oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Negara tetangga kita,
saudara kita, Malaysia, ini memang unik. Dulu, pada awal kemerdekaan ketika
mereka masih bodoh, mereka meminta diajarin oleh Indonesia. Guru-guru dari
Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengajari rakyatnya. Lalu, ketika mereka
mulai pintar dan kaya, mereka mulai belagu karena ketika Indonesia pada masa
Orde Baru dipimpin Soeharto, banyak sekali rakyat Indonesia yang menjadi
pembantu rumah tangga di Malaysia. Rakyat Indonesia banyak yang sangat miskin
karena merebaknya budaya korupsi masa Soeharto. Oleh sebab itu, rakyat dan
pejabat Malaysia banyak yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu bodoh dan
pesuruh dengan kalimat “Indon Bodoh” atau
“Indon Babu”. Bukan hanya itu,
tentara mereka pun sering mengganggu tentara Indonesia karena tahu bahwa saat
itu tentara Indonesia sangat parah kerusakannya, tentara rombengan, mirip
odong-odong. Kita harus akui saat itu tentara Indonesia sangat kekurangan honor
serta kekurangan peralatan dan perlengkapan. Lemah sekali. Tidak sampai di situ
perilaku Malaysia yang mirip Bocil itu. Mereka pun kerap mengklaim seni,
budaya, dan sastra dari Indonesia adalah milik mereka. Pelawak mereka itu.
Kini setelah
Indonesia memasuki era reformasi, banyak perbaikan yang dilakukan
Indonesia dan berhasil menyalip sehingga meninggalkan jauh Malaysia. Kehidupan
politik, ekonomi, militer, dan kepopuleran Indonesia di mata dunia telah
meninggalkan Malaysia.
Meskipun demikian, Malaysia tetap seperti Bocil MPO
(mencari perhatian orang), mirip Bocil memang yang selalu meminta perhatian
ketika tak ada orang yang memperhatikan mereka. Sudah beberapa hari ini
Malaysia melalui perdana menterinya, Ismail Sabri, membuat gaduh lagi dengan
menawarkan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Asean. Alasannya adalah bahasa
Melayu sudah digunakan oleh 300 juta orang di Asean dan bahasa Indonesia adalah
termasuk bahasa Melayu. Tentu saja keinginan ini ditolak oleh rakyat dan
petinggi Indonesia karena bahasa Indonesia sudah merupakan entitas tersendiri.
Malaysia tampaknya khawatir bahwa bahasa Melayu bisa punah karena orang sudah
tidak lagi menyebut-nyebutnya, sedangkan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa internasional.
Memang jika dirunut akarnya, bahasa Indonesia awalnya
adalah bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa Indonesia sudah jauh berkembang
mengikuti pergaulan internasional dan pengetahuan menjadi bahasa tersendiri
yang sudah sangat berbeda dengan bahasa awalnya. Bahasa Indonesia sudah melengkapi
dirinya dengan menyerap berbagai bahasa daerah di seluruh Indonesia dan
menyerap pula berbagai bahasa asing, seperti, Arab, Belanda, Inggris, dan Latin.
Di samping itu, bahasa Indonesia sudah mendapatkan banyak penyempurnaan dalam
tatakata, tatakalimat, aturan singkatan, kata-kata baku, infiks, sufiks,
konfiks, dan lain sebagainya. Jadi, jika kita harus kembali ke bahasa Melayu
awal, sama saja dengan melangkah mundur ke zaman lalu dan menghambat kemajuan
Indonesia dalam berbagai hal, seperti, ilmu pengetahuan, sosial, militer,
bahasa, seni, budaya, dan sastra.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, sudah pasti
Indonesia menolak penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Asean. Bahkan,
keinginan keinginan PM Ismail Sabri yang disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo
itu memunculkan sedikit kemarahan dari rakyat Indonesia yang langsung mengusung
bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi Asean dan melumat bahasa Melayu.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakob dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Foto: Pikiran Rakyat) |
Foto Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakob bersama
Presiden RI Jokowi saya dapatkan dari Pikiran Rakyat.
Keinginan rakyat Indonesia itu sangat wajar dan
beralasan. Di samping rakyat Indonesia yang harus menggunakan bahasa Indonesia
itu sudah lebih dari 270 juta orang, juga kenyataannya sudah ada 47 negara di
dunia yang mempelajari bahasa Indonesia untuk digunakan berkomunikasi. Bahkan,
di Korea Selatan Program Studi Bahasa Indonesia menjadi rebutan para mahasiswa
karena ketika di dalam dunia kerja akan mendapatkan banyak bonus jika menguasai
bahasa Indonesia. Lebih jauh dari itu, anak-anak muda Malaysia dan Brunei yang berteman
dengan anak-anak muda Indonesia sudah sangat paham dan menggunakan pula bahasa
Indonesia.
Berbeda terbalik dengan bahasa Melayu. Meskipun di
Malaysia dianggap bahasa resmi negara, dalam kenyataannya, tidak semua warga
Malaysia menggunakan bahasa Melayu. Mereka banyak menggunakan bahasa resmi kedua,
yaitu bahasa Inggris dan bahasa ibunya masing-masing. Hal itu disebabkan sistem
pendidikan venakuler yang membolehkan atau bahkan mengharuskan siswa
mempelajari bahasa ibunya masing-masing, seperti, orang Melayu mempelajari dan
menggunakan bahasa Melayu, orang Inggris menggunakan bahasa Inggris, orang
India menggunakan bahasa India, dan orang Cina menggunakan bahasa Cina. Dengan
demikian, pengguna bahasa Melayu menjadi sangat berkurang. Dari 25 juta warga
Malaysia, pengguna bahasa Melayu mungkin hanya 10 atau 15 juta orang. Jadi, sangat
sedikit penggunanya.
Saran saya untuk para pemimpin dan rakyat Malaysia yang
ingin bahasa Melayu mendunia, jangan dulu berpikir untuk meminta Indonesia dan
Asean untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Sebaiknya, kuatkan
dulu rakyat Malaysia untuk menggunakan bahasa Melayu dengan rasa bangga
sebagaimana rakyat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga tanpa
melupakan bahasa ibunya sendiri sesuai dengan sukunya masing-masing yang lebih
dari 700 suku bangsa itu. Agak aneh rasanya menginginkan bahasa Melayu
mendunia, tetapi di negaranya sendiri tidak menjadi kebanggan rakyatnya untuk
digunakan sebagai bahasa resmi dalam berkomunikasi.
No comments:
Post a Comment