Gus
Dur-nya Muhammadiyah, Buya-nya NU
oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Saya masih belum bisa
konsentrasi menulis yang lain karena masih mengingat almarhum Buya Syafii
Maarif. Tiba-tiba saja mengingat pula Gus Dur (alm.) pemimpin Nahdlatul Ulama
(NU). Mereka berdua adalah sahabat akrab, malah seperti saudara. Melalui mereka
berdua perbedaan Muhammadiyah dan NU bisa diredam, baik perbedaan pandangan dan
pilihan politik, maupun perbedaan amaliyah dan ritual-ritual keagamaan. Mereka
berdualah yang meminimalisasi konflik-konflik keras yang pada masa lalu kerap
terjadi antara Muhammadiyah dan NU.
Di tingkat bawahnya pun mayoritas mengikuti mereka, mulai
dewasa untuk saling menghargai perbedaan. NU dan Muhammadiyah tetap berbeda,
tetapi sudah saling memahami dan menghormati.
Kesamaan Gus Dur dan Buya Syafii Maarif adalah dalam hal
kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka sama-sama mencintai bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Seberat apa pun, sesulit apa pun, sekotor apa pun
fitnahan, mereka tetap pada pendiriannya untuk menjaga persatuan dan kesatuan
Indonesia. Dalam hal hubungan keakraban, keduanya sering saling mengunjungi.
Tak heran jika Syafii Maarif disebut sebagai Gus Dur-nya Muhammadiyah,
sedangkan Gus Dur disebut Buya-nya NU. Foto Syafii Maarif dan Gus Dur saya
dapatkan dari Kurusetra-Republika.
Buya Syafii Maarif dan Gus Dur (Foto: Kurusetra-Republika) |
Ketika Gus Dur wafat, para pemikir NU banyak yang menyandarkan
pendapatnya pada pemikiran Buya Syafii Maarif. Demikian pula anak-anak Gus Dur
yang sering menelepon Buya untuk meminta nasihat setelah Gus Dur wafat.
Sebaliknya, Buya sering mengontak anak-anak Gus Dur seperti Yenny Wahid untuk
berdiskusi tentang masa depan bangsa Indonesia seperti kepada ayahnya dulu.
Bahkan, menurut Yenny Wahid, Buya sering merindukan Gus Dur, terutama saat
merasa kesepian dalam menegakkan toleransi. Tak heran, pada hari Buya wafat
banyak pengurus NU dari tingkat pusat hingga tingkat kelurahan yang menyatakan
belasungkawa di akun Medsos masing-masing.
Mereka berdua sangat konsisten dalam menjaga Indonesia.
Hal ini pun membuat organisasi Muhammadiyah dan NU berada dalam jalan yang sama
untuk menjaga Indonesia. Saking konsistennya, ada yang bilang bahwa Indonesia
seharusnya sudah dari dulu hancur berantakan seperti Suriah jika tak ada Muhammadiyah
dan NU. Keduanya telah nyata menjaga keutuhan Indonesia.
Saya sendiri pun sesungguhnya terpengaruhi oleh kedua
organisasi itu. Saya belajar berpikir modern tentang Islam dari teman-teman
saya yang berada di Muhammadiyah. Saya juga belajar banyak tentang hal ihwal
dzikir dan kesabaran dari saudara-saudara di NU. Dari merekalah saya banyak
belajar dan bertahap menjalankan ajaran Islam.
Kini kedua tokoh pilar kebangsaan yang memimpin dua
organisasi besar itu telah tiada. Semoga mereka berdua ada yang menggantikannya
dari Muhammadiyah dan NU agar cita-cita dan kerja keras mereka tetap berlanjut
dalam menjaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Jangan sampai dua
organisasi besar ini tergoda untuk jatuh dalam konflik yang diakibatkan hal-hal
sepele, kecil. Allah swt telah memberikan banyak anugerah untuk Indonesia dan
itu harus dijaga, jangan sampai rusak karena dimasuki gagasan-gagasan lain yang
sudah membusuk dan dapat menghancurkan kebersamaan hidup di Indonesia.
Buya dan Gus Dur adalah orang-orang hebat, memiliki
banyak umat, dan pemahaman keagamaan yang tinggi. Mereka adalah dua sahabat
yang harus terus dilanjutkan cita-citanya untuk keberkahan, keharmonisan, dan
kemakmuran Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment