oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak sekali nasihat
tentang “larangan berdebat”, baik di
Medsos, artikel di web, blog, maupun di dunia nyata melalui obrolan, diskusi, dan
ceramah. Akan tetapi, nasihat-nasihat itu sandarannya tidak bersandar pada Al
Quran, tetapi bersandar pada hal yang disebut hadits ataupun pendapat yang kata
mereka adalah pendapat ulama. Paling tidak, itu yang sempat saya perhatikan. Semua
nasihat itu berbahasa yang baik, tidak ada yang buruk. Akan tetapi, saya itu
selalu skeptis, ragu, terhadap apa yang disebut hadits.
Apakah benar Nabi Muhammad saw mengatakan hal seperti
itu?
Jangan-jangan hanya karangan orang-orang biasa saja, lalu
disebut berasal dari Nabi Muhammad saw. Berbahasa baik saja tidak cukup, tetapi
harus nyata dikatakan benar-benar oleh Nabi Muhammad saw. Ada metode ilmiah untuk
menelusuri kebenaran suatu yang disebut hadits.
Apakah benar orang yang mengatakan hal itu adalah ulama?
Jangan-jangan dia cuma penyair puisi, pendongeng,
sastrawan, pustakawan, atau hanya seorang demagog.
Apakah benar para imam semisal Imam Syafei mengatakan hal
seperti itu?
Jangan-jangan hanya karangan orang iseng, lalu mengatakan
bahwa itu adalah kata-kata Imam Syafei.
Bagi orang seperti saya, hal yang paling mudah dilakukan
adalah mengonfrontirnya dengan Al Quran. Al Quran adalah kitab yang dijaga
Allah swt, tidak pernah salah. Seluruh ajaran Islam harus merujuk ke sumber
itu, Al Quran. Jika ada hadits atau cuma pendapat ulama, tetapi bertentangan
dengan Al Quran, pasti salah. Hadits atau pendapat itu harus gugur karena
bertentangan dengan Al Quran. Sebaliknya, jika hadits atau pendapat ulama itu
menjelaskan dan menguatkan ayat-ayat Al Quran, itu harus dipertimbangkan untuk
diikuti dan diyakini kebenarannya.
Setelah membaca dan mendengar tentang larangan berdebat,
saya penasaran dengan kata-kata Allah swt tentang berdebat. Saya teringat
kalimat yang disampaikan Allah swt dalam QS An Nahl, 16 : 125.
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Berdebatlah dengan
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk.”
Begitulah yang dikatakan Allah swt agar kita
mematuhi-Nya. Dari ayat itu kita bisa memahami bahwa kewajiban kita itu adalah
menyeru manusia pada kebenaran Ilahi dengan baik. Kemudian, jika mendapatkan
penentangan, berdebatlah dengan cara yang baik. Artinya, boleh, bahkan harus
berdebat, tetapi harus dengan cara yang baik.
“…Berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang baik….”
Cara yang baik itu
adalah berbahasa yang baik, memahami hal yang sedang diperdebatkan, memiliki
ilmu yang cukup dan berwawasan yang luas, memiliki data dan fakta yang nyata, serta
berniat untuk mendapatkan atau menemukan “kebenaran”
dan bukan untuk mendapatkan “kemenangan
dalam berdebat”.
Kebenaran itu sumbernya adalah Allah swt (Al Quran) dan
hadits (Muhammad saw). Semua harus disandarkan pada keduanya, bukan dari hawa
nafsu pribadi ataupun hawa nafsu orang lain yang kita hormati.
Kalau hanya ingin menang, kita bisa tersesat dan berada
dalam kegelapan. Allah swt sangat tahu hal itu. Dalam setiap perdebatan, Allah
swt hadir dan menyaksikannya. Dia tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia
tahu siapa yang lurus dan mendapat petunjuk serta siapa yang bengkok dan berada
dalam kesesatan. Hal itu seperti yang dikatakan-Nya sendiri.
“… Sesungguhnya,
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Lalu, bagaimana jika dalam perdebatan itu tidak menemui
hasilnya atau ujungnya?
Bagaimana jika hanya menjadi debat kusir yang tidak
berarti serta berhadapan dengan orang keras kepala dan bangga dengan
kebodohannya?
Kalau dirasa sudah maksimal menyerukan kebenaran, tetapi
tetap tidak diterima dan malah mendapatkan makian-makian bodoh hingga bisa
menyesatkan orang banyak, Allah swt memberikan lagi penjelasan dalam QS Al Araf, 7 : 199.
“Jadilah pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang
bodoh.”
Kata Allah swt, jadilah pemaaf dan tetap mengajak orang
lain untuk melakukan pekerjaan baik sekaligus jangan pedulikan dan tinggalkanlah
orang-orang bodoh yang keras kepala, merasa benar sendiri, bahkan bangga dengan
kebodohannya. Allah swt akan membuat perhitungan kepada orang-orang seperti
itu, bisa disadarkan Allah swt atau malah dibiarkan dalam kebodohannya. Kita
tidak pernah tahu apa yang dilakukan Allah swt, kecuali Allah swt sendiri yang
memberitahukannya kepada kita. Kita hanya bisa tetap menjadi cahaya bagi diri
kita sendiri, keluarga kita, orang-orang terdekat dan tercinta kita, dan semua
manusia. Kalau mereka tidak mau mendekati cahaya Ilahi, itu keputusan diri
mereka sendiri. Kita berlepas tangan dari mereka karena kita sudah menyerukan
kebenaran.
Boleh berdebat, tetapi dengan cara yang baik.
Tinggalkanlah perdebatan jika sudah tidak lagi kondusif dan biarkan orang lain
dalam keinginannya sendiri. Allah swt akan memutuskan sendiri terhadap hal itu.
Begitu kira-kira yang saya pahami dari QS An Nahl, 16 : 125 dan QS Al Araf, 7 :
199.
Sampurasun.