oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Akhir-akhir ini mulai ada
beberapa pemberitaan tentang hal yang dianggap sebagai kekerasan guru terhadap
murid. Perilaku guru yang dianggap melanggar Ham tersebut menyebabkan guru
harus mendapatkan hukuman.
Saya merasa ada yang aneh dari hal-hal ini. Ketika ada
berita guru yang dilaporkan, diadili, atau divonis bersalah telah melakukan
pelanggaran Ham, reaksi masyarakat adalah sama sekali tidak menunjukkan
kegembiraan atau kesetujuan atas nasib yang menimpa guru tersebut. Masyarakat
justru tampaknya cenderung menyalahkan para orangtua dan murid yang telah
melaporkan guru tersebut pada pihak yang berwajib. Masyarakat dengan spontan
banyak yang segera bersimpatik dan memberikan dukungan kepada guru yang tengah
menjalani nasib buruk tersebut. Masyarakat banyak yang menyayangkan adanya
kasus tersebut. Kelihatannya, tak ada masyarakat yang sangat senang atas
peristiwa tersebut. Mereka yang bergembira mungkin hanya para penggemar Ham made in barat itu. Berbeda dengan
pelaksanaan hukuman mati bagi para pengedar Narkoba, rakyat langsung banyak
sekali yang mendukung hukuman itu.
Jadi, undang-undang atau aturan yang bisa menjerat para
guru itu sebenarnya aspirasi dari mana?
Kalau aspirasi dari rakyat, kita tidak melihat adanya
rakyat yang menyambut gembira atas hukuman yang diberikan kepada para guru itu.
Rakyat justru agak terganggu dengan adanya kasus-kasus tersebut. Apalagi ketika
ada guru yang dikeroyok oleh murid dan orangtua murid, rakyat benar-benar
terganggu dan langsung mendukung guru yang teraniaya.
Ketika guru diadili sampai dihukum karena dianggap telah
melanggar Ham, rakyat banyak yang memberikan dukungan kepada guru. Ketika guru
dilangggar kehormatannya oleh siswa dan orangtua siswa, rakyat tetap mendukung
guru. Rakyat masih selalu mendukung guru meskipun telah melakukan hukuman fisik
pada muridnya. Rakyat tampaknya menganggap hukuman yang diberikan oleh guru-guru
itu kepada siswanya yang bermasalah merupakan sesuatu yang “wajar” dilakukan.
Mungkin rakyat mendukung para guru tersebut karena tidak
tahu dengan utuh kekerasan yang terjadi. Bisa jadi sebenarnya guru telah
melakukan kekerasan yang keterlaluan, misalnya, mencubit sampai kulit
terkelupas dan berdarah, melakukan tindakan kasar dengan kata-kata yang berasal
dari kebun binatang, menggampar sampai menimbulkan luka serius apalagi sampai
luka permanen, atau menjemur murid hingga pingsan. Kalau sampai mengetahui
kekerasan tersebut dilakukan dengan keterlaluan, rakyat pasti setuju agar guru
tersebut mendapatkan hukuman. Akan tetapi, jika Sang Guru memberikan hukuman
fisik yang dianggap wajar untuk mendisiplinkan muridnya, rakyat pasti tidak
setuju dan akan tetap mendukung guru yang artinya tidak setuju terhadap
aturan-aturan yang membuat guru ketakutan untuk memberikan pendidikan dalam
kedisiplinan. Kalau hanya mencubit tanpa menimbulkan luka serius apalagi
permanen, rakyat menganggapnya sesuatu yang wajar. Saya juga salah seorang
anggota rakyat Indonesia yang pasti memiliki penilaian mengenai apakah sebuah
hukuman fisik itu dapat dikategorikan wajar atau keterlaluan.
Hal yang membuat khawatir banyak orang adalah
undang-undang tentang Ham tersebut menghalangi guru untuk memberikan pengalaman
hidup agar siswa dapat berdisiplin, tidak mengganggu teman-temannya, selalu
menghormati guru, menghormati hak milik orang lain, dan lain sebagainya.
Kalaulah hukuman fisik ringan dan bentakan wajar yang dipicu oleh kebandelan
seorang siswa membuat guru harus menanggung derita sebagai pelanggar Ham,
itulah yang menjadi pertanyaan saya bahwa aspirasi dari mana undang-undang itu
lahir. Hal itu disebabkan rakyat merasa tidak benar dengan hal-hal seperti itu.
Sangat disayangkan jika undang-undang yang bisa menjerat
para guru itu lahir dengan klaim merupakan aspirasi rakyat, tetapi sesungguhnya
merupakan pesanan dari “pihak lain” yang sama sekali tidak berhubungan dengan
rakyat. Bahkan, menimbulkan kerancuan di dalam kehidupan sosial.
Undang-Undang
Pesanan
Mengenai undang-undang yang
sesungguhnya bukan aspirasi rakyat ini sudah sejak lama dicurigai marak di
Indonesia. Pada masa pemerintahan lalu, undang-undang yang diduga merupakan
pesanan ini banyak terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Sekarang
seharusnya sudah sangat berkurang atau bisa dicegah dengan semangat
nasionalisme yang semakin tinggi dan pembelaan kepada rakyat yang lebih besar.
Kalaulah sekarang masih ada undang-undang yang bukan berasal dari aspirasi
rakyat atau bukan berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh di tengah-tengah rakyat,
sangatlah disayangkan.
Saya sebagai warga Negara Indonesia sangat khawatir bahwa
undang-undang Ham ini justru merupakan pesanan dari pihak lain atau hasil
peniruan dari undang-undang negara lain. Sangat kerdil bangsa Indonesia jika
itu benar-benar terjadi. Kekhawatiran saya itu berdasarkan bahwa banyak orang
yang telah menduga dengan memiliki data bahwa kemungkinan adanya undang-undang
pesanan itu benar-benar nyata adanya.
H. Amang Syafrudin Lc., mantan anggota DPD RI
mengisyaratkan undang-undang pesanan itu merupakan hasil dari transactional legislation atau lebih
enak dengan istilah “jual beli legislasi”. Jika ada yang membantah adanya jual
beli legislasi, baik elit maupun masyarakat umum, kemungkinan besar mereka
tidak tahu atau tidak mengerti legislasi. Hal tersebut sebagaimana yang
ditegaskan mantan anggota DPR RI Permadi. Menurutnya, banyaknya legislasi
pesanan asing itu disebabkan oleh para anggota legislatif kita yang tidak
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri.
“Orang-orang asing itu kalau memesan legislasi, tidak
banyak-banyak, cukup satu kalimat dalam satu ayat,” kata Permadi dalam acara Jakarta Lawyers Club di stasiun televisi
tvOne (2010).
Saat ini memang sangat sulit bagi masyarakat untuk tidak
menduga adanya jual beli legislasi. Hal itu disebabkan Negara Indonesia,
sebagaimana dikatakan Amien Rais (2008), sudah berada pada posisi state capture corruption, ‘korupsi yang
menyandera negara’.
Menurutnya, state
capture corruption ternyata mengejawantah dalam pembelian berbagai dekrit
politik dan pembuatan undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan
wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain,
sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing lewat pemerintah yang sedang
berkuasa mampu membeli perundang-undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang
pertambangan dan bidang-bidang lainnya, seperti, perbankan, pertanian,
kehutanan, pendidikan, kesehatan, dan pengadaan air. Akibatnya, pemerintah sendiri
hanya menjadi sekedar kepanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar.
Selanjutnya, Amien Rais mencontohkan bahwa bila kita
teliti Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007, ada keanehan yang mencolok. Lebih
dari enam puluh jenis usaha ditulis dalam bahasa Inggris tanpa ada padanannya
dalam bahasa Indonesia sehingga kesimpulannya, penulis draft Peraturan Presiden
itu hanya mencontek peraturan negara lain, entah negara mana. Kemungkinan kedua
adalah memang ada tim korporasi asing yang menuliskan rancangan naskah
Peraturan Presiden itu.
Ia menegaskan bahwa campur tangan korporasi asing dalam
membuat rancangan berbagai naskah UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena
jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Cara yang paling efektif yang
dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam,
kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat “pembelian” legislasi.
Sekali lagi, inilah yang dinamakan state
capture corruption.
Pentingnya
Kajian Akademik
Kajian akademik sangat
penting sekali dalam proses membuat undang-undang. Bukan hanya menyusun naskah
akademik yang penting, melainkan pula sosialisasi naskah itu yang juga sangat
penting. Dengan demikian, seluruh masyarakat yang memiliki perhatian terhadap
lahirnya sebuah undang-undang dapat berpartisipasi memberikan masukan positif.
Jangan hanya disosialisasikan kepada orang-orang yang ditunjuk, misalnya,
polisi, jaksa, hakim, atau akademisi tertentu. Hendaknya disosialisasikan pula
naskah akademik akhir tersebut kepada masyarakat luas. Sekarang ini zaman
internet. Naskah-naskah akademik itu dapat disebarkan melalui internet sehingga
masyarakat dapat ikut lebih berpartisipasi. Masyarakat ini banyak yang
pintar-pintar dan memiliki kepentingan terhadap sesuatu hal yang menjadi daya
tarik bagi dirinya. Dengan terlibatnya masyarakat luas, undang-undang yang
ditetapkan pun akan memiliki dukungan yang lebih luas yang akhirnya akan
mendapatkan kepatuhan yang juga lebih kuat. Di samping itu, perilaku yang bisa
menjurus pada kecurigaan “jual beli legislasi” dapat ditekan seminimal mungkin,
bahkan dihilangkan.
Saya mencoba mencari tahu pikiran-pikiran yang mungkin
menjadi dasar adanya undang-undang yang dapat menjerat guru menjadi pelanggar
ham tersebut. Saya mencarinya bukan dari kajian akademik untuk proses pembuatan
undang-undang karena saya belum menemukannya, melainkan dari artikel-artikel
yang berkaitan dengan kekerasan di lingkungan sekolah. Dari beberapa artikel
yang mereka tulis, saya mendapatkan kesan adanya “penggiringan opini” agar lembaga
sekolah dijadikan lembaga semisal “surga” bagi para siswa dengan menekankan
guru yang harus lebih mengerti siswa dan memberikan kenyamanan berlebihan
kepada siswa. Padahal, sekolah itu merupakan lembaga pendidikan dan dalam
pendidikan itu selalu ada hukuman dan penghargaan untuk mendapatkan hasil pendidikan
yang maksimal. Di samping itu, mereka pun menggunakan data-data yang tidak
lengkap mengenai kekerasan yang terjadi serta penggunaan teori-teori yang tidak
tepat untuk dijadikan alat analisis.
Dalam hal data-data yang digunakan kerap ditulis telah
terjadi kekerasan di sebuah kota anu di lingkungan sekolah anu, tetapi hanya
ditulis di sebuah SMA tanpa nama sekolahnya. Di samping itu, jenis kekerasannya
pun tidak ditulis jelas, padahal sebuah kekerasan itu bisa dinilai berat dan
ringannya. Misalnya, mencubit. Dalam bahasa Sunda mencubit itu adalah nyiwit. Ada dua bentuknya, yaitu: ciwit leutik, ‘cubit kecil’, dan ciwit badag, ‘cubit besar’. Cubit kecil
itu sangat berbahaya dan bisa menimbulkan luka serius. Akan tetapi, cubit besar
sama sekali tidak berbahaya serta hanya menimbulkan sedikit rasa sakit yang
segera hilang dan hanya menimbulkan rasa malu jika dilakukan seorang guru
terhadap muridnya. Berbeda jika melakukan cubit besar terhadap pasangan yang
justru menimbulkan rasa senang dan menimbulkan rasa manja.
Dalam hal penggunaan kajian atau teori tentang kekerasan
pun terkesan dipaksakan dan tidak tepat sasaran. Entah penelitinya berbohong
karena bertujuan memuaskan Sang Pemesan hasil penelitian, entah bangsa
Indonesia yang salah menggunakannya. Saya kutipkan satu kajian dari sekian
banyak kajian yang tidak tepat untuk dijadikan alat analisis.
Murid yang
mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga
siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun
sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti
perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental.
Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar
pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)
Ada banyak pertanyaan
untuk kutipan tersebut.
Si Gershoff itu meneliti di mana? Di negara mana? Di
Indonesia?
Mengapa harus mengikuti penelitian dengan objek
orang-orang yang berbeda kultur dengan kultur bangsa Indonesia?
Sungguh sangat tidak tepat menggunakan perilaku orang
lain untuk dijadikan panduan bagi kita yang memiliki kultur berbeda.
Adakah murid di Indonesia yang pernah dihukum gurunya,
kemudian menjadi seseorang yang penuh kekerasaan sehingga menganiaya
keluarganya?
Kalau ada, sebutkan nama orangnya! Di mana dia tinggal?
Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan hasil
penelitian Si Gershoff?
Teliti sendiri dong di negeri sendiri!
Kekerasan macam apa yang telah dilakukan guru di tempat
Si Gershoff meneliti sehingga bisa mengubah seseorang menjadi seorang pemarah?
Tindakan apa yang telah dilakukan murid yang telah memicu gurunya sehingga
memberikan hukuman yang bisa membuat seseorang menjadi sangat kasar?
Kejadian nggak di Indonesia? Hukuman yang pernah
dilakukan guru yang mana yang membuat seorang murid menjadi penuh agresi dan
antisosial?
Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan pendapat
Gershoff?
Pada kalimat akhir ujung kutipan sama sekali tidak
berlaku di Indonesia. Coba perhatikan.
Kekerasan tidak
mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak
menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru
(Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)
Pada kalimat itu
tidak dijelaskan mengenai kekerasan apa dan ukuran berat-ringannya kekerasan
yang dilakukan. Pokoknya, semua bisa dibilang kekerasan jika mereka bilang itu
adalah kekerasan. Kalaulah kekerasan itu keterlaluan dan hanya bertujuan
menunjukkan kekuasaan diri atas orang yang lebih lemah dalam hal ini guru
terhadap murid, itu jelas kekerasan yang harus dihindari. Akan tetapi, jika
“kekerasan” itu bertujuan mendidik agar siswa dapat hidup lebih baik dan
dilakukan dengan terukur tanpa menimbulkan kerusakan tubuh apalagi bersifat
permanen, itu harus didukung.
Di Indonesia justru berbagai “kekerasan” yang dilakukan
guru dan orangtua, menjadikan seseorang lebih baik dan akan terus diingat dalam
memorinya sepanjang masa. Saya menggunakan kata “kekerasan”, padahal saya
sendiri enggan menggunakannya karena yang saya lihat sebagai kekerasan kata
mereka itu sebenarnya banyak yang berupa “ketegasan” untuk disiplin.
Saya ini penulis dan pernah menjadi wartawan sebuah
majalah pendidikan. Tugas saya itu adalah yang paling berat dan paling penting.
Dalam setiap edisi saya diwajibkan mewawancarai tokoh atau pejabat negara dan
foto mereka harus berada dalam jilid depan majalah. Redaktur berharap agar
biografi singkat para tokoh atau pejabat itu menjadi contoh bagi generasi muda agar
bisa memotivasi anak muda untuk masa depan yang lebih baik. Seluruh orang
penting dalam pemerintahan di Provinsi Jawa Barat ketika Banten masih belum
menjadi provinsi terpisah, sudah saya wawancarai. Gubernur Jawa Barat, keempat
Wakil Gubernur (dulu Wagub Jabar ada empat orang), bupati, walikota, beberapa
Sekda, dan kepala dinas sudah saya wawancarai. Seluruh orang-orang hebat itu
selalu mengalami “kekerasan” pada masa kecil dan masa mudanya. “Kekerasan” itu
ada yang datang dari ayahnya, ibunya, kakeknya, uwaknya, gurunya, kiyainya, dan
orang-orang terdekat lainnya. Ada yang pada usia empat tahun dipaksa bangun jika
belum bangun pukul empat pagi, lalu dipaksa shalat dan dzikir Shubuh dalam
cuaca yang dingin sekali; dijemur pada tengah hari dengan satu kaki dan tangan
menjewer telinganya sendiri; diusir dari dalam rumah dan dibiarkan tidur di
teras; dibiarkan tidur di masjid; dipukul jika tidak shalat; dihajar jika
main-main terlalu lama dan keterlaluan; masih banyak kekerasan lain yang mereka
dapatkan yang tidak mungkin saya tulis di sini karena terlalu banyak.
Kisah-kisah itu muncul ketika mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya.
Bagaimana cara
pendidikan di keluarga sewaktu kecil?
Siapa yang paling berperan dalam
memberikan pendidikan di keluarga?
Nasihat
apa yang orangtua berikan yang sampai saat ini menjadi pegangan hidup?
Apa kisah menarik yang pernah dialami
di sekolah atau di pesantren?
Beberapa dari mereka
mengisahkannya dengan tertawa-tawa karena merasa lucu jika mengingat saat
menerima hukuman dan pendidikan tegas itu. Beberapa lagi mengisahkan dengan
bangga. Tak ada satu orang pun yang dendam kepada orang-orang dekatnya yang
telah memberikan pendidikan yang keras. Justru mereka berterima kasih kepada
orang-orang itu karena justru merasa terpicu untuk dapat berbuat lebih baik
agar tidak menerima hukuman itu lagi. Mereka masih mengingatnya dan itu menjadi
pelajaran berharga bagi mereka.
Berbagai “kekerasan”, hukuman, dan penderitaan yang
mereka alami menjadikan mereka manusia-manusia yang lebih kuat dan lebih mampu
mengatasi masalah ketika sudah terlepas dari lingkungan keluarga, sekolah, dan
pesantren.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, H.M.A Sampurna (Alm.)
mengatakan, “Anak-anak sekarang mentalnya lemah, semangatnya rendah karena
tidak dididik dengan berbagai penderitaan dan penderitaan, kesulitan demi
kesulitan. Kalau kami dulu dewasa dengan penderitaan dan bimbingan yang keras
sehingga lebih mampu mengatasi masalah.”
Kalau mau jujur, para pejabat dan tokoh penting di
Indonesia ini yang usianya sudah mencapai 45 tahun ke atas sekarang,
kemungkinan besar pernah mengalami berbagai kekerasan dan kesulitan dalam masa
kecilnya atau masa mudanya yang dilakukan orang lain terhadapnya. Dengan hal
itulah mereka mendapatkan pelajaran untuk menjadi orang yang lebih kuat
menghadapi hidup dan memecahkan berbagai masalah.
Di Indonesia ini hampir tidak ada orang yang dididik
orangtuanya dan gurunya dengan keras agar lebih mampu menghadapi masa depan,
tetapi kemudian menjadi manusia-manusia pemarah, antisosial, agresi, dan berpenyakit mental. Berbeda dengan
orang-orang di tempat Gershoff melakukan penelitian. Kalaupun ada dan terjadi
di Indonesia, kekerasan yang diterimanya bukanlah untuk mendidik dirinya,
melainkan merupakan korban pelampiasan kemarahan dan pertunjukkan kekuasan diri
seseorang terhadapnya.
Justru orang-orang yang tidak pernah mendapatkan
bimbingan keras dan tegaslah yang biasanya mudah sekali jatuh depresi, lemah,
frustrasi, stres, dan putus asa. Hal itu disebabkan mereka awalnya terbiasa
hidup di lingkungan yang nyaman bak surga. Mereka hidup di lingkungan
orang-orang yang selalu memahami dirinya dan mendapatkan suasana menyenangkan
tanpa kesulitan berarti. Bahkan, ketika melakukan kesalahan pun tidak pernah
mendapatkan hukuman yang membuatnya belajar dari kesalahannya. Akan tetapi,
ketika keluar dari zona nyaman itu, mereka pun mendapatkan banyak masalah dan
tantangan yang membuat mereka terkejut dan sedih tanpa memiliki solusi
alternatif. Mereka adalah generasi-generasi lemah yang dalam bahasa Sunda disebut
epes meer, ‘mudah menyerah’, atau keuyeup apu, ‘lamban bagai kepiting yang
rapuh, kolokan, dan kurang semangat’.
Itulah bahayanya jika menggeneralisasi seluruh kekerasan
sebagai perbuatan melanggar Ham. Padahal, jenis kekerasan itu banyak dan
ukurannya berat-ringannya berbeda-beda serta niat dan tujuannya pun berbeda
pula.
Sekarang terserah kita mau dibawa ke mana generasi muda
kita ini. Mau diwujudkan sebagai generasi lemah yang mudah menyerah yang
ditandai dengan mendapatkan kesulitan berupa “dicubit sedikit saja” lapor
polisi atau generasi kokoh pantang mundur yang jika ditonjok pun dia tetap
berdiri tegar bangga dengan dirinya sendiri serta mampu memecahkan berbagai
masalah.
Guru
Harus Berperan Lebih Aktif
Guru harus berperan lebih
aktif dalam soal pendidikan di lingkungan sekolah. Guru dapat terlibat aktif
dalam memberikan masukan pada pemerintah, baik mengenai proses pendidikan
maupun dalam penyusunan undang-undang. Jangan sampai justru orang-orang di luar
llingkungan sekolah yang banyak mengatur kehidupan pendidikan. Hal itu
disebabkan guru yang lebih memahami soal pendidikan di sekolah dan di kelas
berikut permasalahannya karena guru merupakan subjek aktif yang berada pada
garis depan.
Guru dapat memberikan masukan melalui tulisan-tulisan
ilmiah mengenai bagaimana menumbuhkan murid yang hormat, sopan, dan patuh
terhadap guru. Demikian pula mengenai cara-cara meningkatkan kecerdasan
kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Guru pun dapat menggunakan sarana
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam memecahkan masalah di kelas mengenai
murid yang dianggap dapat memicu guru untuk memberikan hukuman. Hal itu
disebabkan dalam menyusun PTK tersebut, guru harus melakukan refleksi dan boleh
bertukar pikiran dengan teman sejawat. Dengan refleksi, hasil tukar pikiran
dengan teman sejawat, serta penggunaan teori-teori dan kajian-kajian yang tepat
akan mendapatkan hasil yang baik yang dapat digunakan sendiri di kelasnya, di
lingkungan sekolahnya, di sekolah-sekolah lain, bahkan dapat menjadi masukan
bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan, mencegah
terjadinya kekerasan di sekolah yang bisa disebabkan oleh kurang sabarnya guru
atau bandelnya siswa, serta bagaimana cara memberikan hukuman terukur dan
efektif jika memang ada siswa yang harus diberikan hukuman.
Kunci utama guru adalah harus rajin membaca buku sehingga
mendapatkan pengetahuan dari sana-sini. Dengan pengetahuan yang banyak dan
pengalaman yang banyak, guru memiliki banyak pilihan atau alternatif, baik
dalam hal akademis maupun dalam hal nonakademis, semisal, perilaku. Dengan
banyak membaca literatur, guru pun akan lebih banyak memiliki bahan untuk
membuat tulisan.
Saya ini pernah membantu banyak guru di Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Cirebon, Kuningan, dan
Indramayu dalam memberikan pelatihan menyusun PTK. Akan tetapi, penyakitnya
selalu sama, yaitu banyak guru yang memiliki kemampuan menulis yang rendah. Hal
itu disebabkan banyak guru yang kurang membaca. Akibatnya, tidak memiliki bahan
untuk ditulis. Jangankan untuk membuat penelitian, menulis saja sangat sulit.
Jika saja guru banyak membaca, banyak mengamati, banyak
melakukan refleksi, dan banyak bertukar pikiran dengan teman sejawat mengenai
penanganan terhadap perilaku siswa yang pantas untuk diberikan hukuman, akan
ada banyak hasil penelitian yang dilakukan guru yang dapat menjadi masukan bagi
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika guru hanya banyak diam
dan membiarkan orang lain di luar pendidikan yang mengatur pendidikan, jangan
kecewa jika ada peraturan atau ada undang-undang yang dianggap tidak memiliki
keberpihakan kepada guru dan pada pendidikan secara umum. Jangan pula sedih dan
kesal jika ada peraturan atau undang-undang yang justru bisa merugikan guru
karena guru tidak banyak aktif memberikan masukan.
Guru-lah yang seharusnya
bersuara secara ilmiah untuk menyelesaikan banyak persoalan di dalam tubuh
pendidikan, termasuk dalam memberikan hukuman di lingkungan sekolah agar siswa
tetap dapat bersekolah dan tidak dipecat sebagai siswa di sekolahnya karena
telah melakukan hal-hal yang kurang ajar.