Sunday 22 May 2022

Abdul Somad Berhenti Cengeng, Baguslah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kalau mengikuti tulisan-tulisan saya yang lalu, pembaca akan tahu bahwa saya selalu mengatakan agar jangan malu-maluin kalau ditolak masuk rumah orang lain, jangan protes atau marah. Perilaku protes atau marah itu adalah bentuk dari kecengengan. Bagi saya, memalukan ketika akan bertamu ke rumah orang lain, lalu ditolak pemilik rumah, kemudian kita protes, marah, bahkan mengadu kepada orang lain. Kalau pemilik rumah tidak menyukai kita, seharusnya tinggalkan saja dengan tenang dan tetap berwibawa.

            Sikap inilah yang tidak saya sukai dari Abdul Somad. Ketika dia diperiksa di pelabuhan Singapura, dia mengupload bahwa dirinya ditempatkan di ruangan berukuran 1 X 2 meter, lalu dipisahkan dari keluarganya. Dia seolah-olah mengadu kepada pendukungnya dan semua orang, seluruh dunia melihatnya, termasuk Singapura. Menurut sumber lain sih ukuran ruangannya tidak sekecil itu, lebih besar dibandingkan yang diupload Abdul Somad yang dikenal dengan nama UAS ini. Itu perilaku cengeng.

            Perilakunya ini menimbulkan pemahaman yang salah di masyarakat yang kemudian menyalahkan Singapura. Padahal, Singapura adalah rumah orang lain, negara orang lain. Suka-suka mereka saja mau menolak siapa saja. Begitu hukum yang berlaku secara internasional. Singapura tidak salah dalam hal ini. Seperti kita juga berhak menolak atau mengusir siapa saja yang tidak kita sukai.

Mereka tidak suka, lalu kita bisa apa?

Dengan pemahaman rakyat yang salah dapat mengakibatkan hubungan yang jelek dengan Singapura, padahal ada puluhan bahkan mungkin ratusan ribu orang Indonesia yang bekerja di sana. Ada uang Singapura yang diinvestasikan sehingga membuka banyak lapangan kerja di Indonesia. Kalau hubungan menjadi buruk, kemungkinan kerja sama  yang positif bisa terganggu, bahkan berantakan. Itu merugikan semuanya.

Kalau ditolak masuk Singapura, tegar dan tunjukkan harga diri yang tinggi saja. Jangan pedulikan lagi mereka jika kita tidak mau mengikuti keinginan mereka. Kabar terakhir UAS menyatakan bahwa dia tidak peduli lagi disebut apa pun dan dituduh apa pun oleh Singapura. Dia akan tetap konsisten berdakwah. Nah, itu sikap yang sangat hebat, tidak cengeng, tetapi punya harga diri. Begitulah seharusnya.

Abdul Somad jangan lagi berharap masuk ke Singapura, apalagi dia telah mengatakan bahwa Singapura adalah negara kafir dan bisa tenggelam jika dikencingi oleh kita semua. Itu perkataan Somad yang pasti membuat sakit hati sekaligus marah Singapura. Mereka pasti tahu itu dan mencatatnya. Akibatnya, Somad mungkin akan ditolak selamanya, saya tidak tahu. Hal yang jelas adalah berani berbuat, harus berani pula bertanggung jawab.

Singapura memang cukup sensitif dalam hal ini. Negara ini bisa menolak atau mengusir orang biasa sekalipun. Pernah pemimpin tim sukses Ahok dulu ditolak masuk ke Singapura juga. Mungkin Singapura tidak ingin negaranya digunakan rapat-rapat politik negara lain. Orang yang tidak terkenal pun sangat mungkin mereka tolak. Itu hak mereka.

Saya juga mungkin orang yang dicatat mereka untuk ditolak masuk Singapura, saya tidak tahu. Mungkin mereka juga memperhatikan saya yang berkali-kali menulis kritikan terhadap Singapura dan dibaca seluruh dunia, statistiknya ada di blog. Saya mengkritik keras Singapura karena negara mereka seolah-olah adalah surga bagi para koruptor Indonesia. Para koruptor banyak yang berlarian kabur ke Singapura dan kelihatannya mereka nyaman di sana. Aparat penegak hukum kita tidak memiliki kekuasaan apa pun di Singapura, sementara itu Singapura pun tampaknya membiarkan mereka di negaranya. Singapura justru seolah-olah menikmati kehadiran para koruptor itu karena mereka jelas pasti mengeluarkan uangnya di sana dan menjadi pendapatan bagi Singapura. Tak tampak ada itikad baik Singapura untuk mempermudah penangkapan koruptor Indonesia oleh penegak hukum Indonesia.

Saya beneran tidak tahu, saya juga mungkin akan ditolak Singapura. Saya belum tahu karena kebetulan saja berkali-kali hendak ke Singapura selalu gagal. Beberapa kali teman-teman saya mengajak rapat di Singapura untuk keperluan bisnis, tetapi nggak pernah jadi. Pada tahun ini pun, 2022, rencananya ke Singapura bersama murid-murid saya, mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Al Ghifari. Para mahasiswa sudah menitipkan uangnya kepada saya dengan cara menabung sejak 2020. Akan tetapi, karena situasi pandemi Covid-19, saya tidak yakin apakah bisa mengajak para mahasiswa untuk berkunjung ke Universitas Nasional Singapura atau tidak. Akibatnya, saya kembalikan uang mereka agar mereka pergunakan untuk hal lain sesuai dengan keperluan mereka. Jadi, saya beneran tidak tahu apakah akan ditolak atau diterima Singapura.

Kalaupun saya bersama rombongan mahasiswa Universitas Al Ghifari ditolak masuk Singapura, paling saya pulang lagi saja. Biarkan saja para mahasiswa dibimbing dosen lain selama di Singapura untuk study visit. Mereka menolak saya, biarkan saja, mungkin mereka tersinggung karena kritikan keras saya terhadap mereka. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Saya tidak akan protes. Paling pada periode berikutnya saya akan mengajak para mahasiswa untuk ke negara lain, misalnya, ke Vietnam mengunjungi Universitas Ho Chi Minh, Thailand, atau Malaysia. Tidak akan ke Singapura.

Buat apa ke Singapura?

Mereka tidak menyukai saya, buat apa memaksa mereka untuk menerima saya?

Malu-maluin saja.

Tegar saja.

Itu juga kalau memang ditolak. Kalau tidak, ya syukurlah.

Begitu juga dengan Abdul Somad, tidak perlu Curhat atau mengadu lagi di Medsos hingga menimbulkan kekecewaan dan kemarahan pendukungnya. Jangan berharap lagi untuk masuk Singapura, toh sudah ditolak. Kalau mau ulang tahun, di Indonesia saja, banyak yayasan yatim piatu dan yayasan orang jompo yang bisa dijadikan tempat untuk ulang tahun, seperti yang UAS ajarkan sendiri.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment