oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Semua orang, siapa saja,
boleh mengkritik saya, sekeras apa pun soal ini. Saya betul-betul tidak
mengerti mengapa seolah-olah buruh atau karyawan itu selalu berseberangan,
berhadapan, atau tampak bermusuhan dengan pemerintah. Ujung dari banyak protes
atau demonstrasi buruh itu adalah “turunkan
Jokowi” atau paling tidak,
menyalahkan pemerintah. Padahal, soal buruh itu soal ekonomi. Akan tetapi, akhirnya
menjadi politik. Itu adalah keanehan.
Sebetulnya, soal buruh atau karyawan itu bukan urusan
pemerintah, melainkan urusan antara buruh atau karyawan dengan pengusaha.
Segala persoalan itu seharusnya diselesaikan antara buruh dengan pengusaha.
Jika mereka bisa menyelesaikan masalahnya, lalu mendapatkan kesepakatan,
selesailah urusannya. Tidak perlu pemerintah turun tangan. Jadi, kalaupun mau
berhadapan, buruh itu seharusnya berhadapan dengan pengusaha, bukan dengan
pemerintah.
Kehadiran pemerintah dalam urusan buruh dengan pengusaha
adalah karena antara buruh dan pengusaha memiliki banyak masalah yang tidak
dapat diselesaikan sendiri. Pemerintah menjadi penengah agar kepentingan buruh
terakomodasi dan kepentingan pengusaha pun terlayani. Di samping itu,
pemerintah berkepentingan agar berbagai perusahaan berkembang sebagai salah satu
penopang perputaran ekonomi negara. Jika pemerintah hanya mementingkan
pengusaha, buruh akan terdesak dan rakyat dirugikan yang akhirnya menimbulkan
gangguan ekonomi karena rakyat tidak mau lagi bekerja di tempat yang merugikan.
Sebaliknya, jika pemerintah hanya mementingkan buruh, pengusaha akan merasa
berat untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya, perusahaan bisa tutup, semua
rugi. Hal ini pernah terjadi pada awal 1998. Ketika pemerintahan Soeharto
jatuh, para buruh ikut-ikutan demo seperti mahasiswa yang akibatnya dirasakan
berat oleh pengusaha. Oleh sebab itu, banyak pengusaha yang memindahkan
perusahaannya ke tempat lain, lebih tepatnya ke negara lain, seperti, Vietnam
dan Thailand. Hal itu jelas merugikan buruh sendiri karena kehilangan pekerjaan,
pengusaha juga harus mulai dari awal berusaha di negara yang berbeda, dan
pemerintah juga mengalami goncangan sosial dan ekonomi.
Penetapan Perppu Cipta Kerja yang dilakukan Presiden
Jokowi adalah salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang terjadi antara
buruh dengan pengusaha di samping untuk menghadapi goncangan ekonomi yang
berasal dari pengaruh negara-negara lain di dunia ini. Akan tetapi, Perppu ini
mendapatkan penolakan yang luar biasa dari buruh, padahal Perppu itu seperti
yang tadi saya sebutkan agar kepentingan pengusaha terpenuhi dan kepentingan
buruh pun terlayani. Jika merasa kurang adil, seharusnya jangan menyerang
pemerintah, tetapi selesaikan masalahnya antara buruh dengan pengusaha. Pemerintah
itu hanya hadir jika terjadi masalah antara pengusaha dan buruh. Jangan
libatkan pemerintah jika memang bisa menyelesaikan sendiri. Kalau tidak bisa,
pemerintah pasti ikut campur.
Buktinya, memang tidak bisa menyelesaikan sendiri, bukan?
Ketika Perppu Cipta Kerja ditetapkan Presiden Jokowi,
para buruh yang merasa tidak adil menyalahkan pemerintah dan menganggap
pemerintah tidak proburuh atau tidak prorakyat. Sebaliknya, mereka yang setuju
dengan Perppu balik menyerang mereka yang tidak setuju dengan banyak kata-kata
sindiran, misalnya, “jangan jadi buruh
kalau merasa rugi, jadi pengusaha saja. Dasar tidak bisa bersyukur, sudah punya
kerja, banyak protes, padahal yang lain belum punya kerja. Cobalah jadi
pengusaha, jadi majikan, berat tahu!”
Begitulah yang
terjadi. Maaf kalau saya salah, boleh kritik saya.
Balik
lagi, saya hanya tidak mengerti kenapa harus menyerang pemerintah yang berupaya
menengahi kepentingan buruh dan pengusaha?
Selesaikan
sendiri antara buruh dan pengusaha, jangan libatkan pemerintah kalau memang
bisa. Kalau tidak bisa, pemerintah harus ikut campur untuk mengurus rakyatnya.
Buruh dan pengusaha adalah sama-sama rakyat yang harus diurus, diatur, dan
dilindungi oleh pemerintah.
No comments:
Post a Comment