oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Memalukan, malu-maluin, “ngerakeun”, nggak punya etika. Sudah
ditolak masuk rumah orang lain, malah protes, marah, kan memalukan. Saya dan
kita semua punya aturan sendiri tentang siapa yang boleh masuk rumah dan tidak
tidak boleh masuk rumah kita. Orang mau protes, boleh saja, tetapi memalukan.
Rumah saya ya gimana saya saja.
Paling saya bilang, “’Cageur
maneh?’ Saya larang masuk rumah, maksa. Memangnya rumah nenek lu?”
Sudah saya bilang kan Singapura itu rumah punya orang
lain, rumah punya orang Singapura. Kalau memang kita orang Islam, seharusnya
punya etika yang lebih baik tentang bertamu ke tempat orang lain.
Ngaji aja terus-terusan, entah apa yang diajinya, adab dan
etika saja tidak paham.
Keluarga saya paham tentang siapa saja yang boleh dan
tidak boleh masuk ke properti saya. Saya tidak pernah melarang istri atau anak
saya untuk mempersilakan orang-orang baik ke rumah saya, mau itu memancing di
empang, mau itu memanjat dan mengambil jambu di kebun, singkong, lengkeng, pisang,
main play station, belajar kelompok, atau yang lainnya. Akan tetapi, saya
melarang untuk mempersilakan masuk orang-orang yang tidak jelas atau punya
rekam yang jelek, misalnya, bicaranya kasar, tidak sopan, apalagi kalau pernah
mencuri di rumah orang lain. Saya tidak senang dan tidak tenang jika ada orang-orang
yang tidak baik di rumah karena saya harus mengontrol mereka lagi ngapain dan
selalu gelisah khawatir terjadi apa-apa.
Nah, begitu pula dengan Singapura dan negara lain juga
sebetulnya. Mereka punya aturan sendiri tentang siapa yang boleh masuk, yang
harus ditolak, dan siapa yang harus diusir. Itu properti mereka, rumah mereka,
hak mereka. Kita tidak punya hak apa pun.
Kalau ada yang bilang Somad atau yang dikenal dengan
Ustadz Abdul Somad (UAS) adalah orang yang mulia dan terhormat, memang siapa
yang menghormati dia?
Mereka yang menganggap Somad adalah orang mulia dan
terhormat adalah para pendukungnya, tetapi tidak bagi Singapura. Dalam
pandangan Singapura Somad adalah pengganggu yang membahayakan.
Dalam kehidupan sehari-hari pun begitu kan?
Preman pasar, preman terminal, pengedar Narkoba,
pemerkosa, penjahat, perampok pun adalah manusia terhormat di kalangan mereka
sendiri. Akan tetapi, tidak di kalangan luar mereka. Bagi orang lain, mereka mungkin
akan dianggap sampah. Itu kenyataannya.
Kita tidak bisa memaksa orang lain menghormati seseorang
atau sesuatu yang kita hormati.
Singapura adalah negara yang punya pengalaman buruk soal
agama. Negara kecil itu penduduknya beragama mayoritas Budha. Rakyat mereka
pernah terkotak-kotak, bergesekan, berselisih soal agama. Mereka terpecah-pecah
berdasarkan agamanya dan membahayakan persatuan di negara itu. Bahkan, kondisi
itu cenderung menimbulkan konflik dan tawuran di antara penduduk yang berbeda
agama. Mereka tidak senang dengan kondisi seperti itu. Oleh sebab itu, mereka
mengatasinya dengan cara menghapuskan pelajaran agama di sekolah-sekolah, agama
apa pun. Pelajaran agama hanya diperbolehkan diajarkan di tempat-tempat ibadat
dan di rumah-rumah.
Manusia yang berprestasi bagi mereka adalah bukan orang
yang taat menjalankan agama, melainkan mampu menghasilkan keuntungan ekonomi
yang maksimal. Agama tidak penting, uang sangat penting dan utama bagi mereka. Begitulah
mereka dan kita harus menghormati mereka karena kita tidak memiliki hak untuk memaksa
mereka agar berubah. Setiap manusia berhak atas keputusannya sendiri.
Karena pernah punya pengalaman buruk dan rakyatnya hampir
tercerai-berai gara-gara perbedaan
agama, mereka menolak siapa pun yang dianggap orang yang berpotensi mengganggu
kehidupan mereka. Bukan hanya orang Islam yang mereka tolak, orang Kristen yang
menghina Islam pun mereka tolak. Bahkan, para rahib, bhiksu atau pendeta Budha
dari Myanmar yang memprovokasi umat agar melakukan pembunuhan kaum muslim
Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar pun ditolak karena meskipun Singapura
beragama mayoritas Budha, hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat Singapura.
Begitulah pandangan mereka. Salah atau benar menurut
kita, itu pendapat mereka. Negara itu punya pendapat sendiri. Kita punya
pendapat sendiri. Setiap negara dan setiap orang harus menghormati perbedaan
itu. Kalau tidak, konflik jadinya.
Sampai sini paham, Bro, Sis, Dru … eh salah … Jang, Nyi, Ndho,
Mang, Kang, Mas, Uda, Uni, Ceu, Neng, Mblo?
Mudah-mudahan paham.
Begitulah Ustadz Abdu Somad ditolak masuk rumah mereka
karena pada dasarnya mereka ingin tenang dan damai sesuai dengan pandangan
mereka sendiri. Abdul Somad bagi mereka adalah orang yang bisa menimbulkan
segregasi, perpecahan, dan kerusakan bagi rakyat Singapura.
Bagi pendukungnya, Somad adalah orang terhormat. Akan tetapi,
Singapura tidak menghormatinya dan tidak memperbolehkan masuk ke pekarangan
rumah mereka.
Paham, ngertos, ngarti teu?
Teu ngarti, ngacung.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment