Thursday, 6 January 2022

Bahar Nggak Harus Dipenjara Sebetulnya

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Bahar bin Smith sebetulnya tidak harus masuk penjara. Di dalam tatacara penanganan hukum di Indonesia sebetulnya ada yang disebut “restorative justice”. Bahasa awamnya adalah cara-cara “kekeluargaan” sehingga bisa diselesaikan tanpa harus masuk ke ruang pengadilan. Masalah bisa diselesaikan di luar pengadilan jika terjadi kesepahaman antara pelaku dengan orang yang merasa dirugikan, terutama terhadap kasus-kasus yang terkait UU ITE, seperti, fitnah, ujaran kebencian, dan kebohongan. Dengan demikian, tidak perlu ada pemenjaraan terhadap pelaku, tetapi yang tercipta adalah adanya kesadaran bersama. Cara-cara ini sangat dianjurkan oleh Kapolri Sigit Listyanto sehingga keharmonisan dapat lebih terjaga dan kearifan lokal masyarakat dapat lebih berkembang.

            Untuk dapat tercapai penyelesaian restorative justice, seluruh pihak harus saling memahami dan menahan diri agar terbuka dan tidak memperuncing masalah, apalagi meneruskan perilaku-perilaku yang merugikan orang lain dan melanggar hukum. Sayangnya, Bahar tidak mampu menahan dirinya, tidak terbuka untuk penyelesaian kekeluargaan, bahkan berulang-ulang bersikap arogan dan angkuh seolah-olah dirinya benar. Dia tetap melakukan penghinaan kepada presiden, pejabat negara, dan menantang aparat keamanan. Inilah yang menutup jalan bagi terlaksananya restorative justice. Jika saja sikap Bahar  melunak, tak perlu masuk penjara. Semua bisa saling memahami dan membuka jembatan untuk lebih baik dalam berkomunikasi. Akibatnya, cara-cara kekerasan dilakukan aparat keamanan, memasukannya ke penjara agar tidak lagi mengulangi perbuatan-perbuatan yang serupa.

            Saya heran apakah memang ini sikap Bahar yang asli atau memang dikompori oleh orang-orang sekitarnya?

            Mengapa tidak ada yang menasihatinya?

            Hal yang terjadi malah orang-orang sekitarnya dan pengikutnya mendukung perilaku-perilaku buruk itu. Bahkan, mencoba membolak-balikan fakta  bahwa Bahar itu mengkritik.

            Kritikan apa?

            Dia itu memaki, menghina, dan menyebarkan berita dusta.

            Apakah memang sengaja dikompori dan orang-orang sekitarnya mendapatkan keuntungan dari perilaku Bahar?

            Dengan melihat perilaku Bahar seperti itu, tak heran jika Habib Abdillah Toha mengusulkan agar Bahar dipasung di rumah sakit jiwa hingga sembuh. Artinya, dia menganggap Bahar memiliki gangguan kejiwaan. Sebelumnya, Politisi PSI Dede Uki menilai Bahar memiliki kelainan kejiwaan yang disebutnya “superiority complex”, yaitu merasa diri paling mulia, paling tinggi, dan paling berkuasa karena merasa cucu Nabi Muhammad saw. Padahal, silsilahnya ini harus diperiksa ulang karena Bahar yang masih sangat muda itu kata Gus Nuril mengaku keturunan Nabi saw yang ke-26, sementara itu Habib Luthfi bin Yahya saja yang usianya lebih tua adalah keturunan Nabi saw yang ke-40. Ini memang meragukan.

            Apalagi setelah didatangi Danrem Surya Kencana Jenderal Ahmad Fauzi, Bahar bersikap tidak sopan, padahal TNI mendatanginya untuk mengingatkannya agar lebih terjadi ketertiban dan ketenangan di daerah kekuasaannya. Para netizen menyebut Bahar sebagai Megalomania. Ini adalah gangguan kejiwaan yang merasa diri lebih berkuasa, selalu benar, paling cerdas, dan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Penyakit Megalomania ini bisa dilihat dari cara berpikir orang-orang yang ngawur dan tidak tersusun dengan baik sehingga tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan.

            Kalau memang Bahar tidak mampu mengendalikan dirinya seperti yang diakui dirinya sendiri bahwa dia temperamental dan orang-orang di sekitarnya tidak mampu mengendalikannya dengan berbagai nasihat yang baik, Bahar memang harus dikendalikan negara dengan menggunakan para dokter ahli jiwa yang dapat memberikannya obat dan bimbingan untuk mengatasi berbagai kelainan dalam jiwanya.

            Kalau dirawat di rumah sakit jiwa, jangan selalu membayangkan orang gila di jalanan yang kumal dan gembel itu. Banyak kok pejabat, orang kaya, masyarakat yang berobat ke rumah sakit jiwa untuk memperbaiki kejiwaannya. Misalnya, mereka yang kalah dalam Pilkada, Pileg, atau Pilkades sudah memesan duluan kamar di rumah sakit jiwa untuk memulihkan tekanan, stres, atau depresi akibat kekalahannya. Banyak juga masyarakat yang memasukan anak-anaknya ke rumah sakit jiwa karena kecanduan game online yang merusakkan perilakunya sendiri.

            Mudah-mudahan, Bahar atau siapa pun dapat lebih baik lagi hidup bersama dengan masyarakat secara baik selepas menjalani hukumannya. Dengan demikian, tercipta kehidupan yang lebih harmonis serta dapat bersama-sama membangun diri dan masyarakat untuk lebih maju dan berkembang.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment