oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Berbicara mengenai soal hak
azasi manusia (Ham) yang bisa menjerat para guru di Indonesia dalam
mendisiplinkan murid-muridnya, ada berita menarik yang saya dapatkan dari
seseorang yang ikut rapat orang tua murid di sebuah Sekolah Menengah Atas
Negeri (SMAN). Rapat itu biasa dilakukan setelah pengumuman diterimanya para
siswa baru di sebuah sekolah menengah. Inti dari rapat itu sudah bisa
dipastikan mengenai “uang” yang diperlukan sekolah untuk membangun dan
melengkapi fasilitasnya. Kebutuhan tentang uang itu diberitakan kepada para
orangtua murid yang anaknya baru diterima di sekolah tersebut. Di samping soal “uang”,
kesempatan pertemuan itu pun dipergunakan untuk membicarakan soal proses
pendidikan di lingkungan sekolah tersebut.
Soal uang, tidak perlu dibahas lagi, semua orang sudah
tahu pada akhirnya. Hal yang sangat unik dan menarik adalah mengenai proses
pendidikan di sekolah itu. Perlu diketahui bahwa sekolah tersebut tidak
terletak di kota besar, melainkan di wilayah pedesaan yang tidak ada kendaraan
umum melewati tempat tersebut. Meskipun berada di perkampungan, para guru dan
para orangtua murid ternyata sangat melek dengan berbagai berita yang
berkembang mengenai pendidikan, terutama mengenai “jeratan Ham” dari luar
negeri itu yang mengincar para guru. Para guru dan orang tua siswa paham benar
mengenai hal itu, tetapi mereka masih sangat percaya dan yakin sekali bahwa
cara mendidik mereka adalah jauh lebih baik untuk menciptakan generasi-generasi
yang cerdas, disiplin, dan penuh dengan etika. Mereka sepakat bahwa cara
mendidik murid-murid di sekolah tersebut bersandar pada cara pendidikan yang
diterapkan Muhammad Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana yang pernah saya tulis
pada artikel yang lalu, yaitu ajarlah
anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukulah jika masih belum melaksanakan
shalat pada usia sepuluh tahun. Dalam melaksanakan pendidikannya
sehari-hari mereka sepakat untuk mendisiplinkan para murid dengan cara teguran yang lembut, peringatan yang keras,
dan tindakan tegas. Artinya, ada tiga tahap yang mereka gunakan apabila menemukan
murid yang perlu didisiplinkan. Pertama,
teguran yang lembut dengan menerangkan kesalahan murid sekaligus kewajiban yang
harus dilakukannya. Apabila cara itu tidak berhasil, digunakan cara kedua, yaitu peringatan yang lebih keras
dengan nada lebih tinggi ditambah sedikit kemarahan. Apabila hal itu masih
belum berhasil juga, digunakan cara ketiga,
yaitu bentakan dengan hukuman fisik.
Mereka tahu bahwa hukuman fisik itu ilegal. Akan tetapi,
untuk siswa tertentu, hukuman itu masih harus dilakukan agar menjadi pelajaran
yang berharga dan mampu mengubah perilaku siswa tersebut. Mereka sangat percaya
bahwa hukuman fisik itu tetap diperlukan sepanjang terukur dan dianggap wajar
tentunya. Dalam melaksanakannya, terjadi kesepahaman dan kesepakatan antara
orang tua dan guru. Mereka saling percaya.
Salah seorang wakil orang tua murid berkata, “Jika ada
anak-anak kita yang melaporkan kepada kita telah dihukum secara fisik oleh
guru, jangan ada yang lapor polisi! Kita lapor saja pada organisasi orang tua
murid agar diselesaikan dengan cara kita sendiri.”
Mereka sepakat bahwa jika itu terjadi, para wakil orang
tua dan pihak sekolah akan mempelajarinya terlebih dahulu untuk menetapkan
langkah selanjutnya yang harus diambil. Hasilnya, bisa guru yang memang salah
atau memang muridnya yang pantas untuk dihukum seperti itu. Akan tetapi,
uniknya cara itu menunjukkan bahwa mereka cukup bijak dan arif dengan tidak
menyelesaikannya melalui proses hukum yang bisa mencoreng nama baik pendidik
dan pendidikan, apalagi harus mengandalkan Ham yang dari luar negeri itu.
Mereka lebih suka menyelesaikannya dengan menggunakan kearifan lokal yang
mereka miliki.
Hukuman fisik bisa terjadi dan itu harus dimengerti oleh
para orang tua dengan tidak memperkarakannya di depan hukum. Hal itu disebabkan
secara logika tidak mungkin guru akan menghukum murid yang patuh, rajin, baik,
dan beretika. Pastinya, murid yang mendapatkan hukuman adalah murid yang “bermasalah”
dan harus diluruskan dan bukan pula harus dikeluarkan dari sekolah jika hukuman
fisik itu sudah membuatnya sadar terhadap kesalahannya.
Hal yang lebih unik adalah semuanya sepakat. Artinya,
pihak sekolah dan para orang tua sepakat dengan cara-cara seperti itu dengan
rasa saling percaya. Hal yang sangat menarik lagi adalah cara-cara itu diklaim didasarkan
pada pendidikan yang diajarkan Muhammad saw. Para orang tua dan guru sepaham,
padahal tidak semua muslim.
Indah sekali.
Dengan cara seperti itu, kepolisian tidak perlu ikut
repot jika terjadi hukuman fisik. Biarkan saja kearifan lokal mereka berjalan
dan bekerja menyelesaikan persoalan yang sebetulnya “enteng” tersebut. Kita
saja yang biasanya lebay terlalu membesar-besarkannya. Dengan demikian, tidak
perlu terjadi kesemrawutan ada orang tua dan anaknya lapor pada polisi bahwa
guru telah menganiaya siswa. Misalnya, gurunya hanya mencubit paha, tetapi yang
dilaporkan pada polisi adalah dada dan payudaranya yang disakiti. Memang ada
bekas kekerasan di dada anak perempuan itu, tetapi bukan oleh gurunya, entah
oleh siapa. Akibatnya, polisi bisa bingung yang akhirnya mengambil jalan “perdamaian”,
yaitu guru harus mengakui perbuatannya dan harus meminta maaf, lalu laporan
dicabut dan guru bisa bebas dari penjara.
Guru mana yang mau seperti itu?
Mana mau guru mengakui perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya?
Daripada harus mengakui telah menyakiti dada dan payudara
siswanya, Sang Guru yang juga perempuan itu memilih untuk berada dalam penjara
karena memang hanya mencubit paha. Itu persoalan harga diri dan kebenaran yang
sedang dipertaruhkan.
Kalau sudah semrawut begitu kan jadi makin runyam dan
nggak karu-karuan, iya nggak?
Biarkan saja polisi mengerjakan perkerjaan lain yang jauh
lebih penting dan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara, jangan makin
disibukkan dengan persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara-cara
yang lebih arif dan bijaksana selaku masyarakat yang berbudaya luhur.
Memang cara-cara pendidikan di sekolah menengah atas yang
saya ceriterakan tadi perlu diuji keberhasilannya. Kita lihat saja tiga tahun
ke depan apakah ada kasus atau tidak. Jika tidak ada kasus yang masuk ke
kepolisian, berarti mereka berhasil. Artinya, kesepahaman dan kesepakatan orang
tua dan guru tersebut berjalan sangat efektif dan berhasil. Akan tetapi, paling
tidak sepanjang pengetahuan saya, dari sekolah itu sampai hari ini tidak pernah ada berita telah terjadi kekerasan oleh guru kepada siswa yang masuk meja
kepolisian.
Begitulah cara mereka menyiasati agar tidak “terjerat Ham”
dan tetap berhasil menyelenggarakan proses pendidikan dengan cara yang sangat
baik sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki.
No comments:
Post a Comment