Saturday, 29 May 2021

Oleh-oleh Dashi ke-5

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Pada Jumat, 28 Mei 2021, saya diminta Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (Himhi), Fisip, Unfari, untuk menjadi pemateri dalam acara Dashi dengan judul “Perubahan Konfigurasi Politik Global karena Pandemi Covid-19”. Dashi itu singkatan yang kepanjangannya adalah “Diskusi Asyik Seputar Hubungan Internasional”. Itu adalah ajang mahasiswa Himhi untuk berdiskusi dengan menyenangkan tentang segala hal berkaitan dengan hubungan antarnegara. Saya sendiri berharap bahwa bukan hanya saya atau dosen sruktural yang menjadi pemateri atau pengantar diskusi, melainkan pula seluruh dosen yang berada di lingkungan Prodi HI, Fisip, Unfari, untuk bergiliran berpartisipasi karena di samping mendapatkan pengetahuan, juga mendorong keakraban antara dosen dengan mahasiswa. Saya sendiri memposisikan diri sebagai teman mereka, tidak merasa lebih pintar, tetapi berharap ada pemahaman baru yang menambah ilmu pengetahuan bagi saya dari diskusi dengan mahasiswa.

            Tulisan ini hanya ingin berbagi sedikit oleh-oleh singkat pengetahuan dari acara Dashi ke-5 tersebut. Materi saya mulai dengan arti konfigurasi, politik, dan pandemi Covid-19. Konfigurasi itu artinya bentuk, wujud, atau format. Politik artinya segala hal yang berkaitan dengan kekuasaan. Pandemi ya berarti segala hal yang berkaitan dengan wabah Covid-19.




            Dalam materi yang saya paparkan memang saya tidak melihat adanya perubahan format politik hubungan antarnegara yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Dunia tetap anarkis, tidak ada ketertiban dan tak ada satu pun negara yang patuh kepada negara lainnya. Semua masih seperti biasa, mementingkan dirinya masing-masing. Hubungan yang terjadi ya disebabkan oleh kepentingannya sendiri-sendiri. Kalaupun ada konflik, perselisihan, bahkan perang, bukan disebabkan oleh pandemi. Pertengkaran itu memang sudah ada sebelum pandemi, misalnya, Amerika Serikat berseteru dengan Cina karena memang sudah perang dagang sebelumnya. Konflik di Suriah juga sudah terjadi bertahun-tahun sebelum pandemi. Israel Vs Palestina apalagi sudah terjadi secara rutin, tak ada kaitan dengan pandemi. Hal yang saya lihat justru adanya saling bantu di antara negara-negara untuk melawan Covid-19 yang dianggap masalah bersama. Mereka saling tukar informasi dan berupaya berbagi vaksin untuk rakyatnya meskipun dilakukan dengan cara bisnis.

            Di samping itu, ada persaingan sehat di antara negara-negara yang mampu memproduksi vaksin untuk berlomba menghasilkan vaksin terbaik dan murah, Indonesia pun termasuk dalam persaingan itu dengan mencoba memproduksi Vaksin Merah Putih atau Vaksin Gotong Royong. Itu persaingan sehat yang akan memunculkan ilmu baru dalam bidang kesehatan.

            Kalaupun ada pertikaian politik yang disebabkan pandemi Covid-19, justru terjadi di dalam negeri masing-masing. Pihak oposisi biasanya menggunakan penurunan kesehatan, penurunan ekonomi, dan kelemahan sosial sebagai amunisi, peluru untuk menembak pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka menyalahkan pemerintah atas berbagai penurunan dan kelemahan itu, padahal berbagai penurunan itu diakibatkan oleh Covid-19. Dalam kehidupan perebutan politik, itu biasa digunakan pihak oposisi agar rakyat tidak percaya kepada pemerintah, kemudian pihak oposisi mendapatkan keuntungan yang akhirnya berharap untuk menggulingkan pemerintah yang sah, lalu kekuasaan jatuh ke tangan pihak oposisi. Jadi, peningkatan perseteruan politik justru terjadi di dalam negeri.

            Bisa saja Pandemi Covid-19 ini mengakibatkan konflik antarnegara, bahkan kehidupan dunia jika ketersediaan vaksin tidak merata. Negara yang mampu memproduksi vaksin sendiri dan yang mampu membeli vaksin menggunakan vaksin sebagai alat untuk menekan negara lainnya yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi dan tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Negara yang kuat berupaya menekuk dan menguasai negara lemah dengan vaksin yang dimilikinya. Kondisi ini jika berlarut-larut akan membuat perubahan konfigurasi politik dunia. Akan tetapi, situasi seperti ini sampai saat tulisan ini dibuat, tidak terjadi. Bahkan, organisasi-organisasi dunia menyerukan negara-negara yang maju untuk berbagi vaksin pada negara-negara lemah dan miskin.

            Karena memang perubahan konfigurasi politik global yang disebabkan pandemi Covid-19 sulit dibuktikan keberadaannya, diskusi dalam Dashi tersebut bergeser ke situasi sosial dalam negeri di Indonesia dan ke arah kualitas vaksin berdasarkan pemahaman yang mahasiswa dapat dari berbagai Medsos yang mereka miliki. Hal itu terutama dalam hal kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi yang dilakukan pemerintah. Dari diskusi tersebut, mayoritas mahasiswa percaya terhadap vaksin yang disediakan pemerintah karena dianggap lebih valid di samping mereka sendiri mendapatkan banyak pemahaman tentang vaksin di lingkungannya masing-masing. Saya sendiri menjelaskan bahwa saya sudah divaksin dua kali dan biasa-biasa saja, malahan lebih percaya diri meskipun tetap harus menjaga protokol kesehatan.

            Demikian oleh-oleh pengetahuan yang bisa saya bagi dari Diskusi Asyik Hubungan Internasional yang digelar Himpunan Mahasiswa HI, Fisip, Unfari.

            Mau ikutan diskusi?

            Boleh.

            Ikutan saja kuliah dengan menjadi mahasiswa Universitas Al-Ghifari.

            Sampurasun.

Friday, 28 May 2021

Obrolan Ringan Akademis


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

“Pak, penelitian yang baik itu harus bagaimana memulainya?”

“Kan sudah saya ajarkan, penelitian itu mulainya dari adanya masalah yang membuat kalian tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Kalian lupa?”

“Harus ada masalah ya, Pak?”

“Iya. Masih ingat apa arti masalah?”

“Masih, Pak.”

“Coba jelaskan.”

“Masalah itu adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.”

“Bagus. Kalau masih kurang jelas, gunakan bahasa yang lebih sederhana. Masalah itu adalah tidak nyambungnya antara harapan dan kenyataan.”

“Kalau nyambung antara harapan dan kenyataan, bukan masalah atuh, Pak?”

“Memang bukan. Contohnya, kamu suka sama cewek cantik, tetapi ceweknya nggak suka sama kamu, dia menolak kamu. Masalah bukan?”

“Masalah, Pak.”

“Kalau cewek cantik itu suka juga sama kamu dan menerima cinta kamu, masalah bukan?

“Itu mah anugerah, Pak bukan masalah.”

“Kalau kalian ingin menikah lagi, tetapi istri kalian marah-marah dan keluarga kalian jadi berantakan, masalah bukan?”

“Wah, itu mah masalah besar atuh, Pak.”

“Kalau istri kalian setuju kalian menikah lagi dan beristri lebih dari satu dalam keadaan damai dan bahagia, masalah bukan?”

“Wah, itu mah anugerah besar atuh, Pak.”

“Kamu, dari tadi ngomongnya anugerah, anugerah melulu, memangnya kamu pengen punya istri lagi, ya?”

“Saya doakan Bapak supaya cepat punya istri baru.”

“Kamu mah ditanya malah ngedoain.”

“Takdir Bapak bagus.”

“Pake ngomong takdir lagi. Jadi, jelas pengertian masalah itu apa?”

“Jelas, Pak.”

“Jelas apa? Coba ulangi lagi pengertian masalah itu apa!”

“Tidak nyambungnya antara harapan dan kenyataan.”

“Kalau nyambung antara harapan dan kenyataan?”

“Bukan masalah, Pak. Itu anugerah.”

“Anugerah lagi kamu mah.”

“Memang iya kan, Pak, itu adalah anugerah?”

“Ya, ya, ya ….”

“Pak, lapar, Pak.”

“Hayu atuh kita pulang, lagian sudah terlalu malam.”

“Bapak pulang langsung?”

“Iya, memangnya kalian nggak pulang? Mau pada ke mana?”

“Terserah Bapak.”

“Kok terserah saya?”

“Bapak mau ke Ampera, Ayam Bakar KQ 5, Cibiuk, terserah Bapak mau ke mana.”

“Kalian mau nraktir saya? Sok atuh kalian duluan di depan, saya ngikutin kalian dari belakang. Kalian berhenti, saya juga ikut berhenti. Kalian yang ngajak, kalian yang nentuin tempatnya.”




“Siap! Hayulah, Pak.”

Begitulah obrolan ringan, namun akademis bersama mahasiwa reguler sore, Fisip, Universitas Al Ghifari. Mereka memang kuliah dari sore sampai malam hari karena dari pagi sampai sore, mereka harus bekerja di tempat kerjanya masing-masing. Mereka memang sudah pada kerja dan banyak yang sudah menikah, sudah punya anak. Akan tetapi, mereka semangat kuliah, belajar untuk meningkatkan kualitas dirinya dan untuk meningkatkan karirnya.





Usia, tanggung jawab pekerjaan, tanggung jawab terhadap keluarga, bukan halangan bagi mereka untuk terus belajar.

Bukankah belajar itu hukumnya wajib sejak buaian hingga liang lahat?




Yuk, bareng belajar di Universitas Al-Ghifari bareng mereka.

Sampurasun.

Friday, 21 May 2021

Pentingnya Pasukan Perdamaian di Al Quds

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menyikapi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina yang menimbulkan perang dan menimbulkan kerusakan terhadap kemanusiaan, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi hadir dalam Sidang Majelis Umum (SMU) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis, 20 Mei 2021. Sengaja dia datang untuk mendesak PBB mengambil tiga aksi penting untuk menghentikan perang dan kekerasan yang terjadi. Setelah Menlu RI Retno menyampaikan desakannya, kita tahu bahwa besoknya, pukul 02.00 dini hari disepakati gencatan senjata antara Israel dan Hamas untuk menghentikan “sementara” penggunaan senjata dan aksi-aksi militer di kedua belah pihak.

            Dari tiga aksi penting yang diusulkan Retno Marsudi dalam SMU PBB tersebut, dalam tulisan kali ini saya ingin beropini tentang satu usulan aksi tersebut. Hal itu adalah desakan Retno agar hadirnya “kekuatan internasional” di “Al Quds” untuk mengawasi dan memastikan keselamatan rakyat Palestina serta menjamin perlindungan status “Kompleks Al-Haram Al-Sharif” yang dianggap sebagai tempat suci bagi tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.

            Selama ini, kompleks tersebut diklaim, dikelola, dan dikuasai Israel. Pasukan Israel adalah yang berkuasa di tempat tersebut. Hal itu menimbulkan kerawanan konflik yang bisa kapan saja terjadi mengingat masih besarnya kebencian di antara mayoritas warga Palestina dan Israel. Perang yang terjadi di antara mereka baru-baru ini pun diklaim Israel dan pendukungnya gara-gara warga Palestina yang melempari pasukan Israel dengan batu-batu di kawasan Al Quds. Padahal, pelemparan itu pun sebenarnya diakibatkan oleh perilaku Israel sebelumnya terhadap warga Palestina yang kerap melakukan penggusuran, pengusiran, dan penindasan lainnya. Dengan demikian, di tempat itu bisa dikatakan mudah sekali terjadi bentrokan.

            Usulan Menlu RI Retno Marsudi adalah sangat masuk akal untuk menjaga rakyat dan keamanan di kawasan tersebut. Pasukan perdamaian internasional diharapkan dapat lebih netral bersikap dan lebih bijak mengambil tindakan. Kalaulah masih timbul kecurigaan atau kekhawatiran, baik dari pihak Palestina atau Israel terhadap kenetralan pasukan perdamaian di luar kalangan mereka, Indonesia bisa menawarkan diri menjadi pasukan perdamaian pertama di kawasan itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas usulan tersebut. Artinya, kekhawatiran bisa timbul dari pihak Palestina jika pasukan perdamaian berasal dari negara-negara barat karena dianggap pro-Israel atau Israel bisa khawatir jika pasukan perdamaian berasal dari negara-negara Arab yang dianggap membenci mereka. Indonesia bisa menjembatani berbagai kekhawatiran itu mengingat “politik luar negeri bebas dan aktif” yang mengharuskan dirinya bebas dari tekanan negara mana pun dan mewajibkan dirinya untuk selalu aktif menciptakan perdamaian dunia. Di samping itu, Indonesia pun sedang dalam keadaan terus berupaya adil untuk mengelola bangsanya yang majemuk, beragam agama, suku, dan ras. Tambahan pula bahwa Indonesia itu dalam hal militer cenderung bersikap “defensive”, ‘pertahanan diri’, setiap orang Indonesia tidak pernah ingin untuk menyerang negara lain dan tidak ingin menjajah negara lain.

            Intinya, untuk membuat situasi lebih terkendali, diperlukan pasukan perdamaian internasional yang lebih netral, lebih adil, dan lebih biijak. Syaratnya, pasukan ini harus mendapat mandat dari PBB, Israel bersedia mundur dari Kompleks Al-Haram Al-Sharif, dan Palestina harus menghormati kehadiran pasukan perdamaian tersebut.

            Sampurasun.

Wednesday, 19 May 2021

Antara Pahlawan dan Penjahat

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Konflik Israel dan Palestina memunculkan dua kubu pemikiran di tanah air Indonesia. Ada yang pro-Palestina dan ada yang pro-Israel. Mayoritas adalah yang pro-Palestina, sedangkan yang pro-Israel jumlahnya hanya beberapa gelintir orang, sebagaimana jumlah orang Israel yang juga sangat sedikit, dengan jumlah penduduk DKI Jakarta saja beda-beda tipis, sekitar sembilan juta orang. Dilihat dari opini yang beredar, para pendukung Israel ini miskin data, berpendapat hanya parsial, tidak utuh, dan menyandarkan pendapatnya dari sumber-sumber Israel. Mereka membenci Hamas yang dianggapnya penjahat dan teroris karena melawan Israel. Padahal, Hamas eksis itu disebabkan perilaku Israel yang banyak melakukan kejahatan kepada bangsa Palestina.

Jika Israel dari dulu mau secara beradab mengikuti program “two state solution”, ‘solusi dua negara merdeka’, yaitu di wilayah itu tercipta Negara Israel Merdeka dan Palestina Merdeka dengan hidup berdampingan, situasinya akan jauh berbeda, persoalan bisa diselesaikan dengan cara berdialog dan diskusi-diskusi yang jauh lebih elegan. Akan tetapi, zionis lebih memilih jalan premanisme, terorisme, dan kriminalisme yang mengakibatkan situasi semrawut hingga saat ini. Mereka memang kurang belajar dari sejarah mereka sendiri yang penuh masalah dan penuh kekacauan dari zaman ke zaman.

            Bagi zionis dan para pendukungnya, termasuk yang berada di Indonesia, Israel memiliki hak untuk melakukan kekerasan dan kekejaman terhadap bangsa Palestina dengan dalih bahwa Israel pun berhak hidup dan membela dirinya. Oleh sebab itu, bagi mereka, Hamas adalah penjahat yang harus dimusnahkan karena melawan Israel. Bagi Palestina dan para pendukungnya di seluruh dunia, Zionis Israel adalah penjahat karena menjajah Palestina. Hamas adalah pahlawan yang mengimbangi berbagai kejahatan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

            Sesungguhnya, perbedaan pendapat dan pemikiran ini selalu ada dalam setiap konflik yang terjadi antara para penjajah dengan bangsa yang dijajah. Tidak terlalu aneh.

            Di Indonesia, bagi Belanda, selaku penjajah, dan para pendukung penjajahan, Pangeran Diponegoro adalah perampok, penjahat, dan provokator yang menghasut para petani untuk memberontak terhadap Belanda. Akan tetapi, bagi Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan yang sangat dihormati hingga saat ini karena membela rakyat kecil, termasuk para petani.

            Haji Hasan  Arif dari Cimareme, Garut, adalah provokator, ekstrimis, dan penghasut karena memprovokasi para petani untuk tidak menyerahkan beras sebagai pajak kepada Belanda. Dia mengumpulkan para santri dari Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Barat untuk berperang  melawan Belanda. Bagi Belanda, selaku penjajah, dan para pendukungnya, Haji Hasan Arif adalah penjahat yang harus dibunuh karena melawan penjajahan. Akan tetapi, bagi Indonesia, khususnya rakyat Garut, Hasan Arif adalah pejuang, pahlawan karena melakukan perlawanan kepada Belanda.

            Omar Mochtar, bagi Italia adalah perampok, pembunuh, dan penjahat karena melakukan serangkaian serangan kepada pasukan Italia yang melakukan penjajahan pada Libya. Bagi rakyat Libya dan para pendukungnya, Omar Mochtar adalah pejuang, pahlawan, dan mujahid yang sangat dihormati. Ia sampai hari ini dikenal dengan gelarnya sebagai “Lion of The Desert”, ‘Singa Padang Pasir’.

            Hamas bagi Zionis Israel dan pendukungnya adalah penjahat karena melakukan perlawanan terhadap Israel yang menjajah Palestina. Bagi bangsa Palestina dan pendukungnya, saat  ini Hamas adalah pejuang dan pahlawan karena melakukan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan Israel kepada bangsa Palestina.

            Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sebutan pahlawan atau penjahat bergantung posisi kita. Jika kita mendukung penjajahan, mereka yang melawan penjajahan adalah penjahat. Sebaliknya, jika kita mendukung rakyat terjajah, mereka yang melawan penjajahan adalah pejuang dan pahlawan. Posisi kita menentukan pendapat kita.

            Secara konstitusi, rakyat Indonesia wajib mendukung rakyat terjajah dan harus anti terhadap penjajahan. Secara kemanusiaan yang berlaku universal, kita wajib mengakui bahwa semua manusia itu memiliki hak dasar yang sama untuk merdeka. Secara ketuhanan, kita harus memahami bahwa semua manusia itu memiliki kewajiban untuk hidup harmonis dan saling menyayangi.

Ingat bahwa  pendapat dan perilaku kita akan dimintai pertanggungjawaban di alam akhirat nanti.

Sampurasun.

Tuesday, 18 May 2021

Tak Ada Perang Agama

 

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kalau mau dilihat lebih detail, sesungguhnya perang-perang yang disebut-sebut “Perang Agama”, sesungguhnya hanyalah perebutan politik dan ekonomi atau karena tindakan kriminal suatu kaum. Agama dibawa-bawa hanya untuk menutupi keinginan atau kepentingan yang sebenarnya dan untuk mengelabui dunia agar mendapatkan simpati internasional.

            Hal yang lebih celaka adalah umat Islam pun banyak yang menyebarkan pula propaganda di luar Islam untuk mengatakan bahwa banyak perang yang disebut perang agama.

            Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang dicuplik oleh T.D. Sudjana dalam artikelnya pada sebuah prosiding yang berjudul Tokoh Siliwangi dalam Pandangan Tradisi Keraton Cirebon (1991). Ia mencuplik bahwa ketika bangsawan Inggris berkuasa di Yerusalem, mereka melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap kafilah-kafilah saudagar kaum muslim. Oleh sebab itu, “Sultan Salahudin Al Ayubi” marah bukan main, lalu melakukan penyerangan. Kekuatan Inggris pun melemah di Yerusalem. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan simpati dari dunia internasional, pasukan Inggris menyebarkan fitnah bahwa pasukan Salahudin adalah pasukan syetan sehingga pertempuran itu disebut mereka sebagai crusade, ‘Perang Salib’ untuk menimbulkan kesan perang antara agama Kristen dan agama Islam. Umat Islam pun banyak yang mengistilahkan perang itu sebagai “Perang Sabil”. Padahal, perang itu bukanlah perang antaragama, melainkan perang yang terjadi akibat kerakusan dan ketololan pasukan Inggris yang melakukan gangguan terhadap rombongan saudagar Islam.

            Bagi Salahudin, itu bukanlah perang agama, melainkan perang untuk membela kebenaran, kehormatan, dan keadilan yang dilakukan oleh pasukan muslim. Banyak pula sesungguhnya anggota pasukan Salahudin yang tidak beragama Islam. Salah seorang panglima Sultan Salahudin adalah beragama Kristen, namanya Isa. Ia dihadiahi Sultan Salahudin seorang puteri bangsawan Inggris yang dirampas karena Inggris kalah perang.

            Kebencian dan propaganda agama untuk menyudutkan Islam itu tidak berhasil karena Sultan Salahudin Al Ayubi berhasil merebut Yerusalem dan membuat pasukan Inggris kalah total.

            Hal yang memperjelas bahwa perang itu bukan perang agama adalah beberapa waktu setelahnya ketika kepentingan politik dan ekonomi Inggris mulai diganggu Musolini dan Hitler, saat Perang Dunia II, Inggris mendekati Islam yang dulu disebutnya syetan itu, kemudian menggunakan semangat Islam untuk mengalahkan Musolini dan Hitler. Inggris berupaya keras untuk mendapatkan dukungan kaum muslimin di Timur Tengah agar sama-sama membenci Musolini dan Hitler. Tak tanggung-tanggung, tank-tank baja pasukan Inggris ditulisi nama SALADIN untuk mengingatkan kaum muslimin terhadap keberanian dan kepahlawanan Sultan Salahudin Al Ayubi. Di samping itu, Inggris tahu betul bahwa nama Saladin adalah lambang moralitas dan sikap mulia hidup muslim yang terpancar dari sosok Sultan Salahudin Al Ayubi. Dengan menggunakan nama SALADIN, Inggris pun berharap bahwa bangsanya dapat dipahatkan dalam sejarah dunia sebagai bangsa yang memiliki “nama baik” sebagaimana aura nama SALADIN dalam sejarah kaum muslimin.

            Begitulah, agama hanya dibawa-bawa untuk mengaburkan tujuan yang sebenarnya, yaitu kepentingan politik dan ekonomi.

            Pada akhir-akhir ini, 2021, Zionis Israel pun menyebarkan propaganda bahwa konflik yang terjadi dengan Palestina adalah sebagai perang agama antara Yahudi dan Islam yang sudah terjadi ratusan tahun lalu. Hal itu dilakukan hanya untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya, yaitu merampok, mengusir, membunuh, dan menjajah bangsa Palestina. Padahal, di Palestina itu banyak pula yang beragama Kristen, Yahudi, atau kepercayaan lainnya. Demikian pula di Israel, banyak pula yang beragama Kristen dan Islam. Di samping itu, mereka pun rajin mendekati bangsa-bangsa muslim untuk membuka hubungan diplomatik, termasuk terhadap Indonesia melalui tangan Amerika Serikat.

            Orang-orang Zionis Israel itu mulai ada di Palestina sejak 1948, bukan ratusan tahun lalu. Di tanah itu rencananya akan dibuat dua negara merdeka, yaitu Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan. Akan tetapi, Zionis melakukan banyak aksi premanisme, terorisme, dan kriminalisme terhadap Palestina hingga hari ini. Mereka itu orang-orang yang trauma dan ketakutan karena dari zaman ke zaman hidup dalam banyak masalah. Di Mesir Firaun memperbudak mereka, Nabi Muhammad saw mengusir mereka dari Madinah karena banyak membuat gangguan terhadap kaum muslimin, ditolak untuk mendapatkan Palestina pada zaman Kesultanan Utsmaniyah, di Jerman mereka dibantai Hitler, dan berbagai masalah lainnya. Oleh sebab itu, mereka berupaya tetap melakukan kejahatan terhadap bangsa Palestina karena tidak mau kembali menjadi bangsa yang tersisihkan dan dipermalukan seperti zaman-zaman yang lalu.

            Jadi, bukan perang agama yang terjadi, melainkan kepentingan politik dan ekonomi. Umat Islam tidak perlu ikut-ikutan menyebarkan propaganda mereka dengan sama-sama menyebutnya sebagai perang agama karena bisa menambah runyam situasi dan terjebak pada rencana mereka.

            Sebagaimana tadi saya katakan bahwa kalau mau diperhatikan lebih detail, perang agama itu tidak ada. Bahkan, perang-perang yang dilakukan Nabi Muhammad saw pun bukan perang agama, melainkan urusan politik dan ekonomi. Dulu saya sering berdiskusi dengan guru ngaji saya, Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin itu diusir, diburu, dianiaya, dibunuh, dan difitnah bukan karena ritual keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, berdoa, dan lain sebagainya, melainkan karena urusan kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Orang-orang kafir melakukan kejahatan kepada Nabi dan kaum muslimin karena merasa terganggu politik dan ekonominya. Kalau semakin banyak kaum muslimin dan mereka harus patuh kepada Nabi saw, kewenangan mengatur Mekah ada di tangan Nabi saw, diatur oleh Nabi saw. Mereka tidak mau itu terjadi karena kekuasaan mereka harus beralih pula kepada Nabi Muhammad saw. Demikian pula bisnis mereka, seperti,   penyediaan air, makanan, dan perdagangan bagi para peziarah yang datang ke Mekah yang menghasilkan keuntungan ekonomi luar biasa, harus pula menggunakan cara-cara yang dilakukan Sang Nabi. Belum lagi soal perempuan yang bisa mereka “gunakan” kapan saja, Nabi saw melarangnya dengan membatasinya melalui pernikahan dalam jumlah yang juga terbatas, tidak seenaknya. Hal itu semua sangat mengganggu kesenangan kaum kafir. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras memusnahkan Nabi saw dan kaum muslimin. Akibatnya, Nabi saw melawan dan kaum kafir pun kalah total.

            Jadi, bukan karena shalat, puasa, haji, atau ritual keagamaan lainnya umat Islam diperangi, melainkan karena kepentingan politik dan ekonomi. Agama hanya dibawa-bawa untuk membungkus dan menyamarkan tujuan sebenarnya, yaitu lima hal: kekuasaan, uang, benda, tempat tinggal, dan seks. Tidak ada tujuan lain, kecuali lima hal itu. Kalau ada tujuan lain, kasih tahu saya.

            Sampurasun.

Sunday, 16 May 2021

Lebaran Pertama tanpa Ayah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Mungkin banyak yang berlebaran tanpa ayahnya, saya salah satunya. Memang ada satu perasaan yang hilang ketika merayakan hari Idul Fitri tanpa Ayah. Biasanya, sekeluarga full team sungkeman, memohon maaf atas segala kesalahan dan mendapatkan doa dari kedua orangtua. Jika salah satu orangtua kita tidak ada atau kedua-duanya tidak ada, acara sungkeman kepada orangtua pun tak ada lagi.

Karena tak ada lagi acara seperti orangtua masih ada, perasaan kehilangan itu pun menimbulkan rasa rindu. Kerinduan itu pun diupayakan untuk dipenuhi. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa-masa lebaran, banyak orang yang mengunjungi makam orangtuanya. Itu karena rindu dan sangat manusiawi. Tindakan mengunjungi makam karena rindu bukanlah perilaku sesat.

Masa rindu orangtua dibilang sesat?


Begitu juga saya. Lebaran kali ini hanya ada Mamah, tetapi Bapak tidak ada. Untuk mengobati kerinduan itu, saya mengajak anak bungsu saya yang sudah menginjak remaja untuk mengunjungi makam ayah saya, kakeknya anak-anak. Hal itu saya lakukan sekaligus mengajarkan anak saya untuk tetap menjaga ikatan rasa dengan ahli kubur dengan cara memeriksa keadaan makamnya, mengecek tugas penjaga makam karena kan keluarga sudah membayar agar makamnya terawat, membersihkan makamnya dengan tangan sendiri, memberinya bunga agar terlihat lebih indah, menyiraminya air agar lebih segar, dan tentu saja mendoakan ayah saya. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan bahwa jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya. Dia sudah tidak bisa lagi beramal, berkarya, atau melakukan berbagai hal seperti ketika masih hidup, kecuali tiga hal. Ketiga hal itu ialah “sedekah jariyah” yang dilakukan ketika hidup karena pahalanya terus mengalir meskipun sudah wafat; “Ilmu yang bermanfaat” yang diajarkan dan diimplementasikan ketika masih hidup; “Doa anak soleh”, doa Sang Anak pahalanya akan terus mengalir kepada orangtua yang sudah wafat. Oleh sebab itu, saya berusaha sejauh yang saya bisa selalu berdoa untuk ayah saya dengan harapan pahalanya mengalir terus kepada ayah saya dan saya pun mendapatkan pahala dari kebaikan yang saya lakukan.


“De,” kata saya kepada anak saya yang bungsu itu, saya memanggilnya Dede, namanya sih Radifta Badar Natabuana, “Semua orang pasti meninggal. Dede bakal meninggal, Mamah, Papah, Aa, Teteh, Enin, Bibi, semua bakal meninggal. Kita semua hanya menunggu giliran. Orang yang sudah meninggal tidak bisa ngapa-ngapain lagi, mereka menunggu doa dari kita yang masih hidup. Dengan doalah mereka masih mendapatkan pahala di alam kuburnya.


Yuk, kita berdoa buat Aki semoga diampuni seluruh dosanya, diterima iman dan islamnya, diberikan tempat yang nyaman, terang, dan menyenangkan di alam kubur, serta dipersatukan dengan orang-orang yang telah diberikan kenikmatan, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Jangan lupa pula doakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat supaya terus diberikan kemudahan dan perlindungan oleh Allah swt.

Al Fatihah.”

Selepas berdoa, saya ajak anak saya berbicara kepada kakeknya sebagaimana ketika masih hidup, “Aki, kami pulang dulu ya, semoga Aki tenang dan bahagia di alam sana.”

Kami pun pulang. Alhamdulillaah, kerinduan sedikit terobati.

Sampurasun.

Saturday, 15 May 2021

Palestina Jangan Bergantung pada Negara Lain

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya




Hidup itu jangan selalu bergantung pada orang lain. Boleh sekali-sekali, tetapi tidak untuk selamanya. Kita harus mampu mengandalkan potensi, kekuatan, dan kreativitas diri agar lebih punya harga diri dan sanggup untuk memutuskan segala hal untuk kebaikan diri kita sendiri. Jika kita selalu hidup bergantung kepada orang lain, selalu berharap belas kasihan orang lain, kekuasaan kita untuk berkuasa terhadap diri sendiri pun akan sangat rendah. Wibawa kita akan sangat minim.

            Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu bangsa atau negara akan berwibawa jika mampu menggali potensi dirinya, kemudian mewujudkannya dalam kehidupan internasional. Kita bisa lihat Singapura, negara kecil segede pelok buah mangga itu mampu berwibawa karena dapat mengeksplorasi potensi dirinya, baik para elit maupun rakyatnya, kemudian menggunakannya dalam pergaulan internasional.

            Jika kita melihat kasus-kasus di Palestina terkait konfliknya dengan Israel, tampak sekali ketergantungannya kepada negara lain. Setiap terjadi konflik, Palestina, dunia Arab, negara berpenduduk mayoritas muslim, maupun para aktivis kemanusiaan kerap berteriak meminta bantuan dan pertanggungjawaban negara lain.

            Kok Arab Saudi diam saja?

            Bagaimana negara-negara muslim lainnya? Kok tenang-tenang saja?

            Turki seharusnya kirim pasukan perang melawan Israel ke Palestina!

            Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia seharusnya lebih keras bersikap kepada Israel!

            Bagaimana pertanggungjawaban PBB?

            Kalimat-kalimat semacam itu sering terdengar. Hal itu menjadikan Palestina sebagai “anak teraniaya” yang harus selalu dilindungi orang lain. Padahal, di tanah itulah muncul kisah manusia paling perkasa sedunia “Syamun Al Ghazi” yang dikenal dunia lewat film dan  ceritera sebagai “Samson”.

            Sesungguhnya, kemerdekaan, kedaulatan, dan kekuasaan mengatur dirinya sendiri adalah bergantung pada dirinya sendiri. Kita bisa berkaca pada kemerdekaan Negara Indonesia yang mengalami penjajahan paling mengerikan di muka Bumi dalam waktu yang sangat panjang (C. Santin dalam Soekarno : 1963), lebih lama dibandingkan Palestina. Dalam hitungan saya dari beberapa literatur yang saya baca, bantuan dari luar negeri atau pihak asing untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, paling hanya 10%; kemudian 10% dari momen dunia saat itu; persentase terbesarnya adalah 80% perjuangan bangsa Indonesia sendiri.

            Bantuan pihak asing yang diterima Indonesia bisa berupa dukungan kepada perjuangan dan kemerdekaan Indonesia di organisasi internasional, pendidikan para pemuda Indonesia, bantuan materi bagi orang-orang Indonesia yang menjalin hubungan dengan orang-orang di luar negeri, dan lain sebagainya. Momen dunia yang menguntungkan Indonesia adalah kekalahan Jepang setelah perang melawan pasukan multinasional (sekutu). Perjuangan rakyat Indonesia adalah penyumbang terbesar terhadap keberhasilan mendapatkan kemerdekaan Indonesia.

            Hal yang paling menguatkan perjuangan Indonesia adalah adanya rasa persatuan, senasib dan sepenanggungan, serta kesetiaan kepada komando revolusi. Saya teringat ajaran guru saya ketika SD soal “sapu lidi”. Sapu lidi itu kuat dan bermanfaat jika lidi-lidi yang terpisah itu diikat dan disatukan menjadi sapu lidi. Akan tetapi, jika diceraiberaikan menjadi lidi yang terpisah-pisah, akan lemah dan mudah dipatahkan. Begitulah perumpaan “persatuan Indonesia”. Oleh sebab itu, sampai saat ini pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia yang “waras otak” selalu memerangi setiap upaya beberapa gelintir orang yang dianggap mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Kalau Indonesia sampai tercerai-berai, lemahlah kemerdekaan negaranya.

            Begitu pula dengan Palestina saat ini. Saya kurang yakin jika kemerdekaan Palestina bisa dicapai jika hitungan persentasenya dibalik: 80% bantuan asing, 10% momen dunia, dan 10% perjuangannya sendiri. Sulit sekali menjadi berdaulat jika hitungannya seperti itu.

            Situasi dan kondisi di Palestina saat ini masih belum menunjukkan rasa persatuan yang utuh. Kelompok-kelompok perlawanan atau kalau diibaratkan sebagai lidi-lidi yang ada, masih tercerai berai, belum kuat seperti sapu lidi yang terikat kuat. Tak jarang di antara kelompok-kelompok itu terlibat perselisihan yang sebetulnya merugikan mereka sendiri. Israel dan para pendukung Israel memanfaatkan kelemahan Palestina itu untuk terus memperlemah Palestina dan memiliki celah untuk bersikap arogan terhadap Palestina.

            Bersatulah dulu dalam satu komando, insyaallah sekuat Syamun Al Ghazi atau Samson.

            Soal senjata?

            Penjajah Indonesia menggunakan senjata modern dan canggih, kita awalnya cuma pakai bambu runcing. Bisa menang kok.

            Sampurasun.

Friday, 14 May 2021

Jangan Bela Palestina dengan Hoax

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Palestina telah berulang-ulang mendapatkan perlakuan buruk dan keji oleh pasukan Israel. Tentunya, penderitaan warga Palestina menumbuhkan rasa simpati dan empati manusia. Banyak kecaman kepada Israel dan dukungan kepada Palestina. Bentuk dukungannya bermacam-macam dan itu bagus. Banyak pemerintah dari berbagai negara dan warga dunia yang ingin menghentikan kekejaman Israel kepada Palestina, baik mendesak PBB atau menggalang solidaritas sesama manusia untuk menyelesaikan situasi.

            Berbagai dukungan itu sangat bagus dan bermanfaat. Akan tetapi, dukungan itu akan rusak jika ditambah-tambahi dengan hoax, ‘berita bohong’ atau ‘berita palsu’ yang jelas menyesatkan. Contohnya, banyak beredar video atau foto yang menggambarkan bahwa pasukan Turki telah datang ke Palestina untuk melawan Israel. Penayangan video atau postingan foto-foto tersebut jelas merupakan dukungan untuk Palestina dan menguatkan harapan para pendukung Palestina di seluruh dunia. Sayangnya, penayangan atau postingan tersebut adalah palsu, hoax, misleading, yang akhirnya menyesatkan.

Ketika saya melihat postingan-postingan itu, segera saja timbul banyak pertanyaan.

Semudah itukah Turki memasukkan angkatan perang ke Palestina?

Mengapa baru sekarang mengirimkan pasukan, bukankah kekejaman Israel sudah terjadi sejak dulu?

Bagaimana reaksi PBB?

Seberapa besar penolakan dan kecaman negara-negara pendukung Israel terhadap Turki?

Bagaimana pula reaksi Israel terhadap kedatangan pasukan Turki untuk melawan dirinya?

Masih banyak pertanyaan tentang hal itu dan tidak ada jawabannya karena itu adalah berita palsu.

Saya jadi teringat ketika Israel melarang helikopter Angkatan Udara Yordania yang mengangkut Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi memasuki wilayah Palestina untuk melantik Konsul Kehormatan di Ramallah. Begitulah Israel, seorang menteri dari Indonesia saja mereka tahu dan melarangnya untuk masuk ke Palestina. Akibatnya, Yordania, Palestina, dan Indonesia pun mengubah rencana. Para pejabat Palestina, Menlu RI Retno Marsudi, Yordania, dan negara-negara lain yang diundang hadir pun akhirnya melangsungkan upacara pelantikan di Amman, Kedubes RI, di Yordania.

Coba perhatikan upacara pelantikan saja diketahui dan dicegah Israel untuk terlaksana di Palestina. Apalagi menggelar pasukan di Palestina, pasti jadi insiden internasional.

Sebetulnya sih, Israel welcome, mempersilahkan Retno Marsudi untuk masuk wilayah Palestina. Syaratnya adalah Retno Marsudi mau berkunjung ke Tel Aviv, Israel untuk bertemu dengan para pemimpin Israel. Akan tetapi, Menlu RI Retno  Marsudi menolak untuk bertemu dan berdialog langsung dengan Israel. Akibatnya, Israel marah dan melarang Retno Marsudi untuk masuk wilayah Palestina.

Soal video hoax pasukan Turki itu pun sudah diklarifikasi medcom.id bahwa video yang diklaim pasukan Turki tiba di Palestina itu adalah video pada 2018 ketika Turki memerangi pemberontak Kurdi bukan buat menyerang Israel.

Hoax itu, baik video, foto, maupun narasi sangat merugikan. Di Indonesia sudah banyak yang merasakannya. Pelaku dan pendukung hoax sudah banyak yang ditangkap. Harapannya juga palsu semua karena tidak nyata yang akhirnya rugi karena memang  PHP. Disangkanya untung, nyatanya rugi. Disangkanya menang, nyatanya kalah. Berharap Turki melawan pasukan Israel karena hoax, nyatanya cuma PHP karena memang tidak ada kenyataannya.

Sampai tulisan ini dibuat, nggak pertempuran antara Turki dengan Israel terkait konflik Israel dan Palestina baru-baru ini, iya kan?

Itu karena kebohongan.

Membela Palestina itu sebaiknya berdasarkan kenyataan, fakta, dan tidak perlu PHP atau tertipu hoax. Hal yang jelas itu adalah Presiden Turki Erdogan menggertak atau mengancam untuk menggelar pasukan dan mendesak dunia internasional untuk menghentikan kekerasan Israel kepada Palestina. Itu benar sebagaimana pemerintah Indonesia mendesak Dewan Keamanan PBB untuk bersikap tegas kepada Israel dan usulan DPR RI agar negara-negara yang tergabung dalam Oki untuk menggelar KTT dalam menyikapi kekerasan Israel.

Jangan membela palestina dengan hoax karena hanya harapan palsu, PHP, dan memang tidak ada kenyataannya. Rugi sendiri.

Sampurasun.

Indonesia Lebih Tegas Dibandingkan Turki Soal Israel

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Baru-baru ini selepas tindakan pengusiran paksa warga Palestina di Sheik Jarrah dan kekerasan terhadap warga Palestina di Masjijd Al Aqsa oleh Israel, beberapa gelintir orang Indonesia memposting tulisan atau pidato Presiden Turki Recep Tayip Erdogan yang isinya kecaman keras terhadap Israel. Kecaman Erdogan terhadap Israel memang keras dan itu bagus sebagai seorang kepala negara. Akan tetapi, banyak presiden dan pemimpin negara lain pun, baik yang penduduknya mayoritas muslim maupun nonmuslim melakukan kecaman serupa. Tidak terkecuali, Presiden RI Jokowi pun mengutuk keras soal tindakan brutal Israel. Jadi, bukan hanya Erdogan yang melakukan kecaman keras.

            Hal yang membuat saya tertarik adalah mereka yang memposting pidato Erdogan menambahinya dengan narasi-narasi berlebihan, cenderung mengecilkan peranan Indonesia terhadap sikap Israel, bahkan melakukan penghinaan yang tanpa bukti terhadap Indonesia. Seolah-olah Erdogan adalah segala-galanya, pemimpin utama umat Islam sedunia, dan Indonesia dituding sebagai negara lemah yang tidak peduli umat Islam. Digambarkan Erdogan adalah pahlawan sejati umat Islam dengan Turki yang penuh kemakmuran. Pokoknya Erdogan dan Turki adalah nomor wahid.

            Bagi saya, mereka ini orang-orang lucu. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang memuja-muji Turki.

Kalaulah memang Erdogan adalah segala-galanya dan mampu mengatasi persoalan umat Islam sedunia dengan sukses, lalu Turki adalah negara penuh gemerlap cahaya keagungan dan kemakmuran, kenapa tidak pindah saja menjadi warga Negara Turki?

Mengapa mereka masih tinggal di Indonesia yang katanya lemah, dzalim, dan tidak peduli umat Islam itu?

Hijrah dong ke Turki, lalu nikmati kenyamanan di sana. Berbahagialah dengan nostalgia tentang “Sultan Mehmed II” atau yang lebih sering dikenal dengan nama “Al Fatih” itu.

Kalau masih tinggal di Indonesia, tetapi memuja Turki setinggi langit, itu aneh. Mereka memang orang-orang aneh.

Sudahlah, biarkan keanehan itu tetap aneh dan lucu.

Apabila dilihat dari sisi hubungan internasional, terutama dalam hal diplomatik, sikap Indonesia jauh lebih tegas dibandingkan Turki. Sejak Indonesia merdeka, Israel selalu bersikap baik kepada Indonesia, terutama terhadap para presiden terpilih Indonesia. Israel selalu mengucapkan selamat kepada presiden RI terpilih. Itu terjadi sejak zaman Ir. Soekarno. Mereka melakukan itu dengan harapan dapat membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Akan tetapi, tidak seorang presiden Indonesia pun yang menanggapi keinginan Israel itu. Membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah sama dengan menyatakan persahabatan dengan Israel, setiap negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia berarti sahabat Indonesia.   Penolakan Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel sama artinya dengan menolak bersahabat dengan Israel. Pernah memang Indonesia seakan-akan hendak membuka hubungan persahabatan dengan Israel ketika masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur. Akan tetapi, rakyat Indonesia menolaknya dan Gus Dur menggunakan penolakan rakyat itu sebagai alasan kepada Israel untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tak mau bersahabat dengan Israel. Kejadian akhir-akhir ini Indonesia ditawari bantuan sejumlah uang yang sangat fantastis oleh Amerika Serikat agar mau membuka hubungan persahabatan dengan Israel. Akan tetapi, tidak perlu Presiden Jokowi yang menjawab rayuan Amerika Serikat itu, cukup Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang menegaskan bahwa Indonesia “tidak memiliki rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel”. Penolakan yang sangat tegas. Padahal, negara-negara Arab sudah banyak yang berhubungan dengan Israel atas mediasi yang dilakukan Amerika Serikat dengan menggunakan sejumlah kucuran dana yang sangat besar kepada negara-negara di kawasan itu.

Indonesia tidak tertarik dengan tawaran itu meskipun dengan rayuan bertumpuk-tumpuk uang karena di samping sentimen keagamaan mayoritas rakyat Indonesia, juga ada amanat dari Pembukaan UUD 1945:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Pelaksanaan amanat Pembukaan UUD 1945 itu saat ini ditafsirkan dengan harus melakukan penolakan berhubungan dengan Israel karena Israel adalah bangsa yang sedang melakukan penjajahan terhadap Palestina. Indonesia tidak bersedia melakukan persahabatan dengan penjajah.

Berbeda dengan Turki. Negeri yang kerap dipuja-puja sebagai negeri pembela umat ini sejatinya sudah sangat lama berhubungan diplomatik dengan Israel. Artinya, mereka bersahabat dengan Israel meskipun hubungan ini kerap mengalami “up and down”, kadang naik, kadang turun; kadang baik, kadang bermusuhan; pernah terjadi pengusiran duta besarnya, tetapi pada kali lain, berhubungan lagi.

Mengapa Turki dan Israel memiliki hubungan diplomatik?

Hal itu disebabkan keduanya memiliki keuntungan dari hubungan itu. Bahkan, pada Desember 2020, banyak media yang menyoroti perdagangan antara Turki dan Israel mengalami pertumbuhan yang disebutnya “meroket”. Keduanya mendapatkan keuntungan ekonomi yang luar biasa.

Tindakan membuka atau menutup hubungan diplomatik dengan Israel adalah pilihan bebas setiap negara. Akan tetapi, dilihat dari hal ini Indonesia jauh lebih tegas dibandingkan Turki dalam bersikap terhadap Israel. Indonesia tidak mau secara resmi sedikit pun berhubungan dengan Israel, sedangkan Turki sudah sejak lama berhubungan dengan Israel dan pasti punya keuntungan dari hubungan itu.

Kalau tidak ada untungnya, buat apa berhubungan, iya enggak?

Bagi Indonesia, tidak peduli mau untung atau tidak, hal yang sangat jelas adalah tidak mau berhubungan dengan Israel sepanjang Israel masih melakukan penjajahan terhadap Palestina. Jika Israel bersedia menghentikan penjajahannya terhadap Palestina, tak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Siapa yang lebih tegas bersikap terhadap Israel?

Negara yang menolak berhubungan atau negara yang bersedia untuk berhubungan?

Hayo, gampang kan menjawabnya?

Sampurasun.

Wednesday, 12 May 2021

Persatuan Palestina

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya


Setiap memperhatikan konflik antara Palestina berhadapan dengan Israel, saya selalu lebih memperhatikan dari sisi Palestina. Kalau Israel itu, tidak perlu terlalu diperhatikan karena mereka penjajah, memiliki  banyak sumber daya, baik di dalam negerinya maupun dari negara-negara pendukungnya.

            Sejak dulu pun masalah dalam diri Palestina selalu sama, yaitu belum adanya persatuan di antara kelompok-kelompok perlawanan di Palestina sendiri. Tak jarang di antara kelompok-kelompok itu terlibat ketegangan dan ketidaksepahaman yang jelas semakin melemahkan kekuatan Palestina sendiri.

Di Indonesia hal ini menjadi kesadaran utama untuk menjadi bangsa yang merdeka. Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno berjuang berkeliling untuk menyadarkan rakyat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan. Orang-orang Indonesia sebetulnya sudah sejak lama melawan penjajahan, tetapi tidak berhasil, selalu kalah karena dilakukan oleh sekelompok-sekelompok perlawanan atau raja-raja, sultan-sultan di daerahnya masing-masing. Perlawanan-perlawanan lokal itu tidak membuat Indonesia merdeka. Baru setelah rakyat beserta para raja dan para sultan menyadari pentingnya persatuan Indonesia, gerakan perlawanan pun semakin besar hingga mencapai kemerdekaannya sekaligus mampu mempertahankan kemerdekaan itu hingga hari ini.

            Tampaknya Palestina harus belajar banyak dari pengalaman Indonesia dalam memerdekakan dirinya, terutama adanya rasa persatuan, mengesampingkan ego kelompok, dan memiliki pemimpin utama yang diterima oleh semua kelompok. Di Indonesia pemimpin yang diterima seluruh kelompok dalam masa revolusi adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

            Sampai hari ini, di Palestina kelompok-kelompok perlawanan ini belum terekat secara utuh dan belum memiliki pemimpin utama yang dapat merekatkan seluruh para pejuang Palestina. Benar memang Palestina memiliki negara dan pemimpin, Indonesia mengakuinya sebagai negara yang sah, tetapi pemerintah Palestina tampaknya masih lemah dan belum memiliki kemampuan menyatukan seluruh elemen perjuangan Palestina.

            Jika saja Palestina dapat mempersatukan para pejuangnya dalam komando yang sama meskipun terdiri atas berbagai kelompok, insyaallah kekuatannya akan berlipat-lipat ganda dan harapan untuk merdeka secara utuh, baik dari segi hukum maupun dari segi fakta, akan dapat dicapai. Jika persatuan ini belum bisa dicapai, Palestina pun masih harus perlu waktu lama untuk menjadi negara merdeka yang berrdaulat penuh sebagaimana bangsa-bangsa lainnya.

            Meskipun persatuan bukanlah satu-satunya syarat untuk merdeka, paling tidak, daya tekan dan unjuk kekuatan Palestina di hadapan Israel dan dunia pun akan semakin kuat dan semakin tangguh.

            Sampurasun