oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Manusia bisa bilang, ini
kebetulan. Akan tetapi, dalam pandangan spiritual Islam, ini sudah menjadi
takdir Allah swt bahwa Indonesia menjadi Presidensi G20 yang diikuti 19 negara
maju dan akan maju ditambah 1 Unieropa di tengah-tengah kecamuk perang Rusia Vs
Ukraina yang dibantu oleh Nato.
Hal aneh yang terjadi adalah tiba-tiba Indonesia ditekan
pihak Barat untuk menendang Rusia dari keanggotaan G20 dan pertemuan-pertemuan
G20. Jika tidak, pihak Barat mengancam akan memboikot G20. Tentu saja, pihak
Barat ini dikendalikan oleh Amerika Serikat (AS), padahal negara-negara Barat
lain tampaknya setengah hati mengikuti keinginan AS dalam melawan Rusia. Hal
ini tampak sekali dari negara-negara barat yang kikuk karena mereka masih
bergantung pada Rusia, misalnya, soal kebutuhan gas dan minyak.
Hal ini diperparah dengan semua mata dunia menuju pada
panggung Jokowi, Indonesia, dan G20. Pihak Barat mendesak Indonesia bahwa G20
dijadikan ajang untuk menyelesaikan masalah perang Rusia Vs Ukraina, terutama
untuk menghukum Rusia. Banyak ancaman Barat yang ditujukan pada Indonesia yang
akan menyelenggarakan G20 di Bali. Ini aneh karena sesungguhnya G20 adalah
organisasi dan pertemuan tingkat tinggi dunia yang sudah dibatasi Jokowi hanya
untuk menyelesaikan masalah ekonomi dunia pascapandemi Covid-19. Temanya “Recovery Together, Stronger Together” artinya
“pulih bersama dan lebih kuat bersama”. Pertemuan ini tidak untuk membicarakan
masalah politik, militer, apalagi perang. Akan tetapi, keangkuhan Barat menekan
Indonesia agar memasukan pula soal Rusia dan Ukraina ke pembicaraan di G20.
Karena Indonesia adalah negara dengan politik luar negeri
bebas dan aktif, bebas dari tekanan negara mana pun dan aktif mewujudkan
perdamaian dunia, Jokowi tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin
sekaligus Presiden Ukraina Volodimyr Zelensky untuk hadir di G20 di Bali.
Indonesia tidak mengikuti kehendak AS dan Barat, tetapi tetap berupaya
memberikan jalan keluar agar terjadi pertemuan positif antara Rusia dan Ukraina
di Bali.
Meskipun
demikian, hal ini masih membingungkan karena mau apa Ukraina di G20?
Mau
ngomong apa dia?
Ukraina
itu bukan anggota G20 yang pasti tidak memiliki hak bicara dalam berbagai sidang
di Bali, kecuali diputuskan anggota G20 lain untuk bisa memiliki hak bicara
dengan mengubah atau menyepakati terlebih dahulu tatatertib yang ada. Dengan
demikian, Ukraina bisa memiliki hak bicara.
Kalau
Jokowi, Indonesia, memfasilitasi upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina di
G20, itu artinya agenda G20 meluas, bukan hanya bicara soal ekonomi, melainkan
pula perdamaian. Dengan demikian, Bali, Indonesia menjadi tempat pertemuan
untuk menyelesaikan perang dan mewujudkan perdamaian.
Hal
itu bagus. Akan tetapi, sesungguhnya, tempat untuk membicarakan perang dan
perdamaian adalah bukan di perhelatan G20, Bali, Indonesia, melainkan dalam sidang-sidang
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal itu disebabkan memang tempat untuk
menyelesaikan perkara seperti itu adalah di PBB, bukan di G20, bukan di
Indonesia, bukan di Bali, dan bukan pula oleh Jokowi.
Melihat
kenyataan seperti itu, publik dunia wajar bertanya, selama ini PBB melakukan
apa untuk menyelesaikan masalah konflik di Ukraina?
Kalau
PBB tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah itu, mengaku sajalah dengan
terus terang bahwa PBB adalah organisasi yang lemah dalam mengorganisasikan
dunia. Oleh sebab itu, PBB layak untuk dibubarkan.
Saya
jadi teringat pidato “Pemimpin Besar
Revolusi Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno” di hadapan dunia yang
menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB. Soekarno menyerukan perlunya
kesadaran dan kebersamaan untuk melakukan upaya “to build a world anew”, ‘membangun tatanan dunia baru’ yang lebih
masuk akal dan menjamin perdamaian kehidupan dunia.
Kalau
memang G20 Indonesia yang harus mendamaikan perang, bubarkan saja PBB.
Organisasi itu sudah kelihatan sangat lemah dan tunduk pada kepentingan barat.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment