Thursday, 24 February 2022

Pembatasan Adzan


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sebetulnya, bukan pembatasan adzan, melainkan “pengaturan penggunaan pengeras suara” di masjid dan mushala. Kalau adzan dibatasi mah, kajeun gelut we.

            Kali ini saya ingin menulis pengaturan pengeras suara itu di Arab Saudi, bukan di Indonesia.

            Kenapa menulis yang di Arab Saudi?

            Nya, hayang we.

            Pertengahan tahun lalu Arab Saudi mengeluarkan peraturan tentang hal itu. Menteri Urusan Islam Saudi  Abdul Latif Al Sheikh mengeluarkan aturan itu untuk seluruh masjid di Kerajaan Arab Saudi. Aturan itu berupa volume suara yang diperbolehkan hanya sepertiga dari maksimal serta pengeras suara hanya diperbolehkan untuk adzan dan iqomat, tidak untuk yang lain. Pengaturan ini dibuat setelah kementerian urusan Islam Saudi mendapatkan banyak laporan dan keluhan atas suara pengeras suara yang mengganggu para orangtua, lanjut usia, pasien yang sakit, dan anak-anak.

            Kerajaan Arab Saudi sangat keras dalam hal ini. Menteri Abdul Latif Al Sheikh menegaskan bahwa akan ada sanksi bagi yang melanggar aturan ini. Entah sanksi berupa hukuman apa yang melanggarnya. Saya tidak tahu. Entah potong leher, potong tangan, potong kuku, potong rambut, potong bulu hidung, potong kumis, potong bulu kaki, potong bulu kelek, potong bulu ba … balatak na gado, entahlah. Nggak tahu juga mungkin hukum rajam, dilempari batu, atau dilempari pasir, dilempari air, dilempari ember, dilempari semen, ngecor we sugan mah. Bisa juga hukuman kurungan atau denda. Denda di Arab Saudi itu mahal, bisa seharga dua kambing, sapi, atau unta.

            Begitu konsideran dan keputusan Arab Saudi untuk mengatur penggunaan pengeras suara di masjid.

            Selama di Arab Saudi, saya hanya mendengar adzan dari dua masjid, yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Suaranya enak, tidak ngageber dan tidak terkesan teriak-teriak. Bahkan, suaranya masuk ke dalam kamar hotel dengan lembut dan tidak bising. Malahan, kita bisa shalat di hotel berjamaah dengan imam shalat tetap di depan Kabah.

            Eh, bisi ada yang nggak percaya saya pernah ke Arab Saudi, saya sertakan foto saya waktu itu. Saya pakai batik dan ikat kepala Sunda. Nyaman pakai pakaian itu saya mah dan mudah dikenali oleh orang luar negeri.




            Mereka terbiasa menyapa saya, “Indonesia?”

            Saya hanya menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum manis sebagaimana yang mereka kenal bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah.

            “Alhamdulillah,” kata mereka sambil merapikan sajadah saya ketika hendak shalat.

            Tidak ada yang merasa aneh dengan pakaian saya. Biasa saja.

            Kalau ada dari mereka yang bertanya kepada saya, “Mengapa tidak memakai gamis?”, saya akan jawab, “Saya penggemar wayang golek”.

            Nggak ada sih yang bertanya seperti itu. Itu mah kalau ada saja. Mereka baik-baik kok. Malah, ketika pakaian ihram saya kurang rapi, mereka langsung memperbaiki pakaian saya tanpa diminta.

            Begitu ya, soal pengaturan pengeras suara di Arab Saudi. Kalau pengaturan di Indonesia, harus membaca dan memahami dulu Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang terbit pada 18 Februari 2022 dan ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, serta Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Edaran ini pun ditembuskan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia. Peraturan itu harus dibaca dan dipahami terlebih dahulu supaya tidak salah tafsir sehingga menyesatkan diri dan orang lain.

            Sampurasun

No comments:

Post a Comment