Sunday 6 September 2020

Perubahan Sosial dalam Teori Siklus

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Setiap masyarakat sesuai zamannya selalu mengalami perubahan. Menurut “teori siklus”, perubahan yang terjadi setiap zaman itu selalu berulang-ulang. Segala yang terjadi sekarang selalu memiliki kemiripan dengan masa lalu meskipun tidak selalu persis sama. Presiden RI Soekarno pernah mengatakan bahwa kepemimpinan itu kerap berulang-ulang antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Beliau menjelaskan bahwa sistem kepemimpinan otoriter, berubah ke feodalisme, lalu berubah ke demokrasi, pada waktu tertentu akan kembali lagi otoriter dalam wajah yang baru. Demikian seterusnya berulang-ulang.

            Tak ada yang sempurna selamanya, selalu mengalami perulangan. Sahabat Nabi Muhammad saw, Umar bin Khattab pernah mengajarkan bahwa setelah kesempurnaan adalah kebusukan. Dia mencontohkan dengan buah-buahan yang awalnya bunga, berubah menjadi pentil kecil hijau, lalu menguning, menjadi merah matang, dan setelah matang terjadi pembusukan, lalu jatuh. Setelah jatuh, menjadi pohon baru yang juga berbuah dengan cara yang sama.


Pola Perubahan Sosial dalam Teori Siklus

Gambar di atas adalah Pola Perubahan Sosial dalam Teori Siklus

            Oswald Spengler (19880-1936) dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) mengatakan bahwa setiap peradaban mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses ini memakan waktu seribu tahun. Arnold Toynbee mengatakan bahwa peradaban baru muncul melalui kelahiran, pertumbuhan, kemandegan, dan disintegrasi karena pertempuran-pertempuran memperebutkan kekuasaan.

            Adapun Pitrim A. Sorokin seorang sosiolog Rusia berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir, yaitu:

            Pertama, kebudayaan ideasional (ideational culture). Kebudayaan ini didasarkan pada perasaan dan keyakinan terhadap unsur adikodrati (supernatural). Dalam kebudayaan ini, seluruh perubahan yang terjadi disebabkan adanya kekuatan gaib yang berada dan melebihi kehidupan manusia.

            Kedua, kebudayaan idealistik (idealistic culture). Dalam kebudayaan ini terdapat keyakinan terhadap unsur adikodrati dan rasionalitas dengan berdasarkan fakta-fakta yang bergabung membentuk kehidupan masyarakat yang ideal. Hal ini berarti masyarakat selalu berubah dengan berbagai pengulangan yang mirip itu menuju masyarakat ideal berdasarkan keyakinan terhadap kekuatan adikodrati dan rasionalistik. Adanya gabungan gaib dengan kekuatan rasio manusia.

            Ketiga, kebudayaan inderawi (sensational culture). Dalam kebudayaan ini segala hal yang dapat diindera (dilihat, didengar, dicium, dirasa, dan diraba) merupakan tolok ukur dari kenyataan dan merupakan tujuan hidup.

            Dengan demikian, kita mendapatkan kesimpulan bahwa setiap kebudayaan itu berubah, tidak tetap, serta memiliki awal dan kematian (kehancuran).

            Sampurasun.

 

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

 

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

No comments:

Post a Comment