Saturday 30 July 2016

Rusuh di Tanjung Balai Tanda Kurang Kontrol Diri

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Huru-hara atau kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara itu sungguh memalukan bagi bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai dan budaya yang luhur. Ketinggian budaya dan nilai itu sesungguhnya sudah sejak berabad lalu diajarkan para leluhur Indonesia. Kerusuhan yang tidak perlu merupakan pertanda bahwa masih banyak orang Indonesia yang tidak menghargai wasiat leluhurnya untuk selalu hidup damai, aman, dan harmonis.

            Sesungguhnya, ada banyak hal yang tidak matching dengan nilai-nilai toleransi dari kasus tersebut. Kita memang tidak mengetahui secara detail kerusuhan tersebut. Pengetahuan kita hanya berdasarkan berita yang beredar di sana-sini. Berdasarkan berita-berita tersebut, ada beberapa hal yang mereka lewatkan dalam menyelesaikan permasalahan.

            Pertama, Meliana seorang keturunan Cina yang tinggal dekat sekali dengan masjid merasa terganggu oleh volume suara adzan. Dia minta dikecilkan pada Nazir yang berada di masjid tersebut. Menurut Nazir, Meliana sudah berulang kali meminta hal tersebut. Permintaan Meliana tersebut menimbulkan cekcok mulut di antara mereka. Entah apa yang mereka katakan dalam cekcok tersebut sehingga semakin memanas dan meluas.

            Saya melihat Meliana sama sekali kurang bijak dalam meminta pengurus masjid untuk mengecilkan volume. Hal itu disebabkan bahwa adzan itu hanya sebentar, tidak sampai setengah jam. Mungkin lima menit juga tidak. Seharusnya, dia bersabar karena hanya sebentar dan di sana ada banyak mayoritas muslim dan pribumi asli. Sementara itu, dia bukan muslim dan keturunan Cina. Dengan demikian, Meliana kurang bijak dalam bersikap. Dia seolah-olah bersikap “menantang”. Bersikap sabar adalah sudah seharusnya yang dia lakukan sesuai dengan pepatah di mana Bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Artinya, setiap pendatang dan bukan warga pribumi asili wajib hukumnya menghormati adat, budaya, dan agama mayoritas di tempat dia tinggal.

            Kedua, kesalahan Meliana adalah meminta secara langsung pada pengurus masjid untuk mengecilkan volume adzan. Seharusnya, dia berbicara dulu kepada RT, RW, atau tokoh masyarakat setempat agar ada orang yang menjembatani keinginannya sehingga pembicaraan bisa berlangsung lebih tenang dan mudah dipahami. Sekali lagi, dia seharusnya sadar bahwa dirinya bukan muslim dan keturunan Cina. Hal itu merupakan kenyataan yang mudah sekali menimbulkan resistensi. Jika dia berbicara melalui pengurus daerah setempat, mungkin kejadiannya tidak seperti itu. Dia bisa meminta pada pejabat setempat agar berbicara pada pengurus masjid supaya volume adzan bisa dikecilkan karena, misalnya, dia sedang sakit atau ada keluarganya yang sedang sakit dan perlu istirahat lebih banyak sesuai anjuran dokter. Akan tetapi, permintaan itu harus hanya ketika ada yang sakit, tidak selamanya. Hal itu disebabkan adzan itu diperlukan setiap hari dalam volume tinggi agar dapat lebih jauh menjangkau kaum muslimin untuk segera melakukan shalat.

            Ketiga, bisa jadi memang volume adzan di masjid itu terlalu keras dan tinggi sehingga benar-benar mengganggu. Volume adzan yang terlalu tinggi melalui pengeras suara memang kerap mengganggu dan menyakitkan gendang telinga siapa pun. Jadi, bukannya lantunan indah adzan yang terdengar, melainkan teriakan muadzin yang membuat telinga bising bukan main. Jika memang terlalu tinggi dan berlebihan, bukan hanya mengganggu, melainkan pula merusakkan sound system sekaligus pengeras suaranya. Suara yang keluar dari pengeras suara itu menjadi pecah dan tidak terdengar dengan indah. Ini adalah kesalahan dari pengurus masjid kalau seperti itu.

            Saya juga pernah merasa terganggu oleh volume masjid yang terlalu keras dan keterlaluan. Hal yang saya alami memang bukan adzan, melainkan muhasabah dari sebuah masjid dengan suara yang terlalu keras dan dilaksanakan hampir setiap malam sekitar pukul 01.30 s.d. 03.00 dini hari. Acara itu pun dilakukan mereka sambil menangis. Jadi, suara yang keluar dari speaker pecah, terlalu tinggi, dilaksanakan ketika orang-orang sedang tidur, kata-kata yang keluar dari pengeras suara itu pun sangat tidak jelas karena sambil menangis.

            Untuk mengatasi hal itu, beberapa warga yang merasa terganggu seperti saya, berbicara kepada RT, RW, dan tokoh masyarakat setempat. Mereka pun mendatangi masjid tersebut yang memang selalu penuh dengan jamaah. Hasilnya, sangat baik. Mereka tetap bermuhasabah tanpa menggunakan pengeras suara lagi. Orang-orang yang sedang tidur pun tidak terganggu. Jadi, acara terus berjalan dan warga yang tidak ikutan acara tetap bisa tenang istirahat. Hal yang sangat penting adalah tidak ada huru-hara yang terjadi. Semua orang tetap bisa saling menghormati dan menghargai.

            Keempat, cekcok mulut antara Nazir dan Meliana bisa jadi melebar ke mana-mana, malah mungkin menjurus ke persoalan Sara yang sudah tidak ada hubungannya lagi dengan volume sound system. Kita memang tidak tahu apa yang dikatakan mereka. Akan tetapi, seharusnya jika ada yang telah melakukan penghinaan soal Sara, jangan dibalas lagi. Segera laporkan pada polisi karena Indonesia memiliki undang-undang tentang itu. Kalau Meliana yang mulai menghina soal Sara, Nazir lebih baik diam, lalu laporkan pada polisi. Demikian pula sebaliknya, kalau Nazir yang mulai berulah, Meliana tidak perlu banyak tingkah. Segera laporkan pada polisi. Pihak kepolisian pun harus bertindak secepat mungkin dan tidak boleh menanggapi laporan semacam itu dengan “santai” karena bisa memicu huru-hara. Sepertinya, baik Nazir maupun Meliana kurang kontrol terhadap hal itu sehingga cekcok meluas menjadi huru-hara yang membuat Kapolri turun tangan.

            Kelima, kaum muslimin sebagai mayoritas seharusnya sudah jangan mau lagi diadu domba oleh celotehan-celotehan di Medsos. Seharusnya, kaum muslimin bisa lebih tenang dan menenangkan saudara-saudaranya. Protes boleh, demonstrasi boleh, tetapi kalau sudah terjadi pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran, itu berlebihan. Kalaulah celotehan di Medsos itu adalah benar, segera lapor polisi dan dorong polisi untuk bertindak cepat agar situasi yang mungkin akan menjadi tidak terkendali bisa lebih dini dicegah. Kalau polisi dipandang tidak adil dan tidak bekerja cepat, yang harus disalahkan adalah polisi karena itu adalah kelalaian mereka, bukan mencari jalan lain dengan melakukan hal-hal yang tidak perlu.

            Hal yang sangat berbahaya adalah seperti yang sudah sering saya tulis bahwa banyak celotehan di Medsos yang memang bertujuan membuat huru-hara dan kerusuhan untuk menciptakan berita bahwa kaum muslimin Indonesia adalah intoleran. Mereka sengaja melakukannya. Mereka sepertinya jumlahnya banyak, tetapi sebenarnya hanya segelintir orang. Mereka membuat banyak akun di Medsos dengan nama yang berbeda-beda, padahal cuma itu-itu saja. Sering pula mereka membuat postingan yang seolah-olah sedang berdebat antara muslim dan nonmuslim, padahal perdebatan itu cuma “ngarang”. Dia yang menghina Islam, dia juga yang membela Islam sambil menghina agama lain agar orang lain ikut terpancing. Kalau sudah orang lain ikut terpancing, dia mundur dan membiarkan orang lain yang terpancing itu berdebat. Dia senang bukan main, kemudian membuat lagi “perdebatan” untuk memancing pertengkaran pada tempat lain. Mereka sering melakukan hal itu.

            Adik laki-laki saya pernah mencoba menghina Islam “habis-habisan” sehingga menjadi anggota grup atau forum mereka di Medsos. Adik saya mencoba mencari tahu untuk apa mereka melakukan hal itu yang pasti bisa memicu huru-hara. Ternyata, para pembuat provokasi di Medsos itu hanya mencari “uang”. Adik saya berceritera bahwa ada di antara para provokator itu yang mulai “letih” dengan harus memposting berbagai hujatan bernuansa Sara. Beberapa di antara mereka mulai capek karena harus terus-menerus melakukan hal itu. Entah kenapa. Akan tetapi, ketika Adik saya menanyakan apa yang mereka dapatkan dari kelakuannya itu, ternyata mereka mengaku mendapatkan uang. Ternyata ada pihak yang membayar mereka. Bayarannya adalah Rp750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) per bulan. Eh … itu tiga tahun yang lalu. Entah sekarang mereka dibayar berapa setiap bulan. Mungkin honor mereka tambah naik. Yang adik saya tidak tahu adalah siapa yang membayar mereka dan mengapa mereka seolah-olah “tidak bisa berhenti” meskipun sudah mulai capek bikin fitnah di Medsos.

            Jangan mudah terprovokasi Medsos karena bisa jadi kalian sedang dipermainkan. Kalau kita punya masalah yang bisa menjurus ke pertikaian Sara, lapor polisi. Biarkan polisi bekerja karena salah satu pekerjaan mereka adalah untuk mengurus hal-hal seperti itu. Daripada kita sendiri yang harus bikin “perhitungan” terhadap mereka, lebih baik polisi yang menanganinya.

            Dengan mencoba memahami rusuh di Tanjung Balai, kita bisa lebih bijak dan arif jika menemukan masalah yang sama pada masa-masa selanjutnya di tempat-tempat lain. Libatkan tokoh masyarakat dan aparat hukum untuk mengatasinya agar tidak meluas menjadi huru-hara yang memalukan bangsa Indonesia.   


Gangguan Gaib

Kalau Meliana merasa terganggu, sakit, marah, dan kesal ketika mendengar suara adzan, harus disembuhkan dengan menggunakan metode ruqyah. Hal itu disebabkan memang ada banyak orang yang merasa gelisah ketika mendengar adzan. Hal yang pertama mereka rasakan adalah telinga yang terasa sakit, lalu kesal di dada, yang kemudian menjadi kemarahan. Itu tandanya ada gangguan gaib dalam diri mereka. Tubuh mereka menjadi inang jin kafir. Jin-jin itu hidup di dalam tubuh mereka, makan di dalam tubuh mereka, berak dan kencing di tubuh mereka pula, dan benar-benar menguasai hidup mereka. Orang-orang yang terkena gangguan ini banyak dan terdiri atas berbagai agama, termasuk Islam.

            Saya pernah punya teman perempuan yang selalu sakit telinga jika mendengar adzan dan mendengar orang yang sedang mengaji. Dia ingin sembuh. Oleh sebab itu, kalau bertemu dengan saya, dia selalu berusaha duduk lebih dekat pada saya dan ingin saya berceritera tentang “orang-orang baik”, misalnya, sahabat Nabi Muhammad saw, para syekh, para wali, dan orang-orang soleh lainnya. Dia merasa senang dan tenang kalau saya sedang berceritera. Dia sering Curhat selalu sakit gendang telinga jika mendengar adzan dan mendengar orang mengaji. Saya bukan ahlinya, tetapi saya coba sedikit-sedikit membiasakan dia untuk mengucapkan dzikir-dzikir yang mudah sekali-sekali. Sayang sekali, dia keburu ditangkap polisi karena melakukan pemerasan pada pejabat Depag dan sampai sekarang belum pernah ketemu lagi. Kacau.


            Mungkin Meliana juga mengalami hal yang sama, terkena gangguan gaib. Kalau benar begitu, dia harus disembuhkan dan tidak ada cara lain untuk mengobatinya, kecuali ruqyah syar’i.  Kasihan dia.

No comments:

Post a Comment