Tuesday, 24 May 2022

Empat Karakter Sahabat Nabi Muhammad saw

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Para khalifah yang besar itu ada empat. Mereka dikenal sebagai khulafaur rasyidin yang artinya “pengganti yang mendapat petunjuk”, terdiri atas dua kata, yaitu khulafa dan rasyidin. Bisa juga kita menyebutnya khalifah yang mendapat petunjuk. Khalifah itu artinya bukan pemimpin, melainkan pengganti.

            Pengganti siapa?

            Pengganti Muhammad saw.

            Petunjuk dari siapa?

            Dari Allah swt.

            Mereka semua orang baik, adil, dan sangat bijaksana dalam membina umat. Akan tetapi, saya tidak ingin menulis hal itu. Saya tertarik terhadap karakter mereka yang berbeda-beda. Mereka adalah Abu Bakar as Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

            Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut dan selalu meminta koreksi dari orang lain. Dia tidak ingin dirinya salah. Ketika diangkat menjadi khalifah pun, beliau mengatakan bahwa seluruh umat Islam harus taat kepadanya, tetapi dilarang taat jika dirinya salah. Bahkan, beliau sempat ingin mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa malu tidak melakukan apa pun selama dua tahun, seluruh umat tertib dan tidak pernah ada masalah.

            Utsman bin Affan lebih lembut lagi dibandingkan Abu Bakar. Dia penyayang kepada umatnya dan selalu memperhatikan berbagai kesulitan yang menimpa umatnya. Beliau bahkan mengeluarkan harta pribadinya untuk kepentingan umat.

            Ali bin Abi Thalib adalah orang yang cerdas, bijaksana, dan tegas. Seluruh kebijakannya didasarkan pada pengetahuannya. Dia juga yang menjadi sumber pengetahuan para khalifah sebelumnya. Jadi, ketika dia berperilaku, sumbernya selalu Al Quran dan As Sunnah. Lembut, tegas, dan kerasnya Ali dasarnya adalah pengetahuan dari Al Quran.

            Umar bin Khattab adalah orang yang sangat keras dan cenderung kasar dalam arti positif. Pernah ketika berdakwah pun beliau mematahkan tulang, kemudian dia kirimkan ke pihak lain. Itu isyarat keras yang bisa ditafsirkan “kamu harus mematuhiku atau aku patahkan tulangmu”. Demikian pula ketika seseorang mengadu kepadanya telah ditempeleng oleh seorang gubernur. Umar memanggil gubernur itu di depan Kabah, kemudian menyuruh orang yang menjadi korban penempelengan untuk menempeleng balik gubernur itu.

            Tentu saja, perilaku Umar bin Khattab tidak perlu dilakukan zaman ini karena kita memiliki hukum dan undang-undang. Semua urusan harus melalui pengadilan untuk kemudian diputuskan hukumannya. Saya hanya ingin menerangkan saja bahwa Umar bin Khattab itu orang yang sangat keras.

            So, tidak perlu heran dan tidak perlu aneh jika ada orang yang berdakwah atau membina umat dengan cara yang berbeda-beda karena karakternya juga berbeda-beda. Bisa lembut, sangat lembut, tegas, ataupun keras. Itu karakter bawaan. Kita dzalim jika memaksa orang untuk harus sesuai dengan karakter yang kita inginkan. Itu pasti akan menimbulkan konflik dan persengketaan, jauh dari rahmat Allah swt. Asal isinya berdasarkan Al Quran, Hadits, serta menebarkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia dan alam semesta, semua sah-sah saja.

            Akan tetapi, akan menjadi malapetaka jika sudah memutarbalikan ayat Al Quran, memalsukan hadits, menebar fitnah, menyebarkan kebencian, menggaungkan kebohongan, merendahkan orang lain, menganggap dirinya selalu paling benar dan mulia, atau parahnya menghancurkan hidup orang lain karena kepentingan politik. Hal itu disebabkan di samping menimbulkan dosa, juga merendahkan kemuliaan Islam sendiri.

            Para khalifah yang empat itu meskipun karakter dan cara pembinaan kepada umatnya berbeda-beda, tetapi dasarnya sama, yaitu merujuk pada QS Al Fath, 48 : 29.

            “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”

            Saya menggarisbawahi kata-kata “berkasih sayang sesama mereka”. Artinya, para khalifah itu ingin mewujudkan rasa kasih sayang pada umat yang dibinanya. Mau caranya lembut, tegas, ataupun keras, tujuannya tetap menebarkan dan menciptakan suasana yang berkasih sayang. Jangan kaget jika ada orang yang berdakwah dengan karakternya asal tidak berdasarkan kebohongan, niatnya tulus, apa pun karakternya, tujuannya adalah menumbuhkan kehidupan yang berkasih sayang.

            Celakanya, pada zaman ini banyak orang yang memanipulasi ayat ini, yaitu mengafir-kafirkan orang, memurtad-murtadkan orang, menghinakan orang agar orang tertipu sehingga orang yang berbeda dengan dirinya adalah kafir, dzalim, atau murtad. Kemudian, menanamkan keyakinan bahwa kelompoknyalah yang Islam. Dengan demikian, orang-orang yang di luar mereka adalah kafir yang harus disikapi dengan keras sesuai hawa nafsu mereka. Bahkan, disebut halal darahnya untuk dibunuh. Padahal, terhadap orang kafir sendiri pun atau nonmuslim pun asal tidak melakukan permusuhan terhadap kaum muslimin, kita harus tetap baik berperilaku, bahkan lebih baik lagi dalam berhubungan dengan sesama manusia. Ngeri kalau sesama muslim sendiri sudah dikafirkan, lalu dianggap musuh yang harus dikerasi. Nabi Muhammad saw sendiri berbisnis kok dengan nasrani, yahudi, bahkan agama lainnya dengan baik.

            So, para khalifah itu berbeda cara dan karakter, tetapi tujuan dan niatnya selalu baik untuk Allah swt. Kita juga bisa berbeda-beda dan tidak perlu sama dalam membina umat. Kita bisa keras atau sangat keras asal niat dan tujuannya benar dan baik.

            Buat apa lembut dan halus kalau hanya untuk memanipulasi, menipu, dan membodohi orang lain untuk kepentingan duniawi yang remeh temeh?

Setiap orang berbeda-beda, tidak perlu takut untuk berdakwah dengan karakter masing-masing. Kita selalu dilindungi dan dijamin Allah swt sepanjang kita bersama Allah swt dan tidak bersama para penipu agama.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment