oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setiap masyarakat sesuai
zamannya selalu mengalami perubahan. Menurut “teori siklus”, perubahan yang
terjadi setiap zaman itu selalu berulang-ulang. Segala yang terjadi sekarang
selalu memiliki kemiripan dengan masa lalu meskipun tidak selalu persis sama.
Presiden RI Soekarno pernah mengatakan bahwa kepemimpinan itu kerap
berulang-ulang antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Beliau menjelaskan
bahwa sistem kepemimpinan otoriter, berubah ke feodalisme, lalu berubah ke
demokrasi, pada waktu tertentu akan kembali lagi otoriter dalam wajah yang
baru. Demikian seterusnya berulang-ulang.
Tak ada yang sempurna selamanya, selalu mengalami
perulangan. Sahabat Nabi Muhammad saw, Umar bin Khattab pernah mengajarkan
bahwa setelah kesempurnaan adalah kebusukan. Dia mencontohkan dengan
buah-buahan yang awalnya bunga, berubah menjadi pentil kecil hijau, lalu
menguning, menjadi merah matang, dan setelah matang terjadi pembusukan, lalu
jatuh. Setelah jatuh, menjadi pohon baru yang juga berbuah dengan cara yang
sama.
Oswald Spengler (19880-1936) dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati
(2013) mengatakan bahwa setiap peradaban mengalami proses kelahiran,
pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses ini memakan waktu seribu tahun. Arnold
Toynbee mengatakan bahwa peradaban baru muncul melalui kelahiran, pertumbuhan,
kemandegan, dan disintegrasi karena pertempuran-pertempuran memperebutkan
kekuasaan.
Adapun Pitrim A. Sorokin seorang sosiolog Rusia
berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem
kebudayaan yang berputar tanpa akhir, yaitu:
Pertama, kebudayaan
ideasional (ideational culture). Kebudayaan
ini didasarkan pada perasaan dan keyakinan terhadap unsur adikodrati
(supernatural). Dalam kebudayaan ini, seluruh perubahan yang terjadi disebabkan
adanya kekuatan gaib yang berada dan melebihi kehidupan manusia.
Kedua, kebudayaan
idealistik (idealistic culture). Dalam
kebudayaan ini terdapat keyakinan terhadap unsur adikodrati dan rasionalitas dengan
berdasarkan fakta-fakta yang bergabung membentuk kehidupan masyarakat yang
ideal. Hal ini berarti masyarakat selalu berubah dengan berbagai pengulangan
yang mirip itu menuju masyarakat ideal berdasarkan keyakinan terhadap kekuatan
adikodrati dan rasionalistik. Adanya gabungan gaib dengan kekuatan rasio
manusia.
Ketiga, kebudayaan
inderawi (sensational culture). Dalam
kebudayaan ini segala hal yang dapat diindera (dilihat, didengar, dicium,
dirasa, dan diraba) merupakan tolok ukur dari kenyataan dan merupakan tujuan
hidup.
Dengan demikian, kita mendapatkan kesimpulan bahwa setiap
kebudayaan itu berubah, tidak tetap, serta memiliki awal dan kematian
(kehancuran).
Sampurasun.
Sumber
Pustaka
Maryati,
Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi
untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial,
Penerbit Erlangga: Jakarta
Wijayanti,
Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial
No comments:
Post a Comment