Monday 30 September 2019

UU Ayam ke Pekarangan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Entah siapa yang mulai meramaikan di media sosial tentang UU ayam masuk ke pekarangan, padahal tidak ada. Jika kita baca sekilas saja undang-undang itu bukan tentang ayam, melainkan binatang peliharaan. Di dalamnya ada tentang anjing, kucing, dan binatang lainnya, termasuk unggas. Unggas itu banyak, ada bebek, itik, ayam, dan burung. Mungkin ayam lebih populer karena memang itu yang kerap ditemui di masyarakat.

            Kalau dilihat di media sosial, memang lucu meme-meme yang dibuat tentang hal itu. Akan tetapi, agak khawatir juga jika orang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.

            Permasalahan binatang seperti ini sudah ada sejak saya kecil. Bahkan, mungkin masalahnya hampir seusia dengan keberadaan manusia sendiri, terutama dalam periode kedua, yaitu periode beternak dan bertani karena periode pertama adalah periode berburu ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dengan cara berburu dan mendapatkan tanaman dari alam secara langsung. Pada periode beternak mungkin sudah ada banyak masalah soal ini. Binatang ternak mungkin menganggu pertanian milik orang lain.

            Terlalu jauh kalau pikiran kita melayang ke masa itu. Mari kita ke periode yang dekat saja dengan kita bersama orang yang sangat kita kenal, yaitu Nabi Muhammad saw. Kisah ini sangat terkenal di kalangan pesantren. Suatu saat ada dua orang yang bertengkar hebat. Persoalannya adalah ada kambing yang masuk ke perkebunan milik orang lain. Mereka berselisih dan tidak ada jalan keluarnya. Akhirnya, mereka sepakat meminta penyelesaiannya kepada Nabi Muhammad saw. Penyelesaiannya mudah saja bagi Nabi Muhammad saw. Mereka diminta menjaga miliknya masing-masing. Pemilik kambing diharuskan mengikat kambingnya. Pemilik kebun diharuskan memagari kebunnya. Masalah pun selesai karena mereka menurut.

            Kalau tidak menurut, beda lagi urusannya.

            Intinya, persoalan semacam ini sudah sejak lama terjadi dan selalu terjadi dari zaman ke zaman.

            Ketika saya kecil saja persoalan semacam ini terjadi di Komplek Margahayu Raya, Bandung. Saat itu persoalannya anjing-anjing yang suka berkeliaran di jalan membuat takut ibu-ibu dan anak-anak sekolah, terkadang juga anjing itu bermasalah sama bapak-bapak. Ketika warga mengeluhkan masalah itu pada para pemilik anjing, ribut, tak ada penyelesaian. Akhirnya, warga bersepakat untuk meracuni anjing-anjing itu pada malam hari secara diam-diam. Matilah anjing-anjing itu dan tak ada lagi anjing berkeliaran sampai sekarang. Itu artinya ada pembunuhan binatang, terganggunya keharmonisan hidup bertetangga, dan terganggunya aktivitas manusia. Ada lagi contoh lain, kali ini kambing-kambing yang dibiarkan bebas berkeliaran di komplek perumahan. Kambing-kambing itu memakan tanaman hias yang mahal milik penghuni komplek yang ditanam di-bloom bak. Itu juga menjadi masalah. Entah apa yang terjadi untuk menyelesaikannya, yang jelas sekarang tidak ada lagi kambing berkeliaran. Mungkin ditangkap, lalu disembelih diam-diam. Saya tidak tahu.

            Ketika saya tinggal di Jl. Caringin, Bandung, terjadi juga masalah seperti itu. Kali ini ayam yang bebas berkeliaran. Karena di daerah itu rumahnya rata-rata berdempetan, ayam sangat mengganggu tetangga. Ibu-ibu sering mengeluhkan hal itu. Bukan hanya kotoran ayam yang mengotori setiap hari teras depan rumah yang sudah disapu dan dipel, melainkan pula membuat bergeser genteng-genteng rumah tetangga hingga membuat bocor. Akibatnya, di daerah itu terjadi keributan.  Pemilik ayam tidak peduli dengan keadaan itu, malah balik memarahi tetangganya, rada menantang. Saya awalnya nggak ikut ribut, tetapi kemudian istri saya mulai mengeluh karena ayam-ayam itu setiap hari buang kotoran di halaman belakang dan menclok di jemuran yang kemudian mengotori pakaian yang sedang dijemur, termasuk sajadah, sarung, dan mukena. Karena istri terlalu sering mengeluh, kesal juga saya. Akhirnya, saya yang “membereskan” ayam-ayam itu. Pemiliknya marah bukan main, tetapi beberapa hari kemudian dia pindah rumah dan tak kembali lagi. Para tetangga saya pun mengucapkan terima kasih kepada istri saya karena masalah ayam itu sudah tidak ada lagi.

            Sampai kisah ini, sudahkah para pembaca mengerti bahwa harus ada aturan mengenai hal itu?

            Kalau masih belum paham, saya terusin ceriteranya. Di tempat tinggal saya yang sekarang ini, persoalan yang terjadi adalah kucing yang selalu masuk ke rumah orang lain dan membuat langit-langit internit rumah tetangga pada rusak, bolong-bolong. Tetangga sudah mengeluhkan hal ini, tetapi pemilik kucing tidak peduli. Bahkan, kucing-kucingnya sampai melahirkan di langit-langit rumah tetangga dan jumlahnya bertambah hingga puluhan. Gangguan pun semakin banyak. Akibatnya, pemilik kucing diasingkan, dicuekin, dianggap tidak ada.  Dia pun pindah rumah, entah ke mana, para tetangga tidak ada yang peduli.

            Ada juga pemilik itik dan ayam yang mengotori teras depan rumah tetanggga dan akhirnya terjadi keributan juga di antara ibu-ibu. Salah seorang dari mereka pun pindah rumah.

            Saya terusin dengan ceritera yang lebih sadis.

            Tanah di belakang rumah saya berdempetan dengan kebun sayuran milik orang lain. Tanah saya itu tidak luas sih hanya sekitar 420 m2, kalau kebun milik orang lain, luas pisan. Ada seseorang yang suka saya minta bantuannya untuk bikin pagar dari bambu, Curhat. Kambing miliknya pernah mau disembelih oleh pemilik kebun karena memakan sayuran yang sedang ditanam. Jelas pemilik kebun marah karena itu mata pencaharian dia.

            Keributan yang terjadi adalah sama-sama bawa golok. Pemilik kambing tidak terima kambingnya mau dibacok karena menurutnya harga kambing jauh lebih mahal dibandingkan harga sayuran. Adapun pemilik kebun merasa hasil kerjanya dirusakkan oleh kambing.

            Coba kalau saat itu emosi tidak terkendali, mereka bisa saling bacok, saling bunuh. Urusan bisa sangat panjang dan bisa berujung dendam antarkeluarga.

            Sampai kisah ini, tidakkah kita mengerti bahwa harus ada aturan mengenai hal itu?

            Sekarang undang-undangnya ada. Akan tetapi, saya yakin jika ada masalah seperti itu, bisa diselesaikan dengan kekeluargaan di antara yang bersangkutan, tidak perlu pakai undang-undang. Kalau tidak selesai dengan cara itu, bisa menggunakan cara mediasi dengan RT, RW, atau kepala desa/lurah, bahkan bisa dengan ustadz setempat atau Ketua DKM. Semua bisa selesai dengan baik-baik. Undang-undang hanya diperlukan jika tidak bisa diselesaikan baik-baik. Itulah yang namanya diselesaikan dengan cara hukum yang berlaku. Denda pun bisa dijatuhkan.

            Demikian pula anggota DPR membuat hukum seperti itu karena ada banyak laporan tentang hal tersebut, terutama dari para petani/pekebun yang menanam bibit tanaman sebagai mata pencaharian mereka. Jadilah ada undang-undang tentang unggas.

            Kalau tidak setuju dengan undang-undang seperti itu, boleh. Akan tetapi, beri saran dan masukkan yang lebih baik untuk mengatasi hal-hal yang saya kisahkan tadi. Mungkin banyak masalah seperti itu yang tidak pernah kita ketahui dengan beragam peristiwa di tengah rakyat Indonesia yang jumlahhnya 267 juta itu.

            Sampurasun.

4 comments: