oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Tom Finaldin
Sejak lama sebenarnya
Indonesia selalu diganggu perkembangan dan pertumbuhannya. Penjajahan adalah
jelas gangguan yang sangat merusakkan berbagai sendi kehidupan di Indonesia
yang sedang mengalami perkembangan. Ketika hendak merdeka pun gangguan itu
keras sekali yang membuat Indonesia keteteran, tetapi untung selamat. Pada awal
merdeka pun gangguan itu sangat jelas dengan adanya gagasan RIS. Gagasan negara
federal itu terlihat sekali dari ingin dilemahkannya kekuatan Indonesia
sehingga pihak-pihak asing dan mereka yang tidak ingin melihat Indonesia
menjadi besar masih dapat menggerogoti Indonesia dalam sistem federalisme.
Untungnya, hal itu tidak lama terjadi dan Indonesia kembali menjadi NKRI.
Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno terjadi banyak
pemberontakan di daerah berikut G-30-S. Kisruh-kisruh yang terjadi memang
sebagian besar adalah masalah di antara warga bangsa sendiri, tetapi ada
pihak-pihak asing yang mencoba menumpangi permasalahan di dalam negeri. Dengan
ditembak jatuhnya pesawat pembom B 26 yang dikendalikan personil CIA Alan Pope
oleh Mayor Dewanto sudah jelas menunjukkan kapitalisme bermain api dalam
mengganggu Indonesia. Terjadinya aksi idiotik G-30-S juga tidak lepas dari
permainan kotor pihak asing dalam mengganggu stabilitas keamanan dan ekonomi
Indonesia. Hal itu disebabkan G-30-S adalah pertarungan kapitalis vs komunis
tingkat dunia yang merembes ke Indonesia.
Pada masa Soeharto pun demikian pula banyak pihak luar
yang menambah kisruh suasana. Memang pada masa Soeharto yang sangat represif
itu memunculkan banyak perlawanan di daerah, bahkan di wilayah-wilayah
perkotaan dengan semakin banyaknya organisasi-organisasi bawah tanah yang
melakukan perlawanan diam-diam. Aceh terus bergolak. Papua juga ingin merdeka.
Timor-Timur tak kunjung tenang. Masalah-masalah yang terjadi sebenarnya masalah
di antara sesama bangsa, tetapi pihak luar ikut membesar-besarkannya melalui
pers dan mungkin juga melalui bantuan-bantuan finansial dan nonfinansial. Hal
itu jelas sangat mengganggu pertumbuhan Indonesia.
Pada masa Habibie juga demikian, Timor-Timur begitu keras
permasalahannya sehingga terpaksa harus berpisah dari Indonesia. Berpisahnya
Timor Timur pun tidak lepas dari adanya laporan-laporan dan berita-berita
kecurangan pada saat dilakukan referendum oleh pihak-pihak asing. Untung saja,
Indonesia tidak merasa rugi dengan lepasnya Timor Timur yang kemudian menjadi
Timor Leste. Bahkan, beberapa pihak merasa beruntung dengan berpisahnya Timor
Timur dari Indonesia karena wilayah itu hanya menjadi beban bagi Indonesia
tanpa bisa diharapkan memberikan sumbangan yang positif bagi pembangunan
Indonesia secara keseluruhan.
Pada masa Abdurahman Wahid terjadi huru hara di Ambon,
Poso. Ketenangan dan ketenteraman Poso diganggu oleh konflik yang melibatkan
dua agama yang sebenarnya berawal dari keinginan berpisahnya Maluku Selatan
dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri, yaitu Republik Maluku Selatan
(RMS). Banyak negara lain yang mendukung berdirinya negara RMS, tetapi mereka
terpaksa harus menanggung malu karena kalah. Bahkan, Amerika Serikat buka suara
bahwa kejadian di Poso sangat mengganggu Amerika Serikat. Lucu sekali
pernyataan AS itu karena dikeluarkan ketika kaum muslimin, aparat pemerintah,
dan para pendukung NKRI telah berada di atas angin mengalahkan para perusuh.
Ketika Megawati menjadi presiden, Aceh semakin bergolak
sehingga memaksa pemerintah menggerakkan TNI untuk mengamankan Aceh. Akan
tetapi, hal yang sangat lucu adalah adanya larangan atau ketidaksetujuan
negara-negara lain ketika TNI akan menggunakan pesawat tempurnya untuk
menggempur GAM. Hal itu menunjukkan bahwa ada kekuatan asing yang berupaya
melestarikan ketidakamanan di Provinsi Aceh.
Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono tidak banyak terjadi
gangguan keamanan, kecuali yang sudah berlangsung sejak lama seperti OPM.
Paling-paling, gangguan dari negara sebelah Malaysia terhadap kedaulatan
Indonesia yang membuat kesal dan geram berbagai elemen bangsa karena pemerintah
tidak tampak bersikap tegas. Hal yang menjadi gangguan adalah justru ada banyak
sumber daya alam yang diduga dikuasai oleh pihak asing yang hasilnya juga
mengalir ke luar negeri. Oleh sebab itu, pada masa pemerintahan SBY ini sempat
dikecam sebagai tahun “kebohongan” dan menjadikan Indonesia sebagai “negara
gagal”. Meskipun demikian, para pendukung pemerintahan SBY tidak menganggapnya
sebagai kegagalan. Akan tetapi, semua merasakan adanya gangguan pihak asing,
termasuk adanya dugaan terjadi praktik jual beli legislasi antara legislator
dengan pihak luar negeri yang membuat sumber daya alam Indonesia dikuasai pihak
asing.
Indonesia dalam kepemimpinan Jokowi pun mendapat
gangguan. Bedanya, situasi di dalam negeri lebih terkendali dan mudah ditangani.
Teror di Jl. Thamrin, Jakarta, diselesaikan dalam waktu cepat, gerakan OPM
lebih dibatasi, Grup Santoso semakin terdesak, kerusuhan Tolikara padam dengan
sangat cepat. Untuk membuat situasi di dalam negeri Indonesia carut marut, saat
ini semakin susah karena rakyat sudah lebih kuat bersatu dan bersaudara
dibandingkan sebelum-sebelumnya. Oleh sebab itu, gangguan justru datang dari
luar Negara Indonesia dengan adanya penculikan WNI oleh kelompok-kelompok yang
biasa disebut kelompok Abu Sayyaf. Kalau pencurian ikan di perairan Indonesia, itu
hanyalah tindakan kriminal murahan yang tidak bertujuan mengganggu, melainkan
hanya ingin mencuri, maling.
Indonesia tampaknya tidak dibiarkan untuk hidup tenang
dan tenteram. Mereka tidak ingin melihat Indonesia besar dan aman tenteram.
Apalagi ketika di belahan dunia lain terjadi berbagai kesemrawutan dan
gonjang-ganjing, baik politik maupun ekonomi, mereka tidak ingin Indonesia
berada dalam keadaan tenang-tenang saja. Indonesia harus punya masalah. Hal itu
pun bisa diperhatikan dari pernyataan Badrodin Haiti ketika masih menjabat
Kapolri bahwa Isis berniat mengganggu ketenteraman Indonesia. Meskipun
Indonesia tidak bisa tertarik untuk hidup babak belur seperti negara lain,
paling tidak Indonesia tidak boleh tenteram dan aman secara mulus. Harus selalu
ada masalah.
Ketika huru-hara di dalam negeri sulit diciptakan,
gangguan terhadap Indonesia pun dilakukan di luar wilayah Indonesia, yaitu
dengan melakukan penculikan terhadap ABK yang sedang berlayar dan berbisnis.
Ketika kekuatan kelompok Santoso benar-benar hampir habis, diciptakanlah
kesulitan baru bagi Indonesia di wilayah laut yang sama sekali bukan merupakan
kewenangan Indonesia, baik di wilayah laut Filipina maupun di Malaysia.
Membicarakan hal seperti ini memang seperti “mengarang
indah” karena memasuki area “konspirasi” yang melibatkan “The Hiden Hand” yang
selalu berada di belakang layar dan sulit dideteksi ketika menciptakan berbagai
kesemrawutan dan keributan. Kita boleh menduga bahwa kasus-kasus penculikan WNI
ini bukan sekedar “pemerasan” atau kriminal biasa, melainkan adanya suatu upaya
untuk menciptakan Indonesia selalu berada dalam masalah. Bisa kita perhatikan
bahwa WNI diculik oleh kelompok yang tidak bisa dikalahkan oleh militer
Filipina di wilayah yang tidak dikuasai pemerintah Filipina. Sementara itu,
Filipina memiliki undang-undang yang tidak memperbolehkan pasukan asing masuk
ke negaranya. Hal itu mempersulit pemerintah Indonesia secara sempurna dalam
menyelamatkan WNI. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Filipina tampak tidak
serius menjalin kerja sama untuk menyelesaikan masalah itu yang ditandai sulit
hadirnya mereka untuk membicarakan masalah keamanan yang dapat dilakukan secara
bersama-sama. Banyak juga yang menduga bahwa Filipina mendapat bisikan dari pihak
kapitalis terkait sikapnya tersebut yang mempersulit Indonesia karena Filipina
memang negara yang memiliki kecenderungan berkiblat ke arah Barat.
Ketika penculikan WNI bisa diatasi, pemerintah Indonesia pun
segera melakukan pelarangan untuk berlayar ke perairan Filipina. Akan tetapi,
ternyata masih ada perusahaan yang melanggar larangan itu. Akibatnya, ABK
mereka diculik juga. Menurut saya, perusahaan yang melanggar moratorium
pelayaran itu harus diperiksa juga karena memicu masalah yang sebetulnya tidak perlu
terjadi lagi. Bisa jadi mereka pun merupakan bagian dalam memberikan gangguan
bagi Indonesia. Sudah tahu dilarang, masih berlayar juga. Kalu tidak bego,
mereka berarti benar-benar sedang membuat gangguan terhadap Indonesia. Kalau
itu benar terjadi, perusahaan itu harus ditindak tegas, dicabut izinnya, dan
pemiliknya atau pemimpinnya ditangkap.
Hal yang mencurigakan lainnya adalah adanya pernyataan
dari Beny Mamoto mantan Ketua Tim Pembebasan Sandera 2006. Ia menyatakan bahwa
ada intel militer Filipina yang bermain dalam penyanderaan itu. Bahkan,
pembebasan sandera yang selalu di dekat rumah salah satu gubernur di Filipina
pun patut diperhatikan dan dipertanyakan. Di samping itu, Beny Mamoto pun
berharap bahwa Presiden Filipina yang baru dapat mengangkat panglima militer
yang kredibel dan tegas karena ada kemungkinan oknum militer Filipina pun ikut
terlibat dalam beberapa kasus penculikan.
Seperti yang saya bilang bahwa membicarakan masalah ini
seperti “mengarang indah” karena menyambung-nyambungkan peristiwa dan menghubung-hubungkannya,
lalu mencari pemahaman dari hal-hal itu.
Kita semua harus paham dan sadar bahwa sejak dulu banyak
sekali pihak yang tidak menginginkan Indonesia menjadi besar dan memiliki
kekuatan lebih besar dalam menentukan percaturan dunia. Hal ini pun bisa
dilihat dari banyaknya berita bohong di internet yang berbahasa asing yang
menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara yang intoleran, pelanggar Ham, dan lain sebagainya. Tampaknya, banyak
orang yang sangat khawatir Indonesia bisa lebih kuat dalam berperan menentukan
arah sejarah dunia sekaligus banyak orang yang iri dan tidak ingin percaya
bahwa Indonesia sebagai negara dari dunia ketiga yang mayoritas muslim mampu
hidup dengan tenang dan tenteram penuh kedamaian dalam keadaan makmur. Mereka
akan terus mengganggu sebagaimana syetan yang selalu mengganggu membuyarkan
konsentrasi ketika kita melakukan shalat. Mereka akan terus mengganggu.
Kita tidak bisa menghentikan mereka karena begitulah
tugas hidup mereka, mengganggu manusia supaya tidak hidup dalam keadaan tenang.
Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri dari setiap
gangguan itu sehingga para pengganggu itu putus asa sebagaimana putus asanya
Iblis Laknatullah untuk menggoda orang-orang beriman setelah sempurnanya ajaran
Islam. Iblis dan anak buahnya hanya mampu menjerumuskan manusia dalam hal-hal
kecil, seperti, perceraian, perjudian, pelacuran, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, mereka sudah berputus asa dalam persoalan-persoalan besar semisal “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Perkara ketauhidan sudah mutlak tak tergoyahkan. Demikian pula
para pengganggu Indonesia yang sudah mulai berputus asa dalam perkara-perkara
besar, seperti, disintegrasi, konflik antaragama, dan penentangan terhadap ideologi
Pancasila. Mereka sudah sangat kesulitan membuat kerusakan dalam hal-hal besar
seperti itu. Mereka hanya mampu mengganggu Indonesia melalui perilaku-perilaku
jahat kecil-kecil yang cenderung kriminal murahan yang nilainya tak lebih dan
tak kurang seperti pencuri kecil yang mengutil di supermarket.
No comments:
Post a Comment