Monday, 28 February 2022

Nggak Mau Didoain

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

“Wah, Akang makin shaleh, rajin shalat, baca Al Quran.”

            “Ah, enggak, saya baru shalat hajat, terus baca Al Waqiah.” 

“Eh, Kang, saya mau tanya. Akang sebagai dosen, bagaimana pendapatnya soal adzan pakai pengeras suara yang sedang ramai itu?”

“Adzan bagus pakai pengeras suara, asal jangan terlalu keras, bisa mengganggu orang lain.”

“Kenapa menganggu? Hati-hati bicara, Akang bisa kafir, murtad.”

“Oh, ya?”

“Iya dong. Orang yang merasa terganggu oleh adzan itu berarti sama dengan syetan.”

“Saya bilang kan bukan terganggu adzan, tetapi terganggu oleh suara keras dari pengeras suara.”

“Eh Kang, suara adzan itu harus sangat keras, ini syiar Islam. Kalau tidak suka, berarti saudaranya syetan, kafir itu.”

“Bagaimana dengan orang yang sudah lanjut usia, sangat tua, sakit-sakitan, perlu banyak istirahat? Bagaimana juga orang yang bekerja sebagai sekuriti atau yang bekerja shift dan perlu istirahat untuk kembali siap bekerja lagi? Apakah mereka juga syetan kalau ingin istirahat dan tidak terganggu suara bising?”

“Ini syiar Islam, Kang.”

“Ya sudah. Jangan ngobrolin lagi loud speaker. Kita berdoa saja. Mau nggak saya doain supaya cepat kaya? Kebetulan saya baru shalat hajat dan membaca Surat Al Waqiah, belum batal wudlu lagi.”

“Hayu, Kang.”

“Sini, kita duduk bersila berhadap-hadapan. Yuk, kita tundukan kepala.”

“Mari, Kang.”

“Sini lebih dekat, kepala kamu dekatkan dengan kepala saya supaya lebih enak. Baca ayat Kursi dulu ya.”

“Iya, Kang.”

“Bismillaaaaaahirr …!”

“Stop, stop Kang. Kenapa teriak-teriak?”

“Kenapa memangnya?”

“Jangan kencang-kencang, Kang. Bising.”

“Ini syiar. Kenapa kamu tidak mau mendengarkan saya baca ayat Kursi? Kamu kepanasan? Hati-hati, bisa-bisa di tubuh kamu ada syetannya.”

“Bukan begitu. Kalau mengingat Allah swt itu jangan teriak-teriak, tidak sopan, mengganggu orang lain.”

“Ini kan syiar, biar orang lain mendengar.”

“Dilarang, Kang.”

“Dilarang sama siapa?”

“Dilarang sama Allah swt.”

“Coba di surat mana, ayat berapa larangan itu?”

“Ini nih, Surat Al Araf ayat 205.”

“Coba bacakan terjemahannya saja.”

            “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut serta dengan tidak ‘mengeraskan suara’ pada waktu pagi dan petang. Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.”

            “Jadi, tidak boleh ya mengeraskan suara itu pada waktu pagi dan petang itu?”

            “Iya, Kang tidak boleh. Ayatnya jelas dari Allah swt dalam Al Quran.”

            “Oh begitu, ya? Memang tidak boleh mengeraskan suara itu, apalagi pakai toa.”

            “….”

            Sampurasun.

Saturday, 26 February 2022

Bukan Hanya Gonggongan Anjing Yang Dikatakan Menag Gus Yaqut

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Seru ya soal pernyataan Menteri Agama RI Gus Yaqut. Banyak orang marah-marah dan tersinggung, tidak suka dengan pernyataan Gus Yaqut, terutama soal gonggongan anjing. Saya sebetulnya merasa biasa saja dengan pernyataan Menag itu. Nggak ada apa-apa kok. Akan tetapi, tiba-tiba banyak yang marah, nyinyir, bahkan hingga berlebihan membahayakan.

            Saya jadi herman ... eh … heran. Saya lihat lagi berulang-ulang jawaban Gus Yaqut ketika diwawancarai wartawan di Pekan Baru, Riau itu. Tetap saja biasa-biasa.

            Lantas, apa sih yang bikin heboh?

            Ternyata, yang menghebohkan pertama kali itu adalah beberapa media online yang menulis judul bahwa Gus Yaqut membandingkan adzan dengan gonggongan anjing. Hal itu terus ditangkap oleh mereka yang gemar bikin keributan, benci pemerintah, benci NU, dan benci Gus Yaqut untuk kemudian diperbesar dan dilebih-lebihkan. Akibatnya, banyak masyarakat yang juga terpengaruh.

            Kalau saya lihat videonya yang utuh, bukan hanya bisingnya gonggongan anjing yang dikatakan Gus Yaqut, melainkan pula suara bising dari tempat ibadat agama lain dan suara truk yang bising berbunyi berbarengan. Dia mencontohkan dirinya sebagai muslim jika hidup di mayoritas agama nonmuslim, lalu mendengar suara bising dari tempat ibadat agama lain selama lima kali dalam sehari, akan merasa terganggu. Hal ini memang terjadi di Belanda, misalnya, meskipun masyarakatnya mayoritas Kristen, mereka tetap terganggu dan protes keras karena terlalu bisingnya bunyi lonceng gereja. Demikian juga jika di kiri, kanan, depan, belakang ada bunyi truk yang keras berbarengan, dia akan terganggu.

            Intinya, Gus Yaqut sedang membicarakan suara bising yang mengganggu sehingga suara-suara itu harus diatur agar tidak mengganggu. Gus Yaqut tidak sedang membandingkan antara gonggongan anjing dengan adzan karena tidak bisa dibandingkan.

            Kalau kita sedang membahas adzan, hal yang dibicarakan pastinya adalah arti adzan, sejarah adzan, pelafalan adzan, cara menjawab adzan, syarat muadzin, dan syarat mengumandangkan adzan. Tidak ada hubungannya dengan pengeras suara. Tidak ada pula hubungannya dengan gonggongan anjing. Hal yang dibicarakan Gus Yaqut itu adalah suara bising yang keluar dari pengeras suara.  Oleh sebab itu, diatur hanya cukup 100 desibel (dbl) supaya hanya terdengar oleh lingkungan sekitarnya, tidak terlalu keras, nyaman, dan tidak berbenturan dengan suara dari masjid lain yang berdekatan. Sekarang ini kan sering berbenturan, masjid yang satu sudah hampir habis adzan, masjid yang satu lagi baru mulai hingga bersahut-sahutan. Suaranya keras lagi seperti sedang lomba siapa yang paling keras.

            Dilihat dari videonya, tidak ada satu kata pun Gus Yaqut mengatakan kata “adzan”. Memang bukan sedang membicarakan adzan, tetapi suara bising dari pengeras suara.

            Tidak setuju sama Gus Yaqut, boleh. Tidak suka, boleh. Beda pendapat, boleh. Minta Gus Yaqut turun, boleh. Minta diganti, boleh. Ini negara demokrasi. Akan tetapi, tidak boleh berlebihan sehingga menimbulkan fitnah, kebohongan, penghinaan, dan huru-hara. Kalau berlebihan, akibatnya masuk ke ranah hukum dan ini sudah terjadi. Roy Suryo yang mantan Menpora itu melaporkan Gus Yaqut ke polisi karena menganggap Gus Yaqut telah menghina agama. Ini berlebihan yang berakibat pada ditolaknya laporan Roy Suryo karena perbedaan locus serta dilaporkan balik oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor bersama Banser yang jumlahnya mencapai tujuh juta orang itu.

            Bagi saya, mereka yang justru mengatakan tentang adzan dengan gonggongan anjing itu adalah media-media online, Roy Suryo, Sugik Nur, dan orang-orang yang juga membuat berbagai postingan perbandingan itu. Gus Yaqut tidak membandingkan itu, tak ada kata adzan dari mulutnya saat itu. Kini semua harus lebih hati-hati karena GP Ansor sudah mengatakan bahwa akan melawan balik Roy Suryo dan pihak-pihak yang mengganggu Gus Yaqut. Siapa pun bisa mereka perkarakan. Bahkan, jika GP Ansor memerintahkan anak buahnya hingga ke tingkat kecamatan untuk memperkarakan orang-orang di tingkat kecamatan secara hukum ke aparat hukum, situasi akan terbalik, banyak orang yang bisa terjerat hukum. Roy Suryo sudah dilaporkan balik ke polisi. Kini mungkin pihak-pihak lain dalam catatan GP Ansor yang akan diperkarakan.

            Hati-hati semua bisa berbalik situasinya. Seperti kasus Jenderal Dudung yang dinyatakan tidak melanggar hukum setelah mengatakan “Tuhan kita bukan orang Arab”. Puspomad telah meminta pendapat para ahli tentang kata-kata Jenderal Dudung yang terdiri atas satu orang ahli hukum pidana dari Unair, seorang ahli IT dari Kominfo, dan dua ahli bahasa dari UI. Mereka tidak menemukan kesalahan Jenderal Dudung. Kalau Dudung mau, para pelapor itu bisa dilaporkan balik sebagai pencemaran nama baik untuk dimasukkan dalam penjara.

            Meskipun aturan tentang pengeras suara ini sudah diberlakukan, saya tidak yakin bahwa aturan ini akan berjalan dengan baik. Buktinya, aturan ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Soeharto, tetapi tidak dilaksanakan. Penyebabnya, aturan ini hanya macan kertas, cuma ada di kertas, dan tanpa ada sanksi. Oleh sebab itu, Habib Kribo Zen Assegaf menyarankan dengan gaya slebornya agar jika ada masjid yang tidak mengikuti aturan, segera ditutup saja.

            Hal yang lebih lucu adalah peraturan soal pengeras suara ini sebetulnya yang terkena dampaknya adalah mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya menggunakan pengeras suara dengan keras jika adzan, takbiran, tadarusan, khataman, maulidan, tahlilan, dsb., tetapi warga NU mencoba beradaptasi, menyesuaikan diri dengan peraturan Menag dan mencoba memahami manfaatnya untuk kehidupan yang lebih harmonis dan menenangkan. Justru yang banyak protes adalah mereka yang sering membidahkan orang yang tahlilan, takbiran, maulidan, dsb., bahkan sering protes jika dilakukan dengan suara keras dengan menggunakan pengeras suara. Aneh memang. Ini adalah tanda bahwa mereka pengen ribut saja.

Seperti saya bilang, boleh tidak suka, boleh tidak setuju, tetapi jangan berlebihan sehingga melanggar hukum. Orang Sunda bilang, bisa malik piloko. Hati-hati.

            Sampurasun.

Thursday, 24 February 2022

Pembatasan Adzan


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya, bukan pembatasan adzan, melainkan “pengaturan penggunaan pengeras suara” di masjid dan mushala. Kalau adzan dibatasi mah, kajeun gelut we.

            Kali ini saya ingin menulis pengaturan pengeras suara itu di Arab Saudi, bukan di Indonesia.

            Kenapa menulis yang di Arab Saudi?

            Nya, hayang we.

            Pertengahan tahun lalu Arab Saudi mengeluarkan peraturan tentang hal itu. Menteri Urusan Islam Saudi  Abdul Latif Al Sheikh mengeluarkan aturan itu untuk seluruh masjid di Kerajaan Arab Saudi. Aturan itu berupa volume suara yang diperbolehkan hanya sepertiga dari maksimal serta pengeras suara hanya diperbolehkan untuk adzan dan iqomat, tidak untuk yang lain. Pengaturan ini dibuat setelah kementerian urusan Islam Saudi mendapatkan banyak laporan dan keluhan atas suara pengeras suara yang mengganggu para orangtua, lanjut usia, pasien yang sakit, dan anak-anak.

            Kerajaan Arab Saudi sangat keras dalam hal ini. Menteri Abdul Latif Al Sheikh menegaskan bahwa akan ada sanksi bagi yang melanggar aturan ini. Entah sanksi berupa hukuman apa yang melanggarnya. Saya tidak tahu. Entah potong leher, potong tangan, potong kuku, potong rambut, potong bulu hidung, potong kumis, potong bulu kaki, potong bulu kelek, potong bulu ba … balatak na gado, entahlah. Nggak tahu juga mungkin hukum rajam, dilempari batu, atau dilempari pasir, dilempari air, dilempari ember, dilempari semen, ngecor we sugan mah. Bisa juga hukuman kurungan atau denda. Denda di Arab Saudi itu mahal, bisa seharga dua kambing, sapi, atau unta.

            Begitu konsideran dan keputusan Arab Saudi untuk mengatur penggunaan pengeras suara di masjid.

            Selama di Arab Saudi, saya hanya mendengar adzan dari dua masjid, yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Suaranya enak, tidak ngageber dan tidak terkesan teriak-teriak. Bahkan, suaranya masuk ke dalam kamar hotel dengan lembut dan tidak bising. Malahan, kita bisa shalat di hotel berjamaah dengan imam shalat tetap di depan Kabah.

            Eh, bisi ada yang nggak percaya saya pernah ke Arab Saudi, saya sertakan foto saya waktu itu. Saya pakai batik dan ikat kepala Sunda. Nyaman pakai pakaian itu saya mah dan mudah dikenali oleh orang luar negeri.




            Mereka terbiasa menyapa saya, “Indonesia?”

            Saya hanya menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum manis sebagaimana yang mereka kenal bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah.

            “Alhamdulillah,” kata mereka sambil merapikan sajadah saya ketika hendak shalat.

            Tidak ada yang merasa aneh dengan pakaian saya. Biasa saja.

            Kalau ada dari mereka yang bertanya kepada saya, “Mengapa tidak memakai gamis?”, saya akan jawab, “Saya penggemar wayang golek”.

            Nggak ada sih yang bertanya seperti itu. Itu mah kalau ada saja. Mereka baik-baik kok. Malah, ketika pakaian ihram saya kurang rapi, mereka langsung memperbaiki pakaian saya tanpa diminta.

            Begitu ya, soal pengaturan pengeras suara di Arab Saudi. Kalau pengaturan di Indonesia, harus membaca dan memahami dulu Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang terbit pada 18 Februari 2022 dan ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, serta Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Edaran ini pun ditembuskan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia. Peraturan itu harus dibaca dan dipahami terlebih dahulu supaya tidak salah tafsir sehingga menyesatkan diri dan orang lain.

            Sampurasun

Wednesday, 23 February 2022

Minyak Goreng Langka, Rakyat Panic Buying

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Saya heran kenapa ada yang menyalahkan rakyat karena “panic buying” gara-gara minyak goreng langka?

            Panic buying itu semacam pembelian besar-besaran oleh rakyat untuk keperluannya sendiri karena terjadi kelangkaan suatu barang. Minyak goreng langka dan itu bukan bohong. Rakyat panik. Hal ini diawali oleh harga minyak goreng yang naik tinggi yang kemudian terjadi kelangkaan di pasar.

            Saya menulis ini sudah tiga kali sampai dengan tulisan ini. Persoalan minyak goreng ini sudah hampir dua atau tiga bulan terjadi dan rakyat belum melihat ada perbaikan. Rakyat sudah paham bahwa hal ini diakibatkan kerakusan para pengusaha yang terlalu banyak menjual minyak ke luar negeri dan ada penimbunan yang menyebabkan distribusi macet. Padahal, Indonesia adalah penghasil minyak terbesar di dunia.

Rakyat tak perlu lagi penjelasan yang rumit karena sudah jelas masalahnya. Rakyat hanya perlu melihat minyak goreng tersedia di pasar dengan harga terjangkau. Itu saja.

Pemerintah memang sudah melakukan hal baik dengan cara memberikan subsidi untuk menekan harga minyak goreng agar terjangkau rakyat. Saya dengar ada 7,9 triliun yang dikucurkan pemerintah. Akan tetapi, minyak tetap langka dan kalaupun ada, harga melambung sangat tinggi. Ini jelas ada kesalahan.

Saat ini banyak yang menyalahkan rakyat karena melakukan panic buying. Rakyat terlalu banyak membeli minyak goreng sehingga membuat minyak goreng langka untuk masyarakat yang lainnya. Hal ini  memang terjadi, tetapi jangan salahkan rakyat karena rakyat tidak memiliki keyakinan bahwa minyak goreng bisa tetap tersedia seperti sediakala.

Rakyat itu sederhana berpikirnya.

Jika tidak membeli banyak, bagaimana nanti jika diperlukan, tidak ada?

Ketika ada minyak goreng, apalagi dengan harga murah, rakyat otomatis akan membeli banyak. Ini soal keyakinan. Rakyat perlu diyakinkan oleh pemerintah bahwa, misalnya, dalam satu atau dua bulan ke depan persediaan dan harga minyak tersedia dan terjangkau. Pemerintah harus mampu mencapai target itu. Jika ada perbaikan situasi, panic buying pun berhenti.

Soal harga, ketersediaan, hukuman bagi para pengusaha dan penimbun rakus adalah bukan tanggung jawab rakyat untuk menanggulanginya. Itu adalah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah karena rakyat tidak memiliki kemampuan untuk itu. Semuanya sudah diserahkan kepada pemerintah.

            Jika kondisi tidak juga membaik, pemerintah harus introspeksi, bahkan mungkin Presiden Jokowi harus mengganti Menteri Perdagangan dengan orang lain yang lebih baik lagi bekerja dan memiliki kemampuan untuk mengatasi hal ini. Jangan membiarkan hal ini berlarut-larut.

            Pemerintah sudah melakukan banyak hal positif dan rakyat mayoritas sangat puas. Dalam catatan, 82% pemilih Jokowi-Maruf Amin puas terhadap kinerja pemerintah. Menurut Kompas, 73,9% rakyat puas terhadap Jokowi. Bahkan, bukan pemilih Jokowi pun 57% merasa puas terhadap Jokowi. Bayangkan, mereka yang saat Pilpres tidak memilih Jokowi pun puas terhadap Jokowi. Artinya, banyak kebijakan dan hasil kerja Jokowi yang dinikmati rakyat keseluruhan. Sampai hari ini pun rakyat tetap puas. Akan tetapi, prestasi yang banyak itu bisa gugur atau terlupakan gara-gara tidak mampu mengatasi permasalahan harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Jokowi harus hati-hati dan kalau diperlukan, segera turun tangan langsung. Sayang jika kepuasan rakyat luntur karena hanya satu hal yang tak bisa tertanggulangi dengan baik.

            Jangan salahkan rakyat jika panic buying dan turun kepercayaan kepada pemerintah. Rakyat hanya cukup terpuaskan jika minyak goreng tersedia dengan harga terjangkau, insyaallah, panic buying pun berhenti.

            Jika masih juga kesulitan, ganti Menteri Perdagangan. Jangan kelamaan, rakyat membutuhkan kejelasan dan ketersediaan.

            Sampurasun.

Monday, 21 February 2022

Dasar Keturunan Arab Yaman Kurang Ajar

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya, malas menulis dan mengomentari orang-orang kurang ajar seperti mereka ini. Saya sebenarnya lebih suka menulis atau mengomentari hal-hal positif dan berpandangan ke depan. Orang lain sudah bikin pesawat ke luar angkasa, bikin teori-teori yang bisa memecahkan masalah manusia di dunia, ini mah ngomongin ecek-ecek yang bolak-balik ke situ-situ lagi, enggak maju-maju. Dari dulu sampai sekarang, mungkin sampai mau mati pun ngomongnya itu lagi itu lagi, enggak ada yang lain.

            Kapan mau maju? Kapan mau mulia? Kapan mau berkuasa di dunia?

            Ngimpi!

            Orang-orang seperti itu selalu mempertahankan kebodohan orang lain agar dirinya dipandang selalu lebih mulia, lebih pintar, dan lebih suci. Padahal, dia menghambat kemajuan dan kecerdasan orang lain. Sekuat tenaga mereka bertahan agar orang lain tetap berada di bawah pengaruhnya karena ingin mendapatkan keuntungan pelayanan, penghormatan, juga materi dari orang lain yang mudah mereka tipu. Bahkan, untuk mempertahankan kondisi itu, tanpa malu dan tanpa adab, mereka berbicara kotor murahan dan sama sekali tidak berpendidikan.

            Coba perhatikan kata-kata keturunan Arab ini, Si Habib Fahmi Alkatiri dalam akun milliknya, Fkadrun Alkatiri @FahmiHerbal. Dia menghina bangsa Indonesia, sebagai pribumi, tuan rumah, padahal dia makan dan hidup di Indonesia. Mungkin dia tukang obat juga karena ada foto obat-obatan di akunnya dan menggunakan kata herbal untuk namanya.


Fahmi Herbal (Foto: Rakyat Priangan)


            Perhatikan kata-kata kotornya.

            “Lo tuan rumah? Kont*l. Muka mesum pengecut. Tanpa kami kalian masih hidup nomaden. Menyembah pohon dan batu.”

            Perhatikan coba, bagaimana kurang ajarnya dia.

“Ganteng kan Gw. Nggak pesek kayak lo. Sesak nafas. Makanya belajar cari bapak yg bener. Masa china vangke berak di kebon jd bapak lo.”

Dia tidak berhenti menghina.

“Tamu? Lo aja tinggal dalam hutan. Gelantungan. Kami yg ajarkan kalian berpakaian. Bercelana. Beragama. Dulu kalian tu Babi.”

Manusia yang kayak begini mau diikutin hanya karena dia keturunan Arab?

“Hai anjing! Ngga ada kami kau masih tinggal dalam goa. Ngerti njing.”

Dia pun mulai nyasar-nyasar memojokkan NU.

“Gw denger uang kas NU ada 14 trilyun di sebuah bank Pemerintah.”

Kata-katanya ini tentu saja  mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Dia dihujat habis, dibuli, dimaki-maki, dan diusir dari Indonesia. Oleh sebab itu, dia segera meminta maaf sambil terus menutup akunnya.

Seperti saya bilang, saya malas menulis tentang manusia-manusia semacam Si Fahmi ini. Dia sudah meminta maaf dan menutup akun, tetapi teman-teman sejenisnya masih banyak yang membelanya dan petantang petenteng terus-terusan bikin muak. Saya harus menulis untuk menyadarkan orang agar tidak tertipu sekaligus menghajar dia dan teman-temannya. Selain itu pun, saya harus menemani para habib yang baik dan merasa kesal terhadap perilaku keturunan Arab semacam itu.

Manusia-manusia brengsek seperti itu memang tidak punya otak. Mereka tidak berpikir apalagi merasa kasihan kepada para habib lain yang baik-baik dan keturunan Arab  lain yang juga hidup normal seperti yang lainnya. Jumlah para habib di Indonesia ini sekitar 1,5 juta orang. Mayoritas mereka baik-baik saja. Mereka yang ahli agama mengajarkan agama; yang bukan ahli agama menekuni profesi mereka masing-masing. Gara-gara mereka, para habib dan keturunan Arab lain yang baik-baik itu jadi kena getahnya. Mereka mendapatkan juga hujatan, bulian, kata-kata pengusiran dari masyarakat, padahal tidak melakukan apa-apa.

Kelakuan tolol seperti Si Fahmi ini mendapatkan reaksi keras dari Habib Kribo Zen Assegaf. Dengan gayanya seperti orang slebor, Habib Zen Assegaf marah-marah. Lihat saja videonya sendiri langsung. Perhatikan kemarahannya.

“Arab-arab seperti ini akan ada sampai nanti 2024. Makan hidup di Indonesia, tetapi berbicara kurang ajar. Biadab. Tidak ada dalam ajaran Islam yang menghinakan manusia. Saya lihat dia itu Dajjal. Menghina cina berarti menghina Tuhan.

            Arab sebelum Muhammad saw itu primitif, bodoh, tidak berkebudayaan. Ada Nabi Muhammad pun susah diajak bener. Indonesia sudah beradab ketika Arab jahiliyah, sudah punya Borobodur, Prambanan.

            Fahmi itu Anjing dia kurang ajar. Dia bukan habib. Bikin kisruh.

            Arab itu sampai sekarang Islamnya itu cuma merk. Karena ada Kabah saja, mereka Islam. Kalau tidak, mereka masih tetap jahiliyah. Lama-lama saya malu jadi keturunan Arab.

Untung saja, orang Indonesia baik-baik. Kalau di Afrika sudah di-‘smack down’. Anda bisa enak di Indonesia. Di Yaman sampai hari ini masih banyak yang tinggal di gunung-gunung.

            Tangkap ni orang.

            Saya minta maaf kepada orang Indonesia atas perilaku Arab yang satu ini.”

            Habib Zen Assegaf yang jelas keturunan Arab saja harus meminta maaf atas perilaku Si Fahmi meskipun sambil marah-marah.

            Ya sudah, kita maafkan Fahmi Alkatiri, tunjukkan bahwa orang Indonesia itu beradab dan pemaaf. Fahmi pun tampaknya tidak terdengar lagi, mudah-mudahan sadar dengan baik. Akan tetapi, Arab-arab kurang ajar yang lain harus segera berhenti. Saya ingatkan bahwa semakin hari semakin banyak orang yang ingin mengusir mereka untuk kembali ke tanah leluhurnya di Arab atau di Yaman. Kalau merasa sebagai orang Indonesia, berbuatlah baik kepada masyarakat sekitar, hidup normal seperti yang lain. Kalau merasa lebih tinggi dan menganggap rendah bangsa Indonesia, saya sarankan segera pergi dari Indonesia dan pulang ke tanah leluhur yang selalu kalian banggakan itu.

            Sungguh, Indonesia sama sekali tidak membutuhkan kalian. Indonesia baik-baik saja tanpa kalian. Malahan, kalian bikin runyam Indonesia. Sebaiknya kalian pulang, tanah leluhur kalian sedang membutuhkan kalian. Yaman sedang kelaparan dan ketakutan karena dihajar, ditembaki, dan dibombardir Arab Saudi. Yaman dan Arab Saudi sedang saling bunuh. Pulanglah ke sana. Tolonglah rakyat di tanah leluhur kalian. Mereka lebih membutuhkan kalian dibandingkan kami, rakyat Indonesia. Dakwahi dan ceramahi mereka dengan pidato kalian yang “paling benar, paling pasti masuk surga” itu.  Kami bosan dan muak pengen muntah dengan ceramah kalian. Kami punya cara sendiri untuk masuk surga. Di dunia saja kami sudah tinggal di surga Indonesia. Insyaallah, kami pun akan masuk surga di akhirat kelak. Kami punya cara sendiri dan bukan cara seperti kalian.

            Yaman dan Arab Saudi lebih membutuhkan kalian. Pergilah.

            Kalau mau hidup di sini, di Indonesia, ikuti dan hormati cara hidup kami.

            Sampurasun.

Saturday, 19 February 2022

Korupsi Beasiswa, 400 Mahasiswa Terancam Hukum

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Inilah yang selalu saya takutkan dua tahun belakangan ini. Saya selalu mewanti-wanti mahasiswa agar menggunakan uang beasiswa yang telah dikuasakan kepada mereka untuk benar-benar digunakan kuliah, terutama “uang saku” sebagai penunjang hidup mereka selama kuliah. Apalagi sekarang, jumlahnya bertambah besar. Untuk mereka yang hidup dalam keluarga sangat miskin, dengan adanya beasiswa, bisa terasa kaya raya mendadak karena ada uang yang dapat digunakan sebagai uang saku yang lumayan besar.

            Mungkin seluruh murid saya sudah sangat bosan mendengar saya membicarakan hal ini. Mungkin mereka sudah hapal kata-kata saya tentang hal ini. Bisa jadi pula ketika saya membicarakan hal ini, masuk dari kuping kanan dan keluar dari kuping kiri karena saking hapalnya. Akan tetapi, saya terus mengingatkan karena khawatir terhadap keselamatan diri mereka dan keberhasilan pendidikan mereka. Jika tidak menggunakan uangnya dengan bijak dan benar, pendidikan mereka tidak akan selesai dan jatuh dalam perilaku korupsi karena itu adalah uang rakyat yang dikelola negara untuk membiayai diri mereka dalam menempuh pendidikan. Akhirnya, baik diri mereka dan keluarga mereka harus menanggung penderitaan akibat perilaku yang salah dalam menggunakan uang rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk digunakan menunjang perkuliahan mereka hingga menjadi orang yang bermanfaat, baik untuk diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam acara resmi baru-baru ini saya pun mengingatkan hal yang sama di Haris Fox Hotel kepada para penerima baru beasiswa KIP Kuliah Universitas Al Ghifari, Bandung. Jumlah mereka mencapai 291 orang. Pada saat itu saya selaku Ketua Program Studi (Kaprodi) Hubungan Internasional  (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Al Ghifari (Unfari) diminta untuk memberikan pembinaan kepada para mahasiswa baru yang beruntung mendapatkan beasiswa. Acara itu bernama “Pembinaan, Monitoring, dan Evaluasi Mahasiswa Penerima KIP Kuliah Universitas Al Ghifari Tahun Akademik 2021-2022”.

Seperti ini kira-kira yang saya sampaikan saat itu, “Kalian harus ingat bahwa uang itu bukan hasil kerja keras orangtua kalian, bukan pula uang hasil usaha kalian. Uang itu adalah uang rakyat yang dikelola negara, kemudian disalurkan pemerintah ke Universitas Al Ghifari untuk membiayai kuliah kalian. Jadi, upayakan sebaik mungkin untuk perjalanan kuliah kalian, bukan untuk membetulkan rumah orangtua, bukan untuk bayar hutang saudara-saudara, bukan untuk bisnis, bukan untuk berfoya-foya. Itu adalah uang rakyat. Rakyat berharap kalian selesai kuliah dan menjadi orang yang bermanfaat. Kalau kalian tidak kuliah dengan baik, bahkan tidak selesai, tetapi terus menerus menggunakan uang itu hingga habis, kalian adalah koruptor! Kalian mengambil uang rakyat, tetapi digunakan tidak untuk yang diinginkan oleh rakyat. Jangan ikut-ikutan demonstrasi antikorupsi kalau begitu karena kalian sendiri adalah koruptor! Bla … bla … bla ….”




Kepanjangan kalau semua kata-kata saya ditulis di sini karena saya berbicara saat itu sekitar tiga puluh menit. Saya berbicara seperti itu karena tanggung jawab dan berharap para mahasiswa penerima beasiswa dapat lebih baik lagi menggunakan uang rakyat sehingga kuliahnya selesai dan hidup lebih baik pada masa depan. Di samping itu, cepat atau lambat jika menggunakan uang itu tidak dengan benar, hukum akan menguntit mereka dan menghukum mereka.





Dalam tulisan ini saya upload foto ketika saya memberikan pembinaan pada acara di Bandung, “Pembinaan, Monitoring, dan Evaluasi Mahasiswa Penerima KIP Kuliah Universitas Al Ghifari Tahun Akademik 2021-2022”.

 Kini kita dikejutkan oleh adanya lebih dari 400 mahasiswa yang terancam hukum tersangka korupsi beasiswa. Kejadiannya di Aceh dan mereka adalah mahasiswa Aceh yang berada di kampus-kampus Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri. Mereka tahu bahwa mereka tidak berhak mendapatkan beasiswa, tetapi kongkalikong dengan para pengelola atau Korlap beasiswa yang berasal dari Dana Otonomi Khusus melalui aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2017. Kerugian negara mencapai sekitar 10 miliar rupiah. Kasus ini sudah diselidiki oleh kepolisian.

Polisi sudah memiliki daftar nama mahasiswa itu yang juga pasti menyasar para koordinator, pengelola, atau mereka yang punya akses terhadap penyaluran dana itu, baik dari pihak DPRA, kampus, mahasiswa, atau yang lainnya. Akan tetapi, untuk para pelaku yang masih berstatus mahasiswa, kepolisian menyerukan agar segera mengembalikan uang itu ke kas daerah untuk mengurangi jumlah tersangka. Jika tidak mengembalikan, kemungkinan besar menjadi tersangka. Jika mengembalikan uang, kepolisian kemungkinan akan lebih fokus kepada pihak-pihak yang bukan mahasiswa dan menentukan dalam penyalahgunaan penyaluran beasiswa ini. Begitu kira-kira yang disampaikan Kombes Pol Winardy.

Kejadian ini saya dapatkan dari Kompas dan dari Tribun.

Bayangkan, dana itu berasal dari tahun 2017, sekarang tahun 2022. Uang itu mungkin sudah habis digunakan, tetapi harus dikembalikan. Luar biasa menyusahkannya. Oleh sebab itu, jangan main-main dengan uang yang bukan haknya.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi negara, pemerintah, para wakil rakyat, pihak kampus dan lembaga pendidikan, para koordinator, serta para mahasiswa di mana saja. Jika ada yang sudah merasa diri menggunakan uang itu tidak dengan baik, segera perbaiki diri, hentikan, dan kembali gunakan itu sesuai dengan keharusannya. Kalau tidak, hukum akan menguntit di dunia ini dan di akhirat pun akan mendapatkan pembalasannya.

Hati-hati.

Sampurasun.

 

#KampusSangPemenang

#UnfariFisipHI

Friday, 18 February 2022

Ulama Pengecut

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah mah lucu, pengecut lagi. Sebetulnya, kelompok mereka namanya Koalisi Ulama, Habaib, dan Pengacara Anti Penodaan Agama (Kuhap Apa). Jadi, di dalamnya ada orang yang katanya ulama, habib, dan pengacara.

            Dari namanya saja sudah lucu, Kuhap Apa. Untung nggak pakai tanda tanya. Kalau pakai tanda tanya, makin bodor.

            Kuhap Apa?

            Nggak tahu. Tanya saja sama Kuhap Apa.

            Dalam tulisan yang lalu saya bilang mereka lucu, pikaseurieun, karena melaporkan Jenderal Dudung kepada anak buahnya, Puspomad. Itu kan mirip melaporkan kepala sekolah kepada penjaga sekolah. Bodor.

            Laporan mereka memang diterima Puspomad karena memang Dudung memerintahkan Danpuspomad Letjen TNI Chandra W. Sukotjo menerima mereka. Dudung pun memerintahkan agar wajah para pelapor itu difoto semuanya untuk dicek siapa saja mereka sebenarnya.

            Sebagaimana proses hukum, para pelapor itu dipanggil oleh Puspomad untuk menjelaskan seluruh laporannya lebih jelas. Akan tetapi, mereka ternyata tidak siap dan meminta waktu jadwal ulang untuk pemanggilan kembali. Dari sini saja sudah kelihatan tidak siapnya mereka, baik untuk menjelaskan, apalagi difoto. Biasanya, pelapor itu sangat gesit jika dipanggil untuk menjelaskan karena ingin sekali pihak yang dilaporkannya dihukum berat. Saya juga begitu kok, sangat tidak sabar untuk dipanggil polisi untuk menjelaskan laporan saya, selalu siap, dan meninggalkan acara apa pun untuk menghadiri pemanggilan itu. Bahkan, orang lain ada yang berulang-ulang menanyakan kasus yang dilaporkannya dan menanyakan kapan dirinya akan dipanggil. Berbeda dengan Kuhap Apa yang minta waktu jadwal ulang. Tidak siap benar mereka. Apalagi jika dilihat dari cara mereka melapor yang tidak hadir langsung, tetapi beberapa sumber mengatakan mereka menggunakan laporan tertulis. 

Pada pemanggilan berikutnya mereka memang datang, tiga orang, termasuk koordinatornya Damai Hari Lubis. Akan tetapi, pelapor yang difoto hanya satu orang, yaitu A. Syahrudin.

            Ke mana yang lainnya?

            Padahal kan namanya “koalisi” yang artinya banyak orang.

Lalu, dari golongan mana Si Syahrudin itu?

Dia itu dari golongan ulama, habib, atau pengacara?

Tidak jelas. Kalau ada yang tahu dia dari golongan mana, kasih tahu saya. Saya akan sangat berterima kasih.

Saya dan banyak rakyat lainnya pengen tahu wajah mereka. Siapa mereka sebetulnya. Oleh sebab itu, banyak pihak yang setuju dengan perintah Dudung bahwa mereka harus difoto wajahnya seorang-seorang.

Saya pikir kalau memang kelompok itu ada anggotanya yang berasal dari ulama, habib, atau pengacara dan jumlahnya banyak, mayoritas mereka adalah pengecut, takut difoto. Kalau difoto kan kelihatan jelas wajahnya. Apalagi jika diedarkan ke masyarakat, akan lebih terang lagi tentang diri mereka sebenarnya. Soalnya, netizen Indonesia itu jahat-jahat dan gila-gila. Ketika jati diri atau foto para pelapor itu dipublikasikan, sudah pasti akan dibongkar, dikuliti, ditelanjangi, atau diuber masa lalunya untuk kemudian dipublikasikan kembali sehingga menjadi bahan bulian. Jangankan orang-orang yang ngaku-ngaku ulama, mantan Wapres Jusuf Kalla saja dibongkar leluhurnya dan orang menjadi tahu bahwa dia adalah keturunan Kahar Muzakar, pemimpin pemberontak  NII atau DI/TII.

Lalu, orang-orang bilang, “Pantas saja dia tidak pernah menghormat bendera ketika upacara bendera di istana.”

Kan jadi bahan bulian yang bisa merusakkan nama baiknya. Sudah saya bilang netizen  Indonesia itu jahat-jahat dan gila-gila.

            Jadi, siapa saja ulama yang tergabung dalam Kuhap Apa itu?

            Kita ingin lihat wajahnya. Jadi, bisa kita tahu mereka itu siapa? Belajar agama di mana? Dari mana sumber pengetahuannya? Apa saja yang diajarkannya? Buku apa saja yang dijadikan rujukannya? Seberapa besar manfaatnya bagi umat? Bagaimana rekam jejaknya?

            Jangan-jangan cuma ngaku-ngaku atau diaku-aku ulama, tetapi nggak ada isi yang bermanfaat di otak dan perilakunya. Jangan-jangan cuma abal-abal. Pantas kalau mereka itu cuma pengecut. Itu juga kalau memang benar Kuhap Apa diisi dengan banyak orang yang terdiri atas ulama, habib, dan pengacara. Yang saya lihat dari tayangan mereka yang sedang diwawancara wartawan kan hanya tiga orang dan hanya tiga orang. Kalau cuma tiga orang, jangan pakai istilah “koalisi” atuh, pakai saja nama “Trio ….”, tetapi jangan pakai nama “Trio Macan” karena sudah dipakai oleh orang lain.

            Sampurasun.

Tuesday, 8 February 2022

Koalisi Ulama Lucu

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ada grup baru ulama yang bikin ketawa melaporkan Jenderal Dudung ke Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad). Mereka lapor karena Dudung dianggap telah menistakan agama dengan pernyataannya, ‘Tuhan Kita Bukan Orang Arab’.

            Ayat apa yang dinista Dudung dengan kalimat itu?

            Ajaran yang mana?

            Tuhan kan memang bukan orang Arab, bukan orang Indonesia, bukan orang Amerika Serikat, bukan orang Eropa, bukan orang Israel, iya kan?

            Kalau kalimat ‘Tuhan bukan orang Arab’ dianggap salah, berarti yang benar yaitu ‘Tuhan adalah orang Arab’, begitukah?

            Bisa kan membedakan antara kalimat ‘Tuhan bukan orang Arab’ dengan kalimat ‘Tuhan adalah orang Arab’?

            Kalau tidak bisa, tanya anak-anak SMP. Mereka pasti tahu. Jangan ngelawak aja.

            Hal yang bikin ketawa yang kedua adalah mereka melaporkan Jenderal Dudung ke Puspomad. Saya kasih tahu ya, Puspomad itu adalah anak buah Dudung. Kok enggak mikir, melaporkan pejabat tinggi ke anak buahnya. Itu ibarat melaporkan kepala sekolah ke guru matematika, kan bodor.

            Bisa melakukan apa guru matematika terhadap kepala sekolah?

            Kalau mau melaporkan Dudung, ya ke atasannya dong, ke Panglima Andika Perkasa atau Presiden Jokowi.

            Dudung tahu bahwa dirinya dilaporkan kepada anak buahnya. Segera saja Dudung menginstruksikan Puspomad untuk menerima laporan itu, kemudian setiap orang yang tergabung dalam koalisi ulama itu harus difoto seorang-seorang agar dapat dicek siapa sebenarnya orang-orang itu.

            Nah, kelucuan ketiga yang bikin ketawa adalah tentang diri orang yang katanya ulama itu.

            Siapakah sih mereka itu?

            Kok berani-beraninya mengatakan diri sebagai grup ulama?

            Ulama mana? Apa prestasinya? Telah melakukan kebaikan apa kepada umat? Sehebat apa sih ilmunya?      

            Gampang banget menyatakan diri sebagai ulama, padahal kita enggak tahu ulama apaan sih mereka?

            Ulama-ulama hebat dari NU, ulama-ulama cerdas dari Muhammadiyah, ulama-ulama  tegas dari Persis tidak ada yang meributkan soal perkataan Jenderal Dudung. Mereka biasa-biasa saja. Padahal, yang namanya NU, Muhammadiyah, atau Persis itu organisasi besar yang umatnya jelas banyak, kiprahnya terlihat, jasanya bagi pendidikan dan sosial juga sudah ada sejak dulu.

            Ini ada grup yang baru datang kemarin sore yang tidak jelas jasanya bagi bangsa dan negara sudah ngaku-ngaku koalisi ulama. Oleh sebab itu, tidak heran Jenderal Dudung meminta mereka diminta satu per satu untuk diselidiki siapa mereka itu. Dudung saja yang berasal dari keluarga santri tidak mengenal mereka, apalagi saya.

            Dulu saya tidak setuju dengan adanya sertifikasi pendakwah atau penceramah. Sekarang mah saya setuju banget bahwa pendakwah itu harus punya sertifikat supaya jelas kelimuannya, pengalamannya, prestasinya, karyanya, dan pengembangan dirinya; seperti saya dan teman-teman dosen lain yang harus memiliki Nomor Induk Dosen Nasional dan harus terus berkarya sekaligus mengembangkan diri sehingga jelas profesinya dan manfaatnya dalam mendidik generasi muda.

            Kalau tidak ada sertifikat, semua orang abal-abal juga bisa mengaku ulama dan bisa menipu serta menyesatkan orang seenaknya.

            Sampurasun.

Sunday, 6 February 2022

Protes Harga Minyak Goreng Dong!

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kemana nih para anti-Jokowi?

Kok enggak protes soal harga minyak tinggi?

Padahal, rakyat, khususnya emak-emak sedang kesusahan beli minyak goreng karena mahal harganya. Katanya pembela rakyat. Akan tetapi, mereka malah sibuk protes soal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang sudah jelas mau dibangun itu, soal khayalan Gibran-Kaesang korupsi, soal Jenderal Dudung, soal wajah Kaesang ada di bungkus biskuit, dan hal-hal lain yang tidak bermutu serta tidak ada gunanya.

            Jangan-jangan, mereka kebagian untung dari mahalnya harga minyak goreng yang harus dibeli rakyat. Mereka terdiam semua. Mungkin juga enggak dapat untung, tetapi otaknya nggak sampai untuk menganalisis mahalnya minyak goreng. Kalau ngomong kasar dan caci maki, kofar-kafir sama orang, mereka paling jago. Bikin solusi buat rakyat mah pada enggak bisa.

            Orang-orang yang protes keras soal harga minyak goreng ini justru adalah para pendukung Jokowi. Meskipun sering membela pemerintah, ketika rakyat susah, mereka marah membela rakyat.

            Masalah minyak goreng ini tetap seperti yang sudah saya tulis waktu itu. Karena Covid-19, produksi minyak goreng dunia turun. Sementara itu, produksi Indonesia melimpah. Karena dunia kekurangan minyak goreng, pengusaha Indonesia menjual minyaknya ke luar negeri sehingga pasokan untuk dalam negeri menjadi berkurang. Karena berkurang, minyak di dalam negeri menjadi langka. Kelangkaan itu menimbulkan kenaikan harga. Orang yang belajar ekonomi di SMA pasti tahu teori ini. Kalau penawaran berkurang, permintaan naik, harga menjadi mahal.

            Mahalnya harga minyak goreng ini penyebab utamanya adalah pengusaha minyak Indonesia yang rakus karena ingin untung besar dengan menjual ke luar negeri yang jelas lebih mahal harganya. Akan tetapi, rakyat Indonesia sendiri menjadi kekurangan sehingga harganya menjadi mahal merangkak naik mirip dengan harga di luar negeri. Itu menyulitkan.

            Seharusnya, penuhi dulu untuk rakyat sendiri dengan harga terjangkau, setelah itu baru untuk luar negeri. Para pengusaha itu harus diingatkan bahwa kelapa sawit yang mereka tanam itu di tanah Indonesia, tanah bangsa Indonesia, izin usahanya pun dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Jahat sekali jika menggunakan fasilitas di Indonesia, tetapi hasilnya untuk memenuhi kebutuhan luar negeri, sedangkan rakyat sendiri kesulitan. Di samping itu, disinyalir pula ada pengusaha-pengusaha yang menimbun minyak sehingga kurang ada di pasaran. Mereka akan mengeluarkannya ketika harganya mahal. Itu juga jahat sekali.

            Kuncinya ada di pemerintah Indonesia. Pemerintah harus mampu mengendalikan para pengusaha itu agar tidak liar dalam mencari keuntungan ke luar negeri, sementara rakyat Indonesia sendiri harus antri sekeluarga untuk mendapatkan minyak goreng satu liter atau dua liter per orang. Suami, istri, ayah, ibu, nenek, kakek, anak, cucu ikut-ikutan mengantri untuk mendapatkan minyak goreng murah. Padahal, produksi minyak goreng kita melimpah dan sangat cukup untuk rakyat.

            Memang sekarang, dengar-dengar pemerintah mewajibkan pengusaha minyak menyisihkan 20% dari hasil produksinya untuk kebutuhan rakyat di dalam negeri. Dengan demikian, harganya bisa turun karena pasokan minyak goreng bertambah lagi. Para pengusaha sudah dilarang menjual 100% hasil produksinya ke luar negeri, rakyat dulu yang utama. Kebijakan pemerintah ini wajib dan bagus untuk dilaksanakan, tetapi rakyat ingin cepat segera merasakan pengaruh positifnya dalam rangka menghemat pengeluaran dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemerintah harus lebih mengawasi dan menggenjot para pengusaha untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia terlebih dahulu dibandingkan kebutuhan luar negeri dan segera memberi tindakan pada para pengusaha curang.

            Sampurasun.

Saturday, 5 February 2022

Edy Mulyadi Terjerat Ahok

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beneran parah netizen pendukung Ahok. Luar biasa gila mereka. Semua orang yang mereka anggap telah menjerumuskan Ahok ke dalam penjara, dikuliti, dibongkar rahasianya, dibeberkan masa lalunya. Kemudian, disebarluaskan sebagai korban kutukan atau karma Ahok. Mereka pun bertepuk tangan. Beneran kacau nih orang-orang. Mereka mempermalukan para musuh Ahok.

            Edy Mulyadi telah membuat marah orang-orang Kalimantan karena menyebut Kalimantan yang dijadikan tempat pindah Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia sebagai tempat “jin buang anak”. Akibat kata-katanya itu, Edy kini harus berurusan dengan hukum dan masuk penjara. Netizen Ahokers menelisik pribadi Edy. Ternyata, Edy dulunya adalah Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Edy punya peran besar dalam menggerakan aksi massa 212 di Monas, Jakarta, dulu. Artinya, dia sangat bertanggung jawab atas dihukumnya Ahok. Di samping itu, profil siapa sebenarnya Edy pun diulas, termasuk sebagai Caleg gagal dari PKS.

            Hal itu dalam pandangan para Ahokers, telah terbukti satu lagi kutukan dan karma Ahok. Mereka pun mewanti-wanti bagi siapa pun yang telah berperan serta menghancurkan karir Ahok dulu untuk bertobat dan meminta ampun kepada Ahok agar tidak terkena kutukan Ahok.

            Orang boleh percaya atau tidak percaya atas kutukan itu, tetapi para pendukung Ahok terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa karma Ahok itu ada dan memang terjadi. Saya pun menulis tentang hal ini untuk ketiga kalinya yang disertai nama-nama orang yang telah terkapar karena terkait dengan perilakunya dulu menjatuhkan Ahok.

            Sebagaimana yang sudah-sudah, hal yang saya yakini adalah “segala kejadian yang menimpa kita hari ini adalah akibat perilaku kita masa lalu dan perilaku kita hari ini menentukan keadaan kita pada masa depan”. Soal pengertian karma, terserahlah, mau ngambil pandangan dari aliran kepercayaan, Hindu, Budha, atau yang lainnya. Saya sebagai orang Islam sangat percaya bahwa segala perilaku kita itu menimbulkan akibat yang negatif dan positif terhadap diri kita sendiri bergantung dari positif atau negatifnya perilaku kita. Begitu pula tentang konsep keberadaan surga dan neraka sebagai akibat dari positif atau negatifnya tingkah laku kita, baik lahir maupun batin.

            Sampurasun.