oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setiap Desember menjelang
natal, selalu dihiasi oleh perdebatan soal natalan. Yang meributkan tentu saja
umat Islam. Mulai mengucapkan selamat natal hingga budaya natalan, kerap
menjadi sumber perdebatan. Boleh-boleh saja sih berdebat atau berbeda pandangan,
asal jangan terlalu keras hingga menjadi permusuhan. Beda pendapat itu malah
bagus jika tetap dikelola dengan baik hingga menjadi rahmat, minimalnya kita
mendengar pendapat orang lain yang berbeda dan kita mendapatkan pengetahuan
tentang hal itu.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini yang
menjadi sumber perdebatan adalah larangan untuk menggunakan atribut-atribut
natal semacam topi atau pakaian Sinterklas. Sebagian setuju MUI, sebagian lagi
tidak setuju. Bagi yang setuju MUI, menganggap bahwa penggunaan atribut itu adalah
bagian dari keimanan kekristenan yang dapat mengganggu akidah umat Islam,
sedangkan bagi yang tidak setuju, tidak menganggapnya sebagai bagian keimanan,
melainkan merupakan budaya atau keriangan serta hiburan natalan dan bukan ritual
natal. Bagi yang tidak setuju terhadap fatwa MUI, membolehkan atau membiarkan
umat Islam menggunakannya karena hal itu merupakan hiburan, budaya, dan bisa
menambah erat hubungan antarumat beragama, bahkan bisa menghasilkan uang,
terutama bagi mereka yang bekerja di tempat hiburan, mall, atau sejenisnya.
Sayangnya, perdebatan ini menjadi tidak sehat dengan
timbulnya saling serang, saling mengafirkan, saling meradikalkan, saling
menuding sebagai perusak agama, dan pengacau kemanusiaan. Akhirnya, perdebatan
menjadi ke mana-mana, tidak karuan. Padahal, kalau melihat judulnya, itu kan
fatwa. Fatwa itu artinya pendapat, nasihat, petuah, anjuran, atau imbauan.
Fatwa itu bukan merupakan hukum yang punya sifat memaksa dan mampu menjatuhkan
sanksi.
Boleh saja MUI memberikan pendapat, nasihat, dan anjuran
kepada umatnya dengan adanya pelarangan itu. Umat Islam boleh mengikuti fatwa
MUI. Kelompok lain pun boleh berpendapat berbeda atau memberikan nasihat yang berbeda
dengan membolehkan atau membiarkan umat Islam menggunakan atribut-atribut
budaya natalan. Umat Islam boleh berbeda pendapat dengan MUI. Toh, mereka punya
pendapat berbeda karena memiliki pengetahuan dan alasan masing-masing.
Setiap
ulama boleh berbeda pendapat. Seharusnya, biasa saja berbeda pendapat itu,
jangan menjadi pertengkaran hebat. Contohnya, ada ulama yang mengharamkan bank,
tetapi ada pula ulama yang membolehkan bank. Itu kan pilihan. Saya memilih
pendapat ulama yang membolehkan transaksi di bank. Jadi, saya punya rekening
bank. Ada ulama yang mewajibkan jilbab, tetapi ada pula yang tidak
mewajibkannya. Itu kan pendapat. Itu pilihan. Boleh saja.
Dari
perbedaan pendapat soal natalan itu, hal yang diributkan adalah soal budaya natalan
atau keriangan natalan yang berupa makan-makan, hiburan, ataupun penggunaan
atribut natalan semacam pakaian atau topi Sinterklas. Adapun soal ritual natal
sendiri, tak ada yang meributkannya. Semua sepakat bahwa mengikuti ritual natal
adalah haram bagi umat Islam. Ritual itu kan upacara peribadatan yang ada
cara-cara atau syaratnya dan itu memang sudah masuk ke dalam wilayah akidah,
sesembahan. Tidak ada perbedaan soal itu. Haram hukumnya bagi umat Islam mengikutinya
dengan tetap menghormati orang lain yang melakukannya.
Kalau
soal budaya atau hiburan, terserahlah. Itu pilihan. Soal sorga dan neraka, itu
nanti dibuktikan di akhirat. Jangan berkelahi di dunia, tidak baik.
Itu
kan hanya budaya, seru-seruan. Mirip umat Islam bikin ketupat lebaran atau beli
baju baru, seru-seruan. Saya sama sekali tidak yakin Nabi Isa as atau Yesus itu
pernah menggunakan pakaian Sinterklas yang tebal. Yesus kan di Yerusalem yang
panas, sedangkan Sinterklas kan di tempat bersalju. Itu hanya keriangan, budaya
di Eropa yang kemudian diikuti di Indonesia. Tak ada hubungannya dengan ritual
natal.
Saya
sendiri pernah ikut-ikutan seru-seruan itu waktu kecil tanpa sengaja. Saat itu
saya masih kelas dua atau kelas empat SD sedang bermain di pinggir jalan raya
bersama teman-teman. Tiba-tiba ada mobil bak terbuka melaju dengan klakson yang
keras dibunyikan berulang-ulang. Di mobil itu ada Sinterklas yang tersenyum
lebar dengan membawa banyak hadiah dan di sampingnya ada “Zwarte Pit” atau Piet Hitam yang membawa sapu lidi. Piet Hitam itu
memukuli kaki anak-anak kecil di pinggir jalan yang dianggapnya nakal. Setelah
itu, Sinterklas memberikan hadiah buat anak-anak itu berupa coklat, roti,
sepatu, baju, atau yang lainnya. Itu hanya seru-seruan.
Foto
Sinterklas dan Piet Hitam saya dapatkan dari Pentakosya Pos.
Sinterklas dan Zwate Piet (Foto: Pentakosta Pos) |
Budaya atau hiburan itu sekarang tidak pernah saya lihat lagi. Hanya sekali itu saya melihatnya di Bandung, Indonesia dan tidak pernah ada lagi. Dengar-dengar sih budaya itu mendapatkan protes keras. Ayah saya pun salah seorang yang melakukan protes. Ayah saya bilang, budaya itu adalah budaya rasisme yang merendahkan manusia. Hal itu disebabkan budaya itu berasal dari Belanda yang menyukai perbudakan. Di samping itu, Piet Hitam berkulit hitam dan berperilaku kasar memukuli anak-anak dengan sapu lidi, itu menggiring opini bahwa orang kulit hitam itu kasar, kejam, dan buruk. Adapun Sinterklas berkulit putih, murah senyum, ramah, dan banyak memberikan hadiah, itu menunjukkan bahwa orang kulit putih adalah manusia yang lebih mulia daripada orang berkulit hitam. Itu rasis. Saya memang tidak melihat lagi aktivitas itu, entah kalau di tempat lain.
Jangan
terlalu ribut soal fatwa MUI. Biasa saja jika berbeda pendapat, tak perlu
bermusuhan atau bahkan saling serang. Saling menghormati itu lebih baik.
No comments:
Post a Comment