Sunday 29 May 2022

 

Gus Dur-nya Muhammadiyah, Buya-nya NU

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Saya masih belum bisa konsentrasi menulis yang lain karena masih mengingat almarhum Buya Syafii Maarif. Tiba-tiba saja mengingat pula Gus Dur (alm.) pemimpin Nahdlatul Ulama (NU). Mereka berdua adalah sahabat akrab, malah seperti saudara. Melalui mereka berdua perbedaan Muhammadiyah dan NU bisa diredam, baik perbedaan pandangan dan pilihan politik, maupun perbedaan amaliyah dan ritual-ritual keagamaan. Mereka berdualah yang meminimalisasi konflik-konflik keras yang pada masa lalu kerap terjadi antara Muhammadiyah dan NU.

            Di tingkat bawahnya pun mayoritas mengikuti mereka, mulai dewasa untuk saling menghargai perbedaan. NU dan Muhammadiyah tetap berbeda, tetapi sudah saling memahami dan menghormati.

            Kesamaan Gus Dur dan Buya Syafii Maarif adalah dalam hal kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka sama-sama mencintai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seberat apa pun, sesulit apa pun, sekotor apa pun fitnahan, mereka tetap pada pendiriannya untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Dalam hal hubungan keakraban, keduanya sering saling mengunjungi. Tak heran jika Syafii Maarif disebut sebagai Gus Dur-nya Muhammadiyah, sedangkan Gus Dur disebut Buya-nya NU. Foto Syafii Maarif dan Gus Dur saya dapatkan dari Kurusetra-Republika.


Buya Syafii Maarif dan Gus Dur (Foto: Kurusetra-Republika)


            Ketika Gus Dur wafat, para pemikir NU banyak yang menyandarkan pendapatnya pada pemikiran Buya Syafii Maarif. Demikian pula anak-anak Gus Dur yang sering menelepon Buya untuk meminta nasihat setelah Gus Dur wafat. Sebaliknya, Buya sering mengontak anak-anak Gus Dur seperti Yenny Wahid untuk berdiskusi tentang masa depan bangsa Indonesia seperti kepada ayahnya dulu. Bahkan, menurut Yenny Wahid, Buya sering merindukan Gus Dur, terutama saat merasa kesepian dalam menegakkan toleransi. Tak heran, pada hari Buya wafat banyak pengurus NU dari tingkat pusat hingga tingkat kelurahan yang menyatakan belasungkawa di akun Medsos masing-masing.

            Mereka berdua sangat konsisten dalam menjaga Indonesia. Hal ini pun membuat organisasi Muhammadiyah dan NU berada dalam jalan yang sama untuk menjaga Indonesia. Saking konsistennya, ada yang bilang bahwa Indonesia seharusnya sudah dari dulu hancur berantakan seperti Suriah jika tak ada Muhammadiyah dan NU. Keduanya telah nyata menjaga keutuhan Indonesia.

            Saya sendiri pun sesungguhnya terpengaruhi oleh kedua organisasi itu. Saya belajar berpikir modern tentang Islam dari teman-teman saya yang berada di Muhammadiyah. Saya juga belajar banyak tentang hal ihwal dzikir dan kesabaran dari saudara-saudara di NU. Dari merekalah saya banyak belajar dan bertahap menjalankan ajaran Islam.

            Kini kedua tokoh pilar kebangsaan yang memimpin dua organisasi besar itu telah tiada. Semoga mereka berdua ada yang menggantikannya dari Muhammadiyah dan NU agar cita-cita dan kerja keras mereka tetap berlanjut dalam menjaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Jangan sampai dua organisasi besar ini tergoda untuk jatuh dalam konflik yang diakibatkan hal-hal sepele, kecil. Allah swt telah memberikan banyak anugerah untuk Indonesia dan itu harus dijaga, jangan sampai rusak karena dimasuki gagasan-gagasan lain yang sudah membusuk dan dapat menghancurkan kebersamaan hidup di Indonesia.

            Buya dan Gus Dur adalah orang-orang hebat, memiliki banyak umat, dan pemahaman keagamaan yang tinggi. Mereka adalah dua sahabat yang harus terus dilanjutkan cita-citanya untuk keberkahan, keharmonisan, dan kemakmuran Indonesia.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment