oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Huru-hara atau kerusuhan di
Tanjung Balai, Sumatera Utara itu sungguh memalukan bagi bangsa Indonesia yang
memiliki nilai-nilai dan budaya yang luhur. Ketinggian budaya dan nilai itu
sesungguhnya sudah sejak berabad lalu diajarkan para leluhur Indonesia.
Kerusuhan yang tidak perlu merupakan pertanda bahwa masih banyak orang
Indonesia yang tidak menghargai wasiat leluhurnya untuk selalu hidup damai,
aman, dan harmonis.
Sesungguhnya, ada banyak hal yang tidak matching dengan nilai-nilai toleransi
dari kasus tersebut. Kita memang tidak mengetahui secara detail kerusuhan
tersebut. Pengetahuan kita hanya berdasarkan berita yang beredar di sana-sini.
Berdasarkan berita-berita tersebut, ada beberapa hal yang mereka lewatkan dalam
menyelesaikan permasalahan.
Pertama, Meliana
seorang keturunan Cina yang tinggal dekat sekali dengan masjid merasa terganggu
oleh volume suara adzan. Dia minta dikecilkan pada Nazir yang berada di masjid
tersebut. Menurut Nazir, Meliana sudah berulang kali meminta hal tersebut.
Permintaan Meliana tersebut menimbulkan cekcok mulut di antara mereka. Entah apa
yang mereka katakan dalam cekcok tersebut sehingga semakin memanas dan meluas.
Saya melihat Meliana sama sekali kurang bijak dalam
meminta pengurus masjid untuk mengecilkan volume. Hal itu disebabkan bahwa
adzan itu hanya sebentar, tidak sampai setengah jam. Mungkin lima menit juga
tidak. Seharusnya, dia bersabar karena hanya sebentar dan di sana ada banyak
mayoritas muslim dan pribumi asli. Sementara itu, dia bukan muslim dan
keturunan Cina. Dengan demikian, Meliana kurang bijak dalam bersikap. Dia
seolah-olah bersikap “menantang”. Bersikap sabar adalah sudah seharusnya yang
dia lakukan sesuai dengan pepatah di mana
Bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Artinya, setiap pendatang dan bukan
warga pribumi asili wajib hukumnya menghormati adat, budaya, dan agama
mayoritas di tempat dia tinggal.
Kedua, kesalahan
Meliana adalah meminta secara langsung pada pengurus masjid untuk mengecilkan
volume adzan. Seharusnya, dia berbicara dulu kepada RT, RW, atau tokoh
masyarakat setempat agar ada orang yang menjembatani keinginannya sehingga
pembicaraan bisa berlangsung lebih tenang dan mudah dipahami. Sekali lagi, dia
seharusnya sadar bahwa dirinya bukan muslim dan keturunan Cina. Hal itu
merupakan kenyataan yang mudah sekali menimbulkan resistensi. Jika dia
berbicara melalui pengurus daerah setempat, mungkin kejadiannya tidak seperti
itu. Dia bisa meminta pada pejabat setempat agar berbicara pada pengurus masjid
supaya volume adzan bisa dikecilkan karena, misalnya, dia sedang sakit atau ada
keluarganya yang sedang sakit dan perlu istirahat lebih banyak sesuai anjuran
dokter. Akan tetapi, permintaan itu harus hanya ketika ada yang sakit, tidak
selamanya. Hal itu disebabkan adzan itu diperlukan setiap hari dalam volume
tinggi agar dapat lebih jauh menjangkau kaum muslimin untuk segera melakukan
shalat.
Ketiga, bisa
jadi memang volume adzan di masjid itu terlalu keras dan tinggi sehingga
benar-benar mengganggu. Volume adzan yang terlalu tinggi melalui pengeras suara
memang kerap mengganggu dan menyakitkan gendang telinga siapa pun. Jadi,
bukannya lantunan indah adzan yang terdengar, melainkan teriakan muadzin yang
membuat telinga bising bukan main. Jika memang terlalu tinggi dan berlebihan,
bukan hanya mengganggu, melainkan pula merusakkan sound system sekaligus pengeras suaranya. Suara yang keluar dari
pengeras suara itu menjadi pecah dan tidak terdengar dengan indah. Ini adalah
kesalahan dari pengurus masjid kalau seperti itu.
Saya juga pernah merasa terganggu oleh volume masjid yang
terlalu keras dan keterlaluan. Hal yang saya alami memang bukan adzan,
melainkan muhasabah dari sebuah masjid
dengan suara yang terlalu keras dan dilaksanakan hampir setiap malam sekitar
pukul 01.30 s.d. 03.00 dini hari. Acara itu pun dilakukan mereka sambil menangis.
Jadi, suara yang keluar dari speaker pecah,
terlalu tinggi, dilaksanakan ketika orang-orang sedang tidur, kata-kata yang
keluar dari pengeras suara itu pun sangat tidak jelas karena sambil menangis.
Untuk mengatasi hal itu, beberapa warga yang merasa
terganggu seperti saya, berbicara kepada RT, RW, dan tokoh masyarakat setempat.
Mereka pun mendatangi masjid tersebut yang memang selalu penuh dengan jamaah.
Hasilnya, sangat baik. Mereka tetap bermuhasabah tanpa menggunakan pengeras
suara lagi. Orang-orang yang sedang tidur pun tidak terganggu. Jadi, acara
terus berjalan dan warga yang tidak ikutan acara tetap bisa tenang istirahat.
Hal yang sangat penting adalah tidak ada huru-hara yang terjadi. Semua orang
tetap bisa saling menghormati dan menghargai.
Keempat, cekcok
mulut antara Nazir dan Meliana bisa jadi melebar ke mana-mana, malah mungkin
menjurus ke persoalan Sara yang sudah tidak ada hubungannya lagi dengan volume sound system. Kita memang tidak tahu apa
yang dikatakan mereka. Akan tetapi, seharusnya jika ada yang telah melakukan
penghinaan soal Sara, jangan dibalas lagi. Segera laporkan pada polisi karena
Indonesia memiliki undang-undang tentang itu. Kalau Meliana yang mulai menghina
soal Sara, Nazir lebih baik diam, lalu laporkan pada polisi. Demikian pula
sebaliknya, kalau Nazir yang mulai berulah, Meliana tidak perlu banyak tingkah.
Segera laporkan pada polisi. Pihak kepolisian pun harus bertindak secepat
mungkin dan tidak boleh menanggapi laporan semacam itu dengan “santai” karena
bisa memicu huru-hara. Sepertinya, baik Nazir maupun Meliana kurang kontrol terhadap
hal itu sehingga cekcok meluas menjadi huru-hara yang membuat Kapolri turun
tangan.
Kelima, kaum
muslimin sebagai mayoritas seharusnya sudah jangan mau lagi diadu domba oleh
celotehan-celotehan di Medsos. Seharusnya, kaum muslimin bisa lebih tenang dan
menenangkan saudara-saudaranya. Protes boleh, demonstrasi boleh, tetapi kalau
sudah terjadi pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran, itu berlebihan. Kalaulah
celotehan di Medsos itu adalah benar, segera lapor polisi dan dorong polisi untuk bertindak cepat agar situasi yang mungkin akan menjadi tidak terkendali
bisa lebih dini dicegah. Kalau polisi dipandang tidak adil dan tidak bekerja
cepat, yang harus disalahkan adalah polisi karena itu adalah kelalaian mereka,
bukan mencari jalan lain dengan melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Hal yang sangat berbahaya adalah seperti yang sudah
sering saya tulis bahwa banyak celotehan di Medsos yang memang bertujuan
membuat huru-hara dan kerusuhan untuk menciptakan berita bahwa kaum muslimin
Indonesia adalah intoleran. Mereka
sengaja melakukannya. Mereka sepertinya jumlahnya banyak, tetapi sebenarnya
hanya segelintir orang. Mereka membuat banyak akun di Medsos dengan nama yang
berbeda-beda, padahal cuma itu-itu saja. Sering pula mereka membuat postingan
yang seolah-olah sedang berdebat antara muslim dan nonmuslim, padahal
perdebatan itu cuma “ngarang”. Dia yang menghina Islam, dia juga yang membela
Islam sambil menghina agama lain agar orang lain ikut terpancing. Kalau sudah
orang lain ikut terpancing, dia mundur dan membiarkan orang lain yang
terpancing itu berdebat. Dia senang bukan main, kemudian membuat lagi “perdebatan”
untuk memancing pertengkaran pada tempat lain. Mereka sering melakukan hal itu.
Adik laki-laki saya pernah mencoba menghina Islam “habis-habisan”
sehingga menjadi anggota grup atau forum mereka di Medsos. Adik saya mencoba
mencari tahu untuk apa mereka melakukan hal itu yang pasti bisa memicu
huru-hara. Ternyata, para pembuat provokasi di Medsos itu hanya mencari “uang”.
Adik saya berceritera bahwa ada di antara para provokator itu yang mulai “letih”
dengan harus memposting berbagai hujatan bernuansa Sara. Beberapa di antara
mereka mulai capek karena harus terus-menerus melakukan hal itu. Entah kenapa.
Akan tetapi, ketika Adik saya menanyakan apa yang mereka dapatkan dari
kelakuannya itu, ternyata mereka mengaku mendapatkan uang. Ternyata ada pihak yang
membayar mereka. Bayarannya adalah Rp750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah) per bulan. Eh … itu tiga tahun yang lalu. Entah sekarang mereka dibayar
berapa setiap bulan. Mungkin honor mereka tambah naik. Yang adik saya tidak
tahu adalah siapa yang membayar mereka dan mengapa mereka seolah-olah “tidak
bisa berhenti” meskipun sudah mulai capek bikin fitnah di Medsos.
Jangan mudah terprovokasi Medsos karena bisa jadi kalian
sedang dipermainkan. Kalau kita punya masalah yang bisa menjurus ke pertikaian
Sara, lapor polisi. Biarkan polisi bekerja karena salah satu pekerjaan mereka
adalah untuk mengurus hal-hal seperti itu. Daripada kita sendiri yang harus
bikin “perhitungan” terhadap mereka, lebih baik polisi yang menanganinya.
Dengan mencoba memahami rusuh di Tanjung Balai, kita bisa
lebih bijak dan arif jika menemukan masalah yang sama pada masa-masa
selanjutnya di tempat-tempat lain. Libatkan tokoh masyarakat dan aparat hukum
untuk mengatasinya agar tidak meluas menjadi huru-hara yang memalukan bangsa
Indonesia.
Gangguan
Gaib
Kalau Meliana merasa
terganggu, sakit, marah, dan kesal ketika mendengar suara adzan, harus
disembuhkan dengan menggunakan metode ruqyah.
Hal itu disebabkan memang ada banyak orang yang merasa gelisah ketika
mendengar adzan. Hal yang pertama mereka rasakan adalah telinga yang terasa
sakit, lalu kesal di dada, yang kemudian menjadi kemarahan. Itu tandanya ada
gangguan gaib dalam diri mereka. Tubuh mereka menjadi inang jin kafir. Jin-jin itu hidup di dalam tubuh mereka, makan di
dalam tubuh mereka, berak dan kencing di tubuh mereka pula, dan benar-benar
menguasai hidup mereka. Orang-orang yang terkena gangguan ini banyak dan
terdiri atas berbagai agama, termasuk Islam.
Saya pernah punya teman perempuan yang selalu sakit
telinga jika mendengar adzan dan mendengar orang yang sedang mengaji. Dia ingin
sembuh. Oleh sebab itu, kalau bertemu dengan saya, dia selalu berusaha duduk
lebih dekat pada saya dan ingin saya berceritera tentang “orang-orang baik”,
misalnya, sahabat Nabi Muhammad saw, para syekh, para wali, dan orang-orang
soleh lainnya. Dia merasa senang dan tenang kalau saya sedang berceritera. Dia
sering Curhat selalu sakit gendang telinga jika mendengar adzan dan mendengar
orang mengaji. Saya bukan ahlinya, tetapi saya coba sedikit-sedikit membiasakan
dia untuk mengucapkan dzikir-dzikir yang mudah sekali-sekali. Sayang sekali,
dia keburu ditangkap polisi karena melakukan pemerasan pada pejabat Depag dan
sampai sekarang belum pernah ketemu lagi. Kacau.
Mungkin Meliana juga mengalami hal yang sama, terkena
gangguan gaib. Kalau benar begitu, dia harus disembuhkan dan tidak ada cara
lain untuk mengobatinya, kecuali ruqyah
syar’i. Kasihan dia.
No comments:
Post a Comment