oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kalau mengikuti
tulisan-tulisan saya yang lalu, pembaca akan tahu bahwa saya selalu mengatakan
agar jangan malu-maluin kalau ditolak masuk rumah orang lain, jangan protes
atau marah. Perilaku protes atau marah itu adalah bentuk dari kecengengan. Bagi
saya, memalukan ketika akan bertamu ke rumah orang lain, lalu ditolak pemilik
rumah, kemudian kita protes, marah, bahkan mengadu kepada orang lain. Kalau pemilik
rumah tidak menyukai kita, seharusnya tinggalkan saja dengan tenang dan tetap
berwibawa.
Sikap inilah yang tidak saya sukai dari Abdul Somad.
Ketika dia diperiksa di pelabuhan Singapura, dia mengupload bahwa dirinya
ditempatkan di ruangan berukuran 1 X 2 meter, lalu dipisahkan dari keluarganya.
Dia seolah-olah mengadu kepada pendukungnya dan semua orang, seluruh dunia
melihatnya, termasuk Singapura. Menurut sumber lain sih ukuran ruangannya tidak
sekecil itu, lebih besar dibandingkan yang diupload Abdul Somad yang dikenal
dengan nama UAS ini. Itu perilaku cengeng.
Perilakunya ini menimbulkan pemahaman yang salah di
masyarakat yang kemudian menyalahkan Singapura. Padahal, Singapura adalah rumah
orang lain, negara orang lain. Suka-suka mereka saja mau menolak siapa saja.
Begitu hukum yang berlaku secara internasional. Singapura tidak salah dalam hal
ini. Seperti kita juga berhak menolak atau mengusir siapa saja yang tidak kita
sukai.
Mereka
tidak suka, lalu kita bisa apa?
Dengan
pemahaman rakyat yang salah dapat mengakibatkan hubungan yang jelek dengan
Singapura, padahal ada puluhan bahkan mungkin ratusan ribu orang Indonesia yang
bekerja di sana. Ada uang Singapura yang diinvestasikan sehingga membuka banyak
lapangan kerja di Indonesia. Kalau hubungan menjadi buruk, kemungkinan kerja
sama yang positif bisa terganggu, bahkan
berantakan. Itu merugikan semuanya.
Kalau
ditolak masuk Singapura, tegar dan tunjukkan harga diri yang tinggi saja. Jangan
pedulikan lagi mereka jika kita tidak mau mengikuti keinginan mereka. Kabar
terakhir UAS menyatakan bahwa dia tidak peduli lagi disebut apa pun dan dituduh
apa pun oleh Singapura. Dia akan tetap konsisten berdakwah. Nah, itu sikap yang
sangat hebat, tidak cengeng, tetapi punya harga diri. Begitulah seharusnya.
Abdul
Somad jangan lagi berharap masuk ke Singapura, apalagi dia telah mengatakan
bahwa Singapura adalah negara kafir dan bisa tenggelam jika dikencingi oleh
kita semua. Itu perkataan Somad yang pasti membuat sakit hati sekaligus marah
Singapura. Mereka pasti tahu itu dan mencatatnya. Akibatnya, Somad mungkin akan
ditolak selamanya, saya tidak tahu. Hal yang jelas adalah berani berbuat, harus
berani pula bertanggung jawab.
Singapura
memang cukup sensitif dalam hal ini. Negara ini bisa menolak atau mengusir
orang biasa sekalipun. Pernah pemimpin tim sukses Ahok dulu ditolak masuk ke
Singapura juga. Mungkin Singapura tidak ingin negaranya digunakan rapat-rapat
politik negara lain. Orang yang tidak terkenal pun sangat mungkin mereka tolak.
Itu hak mereka.
Saya
juga mungkin orang yang dicatat mereka untuk ditolak masuk Singapura, saya
tidak tahu. Mungkin mereka juga memperhatikan saya yang berkali-kali menulis
kritikan terhadap Singapura dan dibaca seluruh dunia, statistiknya ada di blog.
Saya mengkritik keras Singapura karena negara mereka seolah-olah adalah surga bagi
para koruptor Indonesia. Para koruptor banyak yang berlarian kabur ke Singapura
dan kelihatannya mereka nyaman di sana. Aparat penegak hukum kita tidak
memiliki kekuasaan apa pun di Singapura, sementara itu Singapura pun tampaknya
membiarkan mereka di negaranya. Singapura justru seolah-olah menikmati
kehadiran para koruptor itu karena mereka jelas pasti mengeluarkan uangnya di
sana dan menjadi pendapatan bagi Singapura. Tak tampak ada itikad baik Singapura
untuk mempermudah penangkapan koruptor Indonesia oleh penegak hukum Indonesia.
Saya
beneran tidak tahu, saya juga mungkin akan ditolak Singapura. Saya belum tahu
karena kebetulan saja berkali-kali hendak ke Singapura selalu gagal. Beberapa
kali teman-teman saya mengajak rapat di Singapura untuk keperluan bisnis,
tetapi nggak pernah jadi. Pada tahun ini pun, 2022, rencananya ke Singapura
bersama murid-murid saya, mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Fisip,
Universitas Al Ghifari. Para mahasiswa sudah menitipkan uangnya kepada saya
dengan cara menabung sejak 2020. Akan tetapi, karena situasi pandemi Covid-19,
saya tidak yakin apakah bisa mengajak para mahasiswa untuk berkunjung ke
Universitas Nasional Singapura atau tidak. Akibatnya, saya kembalikan uang
mereka agar mereka pergunakan untuk hal lain sesuai dengan keperluan mereka. Jadi,
saya beneran tidak tahu apakah akan ditolak atau diterima Singapura.
Kalaupun
saya bersama rombongan mahasiswa Universitas Al Ghifari ditolak masuk
Singapura, paling saya pulang lagi saja. Biarkan saja para mahasiswa dibimbing
dosen lain selama di Singapura untuk study visit. Mereka menolak saya, biarkan
saja, mungkin mereka tersinggung karena kritikan keras saya terhadap mereka.
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Saya tidak akan protes. Paling pada
periode berikutnya saya akan mengajak para mahasiswa untuk ke negara lain,
misalnya, ke Vietnam mengunjungi Universitas Ho Chi Minh, Thailand, atau
Malaysia. Tidak akan ke Singapura.
Buat
apa ke Singapura?
Mereka
tidak menyukai saya, buat apa memaksa mereka untuk menerima saya?
Malu-maluin
saja.
Tegar
saja.
Itu
juga kalau memang ditolak. Kalau tidak, ya syukurlah.
Begitu
juga dengan Abdul Somad, tidak perlu Curhat atau mengadu lagi di Medsos hingga
menimbulkan kekecewaan dan kemarahan pendukungnya. Jangan berharap lagi untuk
masuk Singapura, toh sudah ditolak. Kalau mau ulang tahun, di Indonesia saja,
banyak yayasan yatim piatu dan yayasan orang jompo yang bisa dijadikan tempat
untuk ulang tahun, seperti yang UAS ajarkan sendiri.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment