Saturday, 21 May 2022

Memahami Penolakan Singapura terhadap Somad

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Memalukan, malu-maluin, “ngerakeun”, nggak punya etika. Sudah ditolak masuk rumah orang lain, malah protes, marah, kan memalukan. Saya dan kita semua punya aturan sendiri tentang siapa yang boleh masuk rumah dan tidak tidak boleh masuk rumah kita. Orang mau protes, boleh saja, tetapi memalukan. Rumah saya ya gimana saya saja.

            Paling saya bilang, “’Cageur maneh?’ Saya larang masuk rumah, maksa. Memangnya rumah nenek lu?”

            Sudah saya bilang kan Singapura itu rumah punya orang lain, rumah punya orang Singapura. Kalau memang kita orang Islam, seharusnya punya etika yang lebih baik tentang bertamu ke tempat orang lain.

            Ngaji aja terus-terusan, entah apa yang diajinya, adab dan etika saja tidak paham.

            Keluarga saya paham tentang siapa saja yang boleh dan tidak boleh masuk ke properti saya. Saya tidak pernah melarang istri atau anak saya untuk mempersilakan orang-orang baik ke rumah saya, mau itu memancing di empang, mau itu memanjat dan mengambil jambu di kebun, singkong, lengkeng, pisang, main play station, belajar kelompok, atau yang lainnya. Akan tetapi, saya melarang untuk mempersilakan masuk orang-orang yang tidak jelas atau punya rekam yang jelek, misalnya, bicaranya kasar, tidak sopan, apalagi kalau pernah mencuri di rumah orang lain. Saya tidak senang dan tidak tenang jika ada orang-orang yang tidak baik di rumah karena saya harus mengontrol mereka lagi ngapain dan selalu gelisah khawatir terjadi apa-apa.

            Nah, begitu pula dengan Singapura dan negara lain juga sebetulnya. Mereka punya aturan sendiri tentang siapa yang boleh masuk, yang harus ditolak, dan siapa yang harus diusir. Itu properti mereka, rumah mereka, hak mereka. Kita tidak punya hak apa pun.

            Kalau ada yang bilang Somad atau yang dikenal dengan Ustadz Abdul Somad (UAS) adalah orang yang mulia dan terhormat, memang siapa yang menghormati dia?

            Mereka yang menganggap Somad adalah orang mulia dan terhormat adalah para pendukungnya, tetapi tidak bagi Singapura. Dalam pandangan Singapura Somad adalah pengganggu yang membahayakan.

            Dalam kehidupan sehari-hari pun begitu kan?

            Preman pasar, preman terminal, pengedar Narkoba, pemerkosa, penjahat, perampok pun adalah manusia terhormat di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, tidak di kalangan luar mereka. Bagi orang lain, mereka mungkin akan dianggap sampah. Itu kenyataannya.

            Kita tidak bisa memaksa orang lain menghormati seseorang atau sesuatu yang kita hormati.

            Singapura adalah negara yang punya pengalaman buruk soal agama. Negara kecil itu penduduknya beragama mayoritas Budha. Rakyat mereka pernah terkotak-kotak, bergesekan, berselisih soal agama. Mereka terpecah-pecah berdasarkan agamanya dan membahayakan persatuan di negara itu. Bahkan, kondisi itu cenderung menimbulkan konflik dan tawuran di antara penduduk yang berbeda agama. Mereka tidak senang dengan kondisi seperti itu. Oleh sebab itu, mereka mengatasinya dengan cara menghapuskan pelajaran agama di sekolah-sekolah, agama apa pun. Pelajaran agama hanya diperbolehkan diajarkan di tempat-tempat ibadat dan di rumah-rumah.

            Manusia yang berprestasi bagi mereka adalah bukan orang yang taat menjalankan agama, melainkan mampu menghasilkan keuntungan ekonomi yang maksimal. Agama tidak penting, uang sangat penting dan utama bagi mereka. Begitulah mereka dan kita harus menghormati mereka karena kita tidak memiliki hak untuk memaksa mereka agar berubah. Setiap manusia berhak atas keputusannya sendiri.

            Karena pernah punya pengalaman buruk dan rakyatnya hampir tercerai-berai  gara-gara perbedaan agama, mereka menolak siapa pun yang dianggap orang yang berpotensi mengganggu kehidupan mereka. Bukan hanya orang Islam yang mereka tolak, orang Kristen yang menghina Islam pun mereka tolak. Bahkan, para rahib, bhiksu atau pendeta Budha dari Myanmar yang memprovokasi umat agar melakukan pembunuhan kaum muslim Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar pun ditolak karena meskipun Singapura beragama mayoritas Budha, hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat Singapura.

            Begitulah pandangan mereka. Salah atau benar menurut kita, itu pendapat mereka. Negara itu punya pendapat sendiri. Kita punya pendapat sendiri. Setiap negara dan setiap orang harus menghormati perbedaan itu. Kalau tidak, konflik jadinya.

            Sampai sini paham, Bro, Sis, Dru … eh salah … Jang, Nyi, Ndho, Mang, Kang, Mas, Uda, Uni, Ceu, Neng, Mblo?

            Mudah-mudahan paham.

            Begitulah Ustadz Abdu Somad ditolak masuk rumah mereka karena pada dasarnya mereka ingin tenang dan damai sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Abdul Somad bagi mereka adalah orang yang bisa menimbulkan segregasi, perpecahan, dan kerusakan bagi rakyat Singapura.

            Bagi pendukungnya, Somad adalah orang terhormat. Akan tetapi, Singapura tidak menghormatinya dan tidak memperbolehkan masuk ke pekarangan rumah mereka.

            Paham, ngertos, ngarti teu?

            Teu ngarti, ngacung.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment