oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Berita akhir-akhir ini
banyak yang menyedihkan, mengerikan, menjengkelkan, sekaligus membuat marah.
Bagaimana tidak memusingkan?
Lembaga-lembaga
keagamaan yang seharusnya melahirkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia,
ternyata disusupi para pemangsa seks. Beneran rusak nih orang-orang.
Belum lepas kita dari kekagetan pemaksaan seks itu,
muncul lagi berita dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa
terdapat 198 pesantren yang terafiliasi atau bekerja sama dengan kelompok-kelompok
radikal terorisme.
Bagaimana kumaha ini teh?
Masyarakat jadi ketakutan untuk menitipkan anak-anaknya
di pesantren. Masyarakat berharap bahwa lembaga pesantren dapat menjadikan
anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi yang unggul tercerahkan dan mampu
bermanfaat bagi agamanya, dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya
dengan berbagai hal yang positif. Akan tetapi, dengan berseliwerannya berita-berita
seperti itu, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap pesantren.
Kalau pesantren sudah tidak dipercaya, bagaimana nasib
akhlak generasi muda ke depan?
Meskipun demikian, ada berita baik bahwa yang terdeteksi
itu hanya 198 pesantren. Artinya, pesantren yang baik-baik saja dan tetap baik
jauh lebih banyak. Pesantren yang dimiliki Nahdlatul Ulama (NU) saja berjumlah
sekitar 23 ribu pesantren, belum lagi yang dimiliki Muhammadiyah, Persis, dan
Ormas-Ormas lainnya. Masyarakat tidak perlu terlalu ketakutan, hanya memang
harus waspada dan pandai berhati-hati memilih pesantren. Kalau salah memilih,
anak-anaknya bisa jadi korban pencabulan atau pelaku terorisme.
Sebetulnya, bukan cuma pesantren yang terdeteksi,
melainkan pula perguruan-perguruan tinggi dan rumah-rumah tahfidz tersusupi
pula oleh perilaku seksual bejad dan pemikiran-pemikiran radikal. Kasad TNI
Jenderal Dudung pun dengan tegas menyatakan bahwa mahasiswa sudah disusupi dan menjadi
target gerakan radikalisme. Oleh sebab itu, seluruh prajurit TNI AD
diperintahkannya untuk mencermati simpul-simpul lokasi gerakan radikal itu.
Dengan demikian, jika situasi mengarah pada kerusakan, TNI AD dapat langsung
memberangusnya. Kata-katanya sangat tegas bahwa prajurit TNI tidak boleh
menjadi penakut dan pengecut seperti
ayam sayur, tetapi harus menjadi pemberani dan pemenang untuk menyelamatkan
NKRI.
Intelijen, TNI, BNPT, kepolisian, Densus 88 bergerak
dalam bidang penegakkan hukum untuk memberantas berbagai perilaku menyimpang. Akan
tetapi, tidak cukup kekuatan mereka untuk melakukannya. Pesantren-pesantren dan
lembaga-lembaga lainnya yang baik-baik dan shaleh-shaleh harus pula ikut
terlibat dan bersuara dalam membersihkan dirinya dari racun-racun yang
mengatasnamakan pesantren, tetapi menyimpang tersebut. Memang jumlah para
penjahat itu sangat kecil, tetapi ibarat pepatah “hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Jumlah yang
kecil itu, 198, membuat rusak nama baik pesantren yang jumlahnya puluhan ribu.
Susu yang putih bersih dan suci pun menjadi ungu pucat karena nila setitik itu.
Beranilah bersuara dan bertindak untuk membersihkan diri
karena itu senilai dengan jihad besar. Jihad kecil itu mudah, hanya membunuh,
terbunuh, merusak, dirusak, mengebom, dibom, hidup, mati, menyakiti, disakiti, menang,
atau kalah. Jihad besar itu sulit karena harus memperbaiki diri dari dalam. Jika kita ibaratkan umat Islam ini bagaikan
satu tubuh, tentunya jika bagian anggota tubuh kita ada yang salah, kita harus
memperbaikinya agar seluruh tubuh dapat lagi bergerak secara terkoordinasi
sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Adalah sangat tepat jika penyimpangan yang dilakukan
dalam pesantren, diperbaiki oleh pesantren juga. Hal itu sebagaimana para habib
yang menyimpang diperbaiki pula oleh para habib yang lurus.
Jangan takut melangkah di jalan yang benar untuk berperan
serta mewujudkan rahmat bagi semesta alam sehingga hidup menjadi lebih baik dan
dunia terasa lebih indah. Allah swt bersama para penebar cinta.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment