oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak orang pribumi yang
membenci orang keturunan Cina di Indonesia. Alasannya, ada yang masuk akal,
tidak masuk akal, bahkan mengada-ada cenderung fitnah. Dosa lho fitnah itu.
Misalnya, membenci Cina karena kaya raya. Itu tidak masuk
akal.
Orang lain kaya, kok kita yang membenci?
Orang-orang pembenci orang kaya yang saya tahu sejak
kecil hanyalah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Soalnya, saya pun
pernah hampir menjadi korbannya. Lebih tepatnya bukan saya sih, melainkan uwak
saya, kakak ayah saya. Saat itu PKI sangat kuat di Indonesia dan sangat
membenci orang kaya. Uwak saya pun sudah masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ketika
ayah saya bertanya kepada orang-orang PKI itu tentang alasan kenapa ingin
membunuh uwak saya, mereka bilang karena uwak saya kaya raya. Memang benar uwak
saya itu adalah orang kaya di lingkungannya. Dulu sewaktu saya kecil, di
lingkungannya itu selalu uwak saya yang paling pertama memiliki barang-barang
baru, elektronik baru, pakaian baru, perabotan rumah baru, dll. Malahan, kalau
ada tetangga yang menikah, rumah uwak saya itu sering dipinjam untuk resepsi
pernikahan. Yang kaya itu uwak saya, bukan ayah saya, apalagi saya.
Memang uwak saya itu adalah sekretaris Wybert, semacam
permen pelega tenggorokan. Mirip Hexos, tetapi dikemas dalam wadah mirip Pagoda
Pastiles, cuma lebih besar dan tebal. Sekarang perusahaan dan produk itu sudah
tidak ada lagi. Dulu sih iya sangat terkenal dan laku sekali.
Alasan ingin membunuh uwak saya karena kekayaannya adalah
hal yang tidak masuk akal. Beruntung, PKI keburu runtuh dan malah dipermalukan.
Jadi, pembenci orang kaya itu sama pikirannya dengan orang-orang PKI. Mungkin
juga mereka sekarang adalah murid PKI. Orang PKI memang punya pandangan hidup
itu harus sama rasa sama rata. Semua mungkin harus sengsara seperti mereka.
Setelah dibubarkan, orang PKI yang dulu mengancam uwak saya
hidupnya memprihatinkan. Mereka tetap miskin dan dijauhi oleh masyarakat.
Ketika Pemilu, ayah saya merasa kasihan kepada mereka karena mereka tidak
diberikan haknya untuk memilih oleh panitia pemungutan suara yang masih tetangga
juga. Mereka antri dari pagi hingga sore dan selesai pemungutan suara, sama
sekali tidak diperbolehkan memilih. Dengan senyum kuning kecut menahan rasa
malu dan kecewa mereka pulang tanpa memilih. Sebetulnya sih, mereka harusnya
diberikan hak untuk memilih karena mereka sudah dihukum, mengakui kesalahannya,
berupaya menebus perilakunya dengan mendekati masyarakat, tetapi mau bagaimana
lagi. Panitia tidak memberikan haknya dan panitia itu adalah tetangga ayah saya
juga. Ayah saya meskipun ingin membela, tidak bisa juga ngapa-ngapain, ya
sudah, begitu kejadiannya, begitu ceriteranya. Sanksi sosial itu sangat berat.
Sangat tidak masuk akal membenci orang karena
kekayaannya. Bahkan, ingin membunuh, lebih tidak masuk akal lagi. Demikian pula
membenci orang Cina karena lebih kaya, sama sekali tidak masuk akal.
Sebetulnya, sudah sangat banyak tulisan, artikel, atau
penelitian yang memaparkan soal penyebab orang-orang Cina di Indonesia tampak
lebih kaya dan berhasil secara ekonomi. Saya jadi harus mengingat lagi
tulisan-tulisan itu.
Pada zaman dulu sebelum zaman para wali, di wilayah Cina
itu terjadi pergolakan politik, konflik berdarah, pertempuran antarsuku,
pembunuhan, pembantaian, dan perang-perang besar. Banyak dari mereka yang
menyelamatkan diri dari kekejaman itu ke seluruh dunia. Ada yang ke Eropa,
Amerika, Asia, termasuk ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia. Ada yang ke
Sumatera, Jawa, Kalimantan, dsb. Oleh sebab itu, keturunan Cina selalu ada di
mana-mana, di seluruh dunia, dan menjadi warga negara tempatnya tinggal
Di Indonesia sebagian beruntung, diterima masyarakat dan
bisa mengolah tanah di wilayah yang baru pemberian masyarakat dan penguasa saat
itu. Sebagian lagi, hidup terjepit, terhimpit, menderita, dan sangat miskin
puluhan, bahkan ratusan tahun. Tak ada jalan lain bagi mereka untuk bertahan
hidup, kecuali berdagang.
Memang apalagi yang bisa mereka lakukan?
Mereka tidak bisa menjadi tentara, polisi, ataupun aparat
negara. Mereka berbisnis kecil-kecilan dan sangat patuh pada penguasa. Ketika zaman penjajahan, mereka tidak
bermasalah dengan penjajah. Mayoritas memilih untuk tetap berdagang sehingga tidak
ikut terseret konflik antara penjajah dengan rakyat. Sebagian, memilih pro
penjajah. Sebagian, ikut menjadi pejuang kemerdekaan.
Para pedagang Cina ini makin lama makin kuat karena
memberikan layanan dagang bagi penjajah sekaligus juga bagi rakyat. Mereka fokus
pada usaha dagang. Pada masa kemerdekaan pun mereka tetap berdagang hingga
usahanya terus membesar. Kesempatan untuk menjadi tentara, polisi, ataupun
pegawai negeri tetap sangat kecil untuk mereka. Satu-satunya cara untuk
bertahan hidup adalah dengan berdagang.
Berbeda dengan pribumi, keturunan Arab, India, atau
Pakistan. Mereka lebih tenang karena bisa menjadi pegawai negeri, tentara,
polisi, dan mendapat banyak kenyamanan karena kesamaan warna kulit, ras, ataupun
agama. Dengan demikian, mereka tidak perlu terlalu bekerja keras bertahan
hidup. Orang Cina sangat terpinggirkan dan kesulitan untuk berkembang. Dalam
posisi terjepit itu, mereka fokus berdagang.
Dari penjelasan singkat ini, kita harus bisa memahami
bahwa orang Cina itu dulunya sangat terpuruk dan menderita. Dalam kondisi itu,
mereka terdorong untuk memikirkan cara bertahan hidup dan berkembang. Sebagian
berhasil dan menjadi kaya raya, bahkan menguasai sektor ekonomi yang besar di
Indonesia ini. Sebagian lagi gagal dan hidup seperti orang kebanyakan, malahan
sangat miskin hingga disebut Cimi (Cina miskin).
Kesusahan hidup memang bisa mendorong orang berpikir dan
bekerja lebih keras. Akan tetapi, bisa juga mendorong orang untuk berbuat jahat
dan membunuh dirinya sendiri karena tidak mau berpikir, stress, atau
mendapatkan ajaran sesat. Tinggal memilih saja.
Panjang sebetulnya kalau membicarakan hal ini. Saya belum
menuliskan apa yang terjadi saat pembantaian Cina pada pertengahan Mei 1998 di
Indonesia ini. Itu ada ceritera tersendiri yang didorong situasi politik dan
kecemburuan ekonomi.
Ada sedikit kisah tentang Cina ini juga. Ketika saya
masih SD, ada anak muda Cina yang sangat miskin, kumal, kusut, dan kurang
makan. Dia dikasih makanan oleh pengurus masjid. Dia memelas minta modal untuk
berdagang. Lalu, pengurus masjid pun memberinya uang. Dia pun berdagang sayuran
dengan menggunakan pikulan. Dia menanggung pikulan sayurannya berkeliling.
Apa yang terjadi?
Dia dibuli, dihina, diejek, dan diusir masyarakat. Sering
dikata-katain bahwa sayurnya dicuci pakai air selokan, sayuran dagangannya adalah
sayur bekas, daging yang dijualnya adalah daging babi, dan sejumlah cacian
lainnya. Dia sering sekali menangis
karena memang jadi tidak laku dijual barang dagangannya. Sering sekali dia mengadu
ke pengurus masjid yang memodalinya itu. Dia pun sering didoakan oleh
orang-orang masjid.
Ketika saya SMP, saya dengar dia sudah punya pabrik
kerupuk. Dia berhasil sukses. So, perjuangannya tidak mengkhianati hasil.
Ada pelajaran yang bermanfaat dari tulisan ini?
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment