oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Seru ya soal pernyataan
Menteri Agama RI Gus Yaqut. Banyak orang marah-marah dan tersinggung, tidak
suka dengan pernyataan Gus Yaqut, terutama soal gonggongan anjing. Saya
sebetulnya merasa biasa saja dengan pernyataan Menag itu. Nggak ada apa-apa
kok. Akan tetapi, tiba-tiba banyak yang marah, nyinyir, bahkan hingga
berlebihan membahayakan.
Saya jadi herman ... eh … heran. Saya lihat lagi
berulang-ulang jawaban Gus Yaqut ketika diwawancarai wartawan di Pekan Baru,
Riau itu. Tetap saja biasa-biasa.
Lantas, apa sih yang bikin heboh?
Ternyata, yang menghebohkan pertama kali itu adalah
beberapa media online yang menulis judul bahwa Gus Yaqut membandingkan adzan
dengan gonggongan anjing. Hal itu terus ditangkap oleh mereka yang gemar bikin
keributan, benci pemerintah, benci NU, dan benci Gus Yaqut untuk kemudian
diperbesar dan dilebih-lebihkan. Akibatnya, banyak masyarakat yang juga
terpengaruh.
Kalau saya lihat videonya yang utuh, bukan hanya bisingnya
gonggongan anjing yang dikatakan Gus Yaqut, melainkan pula suara bising dari
tempat ibadat agama lain dan suara truk yang bising berbunyi berbarengan. Dia
mencontohkan dirinya sebagai muslim jika hidup di mayoritas agama nonmuslim,
lalu mendengar suara bising dari tempat ibadat agama lain selama lima kali
dalam sehari, akan merasa terganggu. Hal ini memang terjadi di Belanda,
misalnya, meskipun masyarakatnya mayoritas Kristen, mereka tetap terganggu dan
protes keras karena terlalu bisingnya bunyi lonceng gereja. Demikian juga jika
di kiri, kanan, depan, belakang ada bunyi truk yang keras berbarengan, dia akan
terganggu.
Intinya, Gus Yaqut sedang membicarakan suara bising yang
mengganggu sehingga suara-suara itu harus diatur agar tidak mengganggu. Gus
Yaqut tidak sedang membandingkan antara gonggongan anjing dengan adzan karena
tidak bisa dibandingkan.
Kalau kita sedang membahas adzan, hal yang dibicarakan
pastinya adalah arti adzan, sejarah adzan, pelafalan adzan, cara menjawab
adzan, syarat muadzin, dan syarat mengumandangkan adzan. Tidak ada hubungannya
dengan pengeras suara. Tidak ada pula hubungannya dengan gonggongan anjing. Hal
yang dibicarakan Gus Yaqut itu adalah suara bising yang keluar dari pengeras
suara. Oleh sebab itu, diatur hanya
cukup 100 desibel (dbl) supaya hanya terdengar oleh lingkungan sekitarnya,
tidak terlalu keras, nyaman, dan tidak berbenturan dengan suara dari masjid
lain yang berdekatan. Sekarang ini kan sering berbenturan, masjid yang satu
sudah hampir habis adzan, masjid yang satu lagi baru mulai hingga
bersahut-sahutan. Suaranya keras lagi seperti sedang lomba siapa yang paling
keras.
Dilihat dari videonya, tidak ada satu kata pun Gus Yaqut
mengatakan kata “adzan”. Memang bukan sedang membicarakan adzan, tetapi suara
bising dari pengeras suara.
Tidak setuju sama Gus Yaqut, boleh. Tidak suka, boleh. Beda
pendapat, boleh. Minta Gus Yaqut turun, boleh. Minta diganti, boleh. Ini negara
demokrasi. Akan tetapi, tidak boleh berlebihan sehingga menimbulkan fitnah,
kebohongan, penghinaan, dan huru-hara. Kalau berlebihan, akibatnya masuk ke
ranah hukum dan ini sudah terjadi. Roy Suryo yang mantan Menpora itu melaporkan
Gus Yaqut ke polisi karena menganggap Gus Yaqut telah menghina agama. Ini
berlebihan yang berakibat pada ditolaknya laporan Roy Suryo karena perbedaan
locus serta dilaporkan balik oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor bersama Banser yang
jumlahnya mencapai tujuh juta orang itu.
Bagi saya, mereka yang justru mengatakan tentang adzan
dengan gonggongan anjing itu adalah media-media online, Roy Suryo, Sugik Nur,
dan orang-orang yang juga membuat berbagai postingan perbandingan itu. Gus
Yaqut tidak membandingkan itu, tak ada kata adzan dari mulutnya saat itu. Kini semua
harus lebih hati-hati karena GP Ansor sudah mengatakan bahwa akan melawan balik
Roy Suryo dan pihak-pihak yang mengganggu Gus Yaqut. Siapa pun bisa mereka
perkarakan. Bahkan, jika GP Ansor memerintahkan anak buahnya hingga ke tingkat
kecamatan untuk memperkarakan orang-orang di tingkat kecamatan secara hukum ke
aparat hukum, situasi akan terbalik, banyak orang yang bisa terjerat hukum. Roy
Suryo sudah dilaporkan balik ke polisi. Kini mungkin pihak-pihak lain dalam
catatan GP Ansor yang akan diperkarakan.
Hati-hati semua bisa berbalik situasinya. Seperti kasus
Jenderal Dudung yang dinyatakan tidak melanggar hukum setelah mengatakan “Tuhan
kita bukan orang Arab”. Puspomad telah meminta pendapat para ahli tentang
kata-kata Jenderal Dudung yang terdiri atas satu orang ahli hukum pidana dari
Unair, seorang ahli IT dari Kominfo, dan dua ahli bahasa dari UI. Mereka tidak
menemukan kesalahan Jenderal Dudung. Kalau Dudung mau, para pelapor itu bisa
dilaporkan balik sebagai pencemaran nama baik untuk dimasukkan dalam penjara.
Meskipun aturan tentang pengeras suara ini sudah
diberlakukan, saya tidak yakin bahwa aturan ini akan berjalan dengan baik.
Buktinya, aturan ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Soeharto, tetapi tidak
dilaksanakan. Penyebabnya, aturan ini hanya macan kertas, cuma ada di kertas,
dan tanpa ada sanksi. Oleh sebab itu, Habib Kribo Zen Assegaf menyarankan
dengan gaya slebornya agar jika ada masjid yang tidak mengikuti aturan, segera
ditutup saja.
Hal yang lebih lucu adalah peraturan soal pengeras suara
ini sebetulnya yang terkena dampaknya adalah mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU)
yang biasanya menggunakan pengeras suara dengan keras jika adzan, takbiran,
tadarusan, khataman, maulidan, tahlilan, dsb., tetapi warga NU mencoba
beradaptasi, menyesuaikan diri dengan peraturan Menag dan mencoba memahami
manfaatnya untuk kehidupan yang lebih harmonis dan menenangkan. Justru yang banyak
protes adalah mereka yang sering membidahkan orang yang tahlilan, takbiran,
maulidan, dsb., bahkan sering protes jika dilakukan dengan suara keras dengan
menggunakan pengeras suara. Aneh memang. Ini adalah tanda bahwa mereka pengen
ribut saja.
Seperti
saya bilang, boleh tidak suka, boleh tidak setuju, tetapi jangan berlebihan
sehingga melanggar hukum. Orang Sunda bilang, bisa malik piloko. Hati-hati.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment