi rakyat, tetapi sesungguhnya merupakan pesanan dari “pihak lain” yang sama sekali tidak berhubungan dengan rakyat. Bahkan, menimbulkan kerancuan di dalam kehidupan sosial.


Undang-Undang Pesanan

Mengenai undang-undang yang sesungguhnya bukan aspirasi rakyat ini sudah sejak lama dicurigai marak di Indonesia. Pada masa pemerintahan lalu, undang-undang yang diduga merupakan pesanan ini banyak terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Sekarang seharusnya sudah sangat berkurang atau bisa dicegah dengan semangat nasionalisme yang semakin tinggi dan pembelaan kepada rakyat yang lebih besar. Kalaulah sekarang masih ada undang-undang yang bukan berasal dari aspirasi rakyat atau bukan berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh di tengah-tengah rakyat, sangatlah disayangkan.

            Saya sebagai warga Negara Indonesia sangat khawatir bahwa undang-undang Ham ini justru merupakan pesanan dari pihak lain atau hasil peniruan dari undang-undang negara lain. Sangat kerdil bangsa Indonesia jika itu benar-benar terjadi. Kekhawatiran saya itu berdasarkan bahwa banyak orang yang telah menduga dengan memiliki data bahwa kemungkinan adanya undang-undang pesanan itu benar-benar nyata adanya.

            H. Amang Syafrudin Lc., mantan anggota DPD RI mengisyaratkan undang-undang pesanan itu merupakan hasil dari transactional legislation atau lebih enak dengan istilah “jual beli legislasi”. Jika ada yang membantah adanya jual beli legislasi, baik elit maupun masyarakat umum, kemungkinan besar mereka tidak tahu atau tidak mengerti legislasi. Hal tersebut sebagaimana yang ditegaskan mantan anggota DPR RI Permadi. Menurutnya, banyaknya legislasi pesanan asing itu disebabkan oleh para anggota legislatif kita yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri.

            “Orang-orang asing itu kalau memesan legislasi, tidak banyak-banyak, cukup satu kalimat dalam satu ayat,” kata Permadi dalam acara Jakarta Lawyers Club di stasiun televisi tvOne (2010).

            Saat ini memang sangat sulit bagi masyarakat untuk tidak menduga adanya jual beli legislasi. Hal itu disebabkan Negara Indonesia, sebagaimana dikatakan Amien Rais (2008), sudah berada pada posisi state capture corruption, ‘korupsi yang menyandera negara’.

            Menurutnya, state capture corruption ternyata mengejawantah dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli perundang-undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang pertambangan dan bidang-bidang lainnya, seperti, perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, dan pengadaan air. Akibatnya, pemerintah sendiri hanya menjadi sekedar kepanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar.

            Selanjutnya, Amien Rais mencontohkan bahwa bila kita teliti Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007, ada keanehan yang mencolok. Lebih dari enam puluh jenis usaha ditulis dalam bahasa Inggris tanpa ada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga kesimpulannya, penulis draft Peraturan Presiden itu hanya mencontek peraturan negara lain, entah negara mana. Kemungkinan kedua adalah memang ada tim korporasi asing yang menuliskan rancangan naskah Peraturan Presiden itu.

            Ia menegaskan bahwa campur tangan korporasi asing dalam membuat rancangan berbagai naskah UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Cara yang paling efektif yang dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam, kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat “pembelian” legislasi. Sekali lagi, inilah yang dinamakan state capture corruption.


Pentingnya Kajian Akademik

Kajian akademik sangat penting sekali dalam proses membuat undang-undang. Bukan hanya menyusun naskah akademik yang penting, melainkan pula sosialisasi naskah itu yang juga sangat penting. Dengan demikian, seluruh masyarakat yang memiliki perhatian terhadap lahirnya sebuah undang-undang dapat berpartisipasi memberikan masukan positif. Jangan hanya disosialisasikan kepada orang-orang yang ditunjuk, misalnya, polisi, jaksa, hakim, atau akademisi tertentu. Hendaknya disosialisasikan pula naskah akademik akhir tersebut kepada masyarakat luas. Sekarang ini zaman internet. Naskah-naskah akademik itu dapat disebarkan melalui internet sehingga masyarakat dapat ikut lebih berpartisipasi. Masyarakat ini banyak yang pintar-pintar dan memiliki kepentingan terhadap sesuatu hal yang menjadi daya tarik bagi dirinya. Dengan terlibatnya masyarakat luas, undang-undang yang ditetapkan pun akan memiliki dukungan yang lebih luas yang akhirnya akan mendapatkan kepatuhan yang juga lebih kuat. Di samping itu, perilaku yang bisa menjurus pada kecurigaan “jual beli legislasi” dapat ditekan seminimal mungkin, bahkan dihilangkan.

            Saya mencoba mencari tahu pikiran-pikiran yang mungkin menjadi dasar adanya undang-undang yang dapat menjerat guru menjadi pelanggar ham tersebut. Saya mencarinya bukan dari kajian akademik untuk proses pembuatan undang-undang karena saya belum menemukannya, melainkan dari artikel-artikel yang berkaitan dengan kekerasan di lingkungan sekolah. Dari beberapa artikel yang mereka tulis, saya mendapatkan kesan adanya “penggiringan opini” agar lembaga sekolah dijadikan lembaga semisal “surga” bagi para siswa dengan menekankan guru yang harus lebih mengerti siswa dan memberikan kenyamanan berlebihan kepada siswa. Padahal, sekolah itu merupakan lembaga pendidikan dan dalam pendidikan itu selalu ada hukuman dan penghargaan untuk mendapatkan hasil pendidikan yang maksimal. Di samping itu, mereka pun menggunakan data-data yang tidak lengkap mengenai kekerasan yang terjadi serta penggunaan teori-teori yang tidak tepat untuk dijadikan alat analisis.

            Dalam hal data-data yang digunakan kerap ditulis telah terjadi kekerasan di sebuah kota anu di lingkungan sekolah anu, tetapi hanya ditulis di sebuah SMA tanpa nama sekolahnya. Di samping itu, jenis kekerasannya pun tidak ditulis jelas, padahal sebuah kekerasan itu bisa dinilai berat dan ringannya. Misalnya, mencubit. Dalam bahasa Sunda mencubit itu adalah nyiwit. Ada dua bentuknya, yaitu: ciwit leutik, ‘cubit kecil’, dan ciwit badag, ‘cubit besar’. Cubit kecil itu sangat berbahaya dan bisa menimbulkan luka serius. Akan tetapi, cubit besar sama sekali tidak berbahaya serta hanya menimbulkan sedikit rasa sakit yang segera hilang dan hanya menimbulkan rasa malu jika dilakukan seorang guru terhadap muridnya. Berbeda jika melakukan cubit besar terhadap pasangan yang justru menimbulkan rasa senang dan menimbulkan rasa manja.

            Dalam hal penggunaan kajian atau teori tentang kekerasan pun terkesan dipaksakan dan tidak tepat sasaran. Entah penelitinya berbohong karena bertujuan memuaskan Sang Pemesan hasil penelitian, entah bangsa Indonesia yang salah menggunakannya. Saya kutipkan satu kajian dari sekian banyak kajian yang tidak tepat untuk dijadikan alat analisis.

            Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)

            Ada banyak pertanyaan untuk kutipan tersebut.

            Si Gershoff itu meneliti di mana? Di negara mana? Di Indonesia?

            Mengapa harus mengikuti penelitian dengan objek orang-orang yang berbeda kultur dengan kultur bangsa Indonesia?

            Sungguh sangat tidak tepat menggunakan perilaku orang lain untuk dijadikan panduan bagi kita yang memiliki kultur berbeda.

            Adakah murid di Indonesia yang pernah dihukum gurunya, kemudian menjadi seseorang yang penuh kekerasaan sehingga menganiaya keluarganya?

            Kalau ada, sebutkan nama orangnya! Di mana dia tinggal?

            Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan hasil penelitian Si Gershoff?

            Teliti sendiri dong di negeri sendiri!

            Kekerasan macam apa yang telah dilakukan guru di tempat Si Gershoff meneliti sehingga bisa mengubah seseorang menjadi seorang pemarah? Tindakan apa yang telah dilakukan murid yang telah memicu gurunya sehingga memberikan hukuman yang bisa membuat seseorang menjadi sangat kasar?

            Kejadian nggak di Indonesia? Hukuman yang pernah dilakukan guru yang mana yang membuat seorang murid menjadi penuh agresi dan antisosial?

            Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan pendapat Gershoff?

            Pada kalimat akhir ujung kutipan sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Coba perhatikan.

            Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)

            Pada kalimat itu tidak dijelaskan mengenai kekerasan apa dan ukuran berat-ringannya kekerasan yang dilakukan. Pokoknya, semua bisa dibilang kekerasan jika mereka bilang itu adalah kekerasan. Kalaulah kekerasan itu keterlaluan dan hanya bertujuan menunjukkan kekuasaan diri atas orang yang lebih lemah dalam hal ini guru terhadap murid, itu jelas kekerasan yang harus dihindari. Akan tetapi, jika “kekerasan” itu bertujuan mendidik agar siswa dapat hidup lebih baik dan dilakukan dengan terukur tanpa menimbulkan kerusakan tubuh apalagi bersifat permanen, itu harus didukung.

            Di Indonesia justru berbagai “kekerasan” yang dilakukan guru dan orangtua, menjadikan seseorang lebih baik dan akan terus diingat dalam memorinya sepanjang masa. Saya menggunakan kata “kekerasan”, padahal saya sendiri enggan menggunakannya karena yang saya lihat sebagai kekerasan kata mereka itu sebenarnya banyak yang berupa “ketegasan” untuk disiplin.

            Saya ini penulis dan pernah menjadi wartawan sebuah majalah pendidikan. Tugas saya itu adalah yang paling berat dan paling penting. Dalam setiap edisi saya diwajibkan mewawancarai tokoh atau pejabat negara dan foto mereka harus berada dalam jilid depan majalah. Redaktur berharap agar biografi singkat para tokoh atau pejabat itu menjadi contoh bagi generasi muda agar bisa memotivasi anak muda untuk masa depan yang lebih baik. Seluruh orang penting dalam pemerintahan di Provinsi Jawa Barat ketika Banten masih belum menjadi provinsi terpisah, sudah saya wawancarai. Gubernur Jawa Barat, keempat Wakil Gubernur (dulu Wagub Jabar ada empat orang), bupati, walikota, beberapa Sekda, dan kepala dinas sudah saya wawancarai. Seluruh orang-orang hebat itu selalu mengalami “kekerasan” pada masa kecil dan masa mudanya. “Kekerasan” itu ada yang datang dari ayahnya, ibunya, kakeknya, uwaknya, gurunya, kiyainya, dan orang-orang terdekat lainnya. Ada yang pada usia empat tahun dipaksa bangun jika belum bangun pukul empat pagi, lalu dipaksa shalat dan dzikir Shubuh dalam cuaca yang dingin sekali; dijemur pada tengah hari dengan satu kaki dan tangan menjewer telinganya sendiri; diusir dari dalam rumah dan dibiarkan tidur di teras; dibiarkan tidur di masjid; dipukul jika tidak shalat; dihajar jika main-main terlalu lama dan keterlaluan; masih banyak kekerasan lain yang mereka dapatkan yang tidak mungkin saya tulis di sini karena terlalu banyak.

            Kisah-kisah itu muncul ketika mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

            Bagaimana cara pendidikan di keluarga sewaktu kecil?

            Siapa yang paling berperan dalam memberikan pendidikan di keluarga?

             Nasihat apa yang orangtua berikan yang sampai saat ini menjadi pegangan hidup?

            Apa kisah menarik yang pernah dialami di sekolah atau di pesantren?

            Beberapa dari mereka mengisahkannya dengan tertawa-tawa karena merasa lucu jika mengingat saat menerima hukuman dan pendidikan tegas itu. Beberapa lagi mengisahkan dengan bangga. Tak ada satu orang pun yang dendam kepada orang-orang dekatnya yang telah memberikan pendidikan yang keras. Justru mereka berterima kasih kepada orang-orang itu karena justru merasa terpicu untuk dapat berbuat lebih baik agar tidak menerima hukuman itu lagi. Mereka masih mengingatnya dan itu menjadi pelajaran berharga bagi mereka.

            Berbagai “kekerasan”, hukuman, dan penderitaan yang mereka alami menjadikan mereka manusia-manusia yang lebih kuat dan lebih mampu mengatasi masalah ketika sudah terlepas dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pesantren.

            Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, H.M.A Sampurna (Alm.) mengatakan, “Anak-anak sekarang mentalnya lemah, semangatnya rendah karena tidak dididik dengan berbagai penderitaan dan penderitaan, kesulitan demi kesulitan. Kalau kami dulu dewasa dengan penderitaan dan bimbingan yang keras sehingga lebih mampu mengatasi masalah.”

            Kalau mau jujur, para pejabat dan tokoh penting di Indonesia ini yang usianya sudah mencapai 45 tahun ke atas sekarang, kemungkinan besar pernah mengalami berbagai kekerasan dan kesulitan dalam masa kecilnya atau masa mudanya yang dilakukan orang lain terhadapnya. Dengan hal itulah mereka mendapatkan pelajaran untuk menjadi orang yang lebih kuat menghadapi hidup dan memecahkan berbagai masalah.

            Di Indonesia ini hampir tidak ada orang yang dididik orangtuanya dan gurunya dengan keras agar lebih mampu menghadapi masa depan, tetapi kemudian menjadi manusia-manusia pemarah, antisosial, agresi, dan  berpenyakit mental. Berbeda dengan orang-orang di tempat Gershoff melakukan penelitian. Kalaupun ada dan terjadi di Indonesia, kekerasan yang diterimanya bukanlah untuk mendidik dirinya, melainkan merupakan korban pelampiasan kemarahan dan pertunjukkan kekuasan diri seseorang terhadapnya.

            Justru orang-orang yang tidak pernah mendapatkan bimbingan keras dan tegaslah yang biasanya mudah sekali jatuh depresi, lemah, frustrasi, stres, dan putus asa. Hal itu disebabkan mereka awalnya terbiasa hidup di lingkungan yang nyaman bak surga. Mereka hidup di lingkungan orang-orang yang selalu memahami dirinya dan mendapatkan suasana menyenangkan tanpa kesulitan berarti. Bahkan, ketika melakukan kesalahan pun tidak pernah mendapatkan hukuman yang membuatnya belajar dari kesalahannya. Akan tetapi, ketika keluar dari zona nyaman itu, mereka pun mendapatkan banyak masalah dan tantangan yang membuat mereka terkejut dan sedih tanpa memiliki solusi alternatif. Mereka adalah generasi-generasi lemah yang dalam bahasa Sunda disebut epes meer, ‘mudah menyerah’, atau keuyeup apu, ‘lamban bagai kepiting yang rapuh, kolokan, dan kurang semangat’.

            Itulah bahayanya jika menggeneralisasi seluruh kekerasan sebagai perbuatan melanggar Ham. Padahal, jenis kekerasan itu banyak dan ukurannya berat-ringannya berbeda-beda serta niat dan tujuannya pun berbeda pula.

            Sekarang terserah kita mau dibawa ke mana generasi muda kita ini. Mau diwujudkan sebagai generasi lemah yang mudah menyerah yang ditandai dengan mendapatkan kesulitan berupa “dicubit sedikit saja” lapor polisi atau generasi kokoh pantang mundur yang jika ditonjok pun dia tetap berdiri tegar bangga dengan dirinya sendiri serta mampu memecahkan berbagai masalah.


 Guru Harus Berperan Lebih Aktif

Guru harus berperan lebih aktif dalam soal pendidikan di lingkungan sekolah. Guru dapat terlibat aktif dalam memberikan masukan pada pemerintah, baik mengenai proses pendidikan maupun dalam penyusunan undang-undang. Jangan sampai justru orang-orang di luar llingkungan sekolah yang banyak mengatur kehidupan pendidikan. Hal itu disebabkan guru yang lebih memahami soal pendidikan di sekolah dan di kelas berikut permasalahannya karena guru merupakan subjek aktif yang berada pada garis depan.

            Guru dapat memberikan masukan melalui tulisan-tulisan ilmiah mengenai bagaimana menumbuhkan murid yang hormat, sopan, dan patuh terhadap guru. Demikian pula mengenai cara-cara meningkatkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Guru pun dapat menggunakan sarana Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam memecahkan masalah di kelas mengenai murid yang dianggap dapat memicu guru untuk memberikan hukuman. Hal itu disebabkan dalam menyusun PTK tersebut, guru harus melakukan refleksi dan boleh bertukar pikiran dengan teman sejawat. Dengan refleksi, hasil tukar pikiran dengan teman sejawat, serta penggunaan teori-teori dan kajian-kajian yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik yang dapat digunakan sendiri di kelasnya, di lingkungan sekolahnya, di sekolah-sekolah lain, bahkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan, mencegah terjadinya kekerasan di sekolah yang bisa disebabkan oleh kurang sabarnya guru atau bandelnya siswa, serta bagaimana cara memberikan hukuman terukur dan efektif jika memang ada siswa yang harus diberikan hukuman.

            Kunci utama guru adalah harus rajin membaca buku sehingga mendapatkan pengetahuan dari sana-sini. Dengan pengetahuan yang banyak dan pengalaman yang banyak, guru memiliki banyak pilihan atau alternatif, baik dalam hal akademis maupun dalam hal nonakademis, semisal, perilaku. Dengan banyak membaca literatur, guru pun akan lebih banyak memiliki bahan untuk membuat tulisan.

            Saya ini pernah membantu banyak guru di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Cirebon, Kuningan, dan Indramayu dalam memberikan pelatihan menyusun PTK. Akan tetapi, penyakitnya selalu sama, yaitu banyak guru yang memiliki kemampuan menulis yang rendah. Hal itu disebabkan banyak guru yang kurang membaca. Akibatnya, tidak memiliki bahan untuk ditulis. Jangankan untuk membuat penelitian, menulis saja sangat sulit.  

            Jika saja guru banyak membaca, banyak mengamati, banyak melakukan refleksi, dan banyak bertukar pikiran dengan teman sejawat mengenai penanganan terhadap perilaku siswa yang pantas untuk diberikan hukuman, akan ada banyak hasil penelitian yang dilakukan guru yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika guru hanya banyak diam dan membiarkan orang lain di luar pendidikan yang mengatur pendidikan, jangan kecewa jika ada peraturan atau ada undang-undang yang dianggap tidak memiliki keberpihakan kepada guru dan pada pendidikan secara umum. Jangan pula sedih dan kesal jika ada peraturan atau undang-undang yang justru bisa merugikan guru karena guru tidak banyak aktif memberikan masukan.

             Guru-lah yang seharusnya bersuara secara ilmiah untuk menyelesaikan banyak persoalan di dalam tubuh pendidikan, termasuk dalam memberikan hukuman di lingkungan sekolah agar siswa tetap dapat bersekolah dan tidak dipecat sebagai siswa di sekolahnya karena telah melakukan hal-hal yang kurang ajar.