oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Heboh soal vaksin palsu yang
membuat Indonesia heboh sebenarnya berawal dari persoalan yang sangat sederhana.
Teramat sederhana sesungguhnya. Hal itu berawal dari kebiasaan masyarakat yang
terlalu percaya pada orang asing dan produk-produk asing. Apa pun yang datang
dari luar negeri selalu dianggap lebih bagus. Itulah penyakit masyarakat yang
sebenarnya.
Mereka yang menjadi korban vaksin palsu adalah mereka
yang sangat mengagumi obat-obat luar negeri dan tidak mempercayai obat-obatan produksi
dalam negeri. Vaksin yang dipalsukan adalah obat-obat impor yang berasal dari
luar negeri, bukan yang diproduksi di dalam negeri. Tak satu pun masyarakat
yang mengonsumsi vaksin dalam negeri menjadi bertambah parah penyakitnya atau
menjadi korban vaksin palsu. Mereka baik-baik saja.
Pernyataan Ketua Komisi 9 Dede Yusuf yang artis dan
pernah menjadi Wagub Jawa Barat itu sungguh sangat mencerahkan, “Sebenarnya, vaksin yang diproduksi di dalam
negeri sangat berlimpah dan sangat murah, bahkan digratiskan. Persoalan vaksin
palsu adalah disebabkan masyarakat sangat percaya terhadap obat-obat impor dan
mereka lebih suka membeli dengan harga mahal. Ada yang tiga ratus ribu, lima
ratus ribu, sampai satu juta rupiah. Padahal isi obat itu sama dengan yang
diproduksi Bio Farma di dalam negeri.”
Pernyataan Dede Yusuf tidak ada yang membantah dan justru
menjelaskan segalanya. Memang persoalan obat dan kesehatan ini sudah terjadi
sejak lama, bahkan ketika saya masih sangat kecil pun selalu mendengar hal ini.
Baik obat-obatan, fasilitas kesehatan, bahkan kualitas dokter dalam negeri pun
dianggap sangat rendah dibandingkan yang berasal dari luar negeri. Padahal,
kenyataannya tidak seperti itu. Bolehlah pada masa lalu ketika Indonesia masih
zaman awal-awal kemerdekaan memang mungkin masih sangat terbelakang. Akan
tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman segalanya berubah lebih baik dan terus
diupayakan dengan lebih baik lagi. Banyak pasien yang mati di rumah sakit
Singapura setelah menjalani operasi atau perawatan, padahal menurut
dokter-dokter di Indonesia penyakit seperti itu banyak disembuhkan di
Indonesia. Contohnya, pernah terjadi kembar siam dari Iran dipisahkan di rumah
sakit Singapura, hasilnya mereka mati. Menurut dokter RS Hasan Sadikin Bandung,
operasi semacam itu di Indonesia banyak yang sukses karena tergolong operasi
yang mudah. Adapula klinik-klinik yang menggunakan dokter-dokter luar negeri ternyata
ditutup oleh pemerintah Indonesia karena banyak masalah dan merugikan pasien.
Entah kenapa banyak masyarakat Indonesia yang sangat
gandrung dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Padahal, Indonesia sendiri
sudah sangat berkembang dibandingkan masa lalu.
Pandangan keliru mengenai obat dan kesehatan di Indonesia
mungkin masih merupakan sisa-sisa dari pandangan masa lalu ketika masih dalam
zaman awal kemerdekaan. Pandangan itu berlanjut sampai hari ini.
Bisa pula karena dihembus-hembuskan oleh oknum-oknum
petugas medis, termasuk dokter karena mereka mendapatkan fee dari penjualan obat-obat luar negeri atas dasar rekomendasi
mereka. Saya punya teman yang pernah menjadi sales obat. Dia sering berceritera
tentang pengalamannya menjual obat kepada para dokter. Ketika pertama kali dia
menawarkan obat pada dokter yang baru ditemuinya, biasanya dokter itu
merendahkan obat yang ditawarkan teman saya.
Dokter itu bilang, “Obat apa ini? Tidak manjur!”
Akan tetapi, teman saya itu sudah berpengalaman bahwa
penolakan dokter itu hanya modus. Ia segera mencari tahu hobi atau kegemaran
dokter itu. Kalau dokter itu hobi golf, ia segera memberi hadiah stik golf yang
bagus dan mahal. Kalau dokternya gemar bulu tangkis, raket yang mahal dan
istimewa yang dihadiahkan. Terkadang pula teman saya mencari tahu nomor
rekening Sang Dokter, lalu mengisinya dengan sejumlah uang.
Setelah hadiah diterima oknum dokter, teman saya pun
segera menghubunginya lagi. Biasanya, hubungannya menjadi sangat lebih baik
yang dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, kemudian melakukan
transaksi.
Bayangkan, obat yang tadinya dibilang berkualitas rendah
dan disebut tidak manjur, akhirnya dibeli untuk didistribusikan pada
pasien-pasiennya.
Perilaku macam apa itu?
Sudahlah, para dokter tidak perlu protes, tersinggung,
bahkan marah terhadap saya atas tulisan ini. Hal ini terjadi kok. Teman saya
masih hidup, tetapi sudah tidak lagi menjadi sales obat. Dia sudah memiliki
profesi lain.
Tentu saja tidak semua dokter seperti itu. Banyak sekali dokter
yang baik dan setia terhadap sumpah dan cita-citanya untuk memberikan kesehatan
kepada manusia dan mengabdi pada kebenaran. Saya pun mengenal dokter yang
sangat baik dan sangat sayang kepada para pasiennya. Kami berteman dekat.
Ketika saya sakit parah dan disarankan oleh dokter rumah sakit untuk rawat
inap, saya menolak. Saya menolak karena saya tidak mau merepotkan orang-orang
yang sehat. Kalau saya harus menjalani rawat inap, akan ada banyak orang yang
bergiliran menemani saya di rumah sakit dan itu merepotkan mereka. Saya memilih
berobat jalan meskipun harus tetap ditemani orang lain karena untuk berjalan
normal saja sangat susah. Dokter rumah sakit yang menyarankan saya untuk rawat
inap adalah dokter kedua yang menangani saya setelah saya menghentikan
pengobatan dokter yang sebelumnya. Lebih dari satu bulan saya sakit parah.
Karena dokter rumah sakit itu menyarankan rawat inap, saya pun beralih ke
dokter lain, yaitu dokter yang saya kenal sangat baik dan praktik di rumahnya.
Saya sungguh heran kenapa saya bisa melupakan dokter yang satu ini, padahal
sudah saya kenal baik sejak lama. Ketika saya mendatanginya, saya ceriterakan
pengalaman dengan dokter-dokter sebelumnya dan saya ceriterakan pula kekecewaan
saya. Dia hanya tersenyum dan tampak mengenali penyakit yang saya derita.
Ia pun segera memberi obat sambil berkata, “Kalau obat
ini sudah habis, segera kembali lagi ke sini.”
Saya pun menurut.
Ketika datang lagi kedua kalinya, saya sudah tidak lagi
ditemani orang lain. Saya sudah bisa berjalan normal.
Dia sungguh dokter yang baik. Di samping memberikan
perawatan yang baik, dia pun tidak menyalahkan dokter yang menangani saya
sebelumnya.
Dia bilang, “Mereka juga dokter. Saya juga dokter.
Bedanya hanya dalam cara menanganinya.”
Dia pun segera memberi saya obat sambil bertanya, “Sendirian
ke sini? Tidak ditemani orang lagi?”
Kali ini saya yang tersenyum. Bayangkan, saya sebulan
lebih ditemani orang-orang untuk berobat kesana-kemari, tetapi ketika berobat
kepadanya hanya satu kali ditemani dan kedua kalinya saya bisa sendirian.
Ketika saya datang yang ketiga kalinya, dia marah bukan
main, “Kenapa datang lagi? Kamu tidak sadar kamu harus bekerja? Sudah, jangan
punya pikiran macam-macam! Nih, saya kasih obat lagi! Kamu tahu ini obat apa?
Ini obat penenang!”
Saya memang datang lagi ketiga kalinya karena masih
merasa lemah. Memang mungkin biasa kalau setelah sakit parah, suka terasa letih
dan lelah dalam masa proses penyembuhan. Orang Sunda bilang, tinggal capena.
Dokter itu cukup marah karena saya datang lagi, padahal sudah
sembuh dan sebenarnya memang sudah sembuh hanya dengan dua kali datang tanpa
perlu rawat inap. Saya hanya merasa masih lelah.
Oke, kalau begitu, tinggal satu lagi untuk menyempurnakan
kesembuhan saya, yaitu ke rumah Pak Haji Cigebar. Di rumah Pak Haji saya diturih, kalau bahasa sekarang dibekam. Bedanya hanya dari alatnya.
Kalau bekam, alatnya lebih modern, sedangkan turih, alatnya tradisional.
Prinsipnya sama, yaitu membuang darah kotor dari dalam tubuh karena darah kotor
itu sebenarnya ingin keluar dari tubuh, tetapi tidak ada jalan. Karena tidak
ada jalan, darah kotor yang mencari jalan keluar itu pun berubah menjadi
penyakit dalam tubuh. Oleh sebab itu, saya membuang darah kotor itu dari kedua
pelipis, tengkuk, pundak, dan kedua pangkal lengan.
Nabi Muhammad saw pun menyarankan untuk sering membekam
diri di seputar tengkuk, pundak, dan leher
bagian belakang.
Setelah dari rumah Pak Haji Cigebar di Kabupaten Bandung,
saya benar-benar merasa sehat secara sempurna. Alhamdulillah.
O ya, dokter yang saya kenal dengan baik itu pernah Curhat
sama saya soal obat-obatan. Dia ceritera kalau saat itu sedang bermusuhan
dengan tetangganya satu RW yang memiliki apotik besar. Dia pernah ditawari obat
dari apotik itu, tetapi harganya sangat mahal. Adapun dia tidak ingin
memberatkan pasiennya. Oleh sebab itu, ia menolaknya. Ia lebih memilih apotik
yang memiliki obat murah dan obatnya manjur. Ia punya daftar apotik dan rekanan
lainnya yang harganya murah, tetapi berkualitas sangat baik. Ia sangat
menyayangi pasiennya.
“Lebih baik bermusuhan meskipun dengan tetangga sendiri
daripada harus merugikan pasien,” katanya.
Dokter ini cukup terkenal di Kota Bandung. Bahkan,
pasiennya datang dari mana-mana, seperti, Cirebon, Indramayu, Cianjur, dan lain
sebagainya. Rumahnya di daerah Buahbatu, Bandung. Cari aja. Bahkan, tukang
becak di sana sudah sangat hapal. Sebenarnya, dokter di komplek besar itu
banyak, bukan hanya dia. Akan tetapi, jika kita minta diantar oleh tukang becak
untuk mencari dokter, pasti tukang becak mengantarkan ke dokter yang itu, bukan
ke dokter yang lain.
Bilang saja, “Mang
ka Dokter.”
Tukang becak pun
tidak akan ke mana-mana arahnya, selalu ke dokter yang itu.
Mengawali
Berobat dengan Gratisan
Saya ini dari kecil diajari
oleh ayah saya tentang cara berobat.
Ayah saya bilang, “Kalau
kamu merasa sakit, tidurlah. Kalau sudah tidur masih belum sembuh, mandi yang
baik. Kalau sudah mandi belum juga sembuh, pergi ke Puskesmas. Kalau masih
belum sembuh juga, pergi ke dokter praktik. Kalau tidak sembuh juga, baru ke
rumah sakit.”
Ayah saya mengajari
seperti itu dengan maksud agar saya dan seluruh keluarga tidak terlalu
bergantung pada obat. Ayah saya lebih suka membiarkan antibodi tubuh manusia
untuk melawan penyakit terlebih dahulu. Jika belum sembuh, gunakan obat murah,
yaitu obat dari Puskesmas.
Memang obat Puskesmas pada masa lalu itu di samping murah
dan memang murahan, juga lucu. Soalnya, penyakit apa pun obatnya itu-itu juga.
Kalau dilihat, hampir 90% pasien yang datang ke Puskesmas ketika pulang selalu
membawa obat yang sama, padahal penyakitnya berbeda-beda. Mereka yang sakit
kepala, obatnya itu. Yang sakit eksim, obatnya itu. Yang penyakit jantung, itu
juga. Yang sakit perut, masih itu. Yang jatuh dan terkilir, obatnya itu. Yang
jerawatan, obatnya itu. Yang sakit punggung, obatnya masih sama. Yang encok,
juga obatnya itu. Yang susah tidur, obatnya itu. Yang panu, kudis, kurap,
gatal-gatal, dan jamuran, obatnya pun itu juga. Yang batuk dan pilek apalagi
selalu selalu sama. Akan tetapi, bagi ayah saya dan juga saya, itu semua tidak
penting. Yang penting adalah sembuh.
Teman saya pernah berkelakar, “Kamu sembuh? Manjur!”
Adapun teman saya yang pernah jadi sales obat bilang, “Obat
itu bukan soal mahal dan murah, tetapi cocok.”
Akan tetapi, berbeda dengan sekarang. Puskesmas sekarang
sudah lebih baik, terutama di kota-kota besar. Fasilitasnya lebih lengkap,
dokternya lebih pintar-pintar, dan obatnya lebih baik dan lebih bervariasi
bergantung dari penyakit yang diderita pasien. Bahkan, ada poster larangan
untuk menggunakan obat yang sama secara bersama karena setiap orang memiliki
karakteristik penyakit yang berbeda-beda meskipun penyakit yang diderita
rasanya seperti sama. Artinya, pelayanan kesehatan di Puskesmas sekarang sudah
jauh lebih baik. Saya sangat tahu itu karena sampai sekarang pun saya selalu
mematuhi ajaran ayah saya agar tubuh saya tidak bergantung obat-obatan dan kalau
terpaksa harus minum obat, harus mengawali berobat dengan yang gratisan atau
murah di Puskesmas.
Orang-orang yang kebanyakan gaya dan sok kaya suka
menyindir, “Masa ke Puskesmas sih? Ke dokter dong.”
Maksud mereka ke dokter itu adalah dokter praktik yang
pasti harganya lebih mahal dan obatnya juga jauh lebih mahal. Saya sering
mendapatkan ejekan seperti itu. Akan tetapi, saya tidak peduli.
Untuk apa berobat dengan harga mahal jika dengan yang
murah saja sudah sembuh?
Sesungguhnya, kebiasaan menggunakan obat-obatan mahal itu
lumayan berbahaya. Kalau tubuh kita sudah terbiasa dengan menggunakan obat
mahal, tetapi suatu ketika tidak memiliki uang untuk berobat ke tempat yang
mahal dan terpaksa harus menggunakan obat yang murah, tubuh kita menjadi kebal
atau apa itu istilahnya, immum. Tubuh
kita tidak mampu berkolaborasi dengan obat murah. Akibatnya, penyakit tak
kunjung hilang karena harus menggunakan obat mahal, sementara uang tidak ada.
Lebih jauhnya, karena ingin sembuh, pinjam uang sana-sini, jual ini-itu, atau
minta-minta sumbangan kesana-kemari. Itu namanya benar-benar tragedy!
Berbeda dengan jika
terbiasa menggunakan obat murah, lalu tidak sembuh, kemudian menggunakan obat
mahal, penyakit pun bisa segera diusir, dan sehat lebih cepat. Ini pengalaman.
Ketika obat Puskesmas tidak mampu menyembuhkan, obat mahal dengan cepat
menyelesaikan masalah. Jadi, tidak perlu pinjam sana-sini atau minta sumbangan
ke mana-mana. Tidak perlu mengalami tragedi. Hidup bisa lebih hemat. Itu
namanya menyelesaikan masalah tanpa
masalah.
Kok mirip pegadaian ya?
Biarinlah. Yang penting sembuh dan sehat.
Saya sungguh tidak bisa mengerti mengapa masih sangat
banyak orang yang mengejek Puskesmas dan obat-obat dari pemerintah yang
sesungguhnya kualitasnya bagus, murah malah gratis, dan menyembuhkan?
Apabila mereka yang masih memandang sebelah mata terhadap
kualitas Puskesmas dan obat dalam negeri disebabkan banyak gaya dan sok kaya,
itu pertanda mereka memang memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Mereka itu
mirip-mirip dengan Kormod, ‘korban
mode’, atau korban isu dan korban iklan. Mereka inilah yang biasanya terjerumus
dalam tragedi. Merekalah yang sangat mudah dijebak oleh para penjual obat penipu
dan oknum tenaga medis yang juga penipu.
Apabila mereka tidak percaya obat pemerintah dan
Puskesmas karena kurang pemahaman, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab
pemerintah untuk menerangkan kepada masyarakat. Pemerintah harus gencar
menyosialisasikan hal ini agar di samping indeks kesehatan manusia Indonesia
bisa lebih sehat, juga masyarakat bisa lebih hemat.
Kedua hal ini, yaitu banyak gaya sok kaya dan kurang
pengetahuan tampaknya memang ada di masyarakat kita. Teman-teman yang sering
membantu saya bekerja pun banyak yang tidak tahu Puskesmas dan masih menganggap
rendah obat-obatan dalam negeri.
Ketika ada teman saya yang mengeluh sakit tidak bisa
bekerja dan meminjam uang, saya tanya, “Kamu sakit apa?”
Setelah dia menjelaskan keluhannya, saya bilang, “Ke
Puskesmas. Sudah tahu nggak punya uang, pengen ke dokter mahal.”
Dia mengernyitkan dahi tanda tidak percaya saya
mengatakan hal itu, “Masa ke Puskesmas sih?”
“Memangnya kenapa dengan Puskesmas? Saya juga kalau
sakit, ke Puskesmas.”
Dia makin tidak percaya kalau saya sakit, ke Puskesmas.
Wajar jika mereka tidak percaya karena saya yang menggaji mereka, saya yang
memberi mereka makan siang, saya pula yang mengumpulkan uang untuk THR mereka,
saya juga tempat mereka meminjam uang. Memang saya kalau sakit dan ada waktu
selalu ke Puskesmas, kecuali kalau terlalu sibuk. Kalau ke Puskesmas kan harus
antri cukup lama dan berada dalam kerumunan orang-orang dari lapisan ekonomi
cukup lemah dengan rupa-rupa sikap dan macam-macam bau. Bagi saya hal-hal
seperti itu sama sekali bukan masalah karena saya gemar menulis. Berada di
tengah-tengah orang banyak sama artinya memiliki banyak bahan untuk ditulis dan
dibagi dengan para pembaca. Yang penting sembuh.
“Pinjam uang dong, empat ratus ribu,” katanya merengek
karena memang dia perempuan.
Saya bilang, “Ke Puskesmas. Murah. Kalau kamu punya KTP,
gratis.”
“Saya tidak tahu di mana Puskesmasnya.”
“Tanya sama tetangga.”
“Tetangga saya jarang ada di rumah.”
“Tanya sama RT. Dia pasti tahu.”
Besoknya, dia bikin status di BBM, “Antriiiiiiiiiii….”
Dia pasti sedang di
Puskesmas. Biarin saja supaya dapat pengalaman. Lagian, siangnya dia datang
bekerja seperti biasa dan tampak sembuh. Manjur!
Tanggung
Jawab Bersama
Tanggung jawab atas
kesehatan bersama adalah kita semua. Masyarakat jangan mudah tertipu isu atau
termakan iklan dengan merendahkan obat-obatan dalam negeri yang dinyatakan sama
kualitasnya atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan luar negeri. Jangan
terlalu memuji-muji orang asing dan produk asing. Jangan sok gaya atau sok kaya
dengan berobat ke tempat mahal dan obat mahal jika bisa disembuhkan di tempat
murah bahkan gratis dengan obat yang juga murah dan gratis. Hiduplah secara
sehat dan jangan mudah menggantungkan diri pada obat-obatan.
Bukankah mencegah
itu lebih mudah daripada mengobati?
Lupa ada nasihat itu ya?
Jangan sedikit-sedikit berobat, sedikit-sedikit berobat.
Itu berbahaya bagi kesehatan.
Para dokter harus kuat iman dan kembali pada kemuliaan
kedokteran untuk kemuliaan manusia juga. Jangan fokus pada fee atas penjualan barang apa pun dalam dunia medis. Fokus saja
pada pekerjaan dan pengabdian pada kemanusiaan. Dengan demikian, para dokter
akan menjadi makhluk-makhluk mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan
Allah swt. Jangan merendahkan diri dengan cara merayu pasien untuk membeli obat
tertentu, pergi ke laboratorium tertentu, atau menyarankan pengobatan tertentu
hanya untuk mendapatkan fee dari
hal-hal itu. Muliakanlah diri dengan setia pada kebaikan dan kemuliaan manusia.
Allah swt akan memberikan anugerah dari
jalan yang tidak disangka-sangka dan menyenangkan jika tetap melangkah
dalam koridor kemanusiaan dan bukan dalam rangka pengumpulan uang melalui
cara-cara haram dan meragukan.
Demikian pula pemerintah harus lebih menyosialisasikan
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan murah, gratis, dan terjamin jika memang
sudah sangat yakin dengan keberhasilannya. Dengan demikian, masyarakat akan
lebih memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih baik. Peredaran vaksin
palsu sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah telah berhasil meyakinkan
masyarakat bahwa obat-obatan yang diproduksi di dalam negeri sama kualitasnya
dengan yang diproduksi di luar negeri atau bahkan lebih baik. Dengan demikian,
kelangkaan obat impor sama sekali tidak akan memicu para penjahat untuk
memalsukan obat-obat itu. Pemalsuan vaksin itu kan terjadi karena banyaknya
masyarakat yang tidak percaya obat pemerintah dan sangat percaya obat asing
yang entah karena disebabkan sok gaya, sok kaya, atau kurang pengetahuan.
Ketika terjadi kelangkaan obat impor itulah para penjahat mengendus adanya
lahan bisnis menguntungkan dengan melakukan pemalsuan. Di samping itu,
pemerintah pun berkewajiban menjaga masyarakat dari praktik-praktik curang yang
bisa dilakukan oleh para tenaga medis berikut rumah sakitnya. Hal yang tak
kalah pentingnya adalah penegakkan hukum terhadap mereka yang melakukan
kejahatan di dunia medis harus benar-benar dilakukan.
Mudah-mudahan kita semua semakin pintar, semakin bijak,
dan semakin sehat. Amin.
No comments:
Post a Comment