oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Entah siapa yang mulai
meramaikan di media sosial tentang UU ayam masuk ke pekarangan, padahal tidak
ada. Jika kita baca sekilas saja undang-undang itu bukan tentang ayam,
melainkan binatang peliharaan. Di dalamnya ada tentang anjing, kucing, dan
binatang lainnya, termasuk unggas. Unggas itu banyak, ada bebek, itik, ayam,
dan burung. Mungkin ayam lebih populer karena memang itu yang kerap ditemui di
masyarakat.
Kalau dilihat di media sosial, memang lucu meme-meme yang
dibuat tentang hal itu. Akan tetapi, agak khawatir juga jika orang
menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Permasalahan binatang seperti ini sudah ada sejak saya
kecil. Bahkan, mungkin masalahnya hampir seusia dengan keberadaan manusia
sendiri, terutama dalam periode kedua, yaitu
periode beternak dan bertani karena periode pertama adalah periode berburu ketika manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya hanya dengan cara berburu dan mendapatkan tanaman dari alam
secara langsung. Pada periode beternak mungkin sudah ada banyak masalah soal
ini. Binatang ternak mungkin menganggu pertanian milik orang lain.
Terlalu jauh kalau pikiran kita melayang ke masa itu.
Mari kita ke periode yang dekat saja dengan kita bersama orang yang sangat kita
kenal, yaitu Nabi Muhammad saw. Kisah ini sangat terkenal di kalangan
pesantren. Suatu saat ada dua orang yang bertengkar hebat. Persoalannya adalah
ada kambing yang masuk ke perkebunan milik orang lain. Mereka berselisih dan
tidak ada jalan keluarnya. Akhirnya, mereka sepakat meminta penyelesaiannya
kepada Nabi Muhammad saw. Penyelesaiannya mudah saja bagi Nabi Muhammad saw.
Mereka diminta menjaga miliknya masing-masing. Pemilik kambing diharuskan
mengikat kambingnya. Pemilik kebun diharuskan memagari kebunnya. Masalah pun
selesai karena mereka menurut.
Kalau tidak menurut, beda lagi urusannya.
Intinya, persoalan semacam ini sudah sejak lama terjadi
dan selalu terjadi dari zaman ke zaman.
Ketika saya kecil saja persoalan semacam ini terjadi di
Komplek Margahayu Raya, Bandung. Saat itu persoalannya anjing-anjing yang suka
berkeliaran di jalan membuat takut ibu-ibu dan anak-anak sekolah, terkadang
juga anjing itu bermasalah sama bapak-bapak. Ketika warga mengeluhkan masalah
itu pada para pemilik anjing, ribut, tak ada penyelesaian. Akhirnya, warga
bersepakat untuk meracuni anjing-anjing itu pada malam hari secara diam-diam.
Matilah anjing-anjing itu dan tak ada lagi anjing berkeliaran sampai sekarang.
Itu artinya ada pembunuhan binatang, terganggunya keharmonisan hidup
bertetangga, dan terganggunya aktivitas manusia. Ada lagi contoh lain, kali ini
kambing-kambing yang dibiarkan bebas berkeliaran di komplek perumahan.
Kambing-kambing itu memakan tanaman hias yang mahal milik penghuni komplek yang
ditanam di-bloom bak. Itu juga
menjadi masalah. Entah apa yang terjadi untuk menyelesaikannya, yang jelas sekarang
tidak ada lagi kambing berkeliaran. Mungkin ditangkap, lalu disembelih
diam-diam. Saya tidak tahu.
Ketika saya tinggal di Jl. Caringin, Bandung, terjadi
juga masalah seperti itu. Kali ini ayam yang bebas berkeliaran. Karena di
daerah itu rumahnya rata-rata berdempetan, ayam sangat mengganggu tetangga.
Ibu-ibu sering mengeluhkan hal itu. Bukan hanya kotoran ayam yang mengotori
setiap hari teras depan rumah yang sudah disapu dan dipel, melainkan pula
membuat bergeser genteng-genteng rumah tetangga hingga membuat bocor.
Akibatnya, di daerah itu terjadi keributan. Pemilik ayam tidak peduli dengan keadaan itu,
malah balik memarahi tetangganya, rada menantang. Saya awalnya nggak ikut
ribut, tetapi kemudian istri saya mulai mengeluh karena ayam-ayam itu setiap
hari buang kotoran di halaman belakang dan menclok di jemuran yang kemudian
mengotori pakaian yang sedang dijemur, termasuk sajadah, sarung, dan mukena.
Karena istri terlalu sering mengeluh, kesal juga saya. Akhirnya, saya yang
“membereskan” ayam-ayam itu. Pemiliknya marah bukan main, tetapi beberapa hari
kemudian dia pindah rumah dan tak kembali lagi. Para tetangga saya pun
mengucapkan terima kasih kepada istri saya karena masalah ayam itu sudah tidak
ada lagi.
Sampai kisah ini, sudahkah para pembaca mengerti bahwa
harus ada aturan mengenai hal itu?
Kalau masih belum paham, saya terusin ceriteranya. Di
tempat tinggal saya yang sekarang ini, persoalan yang terjadi adalah kucing
yang selalu masuk ke rumah orang lain dan membuat langit-langit internit rumah
tetangga pada rusak, bolong-bolong. Tetangga sudah mengeluhkan hal ini, tetapi
pemilik kucing tidak peduli. Bahkan, kucing-kucingnya sampai melahirkan di
langit-langit rumah tetangga dan jumlahnya bertambah hingga puluhan. Gangguan
pun semakin banyak. Akibatnya, pemilik kucing diasingkan, dicuekin, dianggap
tidak ada. Dia pun pindah rumah, entah
ke mana, para tetangga tidak ada yang peduli.
Ada juga pemilik itik dan ayam yang mengotori teras depan
rumah tetanggga dan akhirnya terjadi keributan juga di antara ibu-ibu. Salah
seorang dari mereka pun pindah rumah.
Saya terusin dengan ceritera yang lebih sadis.
Tanah di belakang rumah saya berdempetan dengan kebun
sayuran milik orang lain. Tanah saya itu tidak luas sih hanya sekitar 420 m2,
kalau kebun milik orang lain, luas pisan. Ada seseorang yang suka saya minta
bantuannya untuk bikin pagar dari bambu, Curhat. Kambing miliknya pernah mau
disembelih oleh pemilik kebun karena memakan sayuran yang sedang ditanam. Jelas
pemilik kebun marah karena itu mata pencaharian dia.
Keributan yang terjadi adalah sama-sama bawa golok.
Pemilik kambing tidak terima kambingnya mau dibacok karena menurutnya harga
kambing jauh lebih mahal dibandingkan harga sayuran. Adapun pemilik kebun
merasa hasil kerjanya dirusakkan oleh kambing.
Coba kalau saat itu emosi tidak terkendali, mereka bisa
saling bacok, saling bunuh. Urusan bisa sangat panjang dan bisa berujung dendam
antarkeluarga.
Sampai kisah ini, tidakkah kita mengerti bahwa harus ada
aturan mengenai hal itu?
Sekarang undang-undangnya ada. Akan tetapi, saya yakin
jika ada masalah seperti itu, bisa diselesaikan dengan kekeluargaan di antara
yang bersangkutan, tidak perlu pakai undang-undang. Kalau tidak selesai dengan
cara itu, bisa menggunakan cara mediasi dengan RT, RW, atau kepala desa/lurah,
bahkan bisa dengan ustadz setempat atau Ketua DKM. Semua bisa selesai dengan
baik-baik. Undang-undang hanya diperlukan jika tidak bisa diselesaikan
baik-baik. Itulah yang namanya diselesaikan dengan cara hukum yang berlaku.
Denda pun bisa dijatuhkan.
Demikian pula anggota DPR membuat hukum seperti itu
karena ada banyak laporan tentang hal tersebut, terutama dari para petani/pekebun
yang menanam bibit tanaman sebagai mata pencaharian mereka. Jadilah ada
undang-undang tentang unggas.
Kalau tidak setuju dengan undang-undang seperti itu,
boleh. Akan tetapi, beri saran dan masukkan yang lebih baik untuk mengatasi
hal-hal yang saya kisahkan tadi. Mungkin banyak masalah seperti itu yang tidak
pernah kita ketahui dengan beragam peristiwa di tengah rakyat Indonesia yang
jumlahhnya 267 juta itu.
Sampurasun.