Friday 10 December 2021

Diperkosa Itu Satu Kali, Bukan Berkali-Kali

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kejadian yang dilakukan Herry Wirawan yang telah melakukan kekerasan seksual pada santriwatinya di Yayasan Pendidikan dan Sosial Manarul Huda: Boarding School, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung telah menghebohkan sangat banyak orang di Indonesia ini, bahkan mungkin di dunia karena zaman sekarang ini berita sangat mudah sekali tembus ke berbagai negara. Saya jadi teringat kasus yang pernah melibatkan mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang menikahi gadis 17 tahun dan kemudian berrmasalah, banyak orang Pakistan, India, Brunei, Inggris, dan Amerika Serikat yang bertanya-tanya. Kasus kawin kontrak di Puncak, Bogor pun menjadikan warga Inggris banyak bertanya kepada saya.

            Karena kasus Herry Wirawan yang dianggap telah memperkosa santriwatinya sejumlah 12, ada yang bilang 14, bahkan kalau lapor semuanya akan lebih dari itu jumlahnya, membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung menyatakan sikap. Ada tujuh pernyataan sikap yang dikeluarkan MUI. Dari ketujuh pernyataan itu, enam saya setujui, tetapi satu sikap MUI yang saya tidak setujui, yaitu imbauan MUI agar masyarakat tidak  menyebarkan atau terus-terusan membicarakan berita buruk ini. MUI menginginkan agar berita ini segera tertutup dan tidak lagi menjadi bahan perbincangan masyarakat.

            Jujur saja, bagi saya, berita ini justru harus semakin dihebohkan dan dibicarakan agar ada otokritik dan perubahan ke arah yang lebih baik lagi dalam lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia ini, khususnya di lembaga-lembaga keagamaan. Dari data Kompas, di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia ini terdapat kasus kekerasan seksual. Pelecehan seksual yang tertinggi ada di universitas, lalu peringkat kedua ada di pesantren, kasus yang paling sedikit ada di lembaga vokasi. Ngeri jika melihat data itu. Oleh sebab itu, kasus seperti ini harus terus dibicarakan agar setiap orang dapat memberikan masukan, kritikan, dan jalan keluar yang lebih baik. Bukan hanya harus menjadi urusan para kiyai, ulama, ustadz, pemerintah, atau pengelola lembaga tentang hal ini, melainkan pula masyarakat umum, para orangtua, akademisi, dan lapisan masyarakat lainnya harus tahu agar dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk menghentikan kasus-kasus seperti ini.

            Saya jadi teringat waktu kecil dulu ketika masih suka tawuran dan main “gank-gank-an”, saya suka membuli anak-anak ustadz dengan menghina bapaknya dengan kata-kata “Ustadz Cabul”. Saya ikut-ikutan anak yang lebih besar daripada saya. Istilah ustadz cabul itu tentunya lahir dari memang adanya perilaku cabul yang terjadi mungkin dari jauh sebelum saya lahir. Artinya, perilaku bejat itu sudah terjadi sejak lama dan terus berulang hingga saat ini. Kalau mau jujur, kasus ini ada di banyak kota dan banyak lembaga pendidikan. Kepolisian punya data yang sangat lengkap. Menkopolhuhkam Mahfudz M.D. pun pasti punya banyak data.

            Kalau ada yang merasa risih dan ingin kasus ini tidak lagi dibicarakan, saya malah curiga. Kemungkinannya ada dua, yaitu kebagian ikutan menikmati seksual atau menikmati uang hasil “ngamen”  Si Herry Wirawan. Saya dengar dalam membangun lembaga pendidikannya, dia mengumpulkan sumbangan dari para donatur, mengambil hak santri dari dana Program Indonesia Pintar (PIP), dan penggunaan dana Bos yang tidak jelas. Kemudian, anak-anak yang lahir dari para santriwati akibat perbuatan Si Herry itu diklaim sebagai anak yatim piatu yang juga dijadikan bahan untuk meminta sumbangan. Hiii … ngeri ….

            Siapa yang harus bertanggung jawab?

            Kita semua!

            Saya sebenarnya selalu tidak percaya jika ada orang yang melaporkan kasus perkosaan kepada kepolisian dengan jumlah perkosaan berulang-ulang, berkali-kali. Pernah ada yang lapor ke polisi mengaku telah diperkosa sebanyak 141 kali. Saya suka pengen ketawa.

            Masa diperkosa sampai sering begitu?

            Diperkosa itu satu kali. Seharusnya, Sang Perempuan melawan, lalu segera lapor ke polisi. Kalau sampai berkali-kali hingga ratusan kali, bahkan bertahun-tahun, itu bukan perkosaan. Itu mah ceweknya juga keenakan, ikut menikmati. Ketika cowoknya bosan dan tidak lagi peduli, ceweknya marah dan kecewa, sakit hati, lalu lapor polisi, ngakunya diperkosa, padahal cowoknya sudah pindah ke lain hati. Diperkosa itu hanya sekali harusnya.

            Akan tetapi, berbeda dengan kasus yang dilakukan Si Herry ini. Dari beberapa sumber informasi, lembaga pendidikannya tertutup, pemimpinnya tidak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, komunikasi dengan orangtua dibatasi, Hp tidak boleh digunakan, pulang kepada orangtua hanya satu tahun sekali, tidak ada pendampingan dari lembaga berwenang lainnya, tidak ada pengawasan, tidak diakui sebagai bagian dari MUI, dibantah sebagai bagian Forum Pondok Pesantren Kota Bandung, santriwatinya berasal dari keluarga ekonomi sangat lemah, diiming-imingi pesantren gratis, serta hal-hal lainnya yang membuat para santriwati tertekan, terancam, dan terkendalikan. Para santriwati itu masih di bawah umur, anak-anak berusia antara 13 s.d. 16 tahun yang jauh dari perlindungan orangtua dan kerabat di kampungnya.

            Kebejatan Herry ini sudah berlangsung dari 2016 sampai dengan dibongkar para netizen pada akhir 2021. Artinya, sudah lima tahun dia melakukan kejahatan itu terhadap murid-muridnya yang seharusnya dia lindungi dan dia siapkan masa depannya dengan lebih baik. Dalam lima tahun dia telah membuat belasan anak-anak perempuan kehilangan keperawanannya, merusakkan jiwanya, menganggu masa depannya, menghancurkan harapan para orangtua, merusakkan nama baik para ustadz, merendahkan kesucian pesantren, dan merontokkan hal-hal lainnya. Berbeda dengan saya yang dalam lima tahun bisa membuat belasan, bahkan puluhan perempuan menjadi sarjana (sombong dikit pada para penjahat boleh kan?). Bahkan, ke depan mungkin ratusan perempuan bisa jadi sarjana (berharap boleh kan?), insyaallah.

            Bagi saya, perilaku seperti yang dilakukan Herry ini adalah penghinaan kepada Islam. Dia menggunakan agama untuk kepentingan uang dan hasrat seksual yang tak terkendali. Dia menggunakan istilah kelembagaan pendidikan Islam, tetapi justru lembaganya digunakan untuk melakukan pelanggaran dan penentangan terhadap ajaran Islam. Seharusnya, mereka yang gemar berteriak-teriak di jalanan dengan menuduh orang sebagai penghina Islam, juga ikut menyuarakan penghinaan yang dilakukan orang-orang semacam Herry sebagai penista agama, bukannya diem-diem bae. Kita semua warga bangsa harus bersama-sama mengatasi hal ini karena ini menentukan masa depan bangsa Indonesia.

            Kepada siapa lagi kita menitipkan bangsa ini kalau bukan kepada anak-anak kita yang sekarang masih duduk di bangku sekolah?

            Bagaimana jadinya masa depan negeri ini jika generasi muda kita dirusakkan oleh kita sendiri?

            Pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan, rakyat, dan kita semua harus sensitif terhadap hal-hal seperti ini. Jangan sampai lembaga-lembaga pendidikan lainnya, terutama pesantren menjadi buruk citranya karena sesungguhnya sangat banyak pesantren yang diasuh oleh orang-orang baik, teruji, terpercaya, dan telah melahirkan lulusan-lulusan yang memberikan manfaat besar kepada masyarakat dan bangsa. Bagi masyarakat yang ingin menitipkan anak-anaknya ke pesantren, teliti dulu lembaga itu dengan baik. Jangan hanya karena iming-iming gratis dan janji-janji palsu, tergiur untuk membiarkan anak-anaknya diasuh oleh para penjahat.

            Sampurasun.

 

 

https://jabar.tribunnews.com/2021/12/10/mui-kota-bandung-minta-warga-berhenti-sebar-berita-buruk-aib-kasus-herry-wirawan-perkosa-santriwati

https://www.youtube.com/watch?v=QCz7eu57yj4

No comments:

Post a Comment