oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Baru-baru ini anggota DPR RI
dari PDIP Arteria Dahlan meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mencopot atau
memecat salah seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang menggunakan bahasa
Sunda dalam rapat kerja. Permintaannya itu membingungkan, tidak lengkap, dan tidak
jelas.
Kajati mana yang dia maksud? Siapa?
Soalnya, ada empat orang Sunda yang menjadi Kajati di
Indonesia ini. Kalau disebut Kajati Jawa Barat Asep Nana Mulyana, masih sulit
juga. Hal itu disebabkan Asep tidak merasa bahwa dirinya yang jadi target
Arteria Dahlan. Bahkan, Arteria memuji-muji Asep sebagai pengacara negara yang
telah menuntut Si Ustadz Cabul Herry Wirawan yang memperkosa banyak
santriwatinya dengan hukuman mati. Belum jelas Kajati mana yang dimaksud
Arteria Dahlan.
Di mana Kajati berbahasa Sunda itu melakukan rapat kerja?
Di Bandung? Garut? Jakarta? Medan? Makasar?
Rapat kerja apa yang dia maksud?
Kapan kejadiannya?
Sepanjang apa bahasa Sunda yang digunakan Kajati
tersebut?
Dari awal sampai akhir rapat? Hanya setengah rapat? Satu atau
dua kalimat saja? Bentuknya hanya peribahasa atau narasi panjang?
Sepanjang yang saya tahu, selama bekerja di Gedung
Kura-Kura Senayan itu selama empat tahun, tidak pernah ada yang menggunakan bahasa
daerahnya masing-masing sepanjang rapat. Paling juga satu atau dua kalimat,
sebuah peribahasa, atau memang harus menggunakan bahasa Sunda karena belum ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, beberapa kata atau peribahasa Sunda
sering digunakan oleh anggota DPR RI dari suku mana pun. Misalnya, kata “tembang, anyar, baheula, miris,” atau “ngabuburit”. Peribahasa Sunda pun
sering dipakai seperti “laukna beunang
caina herang”, ‘ikannya dapat, airnya tidak keruh’, maksudnya masalah
terselesaikan tanpa harus menimbulkan kekisruhan.
Kalau para anggota DPR RI yang bukan Sunda ingin
menggunakan bahasa atau peribahasa Sunda, suka bertanya dulu kepada orang
Sunda.
“Dek, apa itu
artinya ‘fardhu kasunat’?”
Dia memanggil saya
adik maksudnya. Otak saya meloading dulu sebentar karena kalimat itu tidak pernah
ada.
“Mungkin maksudnya ‘fardhu
kasambut, sunat kalampah’, begitu, Pak?”
“Iya, iya itu.”
“Itu seperti
peribahasa Indonesia, ‘sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui’. Sekali
bekerja dalam waktu yang sama beberapa pekerjaan terselesaikan.”
Dia manggut-manggut.
“Lebih tepatnya
begini, pekerjaan yang wajib atau yang pokok terselesaikan, bersamaan dengan
itu pekerjaan tambahan pun terselesaikan.”
“Oh, begitu ya?”
Kembali ke soal
Arteria Dahlan. Karena tidak jelas, orang pun bereaksi dengan rupa-rupa
tanggapan dan tidak jelas juga. Hal itu disebabkan Arteria sendiri yang salah, tidak
lengkap penjelasannya. Kalau tidak paham beberapa kalimat dalam bahasa Sunda,
ya tanya saja sama orang Sunda. Gitu aja
kok repot. Saya juga begitu kok kalau ada di tempat lain atau lingkungan
berbeda, ya wajar saja kalau bertanya tentang beberapa kata dalam bahasa
setempat.
Apapun alasannya, Arteria Dahlan berlebihan jika harus
meminta Jaksa Agung untuk mencopot Kajati yang menggunakan bahasa Sunda. Dia
harus ingat dan paham bahwa bahasa Indonesia itu sampai sekarang terus
diperkaya, dipermewah oleh bahasa daerah di seluruh Indonesia dan oleh bahasa asing
yang memang sudah akrab di telinga orang Indonesia atau memang belum ada kata padanannya
dalam bahasa Indonesia.
Harus
disadari bahwa bahasa Indonesia itu masih miskin dan memerlukan tambahan dari
bahasa daerah dan bahasa asing untuk melengkapinya sehingga semakin kaya untuk
digunakan berkomunikasi. Bahasa asing yang sering masuk menjadi bahasa Indonesia
adalah bahasa Arab, Inggris, dan Belanda.
Arteria Dahlan atau siapa pun jangan berlebihan, hanya karena
tidak paham, minta orang dipecat. Kalau enggak ngerti, nanya, bukan marah.
Sampurasun.
Arteria Dahlan pasti
ngerti sampurasun. Kalau enggak ngerti, terlalu.
No comments:
Post a Comment