Monday 19 December 2022

Penyebab Cina Tampak Lebih Kaya Dibandingkan Pribumi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak orang pribumi yang membenci orang keturunan Cina di Indonesia. Alasannya, ada yang masuk akal, tidak masuk akal, bahkan mengada-ada cenderung fitnah. Dosa lho fitnah itu.

            Misalnya, membenci Cina karena kaya raya. Itu tidak masuk akal.

            Orang lain kaya, kok kita yang membenci?

            Orang-orang pembenci orang kaya yang saya tahu sejak kecil hanyalah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Soalnya, saya pun pernah hampir menjadi korbannya. Lebih tepatnya bukan saya sih, melainkan uwak saya, kakak ayah saya. Saat itu PKI sangat kuat di Indonesia dan sangat membenci orang kaya. Uwak saya pun sudah masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ketika ayah saya bertanya kepada orang-orang PKI itu tentang alasan kenapa ingin membunuh uwak saya, mereka bilang karena uwak saya kaya raya. Memang benar uwak saya itu adalah orang kaya di lingkungannya. Dulu sewaktu saya kecil, di lingkungannya itu selalu uwak saya yang paling pertama memiliki barang-barang baru, elektronik baru, pakaian baru, perabotan rumah baru, dll. Malahan, kalau ada tetangga yang menikah, rumah uwak saya itu sering dipinjam untuk resepsi pernikahan. Yang kaya itu uwak saya, bukan ayah saya, apalagi saya.

            Memang uwak saya itu adalah sekretaris Wybert, semacam permen pelega tenggorokan. Mirip Hexos, tetapi dikemas dalam wadah mirip Pagoda Pastiles, cuma lebih besar dan tebal. Sekarang perusahaan dan produk itu sudah tidak ada lagi. Dulu sih iya sangat terkenal dan laku sekali.

            Alasan ingin membunuh uwak saya karena kekayaannya adalah hal yang tidak masuk akal. Beruntung, PKI keburu runtuh dan malah dipermalukan. Jadi, pembenci orang kaya itu sama pikirannya dengan orang-orang PKI. Mungkin juga mereka sekarang adalah murid PKI. Orang PKI memang punya pandangan hidup itu harus sama rasa sama rata. Semua mungkin harus sengsara seperti mereka.

            Setelah dibubarkan, orang PKI yang dulu mengancam uwak saya hidupnya memprihatinkan. Mereka tetap miskin dan dijauhi oleh masyarakat. Ketika Pemilu, ayah saya merasa kasihan kepada mereka karena mereka tidak diberikan haknya untuk memilih oleh panitia pemungutan suara yang masih tetangga juga. Mereka antri dari pagi hingga sore dan selesai pemungutan suara, sama sekali tidak diperbolehkan memilih. Dengan senyum kuning kecut menahan rasa malu dan kecewa mereka pulang tanpa memilih. Sebetulnya sih, mereka harusnya diberikan hak untuk memilih karena mereka sudah dihukum, mengakui kesalahannya, berupaya menebus perilakunya dengan mendekati masyarakat, tetapi mau bagaimana lagi. Panitia tidak memberikan haknya dan panitia itu adalah tetangga ayah saya juga. Ayah saya meskipun ingin membela, tidak bisa juga ngapa-ngapain, ya sudah, begitu kejadiannya, begitu ceriteranya. Sanksi sosial itu sangat berat.    

            Sangat tidak masuk akal membenci orang karena kekayaannya. Bahkan, ingin membunuh, lebih tidak masuk akal lagi. Demikian pula membenci orang Cina karena lebih kaya, sama sekali tidak masuk akal.

            Sebetulnya, sudah sangat banyak tulisan, artikel, atau penelitian yang memaparkan soal penyebab orang-orang Cina di Indonesia tampak lebih kaya dan berhasil secara ekonomi. Saya jadi harus mengingat lagi tulisan-tulisan itu.

            Pada zaman dulu sebelum zaman para wali, di wilayah Cina itu terjadi pergolakan politik, konflik berdarah, pertempuran antarsuku, pembunuhan, pembantaian, dan perang-perang besar. Banyak dari mereka yang menyelamatkan diri dari kekejaman itu ke seluruh dunia. Ada yang ke Eropa, Amerika, Asia, termasuk ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia. Ada yang ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, dsb. Oleh sebab itu, keturunan Cina selalu ada di mana-mana, di seluruh dunia, dan menjadi warga negara tempatnya tinggal

            Di Indonesia sebagian beruntung, diterima masyarakat dan bisa mengolah tanah di wilayah yang baru pemberian masyarakat dan penguasa saat itu. Sebagian lagi, hidup terjepit, terhimpit, menderita, dan sangat miskin puluhan, bahkan ratusan tahun. Tak ada jalan lain bagi mereka untuk bertahan hidup, kecuali berdagang.

            Memang apalagi yang bisa mereka lakukan?

            Mereka tidak bisa menjadi tentara, polisi, ataupun aparat negara. Mereka berbisnis kecil-kecilan dan sangat patuh pada penguasa.  Ketika zaman penjajahan, mereka tidak bermasalah dengan penjajah. Mayoritas memilih untuk tetap berdagang sehingga tidak ikut terseret konflik antara penjajah dengan rakyat. Sebagian, memilih pro penjajah. Sebagian, ikut menjadi pejuang kemerdekaan.

            Para pedagang Cina ini makin lama makin kuat karena memberikan layanan dagang bagi penjajah sekaligus juga bagi rakyat. Mereka fokus pada usaha dagang. Pada masa kemerdekaan pun mereka tetap berdagang hingga usahanya terus membesar. Kesempatan untuk menjadi tentara, polisi, ataupun pegawai negeri tetap sangat kecil untuk mereka. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan berdagang.

            Berbeda dengan pribumi, keturunan Arab, India, atau Pakistan. Mereka lebih tenang karena bisa menjadi pegawai negeri, tentara, polisi, dan mendapat banyak kenyamanan karena kesamaan warna kulit, ras, ataupun agama. Dengan demikian, mereka tidak perlu terlalu bekerja keras bertahan hidup. Orang Cina sangat terpinggirkan dan kesulitan untuk berkembang. Dalam posisi terjepit itu, mereka fokus berdagang.

            Dari penjelasan singkat ini, kita harus bisa memahami bahwa orang Cina itu dulunya sangat terpuruk dan menderita. Dalam kondisi itu, mereka terdorong untuk memikirkan cara bertahan hidup dan berkembang. Sebagian berhasil dan menjadi kaya raya, bahkan menguasai sektor ekonomi yang besar di Indonesia ini. Sebagian lagi gagal dan hidup seperti orang kebanyakan, malahan sangat miskin hingga disebut Cimi (Cina miskin).

            Kesusahan hidup memang bisa mendorong orang berpikir dan bekerja lebih keras. Akan tetapi, bisa juga mendorong orang untuk berbuat jahat dan membunuh dirinya sendiri karena tidak mau berpikir, stress, atau mendapatkan ajaran sesat. Tinggal memilih saja.

            Panjang sebetulnya kalau membicarakan hal ini. Saya belum menuliskan apa yang terjadi saat pembantaian Cina pada pertengahan Mei 1998 di Indonesia ini. Itu ada ceritera tersendiri yang didorong situasi politik dan kecemburuan ekonomi.

            Ada sedikit kisah tentang Cina ini juga. Ketika saya masih SD, ada anak muda Cina yang sangat miskin, kumal, kusut, dan kurang makan. Dia dikasih makanan oleh pengurus masjid. Dia memelas minta modal untuk berdagang. Lalu, pengurus masjid pun memberinya uang. Dia pun berdagang sayuran dengan menggunakan pikulan. Dia menanggung  pikulan sayurannya berkeliling.

            Apa yang terjadi?

            Dia dibuli, dihina, diejek, dan diusir masyarakat. Sering dikata-katain bahwa sayurnya dicuci pakai air selokan, sayuran dagangannya adalah sayur bekas, daging yang dijualnya adalah daging babi, dan sejumlah cacian lainnya.  Dia sering sekali menangis karena memang jadi tidak laku dijual barang dagangannya. Sering sekali dia mengadu ke pengurus masjid yang memodalinya itu. Dia pun sering didoakan oleh orang-orang masjid.

            Ketika saya SMP, saya dengar dia sudah punya pabrik kerupuk. Dia berhasil sukses. So, perjuangannya tidak mengkhianati hasil.

            Ada pelajaran yang bermanfaat dari tulisan ini?

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment