Wednesday, 20 July 2016

Percaya Obat Asing Jadi Penyakit

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Heboh soal vaksin palsu yang membuat Indonesia heboh sebenarnya berawal dari persoalan yang sangat sederhana. Teramat sederhana sesungguhnya. Hal itu berawal dari kebiasaan masyarakat yang terlalu percaya pada orang asing dan produk-produk asing. Apa pun yang datang dari luar negeri selalu dianggap lebih bagus. Itulah penyakit masyarakat yang sebenarnya.

            Mereka yang menjadi korban vaksin palsu adalah mereka yang sangat mengagumi obat-obat luar negeri dan tidak mempercayai obat-obatan produksi dalam negeri. Vaksin yang dipalsukan adalah obat-obat impor yang berasal dari luar negeri, bukan yang diproduksi di dalam negeri. Tak satu pun masyarakat yang mengonsumsi vaksin dalam negeri menjadi bertambah parah penyakitnya atau menjadi korban vaksin palsu. Mereka baik-baik saja.

            Pernyataan Ketua Komisi 9 Dede Yusuf yang artis dan pernah menjadi Wagub Jawa Barat itu sungguh sangat mencerahkan, “Sebenarnya, vaksin yang diproduksi di dalam negeri sangat berlimpah dan sangat murah, bahkan digratiskan. Persoalan vaksin palsu adalah disebabkan masyarakat sangat percaya terhadap obat-obat impor dan mereka lebih suka membeli dengan harga mahal. Ada yang tiga ratus ribu, lima ratus ribu, sampai satu juta rupiah. Padahal isi obat itu sama dengan yang diproduksi Bio Farma di dalam negeri.”

            Pernyataan Dede Yusuf tidak ada yang membantah dan justru menjelaskan segalanya. Memang persoalan obat dan kesehatan ini sudah terjadi sejak lama, bahkan ketika saya masih sangat kecil pun selalu mendengar hal ini. Baik obat-obatan, fasilitas kesehatan, bahkan kualitas dokter dalam negeri pun dianggap sangat rendah dibandingkan yang berasal dari luar negeri. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Bolehlah pada masa lalu ketika Indonesia masih zaman awal-awal kemerdekaan memang mungkin masih sangat terbelakang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman segalanya berubah lebih baik dan terus diupayakan dengan lebih baik lagi. Banyak pasien yang mati di rumah sakit Singapura setelah menjalani operasi atau perawatan, padahal menurut dokter-dokter di Indonesia penyakit seperti itu banyak disembuhkan di Indonesia. Contohnya, pernah terjadi kembar siam dari Iran dipisahkan di rumah sakit Singapura, hasilnya mereka mati. Menurut dokter RS Hasan Sadikin Bandung, operasi semacam itu di Indonesia banyak yang sukses karena tergolong operasi yang mudah. Adapula klinik-klinik yang menggunakan dokter-dokter luar negeri ternyata ditutup oleh pemerintah Indonesia karena banyak masalah dan merugikan pasien.

            Entah kenapa banyak masyarakat Indonesia yang sangat gandrung dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Padahal, Indonesia sendiri sudah sangat berkembang dibandingkan masa lalu.

            Pandangan keliru mengenai obat dan kesehatan di Indonesia mungkin masih merupakan sisa-sisa dari pandangan masa lalu ketika masih dalam zaman awal kemerdekaan. Pandangan itu berlanjut sampai hari ini.

            Bisa pula karena dihembus-hembuskan oleh oknum-oknum petugas medis, termasuk dokter karena mereka mendapatkan fee dari penjualan obat-obat luar negeri atas dasar rekomendasi mereka. Saya punya teman yang pernah menjadi sales obat. Dia sering berceritera tentang pengalamannya menjual obat kepada para dokter. Ketika pertama kali dia menawarkan obat pada dokter yang baru ditemuinya, biasanya dokter itu merendahkan obat yang ditawarkan teman saya.

            Dokter itu bilang, “Obat apa ini? Tidak manjur!”

            Akan tetapi, teman saya itu sudah berpengalaman bahwa penolakan dokter itu hanya modus. Ia segera mencari tahu hobi atau kegemaran dokter itu. Kalau dokter itu hobi golf, ia segera memberi hadiah stik golf yang bagus dan mahal. Kalau dokternya gemar bulu tangkis, raket yang mahal dan istimewa yang dihadiahkan. Terkadang pula teman saya mencari tahu nomor rekening Sang Dokter, lalu mengisinya dengan sejumlah uang.

            Setelah hadiah diterima oknum dokter, teman saya pun segera menghubunginya lagi. Biasanya, hubungannya menjadi sangat lebih baik yang dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, kemudian melakukan transaksi.

            Bayangkan, obat yang tadinya dibilang berkualitas rendah dan disebut tidak manjur, akhirnya dibeli untuk didistribusikan pada pasien-pasiennya.

            Perilaku macam apa itu?

            Sudahlah, para dokter tidak perlu protes, tersinggung, bahkan marah terhadap saya atas tulisan ini. Hal ini terjadi kok. Teman saya masih hidup, tetapi sudah tidak lagi menjadi sales obat. Dia sudah memiliki profesi lain.

            Tentu saja tidak semua dokter seperti itu. Banyak sekali dokter yang baik dan setia terhadap sumpah dan cita-citanya untuk memberikan kesehatan kepada manusia dan mengabdi pada kebenaran. Saya pun mengenal dokter yang sangat baik dan sangat sayang kepada para pasiennya. Kami berteman dekat. Ketika saya sakit parah dan disarankan oleh dokter rumah sakit untuk rawat inap, saya menolak. Saya menolak karena saya tidak mau merepotkan orang-orang yang sehat. Kalau saya harus menjalani rawat inap, akan ada banyak orang yang bergiliran menemani saya di rumah sakit dan itu merepotkan mereka. Saya memilih berobat jalan meskipun harus tetap ditemani orang lain karena untuk berjalan normal saja sangat susah. Dokter rumah sakit yang menyarankan saya untuk rawat inap adalah dokter kedua yang menangani saya setelah saya menghentikan pengobatan dokter yang sebelumnya. Lebih dari satu bulan saya sakit parah. Karena dokter rumah sakit itu menyarankan rawat inap, saya pun beralih ke dokter lain, yaitu dokter yang saya kenal sangat baik dan praktik di rumahnya. Saya sungguh heran kenapa saya bisa melupakan dokter yang satu ini, padahal sudah saya kenal baik sejak lama. Ketika saya mendatanginya, saya ceriterakan pengalaman dengan dokter-dokter sebelumnya dan saya ceriterakan pula kekecewaan saya. Dia hanya tersenyum dan tampak mengenali penyakit yang saya derita.

            Ia pun segera memberi obat sambil berkata, “Kalau obat ini sudah habis, segera kembali lagi ke sini.”

            Saya pun menurut.

            Ketika datang lagi kedua kalinya, saya sudah tidak lagi ditemani orang lain. Saya sudah bisa berjalan normal.

            Dia sungguh dokter yang baik. Di samping memberikan perawatan yang baik, dia pun tidak menyalahkan dokter yang menangani saya sebelumnya.

            Dia bilang, “Mereka juga dokter. Saya juga dokter. Bedanya hanya dalam cara menanganinya.”

            Dia pun segera memberi saya obat sambil bertanya, “Sendirian ke sini? Tidak ditemani orang lagi?”

            Kali ini saya yang tersenyum. Bayangkan, saya sebulan lebih ditemani orang-orang untuk berobat kesana-kemari, tetapi ketika berobat kepadanya hanya satu kali ditemani dan kedua kalinya saya bisa sendirian.

            Ketika saya datang yang ketiga kalinya, dia marah bukan main, “Kenapa datang lagi? Kamu tidak sadar kamu harus bekerja? Sudah, jangan punya pikiran macam-macam! Nih, saya kasih obat lagi! Kamu tahu ini obat apa? Ini obat penenang!”

            Saya memang datang lagi ketiga kalinya karena masih merasa lemah. Memang mungkin biasa kalau setelah sakit parah, suka terasa letih dan lelah dalam masa proses penyembuhan. Orang Sunda bilang, tinggal capena.

            Dokter itu cukup marah karena saya datang lagi, padahal sudah sembuh dan sebenarnya memang sudah sembuh hanya dengan dua kali datang tanpa perlu rawat inap. Saya hanya merasa masih lelah.

            Oke, kalau begitu, tinggal satu lagi untuk menyempurnakan kesembuhan saya, yaitu ke rumah Pak Haji Cigebar. Di rumah Pak Haji saya diturih, kalau bahasa sekarang dibekam. Bedanya hanya dari alatnya. Kalau bekam, alatnya lebih modern, sedangkan turih, alatnya tradisional. Prinsipnya sama, yaitu membuang darah kotor dari dalam tubuh karena darah kotor itu sebenarnya ingin keluar dari tubuh, tetapi tidak ada jalan. Karena tidak ada jalan, darah kotor yang mencari jalan keluar itu pun berubah menjadi penyakit dalam tubuh. Oleh sebab itu, saya membuang darah kotor itu dari kedua pelipis, tengkuk, pundak, dan kedua pangkal lengan.

            Nabi Muhammad saw pun menyarankan untuk sering membekam diri di seputar tengkuk, pundak, dan leher bagian belakang.

            Setelah dari rumah Pak Haji Cigebar di Kabupaten Bandung, saya benar-benar merasa sehat secara sempurna. Alhamdulillah.

            O ya, dokter yang saya kenal dengan baik itu pernah Curhat sama saya soal obat-obatan. Dia ceritera kalau saat itu sedang bermusuhan dengan tetangganya satu RW yang memiliki apotik besar. Dia pernah ditawari obat dari apotik itu, tetapi harganya sangat mahal. Adapun dia tidak ingin memberatkan pasiennya. Oleh sebab itu, ia menolaknya. Ia lebih memilih apotik yang memiliki obat murah dan obatnya manjur. Ia punya daftar apotik dan rekanan lainnya yang harganya murah, tetapi berkualitas sangat baik. Ia sangat menyayangi pasiennya.

            “Lebih baik bermusuhan meskipun dengan tetangga sendiri daripada harus merugikan pasien,” katanya.

            Dokter ini cukup terkenal di Kota Bandung. Bahkan, pasiennya datang dari mana-mana, seperti, Cirebon, Indramayu, Cianjur, dan lain sebagainya. Rumahnya di daerah Buahbatu, Bandung. Cari aja. Bahkan, tukang becak di sana sudah sangat hapal. Sebenarnya, dokter di komplek besar itu banyak, bukan hanya dia. Akan tetapi, jika kita minta diantar oleh tukang becak untuk mencari dokter, pasti tukang becak mengantarkan ke dokter yang itu, bukan ke dokter yang lain.

            Bilang saja, “Mang ka Dokter.”

            Tukang becak pun tidak akan ke mana-mana arahnya, selalu ke dokter yang itu.


Mengawali Berobat dengan Gratisan

Saya ini dari kecil diajari oleh ayah saya tentang cara berobat.

            Ayah saya bilang, “Kalau kamu merasa sakit, tidurlah. Kalau sudah tidur masih belum sembuh, mandi yang baik. Kalau sudah mandi belum juga sembuh, pergi ke Puskesmas. Kalau masih belum sembuh juga, pergi ke dokter praktik. Kalau tidak sembuh juga, baru ke rumah sakit.”

            Ayah saya mengajari seperti itu dengan maksud agar saya dan seluruh keluarga tidak terlalu bergantung pada obat. Ayah saya lebih suka membiarkan antibodi tubuh manusia untuk melawan penyakit terlebih dahulu. Jika belum sembuh, gunakan obat murah, yaitu obat dari Puskesmas.

            Memang obat Puskesmas pada masa lalu itu di samping murah dan memang murahan, juga lucu. Soalnya, penyakit apa pun obatnya itu-itu juga. Kalau dilihat, hampir 90% pasien yang datang ke Puskesmas ketika pulang selalu membawa obat yang sama, padahal penyakitnya berbeda-beda. Mereka yang sakit kepala, obatnya itu. Yang sakit eksim, obatnya itu. Yang penyakit jantung, itu juga. Yang sakit perut, masih itu. Yang jatuh dan terkilir, obatnya itu. Yang jerawatan, obatnya itu. Yang sakit punggung, obatnya masih sama. Yang encok, juga obatnya itu. Yang susah tidur, obatnya itu. Yang panu, kudis, kurap, gatal-gatal, dan jamuran, obatnya pun itu juga. Yang batuk dan pilek apalagi selalu selalu sama. Akan tetapi, bagi ayah saya dan juga saya, itu semua tidak penting. Yang penting adalah sembuh.

            Teman saya pernah berkelakar, “Kamu sembuh? Manjur!”

            Adapun teman saya yang pernah jadi sales obat bilang, “Obat itu bukan soal mahal dan murah, tetapi cocok.”

            Akan tetapi, berbeda dengan sekarang. Puskesmas sekarang sudah lebih baik, terutama di kota-kota besar. Fasilitasnya lebih lengkap, dokternya lebih pintar-pintar, dan obatnya lebih baik dan lebih bervariasi bergantung dari penyakit yang diderita pasien. Bahkan, ada poster larangan untuk menggunakan obat yang sama secara bersama karena setiap orang memiliki karakteristik penyakit yang berbeda-beda meskipun penyakit yang diderita rasanya seperti sama. Artinya, pelayanan kesehatan di Puskesmas sekarang sudah jauh lebih baik. Saya sangat tahu itu karena sampai sekarang pun saya selalu mematuhi ajaran ayah saya agar tubuh saya tidak bergantung obat-obatan dan kalau terpaksa harus minum obat, harus mengawali berobat dengan yang gratisan atau murah di Puskesmas.

            Orang-orang yang kebanyakan gaya dan sok kaya suka menyindir, “Masa ke Puskesmas sih? Ke dokter dong.”

            Maksud mereka ke dokter itu adalah dokter praktik yang pasti harganya lebih mahal dan obatnya juga jauh lebih mahal. Saya sering mendapatkan ejekan seperti itu. Akan tetapi, saya tidak peduli.

            Untuk apa berobat dengan harga mahal jika dengan yang murah saja sudah sembuh?

            Sesungguhnya, kebiasaan menggunakan obat-obatan mahal itu lumayan berbahaya. Kalau tubuh kita sudah terbiasa dengan menggunakan obat mahal, tetapi suatu ketika tidak memiliki uang untuk berobat ke tempat yang mahal dan terpaksa harus menggunakan obat yang murah, tubuh kita menjadi kebal atau apa itu istilahnya, immum. Tubuh kita tidak mampu berkolaborasi dengan obat murah. Akibatnya, penyakit tak kunjung hilang karena harus menggunakan obat mahal, sementara uang tidak ada. Lebih jauhnya, karena ingin sembuh, pinjam uang sana-sini, jual ini-itu, atau minta-minta sumbangan kesana-kemari. Itu namanya benar-benar tragedy!

            Berbeda dengan jika terbiasa menggunakan obat murah, lalu tidak sembuh, kemudian menggunakan obat mahal, penyakit pun bisa segera diusir, dan sehat lebih cepat. Ini pengalaman. Ketika obat Puskesmas tidak mampu menyembuhkan, obat mahal dengan cepat menyelesaikan masalah. Jadi, tidak perlu pinjam sana-sini atau minta sumbangan ke mana-mana. Tidak perlu mengalami tragedi. Hidup bisa lebih hemat. Itu namanya menyelesaikan masalah tanpa masalah.

            Kok mirip pegadaian ya?

            Biarinlah. Yang penting sembuh dan sehat.

            Saya sungguh tidak bisa mengerti mengapa masih sangat banyak orang yang mengejek Puskesmas dan obat-obat dari pemerintah yang sesungguhnya kualitasnya bagus, murah malah gratis, dan menyembuhkan?

            Apabila mereka yang masih memandang sebelah mata terhadap kualitas Puskesmas dan obat dalam negeri disebabkan banyak gaya dan sok kaya, itu pertanda mereka memang memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Mereka itu mirip-mirip dengan Kormod, ‘korban mode’, atau korban isu dan korban iklan. Mereka inilah yang biasanya terjerumus dalam tragedi. Merekalah yang sangat mudah dijebak oleh para penjual obat penipu dan oknum tenaga medis yang juga penipu.

            Apabila mereka tidak percaya obat pemerintah dan Puskesmas karena kurang pemahaman, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menerangkan kepada masyarakat. Pemerintah harus gencar menyosialisasikan hal ini agar di samping indeks kesehatan manusia Indonesia bisa lebih sehat, juga masyarakat bisa lebih hemat.

            Kedua hal ini, yaitu banyak gaya sok kaya dan kurang pengetahuan tampaknya memang ada di masyarakat kita. Teman-teman yang sering membantu saya bekerja pun banyak yang tidak tahu Puskesmas dan masih menganggap rendah obat-obatan dalam negeri.

            Ketika ada teman saya yang mengeluh sakit tidak bisa bekerja dan meminjam uang, saya tanya, “Kamu sakit apa?”

            Setelah dia menjelaskan keluhannya, saya bilang, “Ke Puskesmas. Sudah tahu nggak punya uang, pengen ke dokter mahal.”

            Dia mengernyitkan dahi tanda tidak percaya saya mengatakan hal itu, “Masa ke Puskesmas sih?”

            “Memangnya kenapa dengan Puskesmas? Saya juga kalau sakit, ke Puskesmas.”

            Dia makin tidak percaya kalau saya sakit, ke Puskesmas. Wajar jika mereka tidak percaya karena saya yang menggaji mereka, saya yang memberi mereka makan siang, saya pula yang mengumpulkan uang untuk THR mereka, saya juga tempat mereka meminjam uang. Memang saya kalau sakit dan ada waktu selalu ke Puskesmas, kecuali kalau terlalu sibuk. Kalau ke Puskesmas kan harus antri cukup lama dan berada dalam kerumunan orang-orang dari lapisan ekonomi cukup lemah dengan rupa-rupa sikap dan macam-macam bau. Bagi saya hal-hal seperti itu sama sekali bukan masalah karena saya gemar menulis. Berada di tengah-tengah orang banyak sama artinya memiliki banyak bahan untuk ditulis dan dibagi dengan para pembaca. Yang penting sembuh.

            “Pinjam uang dong, empat ratus ribu,” katanya merengek karena memang dia perempuan.

            Saya bilang, “Ke Puskesmas. Murah. Kalau kamu punya KTP, gratis.”

            “Saya tidak tahu di mana Puskesmasnya.”

            “Tanya sama tetangga.”

            “Tetangga saya jarang ada di rumah.”

            “Tanya sama RT. Dia pasti tahu.”

            Besoknya, dia bikin status di BBM, “Antriiiiiiiiiii….”

            Dia pasti sedang di Puskesmas. Biarin saja supaya dapat pengalaman. Lagian, siangnya dia datang bekerja seperti biasa dan tampak sembuh. Manjur!


Tanggung Jawab Bersama

Tanggung jawab atas kesehatan bersama adalah kita semua. Masyarakat jangan mudah tertipu isu atau termakan iklan dengan merendahkan obat-obatan dalam negeri yang dinyatakan sama kualitasnya atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan luar negeri. Jangan terlalu memuji-muji orang asing dan produk asing. Jangan sok gaya atau sok kaya dengan berobat ke tempat mahal dan obat mahal jika bisa disembuhkan di tempat murah bahkan gratis dengan obat yang juga murah dan gratis. Hiduplah secara sehat dan jangan mudah menggantungkan diri pada obat-obatan.

            Bukankah mencegah itu lebih mudah daripada mengobati?

            Lupa ada nasihat itu ya?

            Jangan sedikit-sedikit berobat, sedikit-sedikit berobat. Itu berbahaya bagi kesehatan.

            Para dokter harus kuat iman dan kembali pada kemuliaan kedokteran untuk kemuliaan manusia juga. Jangan fokus pada fee atas penjualan barang apa pun dalam dunia medis. Fokus saja pada pekerjaan dan pengabdian pada kemanusiaan. Dengan demikian, para dokter akan menjadi makhluk-makhluk mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah swt. Jangan merendahkan diri dengan cara merayu pasien untuk membeli obat tertentu, pergi ke laboratorium tertentu, atau menyarankan pengobatan tertentu hanya untuk mendapatkan fee dari hal-hal itu. Muliakanlah diri dengan setia pada kebaikan dan kemuliaan manusia. Allah swt akan memberikan anugerah dari jalan yang tidak disangka-sangka dan menyenangkan jika tetap melangkah dalam koridor kemanusiaan dan bukan dalam rangka pengumpulan uang melalui cara-cara haram dan meragukan.

            Demikian pula pemerintah harus lebih menyosialisasikan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan murah, gratis, dan terjamin jika memang sudah sangat yakin dengan keberhasilannya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih baik. Peredaran vaksin palsu sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah telah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa obat-obatan yang diproduksi di dalam negeri sama kualitasnya dengan yang diproduksi di luar negeri atau bahkan lebih baik. Dengan demikian, kelangkaan obat impor sama sekali tidak akan memicu para penjahat untuk memalsukan obat-obat itu. Pemalsuan vaksin itu kan terjadi karena banyaknya masyarakat yang tidak percaya obat pemerintah dan sangat percaya obat asing yang entah karena disebabkan sok gaya, sok kaya, atau kurang pengetahuan. Ketika terjadi kelangkaan obat impor itulah para penjahat mengendus adanya lahan bisnis menguntungkan dengan melakukan pemalsuan. Di samping itu, pemerintah pun berkewajiban menjaga masyarakat dari praktik-praktik curang yang bisa dilakukan oleh para tenaga medis berikut rumah sakitnya. Hal yang tak kalah pentingnya adalah penegakkan hukum terhadap mereka yang melakukan kejahatan di dunia medis harus benar-benar dilakukan.

            Mudah-mudahan kita semua semakin pintar, semakin bijak, dan semakin sehat. Amin.

No comments:

Post a Comment