Monday, 30 November 2020

Berdebat Menurut Allah swt

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak sekali nasihat tentang “larangan berdebat”, baik di Medsos, artikel di web, blog, maupun di dunia nyata melalui obrolan, diskusi, dan ceramah. Akan tetapi, nasihat-nasihat itu sandarannya tidak bersandar pada Al Quran, tetapi bersandar pada hal yang disebut hadits ataupun pendapat yang kata mereka adalah pendapat ulama. Paling tidak, itu yang sempat saya perhatikan. Semua nasihat itu berbahasa yang baik, tidak ada yang buruk. Akan tetapi, saya itu selalu skeptis, ragu, terhadap apa yang disebut hadits.

            Apakah benar Nabi Muhammad saw mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang-orang biasa saja, lalu disebut berasal dari Nabi Muhammad saw. Berbahasa baik saja tidak cukup, tetapi harus nyata dikatakan benar-benar oleh Nabi Muhammad saw. Ada metode ilmiah untuk menelusuri kebenaran suatu yang disebut hadits.

            Apakah benar orang yang mengatakan hal itu adalah ulama?

            Jangan-jangan dia cuma penyair puisi, pendongeng, sastrawan, pustakawan, atau hanya seorang demagog.

            Apakah benar para imam semisal Imam Syafei mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang iseng, lalu mengatakan bahwa itu adalah kata-kata Imam Syafei.

            Bagi orang seperti saya, hal yang paling mudah dilakukan adalah mengonfrontirnya dengan Al Quran. Al Quran adalah kitab yang dijaga Allah swt, tidak pernah salah. Seluruh ajaran Islam harus merujuk ke sumber itu, Al Quran. Jika ada hadits atau cuma pendapat ulama, tetapi bertentangan dengan Al Quran, pasti salah. Hadits atau pendapat itu harus gugur karena bertentangan dengan Al Quran. Sebaliknya, jika hadits atau pendapat ulama itu menjelaskan dan menguatkan ayat-ayat Al Quran, itu harus dipertimbangkan untuk diikuti dan diyakini kebenarannya.

            Setelah membaca dan mendengar tentang larangan berdebat, saya penasaran dengan kata-kata Allah swt tentang berdebat. Saya teringat kalimat yang disampaikan Allah swt dalam QS An Nahl, 16 : 125.

            “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Begitulah yang dikatakan Allah swt agar kita mematuhi-Nya. Dari ayat itu kita bisa memahami bahwa kewajiban kita itu adalah menyeru manusia pada kebenaran Ilahi dengan baik. Kemudian, jika mendapatkan penentangan, berdebatlah dengan cara yang baik. Artinya, boleh, bahkan harus berdebat, tetapi harus dengan cara yang baik.

            “…Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….”

            Cara yang baik itu adalah berbahasa yang baik, memahami hal yang sedang diperdebatkan, memiliki ilmu yang cukup dan berwawasan yang luas, memiliki data dan fakta yang nyata, serta berniat untuk mendapatkan atau menemukan “kebenaran” dan bukan untuk mendapatkan “kemenangan dalam berdebat”.

            Kebenaran itu sumbernya adalah Allah swt (Al Quran) dan hadits (Muhammad saw). Semua harus disandarkan pada keduanya, bukan dari hawa nafsu pribadi ataupun hawa nafsu orang lain yang kita hormati.

            Kalau hanya ingin menang, kita bisa tersesat dan berada dalam kegelapan. Allah swt sangat tahu hal itu. Dalam setiap perdebatan, Allah swt hadir dan menyaksikannya. Dia tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia tahu siapa yang lurus dan mendapat petunjuk serta siapa yang bengkok dan berada dalam kesesatan. Hal itu seperti yang dikatakan-Nya sendiri.

            “… Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Lalu, bagaimana jika dalam perdebatan itu tidak menemui hasilnya atau ujungnya?

            Bagaimana jika hanya menjadi debat kusir yang tidak berarti serta berhadapan dengan orang keras kepala dan bangga dengan kebodohannya?

            Kalau dirasa sudah maksimal menyerukan kebenaran, tetapi tetap tidak diterima dan malah mendapatkan makian-makian bodoh hingga bisa menyesatkan orang banyak, Allah swt memberikan lagi penjelasan dalam QS Al Araf, 7 : 199.

            “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

            Kata Allah swt, jadilah pemaaf dan tetap mengajak orang lain untuk melakukan pekerjaan baik sekaligus jangan pedulikan dan tinggalkanlah orang-orang bodoh yang keras kepala, merasa benar sendiri, bahkan bangga dengan kebodohannya. Allah swt akan membuat perhitungan kepada orang-orang seperti itu, bisa disadarkan Allah swt atau malah dibiarkan dalam kebodohannya. Kita tidak pernah tahu apa yang dilakukan Allah swt, kecuali Allah swt sendiri yang memberitahukannya kepada kita. Kita hanya bisa tetap menjadi cahaya bagi diri kita sendiri, keluarga kita, orang-orang terdekat dan tercinta kita, dan semua manusia. Kalau mereka tidak mau mendekati cahaya Ilahi, itu keputusan diri mereka sendiri. Kita berlepas tangan dari mereka karena kita sudah menyerukan kebenaran.

            Boleh berdebat, tetapi dengan cara yang baik. Tinggalkanlah perdebatan jika sudah tidak lagi kondusif dan biarkan orang lain dalam keinginannya sendiri. Allah swt akan memutuskan sendiri terhadap hal itu. Begitu kira-kira yang saya pahami dari QS An Nahl, 16 : 125 dan QS Al Araf, 7 : 199.

            Sampurasun.

Monday, 23 November 2020

Syarat Keberhasilan Perencanaan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Perencanaan pembangunan untuk mencapai berbagai sasaran, tentunya diperlukan berbagai syarat pula. Berikut  syarat-syarat keberhasilan dalam suatu perencanaan menurut  Alam S. (2016):

            Pertama, adanya badan perencanaan. Badan ini mutlak diperlukan dan bertugas secara periodik membuat laporan kemajuan dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perencanaan.

            Kedua, adanya data statistik. Data statistik sangatlah diperlukan untuk diolah sebagai bahan dasar evaluasi perencanaan. Melalui data statistik ini, dapat diketahui apakah perencanaan masih berjalan dalam proses yang diharapkan atau malah berubah haluan dan berbelok dari awalnya.

            Ketiga, adanya mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang digunakan untuk perencanaan perlu dimobilisasi dengan baik. Sebaiknya, sumber daya yang digunakan pertama kali adalah sumber daya yang berasal dari dalam negeri, misalnya, anggaran atau tabungan pemerintah. Apabila masih dirasakan kurang, pemerintah dapat menggunakan sumber daya yang berasal dari luar negeri.

            Keempat, memiliki tujuan. Tujuan haruslah ada dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Hal ini bisa berupa target yang ingin dicapai. Tujuan dapat dibagi-bagi ke dalam tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

            Kelima, adanya penetapan sasaran dan prioritas. Sasaran secara makro dan proritas pembangunan harus dirumuskan dengan sangat jelas agar setiap tahapan dalam pembangunan dapat dilaksanakan secara tepat.

            Keenam, keseimbangan. Perencanaan yang baik haruslah memperhatikan keseimbangan dalam perekonomian. Hal itu seperti keseimbangan antara tabungan dan investasi, permintaan dan penawaran, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga kerja.

            Demikian syarat-syarat yang diperlukan dalam keberhasilan suatu perencanaan.

            Sampurasun

 

Sumber Pustaka:

Hastyorini, Irim Rismi; Novasari, Yunita; Sari, Kartika; Jawangga, Yan Hanif (editor), Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Semester I: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2016, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Kegunaan Barang

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Manusia dalam memenuhi kebutuhannya kerap membutuhkan barang. Barang-barang tersebut memiliki kegunaan berdasarkan hal-hal tertentu.

 

1.         Kegunaan Bentuk (Form Utility)

Kegunaan bentuk suatu barang adalah kegunaan atau manfaat dari suatu barang jika barang tersebut telah diubah bentuknya. Misalnya, papan, paku, cat, dan pelitur diubah bentuknya menjadi meja, kursi, bangku, dan perabotan lainnya. Dengan diubah bentuknya, barang tersebut akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk awalnya.

 

2.         Kegunaan Tempat (Place Utility)

Kegunaan tempat adalah kegunaan atau manfaat yang didapat ketika barang tersebut dipindahkan tempatnya. Contohnya, pasir, batu, granit, oli, dan kapur akan memiliki nilai yang lebih tinggi jika dipindahkan tempatnya ke perkotaan di lokasi pembangunan gedung untuk dijadikan bahan-bahan pembangunan gedung.

 

3.         Kegunaan Waktu (Time Utility)

Kegunaan waktu adalah adalah kegunaan atau manfaat suatu barang jika digunakan ketika waktunya telah tepat. Misalnya, tabungan atau asuransi pendidikan akan sangat berguna digunakan ketika tiba masanya membayar pendidikan. Contoh lain adalah sepasang suami istri telah membeli perlengakapan bayi sebelum bayi lahir. Berbagai perlengkapan dan pakaian itu akan terasa kegunaannya ketika bayi sudah lahir.

 

4.         Kegunaan Milik (Ownership Utility)

Kegunaan milik adalah kegunaan atau manfaat suatu barang jika telah dimiliki. Misalnya, laptop, Hp, komputer, dan pakaian yang ada di toko akan berguna jika telah dibayar dan telah dimiliki. Tanpa dimiliki barang-barang itu tidak akan ada gunanya.

 

            Demikian penjelasan dari kegunaan barang.

            Sampurasun.


Sumber Pustaka

Novasari, Yunita; Jawangga, Yan Hanif; Setiadi, Inung Oni; Hastyorini, Irim Rismi (editor); Ekonomi untuk SMA/MA Kelas X Semester I: Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

 

S., Alam, 2013, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Saturday, 21 November 2020

Belajar dari Snouck Hurgronje

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Nama Snouck Hurgronje tidak lepas dari sejarah Aceh. Tokoh ini selalu menarik untuk dikaji sehingga setiap membaca tentang dirinya dari berbagai buku, artikel, dan bahkan mendengar dari diskusi-diskusi terbatas selalu ada informasi baru berkaitan dengan sepak terjangnya dalam menaklukan Aceh.

            Aceh dapat dikatakan sebagai wilayah terkuat di Indonesia ini dalam melawan penjajah Belanda. Ketika raja-raja dan sultan-sultan di seluruh wilayah Indonesia ini sudah tunduk pada keinginan Belanda, Aceh masih tegak berdiri melakukan perlawanan.

            Snouck Hurgronje adalah tokoh pemikir yang selalu mendapat perhatian Belanda. Hasil pemikirannya kadang digunakan, kadang tidak oleh Belanda dalam menyusun strategi mengatur wilayah jajahan di Indonesia.

            Dalam menundukkan Aceh, Belanda selalu melakukan dua cara, yaitu negosiasi dan kekerasan terhadap kesultanan Aceh. Akan tetapi, Belanda tidak pernah berhasil. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa untuk mengalahkan Aceh, tidak bisa dilakukan dengan negosiasi, tetapi dengan kekerasan penuh. Kekerasan itu jangan dilakukan terhadap kesultanan, tetapi harus diarahkan terhadap para ulama. Hal itu disebabkan perlawanan rakyat Aceh adalah di bawah kendali para ulama. Jadi, ulama yang harus dibasmi.

            Pendapat Snouck Hurgronje tidak dipercayai oleh Belanda. Penjajah Belanda tetap melakukan negosiasi dan kekerasan terbatas terhadap kesultanan. Sementara itu, perlawanan tetap keras dari para ulama dan pengikutnya.

            Sebagai seorang pemikir, Snouck Hurgronje selalu memiliki rasa penasaran terhadap Islam. Oleh sebab itu, ia berpura-pura menjadi orang Islam, mengucapkan syahadat, melakukan ritual islami, dan tinggal di Jedah, Arab Saudi, hingga berhasil menginjakkan kakinya di Masjidil Haram, Mekah. Ia pun dihormati dan diberi gelar, seperti, mufti dan syekh.

            Hubungan dengan kaum muslimin pun semakin dekat. Bahkan, kata-katanya dianggap sebagai ajaran Islam.

            Kalimat yang diucapkan Snouck Hurgronje dan sangat berpengaruh bagi rakyat muslim Aceh adalah, “Dunia ini ibarat anjing. Anjing itu najis. Oleh sebab itu, umat Islam tidak boleh mendekati dunia karena dunia itu najis!”

            Seperti itulah yang diajarkan Snouck Hurgronje. Entah dari mana kalimat itu berasal. Akan tetapi, kalimat itu mempengaruhi kaum muslimin Aceh. Akibatnya, rakyat Aceh terlalu banyak tinggal di masjid-masijd, terfokus pada ibadat-ibadat ritual, seperti, berbagai macam shalat, dzikir, doa-doa, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sementara itu, ibadat yang sifatnya umum, seperti, bekerja, belajar, berlatih, bersosialisasi, dan berpolitik, jauh menurun, sangat berkurang.

            Hal ini terjadi bertahun-tahun dan terus-menerus. Ini pula yang membuat Aceh menjadi lemah. Pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan fisik orang-orang Aceh melemah. Hal ini mudah dipahami karena orang-orang Aceh perhatiannya terpusat pada kegiatan ritual, sedangkan sosial-politik-teknologi jauh berkurang.

            Pada saat itulah Belanda mendapatkan kesempatan emas untuk menaklukan Aceh. Belanda melakukan serangan. Rakyat Aceh pun melawan, tetapi situasinya sudah jauh lebih lemah dibandingkan dulu. Perlawanan heroik Cut Nyak Dien dan Cut Meutia pun harus menemui kekalahan. Akhirnya, Belanda mendeklarasikan kemenangannya pada 1903. Cut Nyak Dien meninggal di Sumedang, Jawa Barat, pada 1908.

            Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari persitiwa bersejaran itu?

            Pelajarannya adalah jangan menghinakan dunia. Kehidupan dunia adalah ladang bagi kehidupan akhirat. Pencarian kehidupan dunia adalah modal untuk akhirat. Ibadat umum dan ilmu dunia harus seimbang dengan ibadat khusus dan ilmu akhirat, tidak boleh berat sebelah karena begitulah seharusnya. Pengetahuan dan keterampilan duniawi harus pula berimbang dengan pemahaman akhirat. Begitulah yang diajarkan Allah swt.

            Perhatikan firman Allah swt dalam QS Al Jumuah, 62 : 10:

 

            “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di Bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”

            Perhatikan dengan baik ayat itu. Jika ibadat ritual telah dilaksanakan, bertebaranlah di muka Bumi, beraktivitaslah dengan manusia lainnya. Kita harus mencari karunia Allah swt sebanyak-banyaknya. Karunia itu bisa berupa uang, harta-benda, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Kita harus punya uang agar bisa membangun masjid, pesantren, lembaga pendidikan, berangkat haji dan umroh, berkurban, dsb.. Kita harus punya uang agar bisa bayar pajak sehingga bisa membangun jalan, jembatan, Puskesmas, rumah sakit, membiayai TNI, Polri, ASN, gedung-gedung megah, lembaga-lembaga positif untuk masyarakat, dan lain sebagainya.

            Kalau tidak punya uang, kita akan selalu menjadi pengemis dan berharap bantuan dari orang lain atau pemerintah.

            Kita harus belajar banyak ilmu pengetahuan sehingga di antara kita ada yang bisa menjadi dokter, tentara, polisi, ahli ekonomi, ahli masyarakat, ahli ilmu jiwa, arsitektur, pembuat mobil, motor, pesawat terbang, ahli sejarah, arkeologi, ahli bahasa, ahli ilmu politik, ahli kelautan, dan lain sebagainya. Dengan berbagai pengetahuan itulah kita bisa berkembang dan maju sebagai umat-umat yang bermanfaat bagi manusia dan dipertimbangkan kekuatannya oleh pihak-pihak lain. Dengan manfaat yang kita berikan kepada sesama manusia itulah, kita bisa mempersembahkan hasil karya kita kepada Allah swt untuk dihitung sebagai amal kebaikan dan bukti syukur kita yang telah diberikan otak dan fisik yang baik oleh Allah swt.

            Jangan tinggalkan dunia. Jadikan dunia sebagai ladang untuk hasil di akhirat.

            Hal yang dilarang itu adalah kita diperbudak oleh dunia sehingga kita selalu dipusingkan duniawi dan melupakan akhirat. Kehidupan dunia tidak boleh digunakan untuk berbangga-bangga dan melecehkan orang lain, apalagi sampai bermaksiat kepada Allah swt. Pandangan kita harus selalu untuk kehidupan akhirat, tetapi jangan melupakan dunia.

            Seimbangkan dunia dan akhirat dalam kehidupan kita. Contohlah Aceh yang sangat perkasa dan tidak bisa ditaklukan Belanda karena kecerdasan para ulamanya yang mampu menyeimbangkan ibadat ritual dengan ibadat umum. Akan tetapi, ketika terlalu fokus pada ibadat ritual, dunianya pun lemah dan sejarah menunjukkan Aceh pun dapat dikuasai Belanda.

            Kalau ada yang mau diskusi soal ini, boleh. Kalau ada yang memberikan masukan dan koreksi pun boleh, bahkan membantah pun bagus, asal dengan niat yang baik dan bahasa yang baik.

            Sampurasun.

Teori Modernisasi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam hal perubahan-perubahan sosial, Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) mengetengahkan teori modernisasi. Dalam pembahasan mereka, teori modernisasi melihat bahwa perubahan negara-negara terbelakang akan mengikuti jalan yang sama dengan negara industri di barat. Cara tersebut adalah melalui proses modernisasi sehingga negara terbelakang menjadi negara berkembang. Teori ini melihat bahwa negara terbelakang memiliki banyak kekurangan sehingga harus menanggulangi kekurangan yang dimiliki untuk mencapai tahap tinggal landas (take off).

            Eva Etzioni-Halevy dan Amitai Etzoni dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) melihat bahwa dalam masa perubahan atau transisi, sebuah negara akan mengalami revolusi demografi dengan ciri-ciri sebagai berikut: menurunnya angka kematian dan kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sistem stratifikasi; peralihan dari struktur feodal ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke dalam sistem pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi.

            Adapun menurut Davis Lerner, modernisasi diperlukan dalam proses perubahan sosial sehingga negara yang kurang berkembang perlu meminjam dan menerapkan karakteristik dari negara yang sudah maju untuk berubah menjadi negara berkembang ataupun mencapai tahap sebagai negara maju. Selain itu, menurut Huntington dalam tulisannya, “The Change to Change: Modernization, Development, and Politics, dinyatakan bahwa modernisasi mempunyai ciri-ciri prosesnya bertahap, prosesnya homogenisasi, wujudnya berupa proses eropanisasi, amerikanisasi, ataupun westernisasi, jalannya selalu bergerak maju dan tidak pernah mundur, progresif, serta waktunya panjang.

            Demikian penjelasan Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) mengenai teori modernisasi.

            Sampurasun

 

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Hubungan Antarkelompok Berdasarkan Dimensi Sikap

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam kehidupan manusia, sering muncul sikap-sikap yang didasari atas prasangka dan stereotip. Prasangka (prejudice) adalah dasar dari sikap permusuhan terhadap kelompok lain yang diduga memiliki sifat dan sikap yang tidak menyenangkan. Prasangka bukanlah suatu kebenaran karena tidak memiliki dasar pengetahuan, bukti yang cukup, dan pengalaman yang meyakinkan.

            Contoh permusuhan yang diakibatkan prasangka adalah orang Batak diyakini sebagai orang-orang yang kasar dan agresif, orang Padang adalah orang-orang pelit dan curang, orang Jawa adalah orang yang lamban dan tidak tegas, orang Sunda adalah orang yang tidak mau terus terang sehingga pendendam. Tentunya, semua ini adalah prasangka yang sifatnya subjektif.

            Orang-orang yang memiliki sikap mudah berprasangka ini termasuk orang yang tidak rasional dan sulit diubah. Prasangka seperti ini tiba-tiba saja muncul dalam alam pemikiran mereka. Pemikiran mereka tidak rasional karena muncul dari alam bawah sadar.

            Pada kasus tertentu, prasangka ini bisa menimbulkan tindakan yang membahayakan. Orang-orang bisa bertindak agresif terhadap pihak yang dianggap membahayakan dirinya. Jika tidak mampu, mereka akan melakukan tindakan kepada orang lemah untuk dijadikan kambing hitam. Misalnya, dulu di Amerika Serikat subur sekali sikap rasis. Orang-orang kulit hitam dianggap sebagai ancaman bagi warga kulit putih sehingga terjadi perbudakan dan penyiksaan bagi warga kulit hitam.

            Adapun stereotip erat kaitannya dengan prasangka. Stereotip adalah pandangan yang mendasarkan dirinya pada tuduhan-tuduhan tertentu terhadap kelompok lain. Padahal, kebenaran tuduhan itu tidak pernah diteliti atau diperiksa. Orang-orang seperti ini tidak mau sulit untuk menilai orang. Mereka mencari mudahnya saja untuk menuduh orang lain.

            Stereotip bisa positif, bisa pula negatif. Contohnya, perempuan sifatnya keibuan, penyayang, dan lembut, ini positif. Contoh negatif adalah orang kulit hitam itu miskin, bodoh, bar bar, terbelakang, kotor, dan tidak beradab.

            Demikian penjelasan singkat mengenai hubungan antarkelompok dalam dimensi sikap.

            Sampurasun.

 

 

Sumber Pustaka:

Wijayanti, Fitria; Rahmawati, Farida; Irawan, Hanif; Sosiologi: untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Maryati, Kun; Suryawati, Juju; 2014, Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Friday, 20 November 2020

Identifikasi

 

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Salah satu faktor pendorong yang menjadi landasan psikologis terjadinya interaksi sosial adalah “identifikasi”. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dibandingkan imitasi. Kalau imitasi hanyalah tindakan meniru orang lain yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi tidak menyeluruh dalam segala kehidupannya. Adapun identifikasi adalah kecenderungan untuk mencontoh orang lain yang sangat diidolakan dan menginginkan menjadi sama dengan orang yang menjadi pusat perhatiannya.

            Seorang anak bisa mengidentifikasi ibunya atau ayahnya karena dipandang sebagai sosok yang sangat ideal baginya. Segala yang dilakukan ayah atau ibunya dia tiru dengan sepenuh hati. Bisa juga tokoh lain, seperti, artis, atlet, guru, ulama, dan tokoh pejabat tinggi. Seseorang akan meniru pakaian, sikap, cara bicara, cara bertindak, hingga mengupayakan kesamaan suara dan wajah terhadap tokoh yang diidentifikasinya.

            Seorang santri yang sangat mengidolakan kiyainya, berupaya menjadi sama dengan kiyainya. Ia akan menggunakan pakaian yang sama, sikap yang sama, cara bicara yang sama, dan lain sebagainya.

            Proses identifikasi bisa terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun terjadi dengan tidak sengaja, seseorang yang melakukan identifikasi harus memahami dan mengenal orang yang diidentifikasinya sedetail mungkin. Dengan demikian, ia akan menjadi semakin mirip dengan orang yang sangat diidolakannya tersebut.

            Demikian penjelasan singkat mengenai identifikasi.

            Sampurasun

 

 

Sumber Pustaka

Irawan, Hanif; Rahmawati, Farida; Febriyanto, Alfian; Muhammad Kusumantoro, Sri, Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial; untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wednesday, 18 November 2020

Jangan Berlebihan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Berlebihan itu dalam bahasa Sunda adalah “leuwih teuing”. Segala sesuatu yang berlebihan itu jelek. Dalam hal apa pun tetap jelek. Segala yang berlebihan itu berarti melewati batas yang telah ditentukan.

            Dalam hal agama pun demikian, tidak boleh melebihi batas yang telah ditentukan.

            Siapa yang menentukan batas-batas itu?

            Tidak ada yang lain yang menentukannya, kecuali Allah swt dan Rasulullah saw sendiri. Semua orang harus berpegang pada keduanya jika tidak ingin tersesat.

            Mari kita perhatikan QS Al Maidah, 5 : 77:

            “Katakanlah, ‘Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia). Mereka sendiri telah tersesat dari jalan yang lurus.”

            Itu firman Allah swt, bukan kata-kata Nabi Muhammad saw, bukan pendapat ulama, apalagi pendapat saya. Begitulah larangan dari Allah swt. Kita tidak boleh berlebihan dalam hal agama seperti umat-umat dahulu yang telah tersesat karena sikapnya yang berlebihan.

            Itu memang ayat tersebut pada saat lalu diarahkan kepada para ahli kitab, tetapi kita dapat mengambil pelajaran dari hal itu.

            Kalau bingung dengan ayat ini, tanyakan dan diskusikan dengan ulama, para ahli, dan cendekiawan muslim. Tugas merekalah untuk menerangkan ayat tersebut. Saya sangat senang mendapatkan pengetahuan dari para ahli. Kalau dari para pembaca ada yang memiliki pemahaman tentang ayat ini, saya sangat senang mengetahuinya. Saya akan sangat berterima kasih.

            Kalau kita mencintai Allah swt, perilaku kita harus sesuai dengan yang diajarkan, jangan berlebihan. Misalnya, shalat wajib itu sudah ditentukan lima waktu, selebihnya sunat. Ya sudah, harus begitu. Kalau bersikap lain, itu menjadi berlebihan, misalnya, menentukan sendiri shalat wajib itu tujuh atau sebelas waktu. Itu berlebihan. Bisa juga dengan melebih-lebihkan firman Allah swt atau bahkan menguranginya. Itu juga berlebihan.

            Contoh lain, ada sekelompok orang yang mewajibkan shalat malam sambil mematikan lampu, lalu sesudahnya membakar alat kelaminnya sendiri, baik pria maupun wanita. Hal itu dilakukan mereka untuk merasakan panasnya api neraka. Itu berlebihan.

            Kalau ditanya, apakah mereka mencintai Allah swt?

            Jawaban mereka pasti sangat mencintai Allah swt karena mereka melakukan itu atas dasar cintanya kepada Allah swt. Akan tetapi, itu berlebihan, tidak sesuai aturan dan standar. Akibatnya, mereka menjadi kelompok sesat, lalu ditangkap polisi. Ini terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu, beritanya ada di TV.

            Cinta kepada Nabi Muhammad saw juga jangan menimbulkan perilaku berlebihan, harus sesuai dengan ajaran Muhammad saw sendiri. Tidak boleh melewati batas yang ditentukan.

            Rasul Muhammad saw tidak boleh digambarkan itu adalah batas yang ditentukan agar umat Islam tidak berlebihan berperilaku dalam mencintai Nabi saw. Mayoritas ulama sepakat untuk mengharamkan perilaku menggambar atau melukis Nabi Muhammad saw. Hal itu disebabkan umat-umat terdahulu telah menggambar para nabi, murid-muridnya, orang-orang sholeh, dan orang-orang bijaknya. Awalnya, baik-baik saja. Generasi pertama sepeninggal para nabi itu menggunakan lukisan-lukisan itu untuk mengingatkan keluhuran, kemuliaan, dan keshalehan orang-orang suci itu. Akan tetapi, setelah berganti generasi, terjadi penyimpangan akidah. Mereka mulai sangat menghormati dan mensucikan gambar-gambar itu hingga akhirnya menyembah lukisan-lukisan itu. Itulah yang namanya berlebihan. Peristiwa-peristiwa itulah yang menyebabkan para ulama mengharamkan Nabi Muhammad saw untuk digambarkan. Para ulama sangat khawatir akidah umat menyimpang karena sangat cinta kepada Rasulullah saw melebihi cintanya kepada manusia, nabi lain, bahkan malaikat sekalipun. Karena cinta umat yang sangat tinggi itu dikhawatirkan umat akan berperilaku seperti umat yang terdahulu, yaitu menyembah lukisan Nabi Muhammad saw.

            Hal itu pun dikuatkan oleh peristiwa ketika Nabi Muhammad saw sakit, para istri beliau membicarakan gereja yang di dalamnya ada patung-patung orang-orang sucinya, seperti, Nabi Isa as, Siti Maryam, dll.. Mendengar hal itu, Nabi saw menjelaskan bahwa baik para isterinya maupun kaum muslimin untuk tidak berlebihan dalam mencintai dirinya. Maksudnya, meskipun sangat mencintai Nabi saw, kita tidak boleh membuat patung dirinya, apalagi di dalam masjid. Itulah batas perilaku kita dalam mencintai Nabi Muhammad saw.

            Meskipun sangat cinta, kita tidak boleh membuat patung dan gambar Nabi saw. Beliau sendiri yang membatasinya. Meskipun bagus dan indah manusia bisa membuat patung dan lukisan Nabi Muhammad saw, bagi mayoritas ulama, itu adalah berlebihan. Bagus dan indah saja tidak boleh, apalagi jelek.

            Itu bagi mayoritas ulama, bagi ulama yang lainnya, tidak begitu. Mereka membolehkan gambar dan lukisan Nabi Muhammad saw dibuat dan dipajang. Saya sendiri beberapa kali melihat lukisan itu. Banyak sekali dan rupa-rupa gambarnya. Ada yang masih kecil, masih remaja, serta dewasa dan matang. Akan tetapi, saya tidak melihat para pemilik lukisan itu menyembahnya, biasa saja. Akan tetapi, itu minoritas. Kalau dibagikan ke khalayak ramai, khawatir orang-orang akan menyembahnya seperti waktu lalu.

            Semua lukisan itu bagus, indah meskipun beda-beda, dinyatakan bahwa itu lukisan Nabi Muhammad saw. Kalau karikatur Nabi saw, banyak dibuat para ateis dan selalu buruk.

            Begitulah sikap-sikap berlebihan yang harus dihindari dari rasa cinta. Itu terjadi pada masa yang lalu.

            Pada masa sekarang, saya melihatnya lebih pada fanatisme organisasi. Mungkin ada ratusan, bahkan ribuan kelompok di kalangan kaum muslimin yang bersikap berlebihan ini. Mereka menganggap bahwa golongannyalah, kelompoknyalah yang paling benar, pemimpinnyalah yang paling suci. Kelompok yang berada di luar mereka, salah. Hampir tidak ada ayat-ayat Al Quran maupun hadits yang keluar dari mulut mereka, kecuali sedikit. Kalaupun ada, kebanyakan tentang perang. Hal yang banyak diucapkan mereka adalah kata-kata para pemimpinnya saja. Mereka berbanga-bangga dengan kelompoknya dan cenderung kasar, bahkan ekstrim. Jika punya senjata, mereka bisa menjadi pengacau. Ini sudah terjadi, pertarungan senjata di antara kelompok-kelompok itu sering sekali terjadi. Kita masih ingat ada pembunuhan ulama di Suriah yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Di Timur Tengah dan juga beberapa bagian dunia lain, kelompok-kelompok berlebihan ini bertebaran dan mengacaukan situasi.

            Jika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mencintai Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw?

            Jawabannya, pasti sangat mencintai. Akan tetapi, rasa cinta mereka itu diwujudkan dengan perilaku yang sangat berlebihan.

            Jangan berlebihan dalam hal apa pun jika kita tidak ingin hidup tersesat. Soal rasa cinta boleh seluas samudera dan setinggi langit, bahkan harus menembus lautan dan angkasa, tetapi dalam mewujudkannya harus ada dalam koridor perilaku-perilaku yang sesuai dengan Al Quran dan hadits.

            Sampurasun

Tuesday, 17 November 2020

Perencanaan Pembangunan Ekonomi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak ahli yang menerangkan pemahaman tentang perencanaan pembangunan ekonomi.  Lionel Robbins menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan ekonomi adalah kontrol atau penekanan bersama atas kegiatan produksi dan tukar-menukar pribadi. Adapun F.A. Hayek menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan ekonomi adalah arah aktivitas produksi oleh sebuah otoritas sentral. Artinya, ada kekuasaan yang merencanakan pembangunan ekonomi, biasanya disebut pemerintah. Hugh Dalton mengemukakan pendapatnya bahwa perencanaan pembangunan ekonomi adalah arah tujuan yang sengaja ditentukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab atas sumber daya kegiatan ekonomi.

            Meskipun terdapat berbagai pandangan, para ahli tetap sependapat bahwa perencanaan pembangunan ekonomi mengandung arti pengendalian dan pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh suatu penguasa pusat untuk mencapai suatu sasaran dan tujuan tertentu dalam jangka tertentu pula (Pasaribu : 2013 dalam Alam S. : 2016).

            Dari berbagai pendapat tersebut, kita dapat memahami bahwa untuk keberhasilan suatu perencanaan, pembangunan ekonomi, haruslah memiliki target atau pencapaian tujuan yang harus dicapai. Contohnya, sebuah negara ingin terbebas dari kemiskinan, maka harus direncanakan berbagai program, seperti, pendidikan, pelatihan, ketersediaan lapangan kerja, distribusi barang dan jasa dengan baik, serta tersedianya willayah bagi pemasaran.

            Demikian pengertian perencanaan pembangunan ekonomi.

            Sampurasun

 

Sumber Pustaka:

Hastyorini, Irim Rismi; Novasari, Yunita; Sari, Kartika; Jawangga, Yan Hanif (editor), Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Semester I: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2016, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Jenis Barang Berdasarkan Pengerjaan serta Bentuk dan Sifatnya

 


 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Berdasarkan cara pengerjaan atau proses pengolahannya, jenis barang dapat dibedakan ke dalam:

1.         Barang mentah atau bahan mentah. Barang ini adalah barang yang belum mengalami proses pengolahan. Contohnya, kelapa, bijih besi, pasir, kentang, ketela, bawang, dsb.

2.         Barang setengah jadi. Barang ini adalah bahan mentah yang telah mengalami proses pengolahan tetapi belum siap untuk digunakan. Misalnya, benang, kopi bubuk, tepung beras, kopra, dsb.

3.         Barang jadi. Barang ini sudah siap digunakan. Contohnya, laptop, handphone, kemeja, sepatu, tas, dsb.

 

            Berdasarkan bentuk dan sifatnya, jenis barang dapat dibedakan ke dalam dua, yaitu:

1.         Barang tetap. Barang ini sifat dan bentuknya tetap dan tahan lama. Contohnya, gedung, tanah, dan mesin pabrik

2.         Barang bergerak. Barang ini sifatnya mudah bergerak, mudah habis, dan masa pakainya pendek. Misalnya, buah-buahan, makanan, minuman, sayuran, dan bahan bakar.

 

            Demikian jenis barang berdasarkan cara pengerjaan/proses pengolahannya, bentuknya, dan sifatnya.

            Sampurasun

 

Sumber Pustaka:

Novasari, Yunita; Jawangga, Yan Hanif; Setiadi, Inung Oni; Hastyorini, Irim Rismi (editor); Ekonomi untuk SMA/MA Kelas X Semester I: Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2013, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Friday, 13 November 2020

Al Quran No. 1

 


 oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Al Quran adalah sumber pengetahuan, informasi, dan hukum yang paling utama, No. 1, dalam Islam dan kehidupan kaum muslimin. Tidak boleh ada yang berada di atas Al Quran. Seluruh sumber pemahaman Islam harus berada di bawah Al Quran. Kalau ada yang menempatkan sumber lain di atas Al Quran, itu pasti palsu dan menyesatkan.

            Salah satu hal yang bisa dijadikan dasar bahwa Al Quran adalah sumber pemahaman Islam yang tertinggi adalah pernyataan Allah swt dalam Al Quran Surat Al Hijr, 15 : 9, yaitu:

            “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”

            Ayat itu menjelaskan bahwa Al Quran selalu terjaga keaslian dan kemurniannya serta tidak dapat diubah-ubah. Segala upaya yang bertujuan mengubah Al Quran selalu gagal. Isinya selalu sama dan tidak pernah berantakan. Pencetakan Al Quran yang sangat banyak dan dihapal oleh puluhan juta kaum muslimin ikut menguatkan keaslian Al Quran. Kalaupun ada yang mengubah-ubah isi Al Quran dan memang ada, dipakai kelompok tertentu, isinya menjadi lemah dan berantakan sehingga tidak bisa dijadikan patokan.  Orang-orang pun kembali pada Al Quran yang asli.

            Al Quran adalah satu-satunya sumber Islam yang dijaga Allah swt dan tertulis nyata di dalam Al Quran sendiri. Oleh sebab itu, wajar dan memang sudah seharusnya dijadikan rujukan utama dalam ber-Islam.

            Adapun sumber lainnya, tidak dijaga seperti Al Quran. Di bawah Al Quran ada hadits, kemudian pendapat para ulama. Ini tidak ada pernyataan Allah swt yang tertulis sebagai sumber yang dijaga-Nya. Kalau ada, kasih tahu saya. Saya senang sekali mengetahuinya.

            Mulai hadits, sumber ini mulai berantakan. Banyak hadits yang tidak jelas sumbernya, tidak jelas perawinya, bahkan isinya pun aneh. Tidak sedikit orang yang mengatakan sesuatu ajaran dengan mengalamatkannya sebagai hadits yang berasal dari Nabi Muhammad saw, padahal hanya karangan dirinya saja. Orang-orang yang pandai bicara, tetapi hatinya kusut sering melakukan hal ini. Oleh sebab itu, hal yang paling mudah untuk orang awam seperti saya ini dalam menentukan hadits itu benar atau salah, cocokkan saja dengan Al Quran. Kalau bertentangan dan tidak sesuai dengan Al Quran, pastikan bahwa hadits itu “maudhu” atau palsu. Itu hanya karangan orang-orang yang kotor hatinya yang biasanya hanya menginginkan kehormatan, kekuasaan, dan kekayaan.

            Beruntung, banyak ulama, para ahli, cendekiawan yang berupaya merapikan hadits-hadits yang bertebaran itu. Hasil karya mereka dapat dijadikan patokan untuk kaum muslimin dalam ber-Islam. Dari merekalah, kita mendapatkan hadits shahih, hasan, marfu, mutawatir, dan seterusnya hingga ke hadits palsu. Dengan demikian, kita mendapatkan pengetahuan yang luar biasa bermanfaat dalam melaksanakan ajaran Islam dan memiliki hadits-hadits yang tidak lagi berantakan. Cerdasnya mereka adalah tetap membuka peluang bagi generasi muda muslim untuk meneliti kembali hadits-hadits yang tersusun itu sehingga sebuah hadits shahih bisa menjadi dhaif, sebaliknya hadits dhaif bisa menjadi shahih jika ditemukan bukti-bukti baru yang membuat sebuah hadits menjadi dhaif ataupun menjadi shahih. Para ulama, para ahli, dan para cendekiawan itu hebat dan setia pada ilmu pengetahuan sehingga tidak melarang ataupun menutup diri bahwa hasil karyanya tidak boleh diganggu gugat. Mereka malah terbuka dalam ilmu pengetahuan serta bersedia dikritik dan dikoreksi. Orang-orang yang tulus hatinya ini biasanya mengatakan hal yang mirip dengan yang dikatakan Sahabat Nabi saw, Abu Bakar ra, ketika diangkat menjadi khalifah. Dia mengatakan bahwa seluruh kaum muslimin wajib patuh kepada dirinya sepanjang dirinya sesuai dengan Al Quran dan sunnah Nabi saw. Akan tetapi, jika dirinya tidak sesuai dengan Al Quran dan sunnah Nabi, kaum muslimin dilarang mengikutinya, bahkan diminta untuk mengingatkan dan mengoreksi dirinya. Dengan demikian, jelas patokan kaum muslimin adalah Al Quran dan hadits, bukan sosok pemimpin atau orangnya.

            Setelah Al Quran dan hadits, barulah sumber pemahaman Islam bagi kaum muslimin adalah “pendapat para ulama”. Akan tetapi, pendapat para ulama ini tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan hadits. Hal itu disebabkan jangankan pendapat ulama, hadits saja tidak dijamin penjagaannya oleh Allah swt. Pendapat ulama ini wajib diikuti sepanjang tidak bertentangan atau sesuai dengan Al Quran dan hadits. Kalau bertentangan, jangan diikuti.

            Kalau tidak sesuai dengan Al Quran dan hadits, dari mana dasarnya orang yang disebut ulama itu bisa mengajarkan Islam?

            Kalau tidak sejalan dengan Al Quran dan hadits, berarti dia mengarang sendiri sesuai hawa nafsunya atau mendapatkan pemahaman yang sesat.

            Oleh sebab itu sangat wajar jika ada orang yang berbicara tentang Islam, lalu ditanya, “Ada ayat Al Quran-nya tidak? Ada hadits-nya tidak?”

            Pertanyaan itu adalah pertanyaan cerdas karena tidak mau sesat dan menginginkan kepastian bahwa itu berasal dari ajaran Islam.

            Sungguh bagus orang yang mengibaratkan ulama itu adalah gelas. Gelas itu adalah alat untuk orang bisa minum air yang berasal dari termos atau teko. Orang tidak mungkin minum air panas langsung dari termos atau teko. Dia harus menggunakan gelas untuk bisa minum. Artinya, tugas ulama itu adalah untuk memperjelas dan memudahkan kaum muslimin untuk melaksanakan Al Quran dan hadits dalam kehidupan nyata. Bukan sebaliknya, malah membingungkan dan mempersulit kaum muslimin. Kalau ada orang-orang yang ngaku-ngaku atau diakui sebagai ulama, tetapi mempersulit dan membuat bingung kaum muslimin, sangat wajar jika kaum muslimin meragukan ke-ulama-annya, bahkan tidak menghormatinya.

            Kita harus hati-hati dalam hal ini, apalagi pada zaman sekarang yang tiba-tiba muncul banyak orang yang disebut ulama, padahal sebelumnya tidak pernah dikenal. Kemudian, berdakwah dan berceramah penuh makian kepada sesama muslim sehingga mendapatkan perlawanan dari ulama lainnya. Inilah bukti bahwa pendapat para ulama itu tidak dijaga oleh Allah swt secara langsung. Di antara mereka yang disebut ulama itu sering berbeda paham, bahkan di antara para habib pun berbeda. Kita bisa melihatnya dari Pilpres 2019 yang telah usai itu dimenangkan Jokowi-Maruf Amin. Ada ulama dan habib yang pro-Jokowi dan adapula yang pro-Prabowo. Itu kenyataan yang menunjukkan bahwa mereka pun berbeda pendapat. Bahkan, perbedaannya bisa sangat sengit yang berujung pada kasus hukum. Hal yang sangat membuat kusut adalah banyaknya tuduhan sebagai “ulama suu, ulama sesat, ulama kafir, ulama jahat, ulama kami, ulama kalian”.

            Hal itu membuat aneh, masa ada ulama kami, ulama kamu, ulama kalian?

            Kan seharusnya juga yang ada itu adalah “ulama kita” karena semuanya harus sama, bersumber dari Al Quran dan hadits?

            Tidak perlu menghina dan memaki, untuk apa?

            Untuk kekuasaan? Untuk kehormatan? Untuk ekonomi?

            Perbedaan-perbedaan keras inilah yang membuat umat terpecah dan itu membahayakan. Hal itu diperparah dengan menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang pasti masuk surga dan yang lain masuk neraka.

            Sebetulnya, kalau ada perbedaan pendapat, tidak harus baku hantam, ancaman kekerasan, atau tudingan-tudingan kampungan. Seharusnya, kembalikan saja kepada Al Quran dan sunnah Nabi saw. Sesuaikan saja pendapatnya pada kedua sumber pokok pemahaman Islam tadi. Pendapat yang ada dasarnya dalam Al Quran dan hadits, ikuti. Yang tidak jelas dasarnya, tinggalkan.

            Hal tersebut pun memang diajarkan Allah swt dalam Al Quran surat An-Nisa, 4 : 59:

            “… jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

            Itu firman Allah swt, masa enggak mau diikuti?

            Cek di dalam Al Quran dan hadits, apakah sesuai atau tidak, begitu seharusnya. Hal ini pun disampaikan Nabi Muhammad saw bahwa jika kaum muslimin tidak mau hidupnya tersesat, harus berpegang teguh kepada Al Quran dan sunnahnya.

            Sekali lagi, Al Quran adalah sumber utama dalam pemahaman Islam, tidak boleh ada yang bertentangan dengannya. Bahkan, hadits pun tidak boleh bertentangan dengan Al Quran karena tidak mungkin perkataan dan perilaku Nabi Muhammad saw bertentangan dengan Al Quran. Pendapat para ulama pun tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan hadits yang sudah dinyatakan bukan hadits palsu. Kalau ada yang bertentangan, tinggalkanlah demi keselamatan kita di dunia dan di akhirat.

            Oh, ya. Saya menulis itu sebetulnya untuk di blog pribadi saya. Alhamdulillah, blog saya sampai hari ini sudah dibaca oleh lebih dari 230 ribu orang dari berbagai negara, semoga bermanfaat. Kalau saya bagikan ke Medsos semacam FB, itu hanya beberapa. Saya lebih nyaman di blog karena para pembaca blog itu memang orang-orang yang berniat untuk mencari pemahaman dan bersungguh-sungguh ingin mendapatkan hal yang ingin mereka pahami. Berbeda dengan di FB yang mirip keranjang, orang bisa menemukan apa saja tanpa niat untuk mencarinya dengan sungguh-sungguh. Kalau ada, dibaca. Kalau tidak ada, ya tidak dibaca. Malahan, kalau ada juga, kerap dilewat saja. Oleh sebab itu, kalau ada yang ingin lebih banyak memahami apa yang ada dalam pikiran saya, kunjungi saja blog saya. Ketik saja nama saya Tom Finaldin, nanti keluar banyak judul buku yang saya tulis dan nama blog saya, Putera Sang Surya.

            Seperti biasa, yang mau komen, komenlah yang baik dan mencerdaskan. Kalau tidak, akan saya hapus. Kalau tersinggung dengan tulisan saya, laporkan saja ke polisi, ada undang-undangnya kok yang bisa menjerat saya. Demikian pula sebaliknya, jika saya tersinggung dan merasa dibahayakan, akan saya laporkan ke polisi juga. Semua bisa diselesaikan.

            Sampurasun.

#salamrevolusiakhlak