oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya, bukan pembatasan
adzan, melainkan “pengaturan penggunaan pengeras suara” di masjid dan mushala.
Kalau adzan dibatasi mah, kajeun gelut we.
Kali ini saya ingin menulis pengaturan pengeras suara itu
di Arab Saudi, bukan di Indonesia.
Kenapa menulis yang di Arab Saudi?
Nya, hayang we.
Pertengahan tahun lalu Arab Saudi mengeluarkan peraturan
tentang hal itu. Menteri Urusan Islam Saudi Abdul Latif Al Sheikh mengeluarkan aturan itu
untuk seluruh masjid di Kerajaan Arab Saudi. Aturan itu berupa volume suara
yang diperbolehkan hanya sepertiga dari maksimal serta pengeras suara hanya
diperbolehkan untuk adzan dan iqomat, tidak untuk yang lain. Pengaturan ini dibuat
setelah kementerian urusan Islam Saudi mendapatkan banyak laporan dan keluhan atas
suara pengeras suara yang mengganggu para orangtua, lanjut usia, pasien yang
sakit, dan anak-anak.
Kerajaan
Arab Saudi sangat keras dalam hal ini. Menteri Abdul Latif Al Sheikh menegaskan
bahwa akan ada sanksi bagi yang melanggar aturan ini. Entah sanksi berupa
hukuman apa yang melanggarnya. Saya tidak tahu. Entah potong leher, potong
tangan, potong kuku, potong rambut, potong bulu hidung, potong kumis, potong
bulu kaki, potong bulu kelek, potong
bulu ba … balatak na gado, entahlah.
Nggak tahu juga mungkin hukum rajam, dilempari batu, atau dilempari pasir,
dilempari air, dilempari ember, dilempari semen, ngecor we sugan mah. Bisa juga hukuman kurungan atau denda. Denda
di Arab Saudi itu mahal, bisa seharga dua kambing, sapi, atau unta.
Begitu
konsideran dan keputusan Arab Saudi untuk mengatur penggunaan pengeras suara di
masjid.
Selama
di Arab Saudi, saya hanya mendengar adzan dari dua masjid, yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Suaranya enak,
tidak ngageber dan tidak terkesan
teriak-teriak. Bahkan, suaranya masuk ke dalam kamar hotel dengan lembut dan
tidak bising. Malahan, kita bisa shalat di hotel berjamaah dengan imam shalat
tetap di depan Kabah.
Eh,
bisi ada yang nggak percaya saya pernah ke Arab Saudi, saya sertakan foto saya
waktu itu. Saya pakai batik dan ikat kepala Sunda. Nyaman pakai pakaian itu saya
mah dan mudah dikenali oleh orang luar negeri.
Mereka terbiasa menyapa saya, “Indonesia?”
Saya
hanya menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum manis sebagaimana yang mereka
kenal bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah.
“Alhamdulillah,”
kata mereka sambil merapikan sajadah saya ketika hendak shalat.
Tidak ada yang merasa aneh dengan pakaian saya. Biasa
saja.
Kalau ada dari
mereka yang bertanya kepada saya, “Mengapa tidak memakai gamis?”, saya akan
jawab, “Saya penggemar wayang golek”.
Nggak ada sih
yang bertanya seperti itu. Itu mah kalau ada saja. Mereka baik-baik kok. Malah,
ketika pakaian ihram saya kurang rapi, mereka langsung memperbaiki pakaian saya
tanpa diminta.
Begitu ya, soal
pengaturan pengeras suara di Arab Saudi. Kalau pengaturan di Indonesia, harus
membaca dan memahami dulu Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 Tahun 2022
Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang terbit pada
18 Februari 2022 dan ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala
Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua
Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi
Kemasyarakatan Islam, serta Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh
Indonesia. Edaran ini pun ditembuskan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota
di seluruh Indonesia. Peraturan itu harus dibaca dan dipahami terlebih dahulu
supaya tidak salah tafsir sehingga menyesatkan diri dan orang lain.
No comments:
Post a Comment