oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bahar bin Smith ini memang
harus diperbaiki jiwanya. Baru keluar dari penjara, sudah bikin onar lagi.
Wajar jika dilaporkan lagi ke polisi.
Apa sih yang sebetulnya dia ajarkan ke pengikutnya?
Fiqih?
Muamalah?
Syariah?
Tarbiyah?
Aqidah?
Akhlak?
Apa sih?
Yang saya lihat cuma ceramah teriak-teriak, maki-maki
orang sambil mata melotot muka merah, dan urat leher hampir putus.
Dia kembali dilaporkan ke polisi atas isi ceramahnya
dengan pasal yang isinya berupa ujaran kebencian dan permusuhan. Sayangnya,
polisi tidak menyebutkan siapa yang melaporkannya dan kasus mana yang
dilaporkan. Orang hanya menduga-duga saja isi ceramah kapan dan mana yang
dilaporkan. Hal itu bisa diduga dari tanggal pelaporan tersebut, 7 Desember
2021. Itu artinya sudah lumayan terjadi beberapa hari yang lalu.
Banyak yang menduga kasus
itu adalah isi ceramah Bahar yang pertama ketika bebas dari penjara. Dalam
ceramahnya, memang jelas sekali dia mengucapkan ujaran kebencian, permusuhan,
dan ancaman.
Begini ancamannya, “Oleh
karena itu, saya sampaikan ente orang, saya nggak bahas pemerintah, ente orang
para habaib, para kiyai, para ulama, siapa pun ente, mau ente anaknya wali, mau
ente anaknya ulama, ente mengkhianati Habib Rizieq, bakal ana habisi
satu-satu,”
Ini jelas ancaman. Saya pun pernah mengalaminya. Dulu
saya pernah coba cari-cari tempat tinggal di kampung-kampung berharap tempatnya
lebih sepi, tanahnya lebih luas, dan lebih murah. Bukan tempat tinggal yang
sekarang. Kebetulan ada yang mau dijual tanah dan rumah seluas 498 m2, tetapi
perjanjian kalau saya betah di sana selama satu tahun, saya beli. Eh, baru juga
dua bulan, sudah ada yang mengancam istri saya akan dibunuh gara-gara anak-anak
tetangga yang main bola di tanah yang saya tempati itu, lalu bolanya tertendang
sampai masuk pekarangan rumah orang lain. Yang pekarangannya kemasukan bola
marah-marah dan mengancam membunuh istri saya karena memang cuma istri saya
yang di rumah, anak-anak saya sedang sekolah dan saya sendiri sedang ada
pekerjaan di Cianjur menyusun naskah “Aku
Cinta Cianjur”.
Segera saja istri saya menelepon saya. Dua hari
berikutnya saya datang, sambil kesal, lalu lapor polisi. Saya lapor polisi
karena saya takut berkelahi. Kalau berkelahi, saya takut dibunuh dan saya takut
membunuh orang. Dibunuh atau membunuh adalah menakutkan bagi saya, urusannya
panjang. Jalan yang aman adalah lapor polisi.
Nggak pake lama, nggak sampai 24 jam, malamnya saya lapor.
Besoknya orang itu sudah digusur polisi. Malamnya tetangga berdatangan
mengucapkan terima kasih karena ternyata orang yang digusur polisi itu juga
sering mengganggu dan mengintimidasi tetangga serta kerap melakukan ancaman
kekerasan. Saya baru tahu karena warga baru.
Nah, kalimat ancaman Bahar itu mirip dengan yang terjadi
kepada istri saya. Itu sudah jelas ada pelanggaran hukum.
Coba perhatikan kalimat Bahar. Dia mengancam menghabisi para
habaib, para kiyai, para ulama, anak wali, anak ulama satu-satu karena dianggap
mengkhianati Rizieq Shihab.
Wajar dia dilaporkan karena ada orang yang merasa
terancam, terganggu, merasa ngeri, atau orang seperti saya yang ketakutan
karena saya bisa kapan saja membunuh orang yang membuat saya merasa terancam.
Orang semacam ini yang dijadikan panutan?
Orang seperti ini dianggap penuh kebaikan?
Pengancam para habaib, para kiyai, para ulama, anak wali,
dan anak ulama dianggap sebagai jalan menuju surga?
Surga itu bukan ada pada orang semacam itu, bukan ada di
para habaib, tetapi ada di telapak kaki ibu kita. Kalau ingin surga, datangi
ibu kita, orangtua kita. Berbaktilah kepada orangtua kita. Merekalah yang jadi
wakil Allah swt untuk menciptakan kita di muka Bumi ini. Merekalah yang
melindungi kita dari segala bahaya ketika kita tidak berdaya. Mereka yang
menjaga kita dari binatang melata, cecunguk, nyamuk, dan bahaya lainnya ketika
orang lain tidak mau melakukannya untuk kita.
Sebesar apa pun mengesalkannya orangtua kita, mereka
adalah pengurus kita, pelindung kita. Kewajiban kita adalah berbakti kepada
mereka. Inilah jalan surga.
Datangi ibu kita, ayah kita, cium kaki mereka kalau
mereka masih hidup. Kalau sudah tidak ada, datangi kuburannya, cium kuburannya,
bersihkan dan pelihara kuburannya, berbicaralah dengan mereka, lalu berdoalah
minta ampunan dan kesejahteraan untuk mereka kepada Allah swt. Ini jalan surga.
Bukannya mencium kaki orang lain dan berbakti kepada orang lain, tetapi
menyakiti hati dan menelantarkan orangtua kita.
Keridhaan Allah swt sangat bergantung pada keridhaan
orangtua tua kita, bukan bergantung pada keridhaan para habib. Jadi, kalau
ingin cinta dan keridhaan Allah swt,
cintailah dan buatlah ridha orangtua kita.
Kalau para habib itu marah-marah kepada kita, bahkan
mendoakan buruk bagi kita, datangi ibu kita, mintalah doa dari ibu kita.
Niscaya, doa para habib itu runtuh oleh doa ibu kita. Demi Allah swt, doa
seorang ibu untuk anaknya jauh lebih ampuh, jauh lebih mujarab dibandingkan doa
para wali sekalipun.
Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan bahwa berbakti yang
pertama kali itu kepada ibu kita, kemudian ibu kita, lalu ibu kita, setelah itu
ayah kita. Bukan mendahulukan para habib itu. Kaki orang lain dicium, tetapi
kaki ibu kita tidak pernah kita cium. Kacau.
Surga itu ada di ibu kita, orangtua kita. Ini jalan surga,
beneran.
Di mana ada lagi jalan surga?
Di tetangga kita!
Berbuat baik dan bersabarlah terhadap tetangga kita. Ini
jalan surga.
Kalaupun kalian rajin maulidan, shalawatan, takbir
keliling, tahlilan, tadarusan, tahajudan, pengajian, tetapi jika kalian sering
menyakiti hati tetangga atau bahkan fisiknya, neraka adalah tempat kalian. Beneran.
Nabi Muhammad saw sudah banyak memberikan petunjuk
tentang jalan-jalan menuju surga, tinggal kita berupaya dan bersabar
melakoninya. Surga itu tidak akan ada di panggung-panggung pidato penuh
kemarahan, kebencian, penghujatan, kedustaan yang menggiring kita pada
kekacauan. Demi Allah swt.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment