Tuesday 6 December 2022

Mereka Bilang “Perang Salib”, So Mari Kita Mulai Teror Mereka!

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Saya tidak mengerti mengapa mereka menggunakan istilah “crussade”,  ‘perang salib’?

            Ketika Presiden Republik Indonesia (RI) Jokowi diwawancarai media internasional, wartawan asing mengatakan bahwa upaya Jokowi mempertahankan bijih nikel Indonesia agar tidak dibeli mentahnya oleh Eropa dan Amerika Serikat adalah “perang salib Jokowi”. Indonesia bertahan bahwa bijih nikel tidak boleh dijual mentah, kecuali sudah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang diproduksi di Indonesia. Akibatnya, Indonesia diserang Eropa melalui gugatan sidang panel World Trade Organization (WTO). Indonesia pun kalah dikeroyok negara-negara Eropa. Akan tetapi, Jokowi bukannya menyerah, melainkan tambah marah. Dia mengajukan sidang banding dan tetap melarang ekspor bijih nikel. Bahkan, dia makin marah dengan menegaskan untuk tidak akan lagi mengekspor nikel, bauksit, batu bara, dan timah ke luar negeri. Jokowi ingin semua diproduksi di Indonesia agar bisa membuka lapangan kerja bagi rakyat, tumbuh wilayah perekonomian baru, menarik pajak, dan alih teknologi sehingga pada masa depan rakyat Indonesia mampu mandiri dan memproduksi sendiri. Perlawanan Jokowi melawan Eropa itulah yang disebut media asing sebagai perang salib.

            Istilah perang salib itu mengingatkan kita pada penghancuran kekuasaan Inggris, khususnya Raja Richard oleh Sultan Salahudin Al Ayubi di Yerusalem, Palestina. Dalam keadaan terdesak, para bangsawan Inggris mempropagandakan ke seluruh dunia bahwa perang itu adalah perang salib antara Kristen melawan Islam. Mereka berharap seluruh dunia Kristen mendukung dan membantu mereka dalam menghancurkan pasukan muslim. Padahal, itu bukanlah perang agama, melainkan para bangsawan Inggris sudah kehabisan tanah di negaranya, kemudian mencari wilayah baru untuk para bangsawan yang tidak kebagian tanah, tempatnya di Yerusalem, Palestina. Tidak ada sebetulnya perang agama, itu hanya manipulasi Inggris untuk mendapatkan dukungan dari dunia Kristen agar memerangi Sultan Salahudin Al Ayubi yang kebetulan mayoritas muslim.  Mereka ingin menguasai tanah baru. Pasukan Sultan Salahudin sendiri tidak semuanya muslim, bahkan salah seorang jenderalnya beragama Kristen Katolik yang bernama Isa.

            Sayangnya, kaum muslim pun ikut-ikutan pada propaganda Inggris itu. Kaum muslim mengubah istilah perang salib dengan istilah “perang sabil”. Hal itu seolah-olah menguatkan hoax bahwa telah terjadi perang antara Kristen dan Islam. Padahal, tidak ada perang agama itu, cuma rebutan tanah untuk dikuasai. Akhirnya, perang itu dimenangkan Salahudin Al Ayubi.

            Apakah wartawan dan media asing menggunakan istilah perang salib yang sedang dilancarkan Jokowi itu untuk memanipulasi bahwa itu adalah perang antara Kristen Eropa melawan muslim Indonesia?

            Saya tidak tahu. Mestinya, jangan menggunakan istilah perang salib kalau memang tidak berniat buruk. Seharusnya, seluruh dunia bekerja sama dan saling berbagi dengan baik dengan tidak melakukan kecurangan, tanpa kelicikan. Akan tetapi, kalau memang niatnya curang, licik, dan jahat ingin merampok kekayaan Indonesia, mari kita mulai aksi teror terhadap Eropa.

            Apa itu teror?

            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teror artinya adalah “usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan”. Jadi, mari kita bikin usaha agar orang-orang Eropa itu merasa takut dan ngeri bahwa bangsa Indonesia yang ramah ini bisa berubah menjadi kejam jika hak miliknya dirampok dengan cara yang jelas tidak sah.

            Presiden Jokowi sendiri sudah sejak awal melakukan teror. Ketika kalah dalam sidang WTO, Indonesia diwajibkan untuk kembali membuka ekspor nikel ke luar negeri, khususnya Eropa. Jokowi segera saja meneror Eropa dengan tegas untuk tidak akan pernah menjual lagi bijih nikel ke luar negeri. Bahkan, bahan tambang yang lainnya pun akan dihentikan. Keputusan sidang WTO tidak digubris Jokowi. Dia malahan naik banding. Itu sudah merupakan teror menakutkan bagi Eropa. Eropa bisa sangat kekurangan energi, kerusakan industri, dan kehilangan pendapatan.

            Lebih jauh dari itu, dengan bersuara lantang, Jokowi berpidato di dalam dan di luar negeri; menjawab pertanyaan wartawan di dalam dan di luar negeri menantang Eropa.

            Kurang lebih seperti ini, tantangan Jokowi untuk Eropa, “Kita sudah tidak mau lagi dijajah. Ratusan tahun sumber daya alam Indonesia dikeruk dengan menguntungkan pihak asing. Pada zaman penjajahan, kita dijajah dengan tanam paksa, kerja paksa. Sekarang, ada penjajahan baru, yaitu ekspor paksa! Kita dipaksa untuk menggali bahan tambang kita, lalu dijual ke luar negeri dengan harga murah. Kita tidak mau lagi seperti itu! Kita tidak takut terhadap negara mana pun.”

            Memang terbukti sih. Ketika bijih nikel mentah dijual ke luar negeri, Indonesia hanya mendapatkan sekitar 46 triliun. Akan tetapi, setelah diproses di dalam negeri dan menjadi baja stainless steel, Indonesia mendapatkan keuntungan belasan kali lipat, yaitu sejumlah 456 triliun. Itu baru baja, apalagi jika sudah dijadikan baterai untuk mobil dan motor listrik. Keuntungannya bisa puluhan kali lipat. Akan ada banyak uang yang masuk ke kas Negara Indonesia untuk membangun rakyat.

            Prabowo pun tampaknya mendukung penuh upaya Jokowi. Sebagai menteri pertahanan, dia menyiapkan persenjataan baru di darat, laut, dan udara dengan tujuan menyebarkan rasa ketakutan dan kengerian kepada siapa pun yang mencoba berpikir untuk berlaku curang dan merampok kekayaan alam Indonesia. Itu sudah merupakan upaya teror.

            Demikian pula dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang segera memastikan diri membangun pangkalan militer yang berbatasan darat dengan Timor Leste dan berbatasan laut dengan Australia. Itu adalah pesan teror yang menakutkan siapa pun dari pihak barat yang berniat mengganggu Indonesia.

            Kita sebagai rakyat pun harus melakukan teror pula dengan cara menyatakan bersiap sedia untuk membela negara beserta kekayaan alamnya dari keserakahan pihak asing. Kita harus menyampaikan kesan yang jelas bahwa rakyat yang ramah ini bisa berperilaku kejam dan menakutkan.  Coba asah itu berbagai senjata dari setiap suku yang ada di Indonesia, pertajam itu alat-alat perang, dengan mengupload pada berbagai media sosial dengan disertai ancaman kepada siapa pun yang berniat buruk pada Indonesia.

            Saya pun mencoba mencari-cari senjata orang Sunda untuk dijadikan upaya teror dan akan diupload di internet. Akan tetapi, susah juga ternyata. Orang Sunda itu tidak punya alat perang tradisional. Memang, satu-satunya suku yang tidak memiliki perisai untuk perang adalah Suku Sunda. Orang Sunda itu hanya punya golok dan cangkul, tetapi itu pun lebih ke alat kerja. Kalaupun ada yang disebut senjata, paling kujang, tetapi lebih ke arah alat perhiasan. Meskipun begitu, alat kerja dan perhiasan itu bisa menjadi senjata mematikan jika dipakai berperang. Suku-suku lain pasti punya alat-alat perang yang lebih beragam dan menakutkan untuk dipakai sebagai ancaman bagi siapa pun yang akan mengganggu negara.


Asahan, Golok, dan Cangkul


Kujang (Foto: ibelievemydreams WordPress com)

            Foto kujang saya dapatkan dari ibelievemydreams WordPress com. Saya tidak pernah mendengar ada orang yang mati karena ditusuk kujang. Itu hanya perhiasan yang bisa digunakan senjata jika situasi darurat terjadi.

            Bagi jendera-jenderal Amerika Serikat, rakyat Indonesia adalah sangat menakutkan karena jika tentara Indonesia berperang, rakyat Indonesia akan dengan sukarela bertempur bersama TNI. Hal ini hanya ada pada rakyat Indonesia, tidak pada rakyat negara lain.

            Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh membenci siapa pun. Tidak boleh membenci orang Eropa, barat, maupun timur. Kita tidak boleh membenci manusia. Hal yang kita benci dan perlu kita teror adalah keserakahan, kelicikan, kecurangan, kejahatan, dan penjajahan. Selama siapa pun orang asing yang berada di dalam Negara Indonesia melakukan kebaikan, kita tetap harus ramah dan hormat. Misalnya, mereka ada yang menjadi turis, mahasiswa, dosen, pekerja, pelaku seni dan budaya, peneliti, pengusaha, ataupun perwakilan negara asing, kita tetap harus berperilaku baik, penuh hormat, dan ramah. Jika mereka mulai jahat, itu perkara lain lagi.

            Ingat kata Mbah K.H. Hasyim Asyari bahwa membela negara adalah bagian dari menjalankan agama.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment