oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bahar bin Smith sebetulnya
tidak harus masuk penjara. Di dalam tatacara penanganan hukum di Indonesia
sebetulnya ada yang disebut “restorative
justice”. Bahasa awamnya adalah cara-cara “kekeluargaan” sehingga bisa diselesaikan tanpa harus masuk ke ruang
pengadilan. Masalah bisa diselesaikan di luar pengadilan jika terjadi
kesepahaman antara pelaku dengan orang yang merasa dirugikan, terutama terhadap
kasus-kasus yang terkait UU ITE, seperti, fitnah, ujaran kebencian, dan kebohongan.
Dengan demikian, tidak perlu ada pemenjaraan terhadap pelaku, tetapi yang
tercipta adalah adanya kesadaran bersama. Cara-cara ini sangat dianjurkan oleh
Kapolri Sigit Listyanto sehingga keharmonisan dapat lebih terjaga dan kearifan lokal
masyarakat dapat lebih berkembang.
Untuk dapat tercapai penyelesaian restorative justice,
seluruh pihak harus saling memahami dan menahan diri agar terbuka dan tidak
memperuncing masalah, apalagi meneruskan perilaku-perilaku yang merugikan orang
lain dan melanggar hukum. Sayangnya, Bahar tidak mampu menahan dirinya, tidak
terbuka untuk penyelesaian kekeluargaan, bahkan berulang-ulang bersikap arogan
dan angkuh seolah-olah dirinya benar. Dia tetap melakukan penghinaan kepada
presiden, pejabat negara, dan menantang aparat keamanan. Inilah yang menutup
jalan bagi terlaksananya restorative justice. Jika saja sikap Bahar melunak, tak perlu masuk penjara. Semua bisa
saling memahami dan membuka jembatan untuk lebih baik dalam berkomunikasi. Akibatnya,
cara-cara kekerasan dilakukan aparat keamanan, memasukannya ke penjara agar
tidak lagi mengulangi perbuatan-perbuatan yang serupa.
Saya heran apakah memang ini sikap Bahar yang asli atau
memang dikompori oleh orang-orang sekitarnya?
Mengapa tidak ada yang menasihatinya?
Hal yang terjadi malah orang-orang sekitarnya dan pengikutnya
mendukung perilaku-perilaku buruk itu. Bahkan, mencoba membolak-balikan
fakta bahwa Bahar itu mengkritik.
Kritikan apa?
Dia itu memaki, menghina, dan menyebarkan berita dusta.
Apakah memang sengaja dikompori dan orang-orang
sekitarnya mendapatkan keuntungan dari perilaku Bahar?
Dengan melihat perilaku Bahar seperti itu, tak heran jika
Habib Abdillah Toha mengusulkan agar Bahar dipasung di rumah sakit jiwa hingga
sembuh. Artinya, dia menganggap Bahar memiliki gangguan kejiwaan. Sebelumnya, Politisi
PSI Dede Uki menilai Bahar memiliki kelainan kejiwaan yang disebutnya “superiority complex”, yaitu merasa diri
paling mulia, paling tinggi, dan paling berkuasa karena merasa cucu Nabi
Muhammad saw. Padahal, silsilahnya ini harus diperiksa ulang karena Bahar yang
masih sangat muda itu kata Gus Nuril mengaku keturunan Nabi saw yang ke-26,
sementara itu Habib Luthfi bin Yahya saja yang usianya lebih tua adalah
keturunan Nabi saw yang ke-40. Ini memang meragukan.
Apalagi setelah didatangi Danrem Surya Kencana Jenderal Ahmad
Fauzi, Bahar bersikap tidak sopan, padahal TNI mendatanginya untuk
mengingatkannya agar lebih terjadi ketertiban dan ketenangan di daerah
kekuasaannya. Para netizen menyebut Bahar sebagai Megalomania. Ini adalah
gangguan kejiwaan yang merasa diri lebih berkuasa, selalu benar, paling cerdas,
dan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Penyakit Megalomania ini bisa
dilihat dari cara berpikir orang-orang yang ngawur dan tidak tersusun dengan
baik sehingga tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan.
Kalau memang Bahar tidak mampu mengendalikan dirinya seperti
yang diakui dirinya sendiri bahwa dia temperamental dan orang-orang di
sekitarnya tidak mampu mengendalikannya dengan berbagai nasihat yang baik,
Bahar memang harus dikendalikan negara dengan menggunakan para dokter ahli jiwa
yang dapat memberikannya obat dan bimbingan untuk mengatasi berbagai kelainan
dalam jiwanya.
Kalau dirawat di rumah sakit jiwa, jangan selalu
membayangkan orang gila di jalanan yang kumal dan gembel itu. Banyak kok
pejabat, orang kaya, masyarakat yang berobat ke rumah sakit jiwa untuk
memperbaiki kejiwaannya. Misalnya, mereka yang kalah dalam Pilkada, Pileg, atau
Pilkades sudah memesan duluan kamar di rumah sakit jiwa untuk memulihkan
tekanan, stres, atau depresi akibat kekalahannya. Banyak juga masyarakat yang
memasukan anak-anaknya ke rumah sakit jiwa karena kecanduan game online yang
merusakkan perilakunya sendiri.
Mudah-mudahan, Bahar atau siapa pun dapat lebih baik lagi
hidup bersama dengan masyarakat secara baik selepas menjalani hukumannya.
Dengan demikian, tercipta kehidupan yang lebih harmonis serta dapat
bersama-sama membangun diri dan masyarakat untuk lebih maju dan berkembang.
No comments:
Post a Comment