Tuesday 3 May 2022

Ketakutan Malaysia terhadap Bahasa Indonesia

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Negara tetangga kita, saudara kita, Malaysia, ini memang unik. Dulu, pada awal kemerdekaan ketika mereka masih bodoh, mereka meminta diajarin oleh Indonesia. Guru-guru dari Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengajari rakyatnya. Lalu, ketika mereka mulai pintar dan kaya, mereka mulai belagu karena ketika Indonesia pada masa Orde Baru dipimpin Soeharto, banyak sekali rakyat Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia. Rakyat Indonesia banyak yang sangat miskin karena merebaknya budaya korupsi masa Soeharto. Oleh sebab itu, rakyat dan pejabat Malaysia banyak yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu bodoh dan pesuruh dengan kalimat “Indon Bodoh” atau “Indon Babu”. Bukan hanya itu, tentara mereka pun sering mengganggu tentara Indonesia karena tahu bahwa saat itu tentara Indonesia sangat parah kerusakannya, tentara rombengan, mirip odong-odong. Kita harus akui saat itu tentara Indonesia sangat kekurangan honor serta kekurangan peralatan dan perlengkapan. Lemah sekali. Tidak sampai di situ perilaku Malaysia yang mirip Bocil itu. Mereka pun kerap mengklaim seni, budaya, dan sastra dari Indonesia adalah milik mereka. Pelawak mereka itu.

            Kini setelah  Indonesia memasuki era reformasi, banyak perbaikan yang dilakukan Indonesia dan berhasil menyalip sehingga meninggalkan jauh Malaysia. Kehidupan politik, ekonomi, militer, dan kepopuleran Indonesia di mata dunia telah meninggalkan Malaysia.

            Meskipun demikian, Malaysia tetap seperti Bocil MPO (mencari perhatian orang), mirip Bocil memang yang selalu meminta perhatian ketika tak ada orang yang memperhatikan mereka. Sudah beberapa hari ini Malaysia melalui perdana menterinya, Ismail Sabri, membuat gaduh lagi dengan menawarkan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Asean. Alasannya adalah bahasa Melayu sudah digunakan oleh 300 juta orang di Asean dan bahasa Indonesia adalah termasuk bahasa Melayu. Tentu saja keinginan ini ditolak oleh rakyat dan petinggi Indonesia karena bahasa Indonesia sudah merupakan entitas tersendiri. Malaysia tampaknya khawatir bahwa bahasa Melayu bisa punah karena orang sudah tidak lagi menyebut-nyebutnya, sedangkan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa internasional.

            Memang jika dirunut akarnya, bahasa Indonesia awalnya adalah bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa Indonesia sudah jauh berkembang mengikuti pergaulan internasional dan pengetahuan menjadi bahasa tersendiri yang sudah sangat berbeda dengan bahasa awalnya. Bahasa Indonesia sudah melengkapi dirinya dengan menyerap berbagai bahasa daerah di seluruh Indonesia dan menyerap pula berbagai bahasa asing, seperti, Arab, Belanda, Inggris, dan Latin. Di samping itu, bahasa Indonesia sudah mendapatkan banyak penyempurnaan dalam tatakata, tatakalimat, aturan singkatan, kata-kata baku, infiks, sufiks, konfiks, dan lain sebagainya. Jadi, jika kita harus kembali ke bahasa Melayu awal, sama saja dengan melangkah mundur ke zaman lalu dan menghambat kemajuan Indonesia dalam berbagai hal, seperti, ilmu pengetahuan, sosial, militer, bahasa, seni, budaya, dan sastra.

            Dengan melihat kenyataan seperti itu, sudah pasti Indonesia menolak penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Asean. Bahkan, keinginan keinginan PM Ismail Sabri yang disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo itu memunculkan sedikit kemarahan dari rakyat Indonesia yang langsung mengusung bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi Asean dan melumat bahasa Melayu.


Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakob dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Foto: Pikiran Rakyat)


            Foto Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakob bersama Presiden RI Jokowi saya dapatkan dari Pikiran Rakyat.

            Keinginan rakyat Indonesia itu sangat wajar dan beralasan. Di samping rakyat Indonesia yang harus menggunakan bahasa Indonesia itu sudah lebih dari 270 juta orang, juga kenyataannya sudah ada 47 negara di dunia yang mempelajari bahasa Indonesia untuk digunakan berkomunikasi. Bahkan, di Korea Selatan Program Studi Bahasa Indonesia menjadi rebutan para mahasiswa karena ketika di dalam dunia kerja akan mendapatkan banyak bonus jika menguasai bahasa Indonesia. Lebih jauh dari itu, anak-anak muda Malaysia dan Brunei yang berteman dengan anak-anak muda Indonesia sudah sangat paham dan menggunakan pula bahasa Indonesia.

            Berbeda terbalik dengan bahasa Melayu. Meskipun di Malaysia dianggap bahasa resmi negara, dalam kenyataannya, tidak semua warga Malaysia menggunakan bahasa Melayu. Mereka banyak menggunakan bahasa resmi kedua, yaitu bahasa Inggris dan bahasa ibunya masing-masing. Hal itu disebabkan sistem pendidikan venakuler yang membolehkan atau bahkan mengharuskan siswa mempelajari bahasa ibunya masing-masing, seperti, orang Melayu mempelajari dan menggunakan bahasa Melayu, orang Inggris menggunakan bahasa Inggris, orang India menggunakan bahasa India, dan orang Cina menggunakan bahasa Cina. Dengan demikian, pengguna bahasa Melayu menjadi sangat berkurang. Dari 25 juta warga Malaysia, pengguna bahasa Melayu mungkin hanya 10 atau 15 juta orang. Jadi, sangat sedikit penggunanya.

            Saran saya untuk para pemimpin dan rakyat Malaysia yang ingin bahasa Melayu mendunia, jangan dulu berpikir untuk meminta Indonesia dan Asean untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Sebaiknya, kuatkan dulu rakyat Malaysia untuk menggunakan bahasa Melayu dengan rasa bangga sebagaimana rakyat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga tanpa melupakan bahasa ibunya sendiri sesuai dengan sukunya masing-masing yang lebih dari 700 suku bangsa itu. Agak aneh rasanya menginginkan bahasa Melayu mendunia, tetapi di negaranya sendiri tidak menjadi kebanggan rakyatnya untuk digunakan sebagai bahasa resmi dalam berkomunikasi.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment