oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Saya tidak mengerti mengapa
mereka menggunakan istilah “crussade”, ‘perang salib’?
Ketika Presiden Republik Indonesia (RI) Jokowi
diwawancarai media internasional, wartawan asing mengatakan bahwa upaya Jokowi
mempertahankan bijih nikel Indonesia agar tidak dibeli mentahnya oleh Eropa dan
Amerika Serikat adalah “perang salib Jokowi”. Indonesia bertahan bahwa bijih
nikel tidak boleh dijual mentah, kecuali sudah menjadi barang setengah jadi
ataupun barang jadi yang diproduksi di Indonesia. Akibatnya, Indonesia diserang
Eropa melalui gugatan sidang panel World Trade Organization (WTO). Indonesia
pun kalah dikeroyok negara-negara Eropa. Akan tetapi, Jokowi bukannya menyerah,
melainkan tambah marah. Dia mengajukan sidang banding dan tetap melarang ekspor
bijih nikel. Bahkan, dia makin marah dengan menegaskan untuk tidak akan lagi
mengekspor nikel, bauksit, batu bara, dan timah ke luar negeri. Jokowi ingin
semua diproduksi di Indonesia agar bisa membuka lapangan kerja bagi rakyat,
tumbuh wilayah perekonomian baru, menarik pajak, dan alih teknologi sehingga
pada masa depan rakyat Indonesia mampu mandiri dan memproduksi sendiri.
Perlawanan Jokowi melawan Eropa itulah yang disebut media asing sebagai perang
salib.
Istilah perang salib itu mengingatkan kita pada
penghancuran kekuasaan Inggris, khususnya Raja Richard oleh Sultan Salahudin Al
Ayubi di Yerusalem, Palestina. Dalam keadaan terdesak, para bangsawan Inggris
mempropagandakan ke seluruh dunia bahwa perang itu adalah perang salib antara
Kristen melawan Islam. Mereka berharap seluruh dunia Kristen mendukung dan
membantu mereka dalam menghancurkan pasukan muslim. Padahal, itu bukanlah
perang agama, melainkan para bangsawan Inggris sudah kehabisan tanah di
negaranya, kemudian mencari wilayah baru untuk para bangsawan yang tidak
kebagian tanah, tempatnya di Yerusalem, Palestina. Tidak ada sebetulnya perang
agama, itu hanya manipulasi Inggris untuk mendapatkan dukungan dari dunia
Kristen agar memerangi Sultan Salahudin Al Ayubi yang kebetulan mayoritas
muslim. Mereka ingin menguasai tanah
baru. Pasukan Sultan Salahudin sendiri tidak semuanya muslim, bahkan salah
seorang jenderalnya beragama Kristen Katolik yang bernama Isa.
Sayangnya, kaum muslim pun ikut-ikutan pada propaganda
Inggris itu. Kaum muslim mengubah istilah perang salib dengan istilah “perang sabil”. Hal itu seolah-olah
menguatkan hoax bahwa telah terjadi perang antara Kristen dan Islam. Padahal,
tidak ada perang agama itu, cuma rebutan tanah untuk dikuasai. Akhirnya, perang
itu dimenangkan Salahudin Al Ayubi.
Apakah wartawan dan media asing menggunakan istilah
perang salib yang sedang dilancarkan Jokowi itu untuk memanipulasi bahwa itu
adalah perang antara Kristen Eropa melawan muslim Indonesia?
Saya tidak tahu. Mestinya, jangan menggunakan istilah
perang salib kalau memang tidak berniat buruk. Seharusnya, seluruh dunia
bekerja sama dan saling berbagi dengan baik dengan tidak melakukan kecurangan,
tanpa kelicikan. Akan tetapi, kalau memang niatnya curang, licik, dan jahat
ingin merampok kekayaan Indonesia, mari kita mulai aksi teror terhadap Eropa.
Apa itu teror?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teror artinya
adalah “usaha menciptakan ketakutan,
kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan”. Jadi, mari kita
bikin usaha agar orang-orang Eropa itu merasa takut dan ngeri bahwa bangsa
Indonesia yang ramah ini bisa berubah menjadi kejam jika hak miliknya dirampok
dengan cara yang jelas tidak sah.
Presiden Jokowi sendiri sudah sejak awal melakukan teror.
Ketika kalah dalam sidang WTO, Indonesia diwajibkan untuk kembali membuka
ekspor nikel ke luar negeri, khususnya Eropa. Jokowi segera saja meneror Eropa
dengan tegas untuk tidak akan pernah menjual lagi bijih nikel ke luar negeri.
Bahkan, bahan tambang yang lainnya pun akan dihentikan. Keputusan sidang WTO
tidak digubris Jokowi. Dia malahan naik banding. Itu sudah merupakan teror
menakutkan bagi Eropa. Eropa bisa sangat kekurangan energi, kerusakan industri,
dan kehilangan pendapatan.
Lebih jauh dari itu, dengan bersuara lantang, Jokowi
berpidato di dalam dan di luar negeri; menjawab pertanyaan wartawan di dalam
dan di luar negeri menantang Eropa.
Kurang lebih seperti ini, tantangan Jokowi untuk Eropa, “Kita
sudah tidak mau lagi dijajah. Ratusan tahun sumber daya alam Indonesia dikeruk
dengan menguntungkan pihak asing. Pada zaman penjajahan, kita dijajah dengan
tanam paksa, kerja paksa. Sekarang, ada penjajahan baru, yaitu ekspor paksa! Kita
dipaksa untuk menggali bahan tambang kita, lalu dijual ke luar negeri dengan
harga murah. Kita tidak mau lagi seperti itu! Kita tidak takut terhadap negara
mana pun.”
Memang terbukti sih. Ketika bijih nikel mentah dijual ke
luar negeri, Indonesia hanya mendapatkan sekitar 46 triliun. Akan tetapi, setelah
diproses di dalam negeri dan menjadi baja stainless steel, Indonesia
mendapatkan keuntungan belasan kali lipat, yaitu sejumlah 456 triliun. Itu baru
baja, apalagi jika sudah dijadikan baterai untuk mobil dan motor listrik.
Keuntungannya bisa puluhan kali lipat. Akan ada banyak uang yang masuk ke kas Negara
Indonesia untuk membangun rakyat.
Prabowo pun tampaknya mendukung penuh upaya Jokowi.
Sebagai menteri pertahanan, dia menyiapkan persenjataan baru di darat, laut,
dan udara dengan tujuan menyebarkan rasa ketakutan dan kengerian kepada siapa
pun yang mencoba berpikir untuk berlaku curang dan merampok kekayaan alam
Indonesia. Itu sudah merupakan upaya teror.
Demikian pula dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang segera memastikan diri membangun pangkalan militer yang berbatasan darat
dengan Timor Leste dan berbatasan laut dengan Australia. Itu adalah pesan teror
yang menakutkan siapa pun dari pihak barat yang berniat mengganggu Indonesia.
Kita sebagai rakyat pun harus melakukan teror pula dengan
cara menyatakan bersiap sedia untuk membela negara beserta kekayaan alamnya
dari keserakahan pihak asing. Kita harus menyampaikan kesan yang jelas bahwa
rakyat yang ramah ini bisa berperilaku kejam dan menakutkan. Coba asah itu berbagai senjata dari setiap
suku yang ada di Indonesia, pertajam itu alat-alat perang, dengan mengupload
pada berbagai media sosial dengan disertai ancaman kepada siapa pun yang
berniat buruk pada Indonesia.
Saya pun mencoba mencari-cari senjata orang Sunda untuk
dijadikan upaya teror dan akan diupload di internet. Akan tetapi, susah juga
ternyata. Orang Sunda itu tidak punya alat perang tradisional. Memang,
satu-satunya suku yang tidak memiliki perisai untuk perang adalah Suku Sunda.
Orang Sunda itu hanya punya golok dan cangkul, tetapi itu pun lebih ke alat
kerja. Kalaupun ada yang disebut senjata, paling kujang, tetapi lebih ke arah
alat perhiasan. Meskipun begitu, alat kerja dan perhiasan itu bisa menjadi
senjata mematikan jika dipakai berperang. Suku-suku lain pasti punya alat-alat
perang yang lebih beragam dan menakutkan untuk dipakai sebagai ancaman bagi
siapa pun yang akan mengganggu negara.
Asahan, Golok, dan Cangkul |
Kujang (Foto: ibelievemydreams WordPress com) |
Foto kujang saya dapatkan dari ibelievemydreams WordPress
com. Saya tidak pernah mendengar ada orang yang mati karena ditusuk kujang. Itu
hanya perhiasan yang bisa digunakan senjata jika situasi darurat terjadi.
Bagi jendera-jenderal Amerika Serikat, rakyat Indonesia
adalah sangat menakutkan karena jika tentara Indonesia berperang, rakyat
Indonesia akan dengan sukarela bertempur bersama TNI. Hal ini hanya ada pada
rakyat Indonesia, tidak pada rakyat negara lain.
Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh membenci siapa
pun. Tidak boleh membenci orang Eropa, barat, maupun timur. Kita tidak boleh membenci
manusia. Hal yang kita benci dan perlu kita teror adalah keserakahan,
kelicikan, kecurangan, kejahatan, dan penjajahan. Selama siapa pun orang asing
yang berada di dalam Negara Indonesia melakukan kebaikan, kita tetap harus
ramah dan hormat. Misalnya, mereka ada yang menjadi turis, mahasiswa, dosen,
pekerja, pelaku seni dan budaya, peneliti, pengusaha, ataupun perwakilan negara
asing, kita tetap harus berperilaku baik, penuh hormat, dan ramah. Jika mereka
mulai jahat, itu perkara lain lagi.
Ingat kata Mbah K.H. Hasyim Asyari bahwa membela negara
adalah bagian dari menjalankan agama.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment