oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Al Quran itu sesungguhnya
adalah petunjuk bagi orang-orang beriman dan pedoman bagi seluruh umat manusia.
Siapa pun boleh menggunakan Al Quran sebagai pedoman hidupnya. Pemeluk agama
apa pun boleh mempelajari Al Quran dan melaksanakannya. Orang-orang yang tidak
beragama dan ateis pun boleh. Siapa saja berhak mendapatkan manfaat dari Al
Quran karena Allah swt sesungguhnya Maha Penuh Cinta, Maha Pemberi Petunjuk,
dan Maha Kasih Sayang.
Thomas Jefferson pun menggunakan ayat-ayat Al Quran dalam
memberikan dasar-dasar masukan bagi pendirian Negara Amerika Serikat dan itu
tertulis jelas dengan huruf Arab dalam sejarah Amerika Serikat, terutama
tentang kesamaan hak, kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan. Cari saja ayat-ayat
itu, banyak yang sudah meng-upload-nya di Youtube dan ditulis dalam berbagai
artikel berbahasa Inggris.
Indonesia yang jelas merupakan negara berpenduduk
mayoritas muslim terbesar di dunia sudah pasti tidak melepaskan Al Quran dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Bahasa-bahasa Al Quran selalu ada dalam
perundang-undangan Indonesia meskipun tidak menggunakan bahasa Arab. Pancasila
landasannya Al Quran, Pembukaan UUD 1945 pun berasal dari semangat Al Quran,
bahkan mencantumkan kata Allah swt.
Perda, Perwal, Perbup, Pergub, dan berbagai peraturan lainnya banyak yang
terjiwai semangat Qurani.
Kita pun bisa meminjam ayat Al Quran untuk digunakan
Indonesia dalam membina hubungan manusia di Indonesia. Saya gunakan kata “meminjam”
karena pelaksanaannya tidak sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran, tetapi
Indonesia dapat memanfaatkannya untuk kepentingan nasional.
Ayat itu adalah potongan dari ayat Al Quran Surat Al-Fath
ayat 29.
“Muhammad adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ….”
Kita bisa meminjamnya
dengan mengubah kalimatnya menjadi seperti berikut ini.
“Indonesia adalah
negeri karunia Allah dan orang-orang yang bersama Indonesia bersikap keras
terhadap orang-orang asing, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
Pemahaman saya
terhadap QS Al Fath 48 : 29 itulah yang saya pinjam agar bisa digunakan oleh
bangsa Indonesia. Kalau tidak boleh dengan istilah “meminjam” karena mungkin
ada yang mengatakan saya bidah atau sesat, saya bisa menggantinya dengan istilah
“meniru”. Saya memang meniru ayat Al Quran agar kalimatnya bisa khusus untuk
kepentingan Indonesia.
Hasil kalimat tiruan saya itu memang sangat cocok dengan
berbagai teori hubungan internasional. Dalam berbagai teori hubungan
internasional, selalu memiliki kesamaan pandangan, yaitu bahwa setiap interaksi internasional yang terjadi
harus berdasarkan kepentingan di dalam negeri sendiri. Artinya, hubungan
internasional yang dilakukan Indonesia, baik negara, lembaga swasta, maupun
pribadi, harus dilandaskan pada kepentingan diri sendiri dan bukan kepentingan
orang lain atau bangsa lain. Sangat aneh jika kita berinteraksi secara
internasional, tetapi menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Saat
ini memang teori-teori ini masih harus berlaku karena memang situasinya memaksa
seperti itu. Meskipun demikian, teori-teori ini harus dibuang pada masa depan
karena terlalu egois, tidak Islami, dan membatasi perasaan-perasaan kemanusiaan
yang sesungguhnya tidak terbatas pada teritorial dan ras.
Karena teori-teori ini masih berlaku, negara atau swasta
yang berinteraksi secara internasional, tetapi menguntungkan bangsa lain dan
merugikan bangsa sendiri, bisa jatuh menjadi “pengkhianat bangsa”. Wajar dia
disebut pengkhianat karena merugikan bangsanya sendiri dan menguntungkan bangsa
lain dari hasil menyedot energi bangsa sendiri.
Hal yang paling benar dilakukan adalah kita sebagai warga
bangsa Indonesia harus “keras” dalam arti “tegas” terhadap orang-orang asing
ketika melakukan interaksi melewati batas-batas teritorial negara. Kita harus
tegas tentang kedaulatan wilayah, politik, ekonomi, budaya, agama, adat, dan
pandangan-pandangan hidup. Kita tidak boleh lembek dan terkesan patuh terhadap
bangsa lain, bangsa apa pun dan dari mana pun, mau dari barat, timur, tengah,
dan dengan bahasa apa pun. Kita harus tegas bahwa kita hidup adalah untuk
mencapai kemakmuran lahir dan batin dengan
cara Indonesia dan bukan dengan cara bangsa lain. Kita adalah kita. Mereka
adalah mereka. Mereka tidak lebih baik dibandingkan kita. Kita adalah paling
baik untuk kita sendiri. Kalau mereka mau mencontoh kita, kita persilakan saja.
Kalaupun harus meniru dan belajar dari mereka, kita akan memilih yang sesuai
dengan diri kita dan bukan sesuai dengan keinginan mereka. Seluruh sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan seluruh potensi Indonesia adalah untuk seluruh
warga Negara Indonesia dan tidak boleh satu tetes pun yang dinikmati bangsa
lain secara curang. Kalaulah ada yang curang berkolaborasi dengan bangsa lain
dan merugikan bangsa sendiri, dialah pengkhianat yang harus dihentikan dengan
keras. Itulah ketegasan yang harus dilakukan.
Berbeda jika berhadapan dengan bangsa sendiri. Kita harus
saling mengasihi, saling memberi, saling berbagi, saling mendorong, saling
mencerdaskan, saling mengisi kekurangan, saling melindungi, dan saling-saling
lainnya. Kita tidak boleh menganggap sesama bangsa sebagai musuh atau saingan
berat. Kita tidak boleh saling menjatuhkan dan tidak boleh saling merugikan,
bahkan tidak boleh saling fitnah agar kita menjadi bangsa yang kuat dan makmur
bersama. Kita terlarang saling sikut, saling pukul, saling hina, dan saling
caci karena kita adalah sama hidup di negeri yang diberkahi Allah swt. Kalaulah
ada kesalahan di antara kita, bisa kita selesaikan dengan baik dengan cara
Indonesia. Pendidikan, pelayanan kesehatan, pergerakan ekonomi, keamanan, dan
keadilan adalah harus dilaksanakan dalam mewujudkan rasa kasih sayang di antara
kita dan bukan saling menyedot energi yang ujungnya adalah keinginan
bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Bahkan, pelaksanaan hukuman
pun harus dilandaskan atas rasa kasih sayang, bukan kebencian. Negara harus
melakukan hukuman adalah untuk menumbuhkan keadilan dan mengubah perilaku buruk
menjadi perilaku positif, bukan melakukan penghukuman atas dasar kemarahan dan
kebencian sehingga menutup kesempatan orang yang telah dihukum untuk berubah
menjadi baik. Hukuman mati pun harus dalam rangka kasih sayang, yaitu
menyayangi korban kejahatan dan menyayangi pelaku kejahatan agar dia terbebas
dari tanggung jawab atas perbuatannya di akhirat kelak.
Indonesia akan menjadi kuat jika kita menyadari bahwa
kita harus tegas terhadap kepentingan dan pengaruh asing dari mana pun walaupun
dengan dalih dasar agama apa pun, tetapi harus lembut dan penuh kasih di antara
bangsa sendiri apa pun agamanya, apa pun sukunya, apa pun rasnya, bagaimana pun
bentuk fisiknya. Sepanjang dia mencintai Indonesia dan menjaga kesepakatan
negara yang bernama Indonesia, dia adalah saudara kita yang harus kita kasihi
dan kita cintai.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment