Tuesday, 12 July 2016

Menghindari Jeratan Ham

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Berbicara mengenai soal hak azasi manusia (Ham) yang bisa menjerat para guru di Indonesia dalam mendisiplinkan murid-muridnya, ada berita menarik yang saya dapatkan dari seseorang yang ikut rapat orang tua murid di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN). Rapat itu biasa dilakukan setelah pengumuman diterimanya para siswa baru di sebuah sekolah menengah. Inti dari rapat itu sudah bisa dipastikan mengenai “uang” yang diperlukan sekolah untuk membangun dan melengkapi fasilitasnya. Kebutuhan tentang uang itu diberitakan kepada para orangtua murid yang anaknya baru diterima di sekolah tersebut. Di samping soal “uang”, kesempatan pertemuan itu pun dipergunakan untuk membicarakan soal proses pendidikan di lingkungan sekolah tersebut.

            Soal uang, tidak perlu dibahas lagi, semua orang sudah tahu pada akhirnya. Hal yang sangat unik dan menarik adalah mengenai proses pendidikan di sekolah itu. Perlu diketahui bahwa sekolah tersebut tidak terletak di kota besar, melainkan di wilayah pedesaan yang tidak ada kendaraan umum melewati tempat tersebut. Meskipun berada di perkampungan, para guru dan para orangtua murid ternyata sangat melek dengan berbagai berita yang berkembang mengenai pendidikan, terutama mengenai “jeratan Ham” dari luar negeri itu yang mengincar para guru. Para guru dan orang tua siswa paham benar mengenai hal itu, tetapi mereka masih sangat percaya dan yakin sekali bahwa cara mendidik mereka adalah jauh lebih baik untuk menciptakan generasi-generasi yang cerdas, disiplin, dan penuh dengan etika. Mereka sepakat bahwa cara mendidik murid-murid di sekolah tersebut bersandar pada cara pendidikan yang diterapkan Muhammad Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana yang pernah saya tulis pada artikel yang lalu, yaitu ajarlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukulah jika masih belum melaksanakan shalat pada usia sepuluh tahun. Dalam melaksanakan pendidikannya sehari-hari mereka sepakat untuk mendisiplinkan para murid dengan cara teguran yang lembut, peringatan yang keras, dan tindakan tegas. Artinya, ada tiga tahap yang mereka gunakan apabila menemukan murid yang perlu didisiplinkan. Pertama, teguran yang lembut dengan menerangkan kesalahan murid sekaligus kewajiban yang harus dilakukannya. Apabila cara itu tidak berhasil, digunakan cara kedua, yaitu peringatan yang lebih keras dengan nada lebih tinggi ditambah sedikit kemarahan. Apabila hal itu masih belum berhasil juga, digunakan cara ketiga, yaitu bentakan dengan hukuman fisik.

            Mereka tahu bahwa hukuman fisik itu ilegal. Akan tetapi, untuk siswa tertentu, hukuman itu masih harus dilakukan agar menjadi pelajaran yang berharga dan mampu mengubah perilaku siswa tersebut. Mereka sangat percaya bahwa hukuman fisik itu tetap diperlukan sepanjang terukur dan dianggap wajar tentunya. Dalam melaksanakannya, terjadi kesepahaman dan kesepakatan antara orang tua dan guru. Mereka saling percaya.

            Salah seorang wakil orang tua murid berkata, “Jika ada anak-anak kita yang melaporkan kepada kita telah dihukum secara fisik oleh guru, jangan ada yang lapor polisi! Kita lapor saja pada organisasi orang tua murid agar diselesaikan dengan cara kita sendiri.”

            Mereka sepakat bahwa jika itu terjadi, para wakil orang tua dan pihak sekolah akan mempelajarinya terlebih dahulu untuk menetapkan langkah selanjutnya yang harus diambil. Hasilnya, bisa guru yang memang salah atau memang muridnya yang pantas untuk dihukum seperti itu. Akan tetapi, uniknya cara itu menunjukkan bahwa mereka cukup bijak dan arif dengan tidak menyelesaikannya melalui proses hukum yang bisa mencoreng nama baik pendidik dan pendidikan, apalagi harus mengandalkan Ham yang dari luar negeri itu. Mereka lebih suka menyelesaikannya dengan menggunakan kearifan lokal yang mereka miliki.

            Hukuman fisik bisa terjadi dan itu harus dimengerti oleh para orang tua dengan tidak memperkarakannya di depan hukum. Hal itu disebabkan secara logika tidak mungkin guru akan menghukum murid yang patuh, rajin, baik, dan beretika. Pastinya, murid yang mendapatkan hukuman adalah murid yang “bermasalah” dan harus diluruskan dan bukan pula harus dikeluarkan dari sekolah jika hukuman fisik itu sudah membuatnya sadar terhadap kesalahannya.

            Hal yang lebih unik adalah semuanya sepakat. Artinya, pihak sekolah dan para orang tua sepakat dengan cara-cara seperti itu dengan rasa saling percaya. Hal yang sangat menarik lagi adalah cara-cara itu diklaim didasarkan pada pendidikan yang diajarkan Muhammad saw. Para orang tua dan guru sepaham, padahal tidak semua muslim.

            Indah sekali.

            Dengan cara seperti itu, kepolisian tidak perlu ikut repot jika terjadi hukuman fisik. Biarkan saja kearifan lokal mereka berjalan dan bekerja menyelesaikan persoalan yang sebetulnya “enteng” tersebut. Kita saja yang biasanya lebay terlalu membesar-besarkannya. Dengan demikian, tidak perlu terjadi kesemrawutan ada orang tua dan anaknya lapor pada polisi bahwa guru telah menganiaya siswa. Misalnya, gurunya hanya mencubit paha, tetapi yang dilaporkan pada polisi adalah dada dan payudaranya yang disakiti. Memang ada bekas kekerasan di dada anak perempuan itu, tetapi bukan oleh gurunya, entah oleh siapa. Akibatnya, polisi bisa bingung yang akhirnya mengambil jalan “perdamaian”, yaitu guru harus mengakui perbuatannya dan harus meminta maaf, lalu laporan dicabut dan guru bisa bebas dari penjara.

            Guru mana yang mau seperti itu?

            Mana mau guru mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya?

            Daripada harus mengakui telah menyakiti dada dan payudara siswanya, Sang Guru yang juga perempuan itu memilih untuk berada dalam penjara karena memang hanya mencubit paha. Itu persoalan harga diri dan kebenaran yang sedang dipertaruhkan.

            Kalau sudah semrawut begitu kan jadi makin runyam dan nggak karu-karuan, iya nggak?

            Biarkan saja polisi mengerjakan perkerjaan lain yang jauh lebih penting dan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara, jangan makin disibukkan dengan persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara-cara yang lebih arif dan bijaksana selaku masyarakat yang berbudaya luhur.

            Memang cara-cara pendidikan di sekolah menengah atas yang saya ceriterakan tadi perlu diuji keberhasilannya. Kita lihat saja tiga tahun ke depan apakah ada kasus atau tidak. Jika tidak ada kasus yang masuk ke kepolisian, berarti mereka berhasil. Artinya, kesepahaman dan kesepakatan orang tua dan guru tersebut berjalan sangat efektif dan berhasil. Akan tetapi, paling tidak sepanjang pengetahuan saya, dari sekolah itu sampai hari ini tidak pernah ada berita telah terjadi kekerasan oleh guru kepada siswa yang masuk meja kepolisian.


            Begitulah cara mereka menyiasati agar tidak “terjerat Ham” dan tetap berhasil menyelenggarakan proses pendidikan dengan cara yang sangat baik sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki.

No comments:

Post a Comment