Friday, 30 August 2019

Gerakan Separatisme Tidak Aneh bagi Indonesia


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berbagai gerakan separatisme sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Negeri ini sungguh majemuk, memiliki 17 ribu pulau, ribuan bahasa dan ribuan suku. Demikian pula dengan agamanya, di samping lima agama besar (Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu), juga terdapat ratusan agama/keyakinan lokal, seperti, Sunda Wiwitan, Kejawen, Wetu Tilu, Kaharingan, Parmalim, dan ratusan lainnya. Oleh sebab itu, kemajemukan ini di samping merupakan ciri khas dan kekayaan bangsa, juga menjadi permasalahan tersendiri karena harus selalu berenergi untuk melakukan banyak penyesuaian atau adaptasi dalam rangka mengokohkan NKRI. Permasalahan itu salah satunya terwujud dalam gerakan-gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

            Saat baru merdeka saja Indonesia sudah mulai diganggu dengan bentuk negara yang bukan NKRI, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS). Akan tetapi, RIS tidak disukai rakyat Indonesia dan RIS dianggap sebagai “negara boneka Belanda” yang ingin menguasai kembali Indonesia. Akibatnya, RIS pun bubar dan RI kembali ke bentuk NKRI. Dari sinilah mulainya semangat “NKRI harga mati”.

            Selanjutnya, Indonesia pun mengalami pemberontakan-pemberontakan pada berbagai daerah dan pulau yang ingin melepaskan diri dari NKRI dengan alasan tidak adilnya jatah pembagian kue pembangunan yang dituduh terlalu Jakarta-Jawa sentris. Ada gerakan PRRI, Permesta, Apra, dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini pun bisa diredam dan seluruh daerah tetap berada di dalam NKRI.

            Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang sudah lama padam, kemudian kembali menyala menjadi huru-hara Ambon, Poso, berhasil diamankan. Masyarakat kembali damai dan beraktivitas saling menjaga, kehidupan pun menjadi normal dalam bingkai NKRI.

            Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah berlangsung lama dengan mengeluarkan banyak energi pun bisa diselesaikan dengan baik melalui banyak lobi-lobi dan berbagai kesepakatan. Aceh tetap berada dalam NKRI.

            Demikian pula DI/TII atau NII yang sempat memproklamasikan diri setelah Perjanjian Renvile, berhasil diatasi. Para pendukungnya dinyatakan “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. NKRI tetap berdiri.

            Bagaimana dengan Timor Timur yang lepas dari NKRI dan menjadi Timor Leste?

            Pada dasarnya wilayah Indonesia itu adalah seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Adapun Timor Timur adalah bekas jajahan Portugis. Wilayah itu masuk menjadi bagian NKRI pada 1976 atas saran Amerika Serikat kepada Presiden Soeharto karena wilayah itu tidak aman, setiap rumah memiliki senjata peninggalan Portugis. Jadi, ketika Presiden Habibie berkuasa, Timor Timur diberikan kebebasan untuk melakukan referendum. Pemerintah Indonesia juga tampak setengah hati untuk tetap mempertahankan Timor Timur di dalam NKRI, salah satunya karena berbeda sejarah itu tadi. Jadilah wilayah itu Timor Leste.

            Apakah Timor Leste menjadi lebih hebat dan makmur setelah lepas dari NKRI?

            Enggak tuh, begitu-begitu saja.

            Gerakan separatisme di tanah Papua pun sebenarnya sudah sangat lama, tetapi secara bertahap diatasi. Pada masa Soeharto terasa sekali penyelesaian dengan pendekatan yang militeristik. Akan tetapi, pasca-reformasi, penyelesaian menggunakan pendekatan kesejahteraan, pembangunan, politik, dan pendidikan. Gerakan separatisme Papua yang digerakkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pun makin mengecil. Wilayah Papua tetap dalam NKRI.

            Saat ini gerakan separatis ini muncul kembali memanfaatkan kisruh di asrama Papua, Surabaya yang dibumbui kata-kata rasis. Padahal, kisruh itu hanya merupakan pelanggaran hukum yang sudah ada undang-undangnya di Indonesia, yaitu kata-kata rasis. Tinggal diterapkan saja undang-undang itu, tidak perlu dengan pemisahan diri dari NKRI.
            Saya sendiri optimis wilayah Papua tetap berada di NKRI karena alasan untuk memisahkan diri yang lama sudah tidak relevan. Kalau dulu kan karena ketidakadilan pembangunan. Sekarang pembangunan terus dilakukan. Uang digelontorkan sangat banyak ke Papua. Bahkan, kata Wapres RI Jusuf Kalla, provinsi-provinsi di Indonesia ini menyumbang uang buat Papua. Pendidikan dibuka luas. Hukum diberlakukan sama kepada siapa saja. Pemilih Jokowi-Maruf di wilayah Papua mencapai 90%.

            Apa lagi alasan untuk merdeka?

            Kata-kata rasis saja tidak cukup masuk akal kalau dijadikan alasan untuk merdeka. Di seluruh dunia ini kata-kata rasis hingga kini masih ada dan itu menjadi masalah manusia sedunia.

            Papua tetap berada di NKRI hingga kini dan masalah-masalah yang ada tinggal diselesaikan saja secara bertahap namun pasti. Allah swt masih menghendaki NKRI tetap utuh hingga kini.

            NKRI akan hancur? 

            Pasti!

            Kalau kiamat, pasti NKRI hancur.

            Sampurasun.

Thursday, 29 August 2019

Bahaya Rasisme


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sebetulnya, bahaya rasisme sudah dirasakan umat manusia dari zaman ke zaman. Oleh sebab itu, manusia yang waras otak selalu menentang sikap dan keyakinan yang rasis.

            Sikap rasis jelas menimbulkan ketidakadilan dalam kehidupan manusia. Sekelompok manusia merasa lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya atas dasar perbedaan ras. Kelompok yang lain merasa lebih rendah dibandingkan yang lebih tinggi. Apabila kondisi keyakinan ini terus-menerus terjadi, manusia menjadi semakin yakin bahwa memang ada ras yang lebih tinggi atau lebih rendah di dalam dunia ini. Itu sebuah kebodohan dan kita sudah mengalaminya. Puncaknya, karena rasisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, terjadilah kemarahan, kekesalan, pemberontakan, pembunuhan, penganiayaan, dan perang di antara manusia.

            Ras manusia yang merasa diri lebih tinggi merasa berhak untuk menguasai dan mengatur sekehendak mereka atas ras manusia lain yang dianggap lebih rendah. Demikian pula dalam menikmati karunia sumber daya alam. Kekuasaan ekonomi hanya berpusat pada ras-ras yang dianggap tinggi. Adapun ras rendah dianggap penonton yang hanya boleh menikmati kehidupan ini dalam batas-batas yang diatur oleh ras yang lebih tinggi.

            Penjajahan adalah contoh nyata dari bahaya rasis yang sudah terjadi. Dalam buku-buku karya Harun Yahya, dijelaskan bahwa penjajahan itu terjadi disebabkan teori evolusi  yang diperkenalkan oleh Charles Darwin. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa para pendukung teori ini tetap yakin bahwa manusia berasal dari kera/monyet yang mengalami perubahan bertahap untuk menjadi manusia. Dalam pendapat mereka, monyet yang sudah sempurna menjadi manusia adalah orang-orang kulit putih Eropa. Oleh sebab itu, mereka merasa berhak untuk menjajah monyet-monyet yang belum sempurna menjadi manusia. Orang-orang berkulit hitam atau kulilt berwarna lainnya dianggap belum menjadi manusia, masih setengah monyet. Mereka menganggap harus dan wajar menjajah karena mereka manusia dan negeri yang dijajah itu didiami makhluk setengah binatang. Indonesia pun dianggap negeri yang dipenuhi manusia setengah monyet. Oleh sebab itu, layak untuk dijajah.

            Akan tetapi, para ahli yang jujur mengatakan bahwa rasisme adalah kedok dari para imperialis untuk menguasai sektor-sektor ekonomi yang dimiliki oleh bangsa lainnya. Itu kenyataannya.

            Indonesia pun sempat mengalami tekanan rasis yang luar biasa sehingga rakyatnya percaya bahwa dirinya adalah manusia kelas rendahan yang hidupnya harus dituntun oleh para penjajah. Oleh sebab itu, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah 100% rakyat kelas kambing. Hal itu pulalah yang membuat sulit Soekarno untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Bahkan, Soekarno dianggap rakyatnya sendiri sebagai pembuat onar karena melawan keyakinan rakyat selama itu yang sudah sangat percaya bahwa dirinya manusia rendahan yang harus selalu dicokok hidungnya dan dituntun oleh orang lain untuk sekedar ikut hidup.

            Begitulah sedikit contoh dari bahaya sikap rasis, membuat ras tertentu merasa lebih hebat dan tinggi serta membuat ras lainnya merasa lebih rendah. Akibatnya, kehidupan menjadi tidak adil dan tidak seimbang. Lebih jauhnya, menentang fitrah manusia hingga menimbulkan perang-perang yang berisi pembunuhan dan penganiayaan di antara manusia.

            Masih banyak bahaya rasisme lainnya. Pokoknya, bersikap rasis itu menentang fitrah manusia dan berbahaya bagi keseimbangan hidup manusia.

            Sampurasun.   

Wednesday, 28 August 2019

Rasis Itu Kampungan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya individu. Hal itu mendorong keyakinan bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Keyakinan rasisme bukan hanya dimiliki oleh mereka yang merasa lebih tinggi dibandingkan ras lain, melainkan pula dimiliki oleh yang merasa ras mereka lebih rendah dibandingkan orang lain.

            Keyakinan seperti itu adalah keyakinan kampungan yang tidak memiliki dasar pemikiran yang jelas. Perbedaan fisik dianggap menjadi ukuran bagi kecerdasan dan kelemahan suatu ras. Perbedaan fisik yang memunculkan keyakinan rasisme yang sangat dikenal luas adalah soal warna kulit. Warna putih untuk Eropa, Amerika Serikat; merah untuk Indian; kuning untuk Cina, Jepang, Korea; sawo matang untuk Melayu; Hitam untuk Afrika, Papua; masih banyak lagi kulit berwarna yang dialamatkan pada ras tertentu.

            Dari mana pijakan berpikir bahwa warna kulit menentukan kecerdasan, kemajuan, dan kehebatan manusia?

            Tidak ada. Mereka cuma berkhayal.

            Orang yang menganggap dirinya lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan orang lain disebabkan perbedaan warna kulit adalah orang yang kampungan, rendahan.

            Bagaimana dia memiliki perasaan seperti itu, padahal dirinya tidak pernah memilih untuk dilahirkan seperti itu?

            Pernahkan ada seorang manusia saja yang sempat “pesan” untuk dilahirkan sebagai orang Eropa?

            Adakah yang dulu ketika masih di alam arwah bikin
“request” untuk memilih menjadi orang Arab?

            Siapa orangnya yang pernah bicara kepada Allah swt untuk dilahirkan menjadi orang Indonesia?

            Di mana ada orang yang meminta untuk dilahirkan dengan kulit putih, hitam, sawo matang, merah, kuning, atau kulit berwarna lainnya?

            Tidak ada.

            Semua manusia dilahirkan ke dunia atas dasar keputusan dan kehendak Allah swt, tak ada yang punya keputusan sendiri. Allah swt memiliki rencana sendiri terhadap setiap orang dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk hidup, berjuang, menang, mulia, serta berperan maksimal dalam menjalani hidupnya. Keberhasilan seseorang dalam hidup tidak ditentukan ras atau warna kulitnya, melainkan atas upaya dan kesadaran orang itu sendiri dalam memperbaiki dan menyempurnakan hidupnya. Kalau bersungguh-sungguh dalam hidupnya, orang itu akan berhasil. Begitu juga sebaliknya, kalau malas-malasan, bahkan menyimpang dari yang seharusnya, orang itu akan gagal.

            Allah swt tidak pernah akan mempertanyakan soal warna kulit atau ras karena Dia sendiri yang memutuskan hal itu. Tak ada campur tangan manusia sedikit pun. Oleh sebab itu, keyakinan rasisme adalah kampungan.

            Bagaimana tidak kampungan?

            Tak ada seorang pun yang berupaya untuk menjadi ras tertentu dengan warna kulit tertentu, tetapi kok bangga atau rendah diri?

            Allah swt tidak pernah akan menilai manusia dari ras atau warna kulit, tetapi dari perilakunya dan derajat ketakwaannya kepada Allah swt, sebagaimana yang Dia firmankan sendiri dalam QS Al Hujurat 49 : 13.

“…. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa….”


            Sampurasun.

Tuesday, 27 August 2019

Pembauran Papua dalam NKRI

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masalah itu besar jika dibuat besar. Sebaliknya, akan menjadi kecil jika dibuat kecil.

            Persoalan Papua yang belum lama ini terjadi akibat kesalahpahaman soal bendera yang tiangnya patah itu bisa besar, tetapi bisa pula dibuat kecil. Saya tidak bermaksud menyederhanakan masalah, tetapi memang sebaiknya dianggap natural saja, alamiah. Kita sudah punya pengalaman tentang masalah seperti ini. Misalnya, dengan masyarakat Batak, Padang, Aceh, Ambon, bahkan keturunan Tionghoa yang ada di Pulau Jawa, khususnya di Bandung yang saya rasakan dan lihat sendiri.

            Intinya, ada di pembauran antarmasyarakat Indonesia.

            Bagi saya, orang Papua sama saja dengan manusia lainnya, tidak ada bedanya. Saya kenal dengan orang Papua sudah lama, sejak provinsinya masih bernama Irian Jaya, sejak saya masih kelas dua SMA. Jujur saja, mereka sama seperti suku saya, Sunda, dan suku lainnya di Indonesia, ada yang baik, sangat baik, dan ada pula yang brengsek.

            Bedanya sebelah mana?

            Tidak ada.

            Teman-teman Papua saya orang-orang yang baik. Mereka semua muslim, sering di masjid, baca Al Quran, adzan, malah kalau lagi Ramadhan, mereka diberi kesempatan untuk memberikan kuliah subuh. Kalau ada peringatan 1 Muharam, kami piknik jalan kaki ke tempat-tempat yang jauh untuk merasakan lelahnya hijrah.  Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada rezeki, baik makanan atau uang, kita biasa berbagi. Saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, saling kenal keluarga adalah hal yang biasa. Kalau ada peringatan tujuh belasan, mereka pun ikut manggung, bernyanyi.

            Tidak ada yang rasis, paling anak kecil yang suka guyon bilang, “Adolf Kabo!”

            Adolf Kabo itu adalah pemain sepak bola dari Manokwari, Irian Jaya yang sangat terkenal saat itu.

            Teman-teman Papua saya nggak ada yang marah, paling balik teriak, “Apa kamu! Adolf Kabo apa?”

            Kalau teman-teman sebaya saya memang guyonnya suka main bahasa fisik, misalnya, kata-kata guyonan Si Hitam karena memang kulitnya hitam. Itu sama nilainya dengan sebutan-sebutan ke teman-teman yang suku Sunda, Jawa, Batak, atau yang lainnya, seperti, Si Kontet atau Si Kate pada teman yang tubuhnya pendek; Si Embe Galing pada yang rambutnya keriting; Si Akew sama yang matanya sipit; Si Gantar sama yang  tubuhnya tinggi kurus; Si Tunduh sama yang mudah ngantuk; Si Botak atau Si Pitak sama yang memang botak atau pitak; Si Ule sama yang kulitnya putih kayak bule; Si Huntu sama yang giginya besar; Si Pesek sama yang memang hidungnya pesek. Saya sendiri disebut Si Peot karena saya kurusnya bukan main, malah kadang-kadang saya disebut Si Tiang Listrik karena kata teman-teman, antara saya dengan tiang listrik dari besi itu sama kurusnya. Demikian juga, kadang disebut sukunya, misalnya, Si Batak, Si Jawa, Si Padang. Malah, kadang disebut pula pulaunya, seperti, Si Sulawesi, Si Kalimantan, Si Madura.

            Sebutan-sebutan itu biasa. Lumrah. Kalaupun itu disebut rasis, bolehlah diistilahkan dengan “rasis ringan”. Meskipun biasa, sebaiknya sebutan-sebutan itu sudah harus dikurangi, bahkan dihilangkan karena tetap saja sebutan-sebutan stereotip semacam itu menimbulkan kesan merendahkan dan sedikit melukai perasaan orang.

            Pendek kata, teman-teman Papua saya orang baik dan bisa membaur dengan yang lainnya dan tidak ada masalah yang berarti. Kami terbiasa saling bantu.

            Hanya satu orang Papua yang benar-benar brengsek. Saya juga nggak mau kenal sama dia. Soalnya, dia mainnya sama preman, mabuk-mabukkan, berkelahi. Kalau ada panggung hiburan, bikin ribut bareng teman-teman premannya yang bersuku Sunda, Jawa, atau Batak. Mereka gemar nakut-nakutin orang. Matinya juga dia di sawah karena habis minum-minuman keras, makan katak sawah. Mungkin Polsek Ciwastra, Bandung masih punya catatan peristiwanya.

            Sengaja saya ceriterakan hal itu karena ingin menunjukkan bahwa manusia itu sama saja, ada yang baik, sangat baik, brengsek, bahkan sangat brengsek. Hal itu tidak ada hubungannya dengan asal suku.

            Sekarang, saya punya murid-murid dari Papua, mahasiswa Universitas Al Ghifari, Bandung. Bagi saya, tidak ada bedanya anak-anak Papua dengan murid-murid yang berasal dari Nias, Bali, Lampung, Thailand, Jawa, Sunda, atau yang lainnya. Mereka semua sama, tidak ada bedanya. Saya memperlakukan mereka sama. Jika mereka rajin kuliah, mengerjakan tugas, ikut ujian, mematuhi perintah saya, tidak bikin masalah, semuanya baik-baik saja. Jika mereka malas dan atau berperilaku tidak terpuji, berarti mereka bikin masalah sama saya. Mereka harus berhadapan dengan saya. Urusan tidak akan selesai jika menghindari saya. Patuhi saya, urusan bisa segera beres. Hal itu saya lakukan terhadap semua mahasiswa saya dari mana pun mereka berasal, apa pun suku mereka, apa pun warna kulit mereka, apa pun agama mereka. Saya tidak pernah membedakan mereka atas dasar agama atau ras. Hal yang membedakan mereka ya perilaku diri mereka sendiri. Saya hanya melihat mereka serius atau tidak dalam mengikuti pelajaran yang saya berikan.

            Soal mahasiswa dari Papua, memang ada hal yang sedikit mengganjal, yaitu soal pembauran. Berdasarkan yang saya perhatikan, mereka lebih suka berkelompok dengan sesama teman-temannya yang berasal dari Papua dan kurang membaur dengan teman-temannya dari suku lainnya. Entah kenapa. Saya memang hanya memperhatikan dan belum melakukan penelitian. Teman-temannya yang berasal dari berbagai suku tampak lebih mudah berbaur.

            Meskipun demikian, saya tidak melihat ada permasalahan atau perselisihan di antara mahasiswa. Semuanya biasa-biasa saja, normal. Akan tetapi, memang kurang membaur. Saya tidak melihat adanya penolakan dari mahasiswa yang berasal dari suku-suku lain. Semua baik-baik saja. Dugaan saya mereka kurang membaur mungkin disebabkan informasi-informasi tentang kehidupan yang mereka dapatkan tidak sebanding. Kita tahu bahwa di Bandung atau kota-kota besar di Pulau Jawa relatif jauh lebih banyak pusat-pusat informasi dibandingkan dengan di Papua, seperti, toko buku, perpustakaan, forum-forum diskusi, seminar, ragam organisasi dan aktivitas kepemudaan, serta ruang-ruang publik yang memungkinkan bertemunya berbagai perbedaan. Dengan kurang seimbangnya ragam informasi sosial yang didapatkan, kemungkinan terjadi hambatan dalam komunikasi. Itulah yang memungkinkan adanya hambatan dalam pembauran. Akan tetapi, itu baru dugaan yang masih harus diteliti.

            Meskipun demikian, kita tidak perlu berkecil hati karena masalah seperti ini pernah dialami berkali-kali dan semuanya bisa dilewati dengan baik. Misalnya, dulu orang Batak, Ambon, Padang, atau lainnya memiliki masalah yang hampir sama dengan yang dialami saudara-saudara dari Papua, yaitu kurang sebandingnya informasi, bahkan diperparah dengan adanya benturan kebiasaan hidup antara di tempat asalnya dengan di perantauan yang jelas berbeda. Bukan hanya ujaran-ujaran kebencian yang bernada Sara yang merebak di masyarakat, melainkan pula sampai menjadi tindakan-tindakan kriminal, misalnya, pengeroyokan, pelemparan batu ke kaca-kaca dan genteng rumah, pembakaran mobil suku tertentu, pembubaran tempat-tempat berdagang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan kesadaran masyarakat sendiri tentang pentingnya pembauran, konflik-konflik yang dulu ada kini jauh berkurang, bahkan hampir tidak ada. Pembauran tersebut dipermulus dengan adanya pernikahan antarsuku sehingga perbedaan pun semakin menipis.

            Saya sangat optimis bahwa saudara-saudara dari Papua pun akan lebih mudah berbaur dengan masyarakat lain seiring perjalanan waktu dan kesadaran seluruh masyarakat Indonesia sendiri.

            Pembauran akan lebih mudah jika kita memiliki banyak kesamaan. Kalau dulu ketika saya masih SMA mudah sekali bergaul dengan orang-orang Papua karena memiliki kesamaan yang kuat, yaitu sama-sama muslim.  Sekarang pun sebetulnya bisa ditemukan banyak kesamaan untuk membaur, misalnya, sama-sama menuntut ilmu, sama-sama warga NKRI, sama-sama ingin membangun masyarakat, sama-sama ingin mengejar ketertinggalan, atau kesamaan-kesamaan lainnya.

            Saya sungguh sangat menyukai kalimat yang disampaikan Lenis Kogoya, Ketua Adat Masyarakat Papua yang juga Staf Khusus Presiden RI Bidang Papua, “Orang Pulau Jawa harus menjadi orang tua bagi orang Papua. Orang Papua harus menjadi anak bagi orang-orang Pulau Jawa.”

            Hal tersebut sungguh indah. Orang-orang Pulau Jawa sebagai orang tua harus mengajari, mengasihi, dan melindungi orang-orang Papua. Demikian pula orang-orang Papua sebagai anak harus mau menghormati orang-orang Pulau Jawa. Dengan demikian, pembauran dapat terjadi dan pembangunan di Indonesia akan lebih merata jika banyak generasi muda dari setiap suku dan pulau yang memiliki pendidikan lebih baik dalam hal akademis maupun penyesuaian perilaku. Insyaallah.

            Sampurasun.

Saturday, 24 August 2019

Umat Islam Mestinya Lebih Ramah


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam setiap keadaan, suka maupun duka, senang maupun susah, pahit-getir maupun indah-manis (yang punya nama Indah jangan ge er), sudah semestinya jauh lebih ramah dan santun daripada siapa pun. Hal itu disebabkan salah satunya, kalimat yang paling sering harus diucapkan adalah basmalah yang artinya dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hal itu seharusnya mendorong agar setiap muslim mewujudkan rasa kasih dan sayang dalam dirinya untuk ditebarkan di muka Bumi ini kepada siapa saja dan apa saja.

            Demikian pula ketika mendapat hinaan atau cacian, tenang saja dulu. Kalem,  santai, kata Bang Haji Rhoma juga. Kalau melihat tulisan atau video penghinaan pada Islam juga, tenang saja dulu. Jangan lantas membalas dengan kasar atau caci maki. Berikanlah penjelasan sebagai bantahan dengan cara debat yang baik, sebagaimana yang diajarkan Allah swt dalam QS An Nahl 16 : 125.

            “Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. ….”

            Allah swt juga memerintahkan berdebat, tetapi dengan cara yang baik bukan dengan cara emosional, hantam sana hantam sini yang nggak karu-karuan sampai tidak jelas lagi apa yang sedang diperdebatkan sebenarnya. Cara yang baik itu adalah memiliki ilmu yang baik tentang hal yang diperdebatkan, menggunakan logika yang runut dan bertahap, berbahasa yang santun namun jelas dan tegas, menghindari membalas menghina agama yang dipeluk Sang Penghina karena hal itu dilarang Allah swt dalam QS Al Anam 6 : 108.

            “Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. ….”

            Mudah-mudahan, dengan begitu, hidayah Allah swt datang kepadanya. Kita memiliki pahala yang sangat besar.

            Kalau tidak juga mau mengerti dengan penjelasan kita yang santun, runut, namun tegas dan jelas itu, malah penghinaannya semakin menjadi-jadi, silakan saja dilaporkan pada kepolisian sebagai penistaan agama. Hak setiap pemeluk agama untuk melaporkan penistaan terhadap agamanya dan kewajiban penegak hukum untuk menegakkan hukum.

            Kalau kita sudah memberikan penjelasan dengan baik sambil mengajaknya pada Islam, tetapi tidak juga mau ber-Islam, biarkan saja dengan keyakinannya. Itu hak setiap manusia untuk memilih agama yang dia yakini. Kita tidak boleh memaksa orang untuk menjadi orang Islam. Tidak ada paksaan untuk menjadi orang Islam. Lagi pula, tugas umat Islam hanya menyampaikan kebenaran, soal umat lain mau masuk Islam atau tidak, itu bukan urusan kita lagi. Itu sudah urusan Allah swt secara langsung. Nabi saw pun tidak memiliki kemampuan untuk menjadikan seseorang Islam atau tidak. Zat yang memiliki kemampuan itu hanya Allah swt, sebagaimana yang disampaikan-Nya sendiri dalam QS Al Qashash 28 : 56.

            “Sungguh, engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

            Orang yang kita kasihi saja tidak bisa kita buat beriman, apalagi yang baru kita kenal. Tugas kita hanya menyampaikan Islam, selebihnya terserah Allah swt. Dia-lah yang memilih dan memutuskan siapa yang akan dijadikan-Nya muslim atau tidak.

            Tetaplah santun dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, jika kita dilukai, diusir, dianiaya, dirampas hak dan kehormatan, atau diburu, bolehlah kita membalasnya dengan cara yang pantas dan tidak berlebihan.

            Mudah-mudahan kita menjadi pribadi yang mampu menebarkan kebaikan di lingkungan mana saja kita hidup. Rahmatan lil alamin.

            Sampurasun.

Friday, 23 August 2019

Uas Dilaporin, Laporin Balik Aja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ustadz Abdul Shomad (Uas) sudah dilaporkan. Bagus, sebaiknya begitu. Proses saja hingga ke pengadilan. Tidak perlu takut. Uas sendiri menyatakan dirinya tidak takut dan tidak akan kabur ke mana-mana. Dia saja berani.

            Masa pendukungnya tidak berani?

            Dilaporkan ke polisi itu belum tentu bakal diproses, belum tentu juga dinyatakan bersalah, juga belum tentu sampai ke pengadilan. Banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti dan banyak juga yang dihentikan prosesnya. Ada mekanismenya. Bukan sekehendak para pelapor ataupun para terlapor.

            Karena Uas sudah dilaporkan, sebaiknya para pendukungnya melaporkan juga video-video atau tulisan-tulisan yang dianggap menistakan Islam. Bahkan, bukan hanya video dan tulisan, melainkan pula komentar-komentar di bawahnya harus dilaporkan. Malahan, justru komentar-komentar itu lebih mengerikan dibandingkan video atau tulisan sumbernya. Sungguh, video-video, tulisan-tulisan, berikut komentar-komentarnya tersebut bertebaran teramat banyak. Mungkin sekarang jumlahnya jutaan.

            Dulu, sekitar empat atau lima tahun lalu, saya kritik kepolisian yang terkesan membiarkan maraknya video, tulisan, dan komentar penistaan agama tersebut. Bukan hanya yang diproduksi oleh orang Islam, melainkan pula yang diproduksi oleh bukan orang Islam. Antarpemeluk agama  saling maki, saling hujat. Saat itu baru hanya sekitar ratusan unggahan yang beredar, paling tidak yang pernah saya lihat. Hal itu sungguh berbahaya bagi kerukunan bangsa. Sayangnya, unggahan-unggahan itu terus beredar mengalir deras bagai sama sekali tidak ada halangan. Padahal, sudah ada undang-undang yang mengatur tentang penghinaan terhadap Sara.

            Beberapa saat setelah saya menulis kritikan-kritikan itu, salah seorang petinggi Polri berbicara di acaranya Karni Ilyas TvOne, saat itu namanya masih JLC (Jakarta Lawyers Club) sekarang menjadi ILC (Indonesia Lawyers Club), “Polisi belum tentu mau mengurusi hal-hal itu.”

            Yang dia maksud “hal-hal itu” adalah postingan-postingan penghinaan terhadap terhadap agama, agama apa pun. Saya tidak tahu alasannya. Saya hanya berprasangka baik bahwa mungkin polisi terlalu banyak pekerjaan atau banyak hal yang jauh lebih penting untuk diselesaikan. Akan tetapi, sudah bisa diduga karena terkesan dibiarkan, postingan-postingan itu semakin membludak. Mungkin sekarang jumlahnya ribuan dengan jutaan komentar. Semakin sulit untuk dikendalikan. Hal itu bisa mengakibatkan masyarakat rentan untuk disulut emosinya. Kalau sudah begitu, huru-hara lebih mudah untuk dinyalakan. Bahaya. Kita semua yang rugi.

            Video Uas adalah salah satu produk dari pembiaran itu. Oleh sebab itu, laporkan balik saja video, tulisan, dan komentar bejibun yang menghina Islam itu. Dengan demikian, akan ada banyak laporan di kepolisian. Jumlahnya bisa jutaan laporan. Biarkan saja. Laporan-laporan itu jika jelas buktinya, harus diproses hukum, lalu kawal oleh seluruh rakyat. Biarkan pengadilan diisi oleh kasus-kasus seperti itu. Kita desak aparat supaya segera menyelesaikannya.

            Kalau sudah sangat banyak laporan, kemungkinan penyelesaiannya adalah “rekonsiliasi”. Kalau tidak, akan ada banyak pemuka agama Islam dan non-Islam diadili karena kasus-kasus penghinaan agama. Kalau rekonsiliasi, harus ada kesepakatan bahwa setiap pemimpin agama dan umatnya wajib mengendalikan umatnya agar tidak memposting unggahan yang menghina agama lainnya. Setiap pemeluk agama apa pun harus mengingatkan saudara seagamanya agar tidak mengunggah postingan yang menghina agama lainnya. Postingan yang sudah beredar pun wajib untuk segera dihapus. Jika tidak dihapus, gusur saja masuk penjara setelah diadili tentunya. Itu lebih baik dibandingkan dengan terus-terusan memproduksi postingan-postingan provokasi.

            Jika rekonsiliasi terjadi, berbagai media sosial di Indonesia akan lebih indah dan nyaman dilihat dan digunakan. Kerukunan akan lebih mudah terwujud. Indonesia pun akan menjadi contoh bagi dunia dalam hal membangun perdamaian, cinta sesama, dan kenyamanan hidup bersama dalam perbedaan.

            Sampurasun.

Wednesday, 21 August 2019


Berdebat Apa Agama Terbaik

oleh Tom Finaldin



Bandung, Tom Finaldin
Setiap pemeluk agama apa pun akan menganggap agamanya adalah terbaik dan menganggap agama lainnya lebih lemah dibandingkan agama yang dianutnya. Buktinya, mereka tetap berada dalam agamanya masing-masing dan bangga dengan agamanya. Jika ada pemeluk agama lain yang berbeda dengan dirinya menunjukkan kelemahan agama yang dianutnya, mereka akan tersinggung. Mereka mencoba mengerahkan ilmunya untuk menunjukkan kehebatan agamanya. Kalau tidak bisa, mereka akan menghina agama pemeluk agama lain yang dianggap menghinanya. Bahkan, bisa berujung kekerasan fisik. Di Amerika Serikat panitia perlombaan menggambar Nabi Muhammad saw ditembaki orang. Di Perancis dan Italia ada teror bom dengan alasan di negeri itu banyak yang menghina Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Di India apalagi ada masjid besar yang diruntuhkan massa karena dianggap tanah itu merupakan kelahiran dewa tertentu. Masih banyak kasus yang lain.  Itu kenyataannya. Tidak bisa dibantah.

            Dengan pemahaman seperti itu, di Indonesia ada larangan untuk menghina agama lain. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga ketenteraman dan menumbuhkan kerukunan.

            Apabila ada yang ingin menunjukkan bahwa agamanya yang terbaik di hadapan agama lainnya, boleh saja. Akan tetapi, jangan di tempat umum. Berdebatlah di ruangan tertutup, misalnya, di kelas, aula, ruang rapat, dan tidak boleh menggunakan pengeras suara ke luar ruangan. Setiap pemuka agama sepakat untuk berdebat secara keilmuan dan sama-sama berjanji untuk tidak saling sakit hati, tidak beralih ke pertarungan fisik, dan tidak saling menuntut secara hukum. Berdebatlah secara akademis. Semua perdebatan hanya ada di dalam ruangan. Begitu ke luar dari pintu ruangan, perdebatan harus berakhir, semua harus kembali rukun.

            Jangan berdebat di ruang umum, jangan di media sosial karena perdebatan akan berujung saling hina, saling maki, jauh dari ilmu pengetahuan, yang ada hanya kata-kata kotor murahan dan tidak berpendidikan. Lebih jauh lagi bisa menimbulkan kasus hukum karena perdebatan menjadi tidak terkendali dan tidak ilmiah.

            Boleh berdebat, tetapi harus tertata, teratur, ilmiah. Jangan takut berdebat. Justru melalui perdebatan, kita bisa belajar banyak.

            Untuk apa takut berdebat jika kita memang yakin agama kita adalah yang terbaik?

            Berdebatlah dengan baik karena tidak ada toleransi dalam agama. Toleransi bukanlah dalam hal agama, melainkan dalam hal hubungan antarumat beragama, hubungan sesama manusia, interaksi masyarakat.

            Itu pun jika ingin berdebat. Kalaupun tidak ingin berdebat, ya nggak apa-apa juga. Saya hanya mengingatkan bagi mereka yang ingin berdebat, gunakan ruangan tertutup, terbatas, dan tidak perlu menggunakan pengeras suara. Jangan di ruang umum atau fasilitas yang bisa diakses siapa saja.

            Sampurasun.

Tuesday, 20 August 2019

Umat Islam Dilarang Menghina Agama Lain


oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya
Umat Islam jelas dilarang menghina agama orang lain, baik tatacara ibadatnya, apalagi Tuhan-Tuhan yang mereka sembah. Pelarangan ini bukan datang dari ustadz, kiyai, ajengan, ulama, sahabat Nabi, bahkan bukan dari Nabi Muhammad saw, melainkan dari Allah swt langsung. Allah swt yang melarangnya. Pelarangan itu ada dalam QS Al Anam : 108. Coba pelajari.

            Allah swt melarang kaum muslim untuk menghina agama orang lain karena pemeluk agama lain akan membalas menghina Allah swt dengan tanpa ilmu pengetahuan. Mereka akan sakit hati, marah, benci, serta balas menghina dan memaki Allah swt dengan emosinya yang bahkan bisa tidak terkendali.

            Sukakah umat Islam jika Allah swt, Mekah, Nabi Muhammad saw, Al Quran, dan simbol-simbol Islam lainnya dihina atau dimaki-maki?

            Pasti tidak suka dan marah, kan?

            Hinaan dan makian kepada Allah swt, Mekah, Nabi Muhammad saw, Al Quran, dan simbol-simbol Islam lainnya sudah dan terus terjadi hingga hari ini. Coba lihat itu video-video yang beredar di Youtube. Hinaan, makian, dan berita-berita bohong itu beredar sangat menggila dan bertambah secara sporadis. Video-video penistaan yang diproduksi di dalam negeri saja sudah sangat banyak, apalagi yang diproduksi di luar negeri, tak bisa dihitung dengan konten-konten yang lebih sadis dan keji.

            Jangan hina agama dan Tuhan-Tuhan mereka. Ingat perintah Allah swt.

            Menurut Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS Al Anam : 108, penghinaan kepada agama lain itu mengandung kemaslahatan, tetapi tetap jangan dilakukan. Maslahatnya, bisa memperkuat iman kaum muslim, tetapi mudharatnya jauh lebih besar, yaitu balasan penghinaan kepada Allah swt dan Islam secara membabi buta serta timbulnya keresahan sosial. Itu sudah terjadi.

            Di samping itu, Allah swt memang menghendaki seperti itu. Setiap umat dibiarkan memandang baik perbuatan mereka. Allah swt sengaja karena pada akhirnya seluruh manusia akan kembali kepada Allah swt. Setelah seluruhnya kembali, Allah swt akan memberitahukan berbagai hal yang sesungguhnya telah dikerjakan manusia.

            Ajaklah manusia untuk berserah diri kepada Allah swt. Jika mereka menolak, jangan marah, jangan menghina, jangan memaki, katakan saja “Aku tetap muslim”. Tetaplah bersahabat dengan nonmuslim. Jalin bisnis dengan baik, bergotong royonglah dengan cinta, dan saling berbagi pengetahuan maupun rezeki.

            Jangan hina Tuhan mereka dan agama mereka. Mereka saudara kita sesama manusia, apalagi jika sebangsa dan setanah air. Mereka saudara kita yang hidup di tanah air yang sama, Indonesia.

            Sampurasun.

Video UAS

oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya
Soal beginian mah saya bisa tulis lima atau enam artikel, bahkan lebih. Soalnya, sudah berkali-kali saya tulis hal ini panjang-panjang di blog pribadi saya, tom-finaldin8.blogspot.com. Rada bosan sih, tetapi mungkin orang-orang nggak mau denger, termasuk juga aparat kepolisian. Padahal, blog saya itu dibaca sudah lebih dari 174 ribu pembaca dari seluruh dunia.

            Sekarang, saya buat pendek-pendek saja supaya nggak penat bacanya. Biar nanti bikin lagi sedikit-sedikit supaya lebih mengerti jalan pikiran saya.

            Setiap pemeluk agama, keluarga, atau pemuka agama wajar jika melindungi umatnya untuk tetap dalam agamanya. Salah satu caranya adalah meninggikan agamanya sendiri dan melemahkan agama lainnya. Dalam Islam memang ada kewajiban untuk melindungi diri dan keluarga dari siksa api neraka. Oleh sebab itu, berpindah agama merupakan kelemahan diri dan keluarga dalam menjaga iman diri dan keluarganya. Dalam agama lain, mungkin ada hal seperti itu jika dilihat dari pengalaman orang-orang yang pindah agama menjadi mualaf, lalu terusir dan dimusuhi keluarganya. Akan tetapi, saya tidak tahu jika itu perintah agama sebagaimana yang ada dalam Islam. Pendek kata, itu hak setiap pemeluk agama untuk mempertahankan umatnya agar tetap dalam agamanya.

            Persoalannya, jika dalam mempertahankan keyakinan umat dengan menggunakan cara melemahkan atau menunjukkan kekurangan agama lain, jangan di ruang publik atau terdengar oleh penganut yang agamanya sedang dilemahkan. Seharusnya, tertutup rapat hanya untuk kalangan intern. Jadi, tidak ada yang tersinggung.

            Jika kita perhatikan kasus video Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang sedang diributkan itu, persoalannya adalah kegiatan yang sesungguhnya intern, tertutup, acara tertentu, konsumsi khusus, tetapi menjadi konsumsi publik karena masuk ke ruang publik melalui video yang di-upload ke media sosial. Begitu yang saya perhatikan dari beberapa media online. Kesalahannya adalah konsumsi intern menjadi konsumsi umum. Padahal, yang namanya umum itu tidak semua sama keyakinannya.

            Kalau menurut pendapat saya, orang yang kurang bijak adalah yang mengunggahnya ke media sosial karena media sosial itu adalah ruang publik yang bisa diakses siapa saja. Persoalan timbul dari sana dan memang bisa berakibat tersandung kasus hukum.

            Hati-hati mengupload video, foto, atau apapun karena bisa menyinggung orang lain dan tersangkut hukum.  Pemeluk agama mana pun harus bijak dan berhati-hati. Jangan merasa diri paling benar, lalu merasa berhak melakukan apa saja.

            Sampurasun.