oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Para khalifah yang besar itu
ada empat. Mereka dikenal sebagai khulafaur rasyidin yang artinya “pengganti yang mendapat petunjuk”, terdiri
atas dua kata, yaitu khulafa dan rasyidin. Bisa juga kita menyebutnya khalifah
yang mendapat petunjuk. Khalifah itu artinya bukan pemimpin, melainkan
pengganti.
Pengganti siapa?
Pengganti Muhammad saw.
Petunjuk dari siapa?
Dari Allah swt.
Mereka semua orang baik, adil, dan sangat bijaksana dalam
membina umat. Akan tetapi, saya tidak ingin menulis hal itu. Saya tertarik
terhadap karakter mereka yang berbeda-beda. Mereka adalah Abu Bakar as Shidiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut dan selalu
meminta koreksi dari orang lain. Dia tidak ingin dirinya salah. Ketika diangkat
menjadi khalifah pun, beliau mengatakan bahwa seluruh umat Islam harus taat
kepadanya, tetapi dilarang taat jika dirinya salah. Bahkan, beliau sempat ingin
mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa malu tidak melakukan apa pun
selama dua tahun, seluruh umat tertib dan tidak pernah ada masalah.
Utsman bin Affan lebih lembut lagi dibandingkan Abu
Bakar. Dia penyayang kepada umatnya dan selalu memperhatikan berbagai kesulitan
yang menimpa umatnya. Beliau bahkan mengeluarkan harta pribadinya untuk
kepentingan umat.
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang cerdas, bijaksana,
dan tegas. Seluruh kebijakannya didasarkan pada pengetahuannya. Dia juga yang
menjadi sumber pengetahuan para khalifah sebelumnya. Jadi, ketika dia
berperilaku, sumbernya selalu Al Quran dan As Sunnah. Lembut, tegas, dan
kerasnya Ali dasarnya adalah pengetahuan dari Al Quran.
Umar bin Khattab adalah orang yang sangat keras dan
cenderung kasar dalam arti positif. Pernah ketika berdakwah pun beliau
mematahkan tulang, kemudian dia kirimkan ke pihak lain. Itu isyarat keras yang
bisa ditafsirkan “kamu harus mematuhiku atau aku patahkan tulangmu”. Demikian
pula ketika seseorang mengadu kepadanya telah ditempeleng oleh seorang
gubernur. Umar memanggil gubernur itu di depan Kabah, kemudian menyuruh orang
yang menjadi korban penempelengan untuk menempeleng balik gubernur itu.
Tentu saja, perilaku Umar bin Khattab tidak perlu
dilakukan zaman ini karena kita memiliki hukum dan undang-undang. Semua urusan
harus melalui pengadilan untuk kemudian diputuskan hukumannya. Saya hanya ingin
menerangkan saja bahwa Umar bin Khattab itu orang yang sangat keras.
So, tidak perlu heran dan tidak perlu aneh jika ada orang
yang berdakwah atau membina umat dengan cara yang berbeda-beda karena
karakternya juga berbeda-beda. Bisa lembut, sangat lembut, tegas, ataupun keras.
Itu karakter bawaan. Kita dzalim jika memaksa orang untuk harus sesuai dengan
karakter yang kita inginkan. Itu pasti akan menimbulkan konflik dan
persengketaan, jauh dari rahmat Allah swt. Asal isinya berdasarkan Al Quran,
Hadits, serta menebarkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia dan
alam semesta, semua sah-sah saja.
Akan tetapi, akan menjadi malapetaka jika sudah
memutarbalikan ayat Al Quran, memalsukan hadits, menebar fitnah, menyebarkan
kebencian, menggaungkan kebohongan, merendahkan orang lain, menganggap dirinya
selalu paling benar dan mulia, atau parahnya menghancurkan hidup orang lain
karena kepentingan politik. Hal itu disebabkan di samping menimbulkan dosa,
juga merendahkan kemuliaan Islam sendiri.
Para khalifah yang empat itu meskipun karakter dan cara
pembinaan kepada umatnya berbeda-beda, tetapi dasarnya sama, yaitu merujuk pada
QS Al Fath, 48 : 29.
“Muhammad adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
Saya menggarisbawahi
kata-kata “berkasih sayang sesama mereka”.
Artinya, para khalifah itu ingin mewujudkan rasa kasih sayang pada umat
yang dibinanya. Mau caranya lembut, tegas, ataupun keras, tujuannya tetap
menebarkan dan menciptakan suasana yang berkasih sayang. Jangan kaget jika ada
orang yang berdakwah dengan karakternya asal tidak berdasarkan kebohongan,
niatnya tulus, apa pun karakternya, tujuannya adalah menumbuhkan kehidupan yang
berkasih sayang.
Celakanya, pada zaman ini banyak orang yang memanipulasi
ayat ini, yaitu mengafir-kafirkan orang, memurtad-murtadkan orang, menghinakan
orang agar orang tertipu sehingga orang yang berbeda dengan dirinya adalah
kafir, dzalim, atau murtad. Kemudian, menanamkan keyakinan bahwa kelompoknyalah
yang Islam. Dengan demikian, orang-orang yang di luar mereka adalah kafir yang
harus disikapi dengan keras sesuai hawa nafsu mereka. Bahkan, disebut halal
darahnya untuk dibunuh. Padahal, terhadap orang kafir sendiri pun atau nonmuslim
pun asal tidak melakukan permusuhan terhadap kaum muslimin, kita harus tetap
baik berperilaku, bahkan lebih baik lagi dalam berhubungan dengan sesama manusia.
Ngeri kalau sesama muslim sendiri sudah dikafirkan, lalu dianggap musuh yang
harus dikerasi. Nabi Muhammad saw sendiri berbisnis kok dengan nasrani, yahudi,
bahkan agama lainnya dengan baik.
So, para khalifah itu berbeda cara dan karakter, tetapi
tujuan dan niatnya selalu baik untuk Allah swt. Kita juga bisa berbeda-beda dan
tidak perlu sama dalam membina umat. Kita bisa keras atau sangat keras asal
niat dan tujuannya benar dan baik.
Buat apa lembut dan halus kalau hanya untuk memanipulasi,
menipu, dan membodohi orang lain untuk kepentingan duniawi yang remeh temeh?
Setiap
orang berbeda-beda, tidak perlu takut untuk berdakwah dengan karakter
masing-masing. Kita selalu dilindungi dan dijamin Allah swt sepanjang kita
bersama Allah swt dan tidak bersama para penipu agama.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment