oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bagi orang tua yang
menganggap diri hebat dan penting yang juga punya anak yang menganggap
orangtuanya hebat dan penting, tampaknya memerlukan sekolah khusus untuk
pendidikannya. Mereka memerlukan sekolah yang tidak memiliki pendidikan
disiplin dan tidak memiliki guru yang tegas dan disiplin juga. Mereka sangat
membutuhkan sekolah yang mampu memanjakan siswa, tidak ada teguran bagi anak
nakal, dan penuh jaminan kebebasan.
Seharusnya, hal ini menjadi daya tarik bagi para pengusaha
pendidikan swasta untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak belagu yang lahir
dari orangtua yang juga belagu. Tampaknya, sekolah semacam ini akan mendapatkan
pasar bagi banyak orang tua yang ingin anak-anaknya dimanjakan oleh para
gurunya. Orang-orang tua semacam ini akan berduyun-duyun mendaftarkan
anak-anaknya karena di sekolah itu penuh dengan kebebasan. Tak ada yang dihukum
karena bolos sekolah, tak ada teguran bagi yang tidak mengerjakan PR, tak ada
yang dimarahi jika tak ikut upacara, dibebaskan dari mencuri barang-barang
temannya, dibiarkan berkelahi sampai mendirikan geng motor, tak ada yang dimaki
karena menghina guru, tak ada yang dinasihati karena menganggu teman
perempuannya, yang perempuan juga dibebaskan bersikap centil, tidak ada masalah
untuk corat-coret di kursi, meja, tembok, pokoknya sekolah itu penuh dengan kemanjaan,
mungkin juga guru-gurunya akan bersikap pura-pura tidak tahu jika
siswa-siswanya menonton video porno di kelas sambil menikmati Narkoba dan
membuli teman-temannya.
Para orang tua dan anak-anak yang belagu sangat
merindukan guru-guru yang hanya menegur dengan lembut, “Hey, jangan begitu. Itu
tidak baik Sayang.”
Sudah cukup sampai di situ. Mau dituruti atau tidak,
guru-gurunya tidak peduli. Namanya juga sekolah khusus anak belagu yang manja.
Para pengusaha pendidikan harus segera mendirikan sekolah
khusus semacam ini karena banyak sekali orang-orang belagu yang membutuhkannya.
Segera iklankan sekolah ini dalam berbagai media, termasuk pada brosur-brosur
dan leaflet dengan di dalamnya di tulis SEKOLAH BEBAS PENUH KEMANJAAN DIJAMIN
TAK ADA KEMARAHAN. Kemudian, di sana ditulis daftar seluruh guru dengan latar
belakang masing-masing yang dapat menjamin untuk kemanjaan siswa.
Sekolah ini akan diisi penuh oleh anak-anak belagu dari orangtua
yang juga belagu. Mereka akan dimanjakan oleh sekolah karena itu sudah janji
sekolah tersebut sejak awal. Paling-paling mereka akan berantem sendiri dengan
teman-temannya. Coba bayangkan jika anak-anak yang sekolah di sekolah tersebut,
baik laki-laki dan perempuannya semua anak belagu yang menganggap orang tuanya
sebagai orang penting dan hebat. Mereka akan selalu ribut karena merasa diri
sebagai orang hebat dan punya orangtua hebat. Mereka pun akan selalu merasa
bebas bertindak hingga merugikan dirinya sendiri, temannya, termasuk
orangtuanya sendiri pada akhirnya. Memang tak akan ada yang lapor ke polisi
soal kekerasan gurunya karena gurunya sangat memanjakan mereka, tetapi polisi
akan dipenuhi laporan tentang perselisihan yang terjadi di antara mereka
sendiri.
Ketika gurunya dimintai partisipasi dalam membina siswa,
gurunya dengan enak menjawab, “Itu bukan urusan kami. Kami hanya mengajar
pelajaran. Urusan kedisiplinan, itu urusan Bapak-bapak polisi, bukan kami.”
Polisinya bilang, “Tapi kan tugas tanggung jawab guru
mengajarkan etika dan moral?”
“Sudah kami ajarkan semuanya, termasuk agama. Merekanya
sendiri yang tidak mau dengar,” kilah gurunya, “Tugas kami sudah dilaksanakan,
dipatuhi atau tidak, terserah mereka.”
“Jadi, sekarang bagaimana?”
“Terserah polisi dan orang tua mereka.”
“Bagaimana cara mendidik anak-anak ini? Masa tidak tegas
dan disiplin?” tanya polisi.
“Nggak ah, takut melanggar Ham, lalu dipenjara,” jawab guru, “Sudah ya Pak, saya masih ada urusan lain, janjian sama murid perempuan saya mau nonton bareng film Cinta Sekilas.Permisi.”
No comments:
Post a Comment