oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kejadian yang dilakukan
Herry Wirawan yang telah melakukan kekerasan seksual pada santriwatinya di
Yayasan Pendidikan dan Sosial Manarul Huda: Boarding School, Kecamatan Cibiru,
Kota Bandung telah menghebohkan sangat banyak orang di Indonesia ini, bahkan mungkin
di dunia karena zaman sekarang ini berita sangat mudah sekali tembus ke
berbagai negara. Saya jadi teringat kasus yang pernah melibatkan mantan Bupati
Garut Aceng Fikri yang menikahi gadis 17 tahun dan kemudian berrmasalah, banyak
orang Pakistan, India, Brunei, Inggris, dan Amerika Serikat yang
bertanya-tanya. Kasus kawin kontrak di Puncak, Bogor pun menjadikan warga
Inggris banyak bertanya kepada saya.
Karena kasus Herry Wirawan yang dianggap telah memperkosa
santriwatinya sejumlah 12, ada yang bilang 14, bahkan kalau lapor semuanya akan
lebih dari itu jumlahnya, membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung
menyatakan sikap. Ada tujuh pernyataan sikap yang dikeluarkan MUI. Dari ketujuh
pernyataan itu, enam saya setujui, tetapi satu sikap MUI yang saya tidak setujui,
yaitu imbauan MUI agar masyarakat tidak menyebarkan
atau terus-terusan membicarakan berita buruk ini. MUI menginginkan agar berita
ini segera tertutup dan tidak lagi menjadi bahan perbincangan masyarakat.
Jujur saja, bagi saya, berita ini justru harus semakin
dihebohkan dan dibicarakan agar ada otokritik dan perubahan ke arah yang lebih
baik lagi dalam lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia ini, khususnya di
lembaga-lembaga keagamaan. Dari data Kompas, di seluruh lembaga pendidikan di
Indonesia ini terdapat kasus kekerasan seksual. Pelecehan seksual yang
tertinggi ada di universitas, lalu peringkat kedua ada di pesantren, kasus yang
paling sedikit ada di lembaga vokasi. Ngeri jika melihat data itu. Oleh sebab
itu, kasus seperti ini harus terus dibicarakan agar setiap orang dapat memberikan
masukan, kritikan, dan jalan keluar yang lebih baik. Bukan hanya harus menjadi urusan
para kiyai, ulama, ustadz, pemerintah, atau pengelola lembaga tentang hal ini,
melainkan pula masyarakat umum, para orangtua, akademisi, dan lapisan
masyarakat lainnya harus tahu agar dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
menghentikan kasus-kasus seperti ini.
Saya jadi teringat waktu kecil dulu ketika masih suka
tawuran dan main “gank-gank-an”, saya
suka membuli anak-anak ustadz dengan menghina bapaknya dengan kata-kata “Ustadz Cabul”. Saya ikut-ikutan anak
yang lebih besar daripada saya. Istilah ustadz cabul itu tentunya lahir dari
memang adanya perilaku cabul yang terjadi mungkin dari jauh sebelum saya lahir.
Artinya, perilaku bejat itu sudah terjadi sejak lama dan terus berulang hingga
saat ini. Kalau mau jujur, kasus ini ada di banyak kota dan banyak lembaga
pendidikan. Kepolisian punya data yang sangat lengkap. Menkopolhuhkam Mahfudz M.D.
pun pasti punya banyak data.
Kalau ada yang merasa risih dan ingin kasus ini tidak
lagi dibicarakan, saya malah curiga. Kemungkinannya ada dua, yaitu kebagian
ikutan menikmati seksual atau menikmati uang hasil “ngamen” Si Herry Wirawan.
Saya dengar dalam membangun lembaga pendidikannya, dia mengumpulkan sumbangan
dari para donatur, mengambil hak santri dari dana Program Indonesia Pintar
(PIP), dan penggunaan dana Bos yang tidak jelas. Kemudian, anak-anak yang lahir
dari para santriwati akibat perbuatan Si Herry itu diklaim sebagai anak yatim
piatu yang juga dijadikan bahan untuk meminta sumbangan. Hiii … ngeri ….
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Kita semua!
Saya sebenarnya selalu tidak percaya jika ada orang yang
melaporkan kasus perkosaan kepada kepolisian dengan jumlah perkosaan
berulang-ulang, berkali-kali. Pernah ada yang lapor ke polisi mengaku telah
diperkosa sebanyak 141 kali. Saya suka pengen ketawa.
Masa diperkosa sampai sering begitu?
Diperkosa itu satu kali. Seharusnya, Sang Perempuan
melawan, lalu segera lapor ke polisi. Kalau sampai berkali-kali hingga ratusan
kali, bahkan bertahun-tahun, itu bukan perkosaan. Itu mah ceweknya juga
keenakan, ikut menikmati. Ketika cowoknya bosan dan tidak lagi peduli, ceweknya
marah dan kecewa, sakit hati, lalu lapor polisi, ngakunya diperkosa, padahal
cowoknya sudah pindah ke lain hati. Diperkosa itu hanya sekali harusnya.
Akan tetapi, berbeda dengan kasus yang dilakukan Si Herry
ini. Dari beberapa sumber informasi, lembaga pendidikannya tertutup,
pemimpinnya tidak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, komunikasi dengan
orangtua dibatasi, Hp tidak boleh digunakan, pulang kepada orangtua hanya satu
tahun sekali, tidak ada pendampingan dari lembaga berwenang lainnya, tidak ada
pengawasan, tidak diakui sebagai bagian dari MUI, dibantah sebagai bagian Forum
Pondok Pesantren Kota Bandung, santriwatinya berasal dari keluarga ekonomi
sangat lemah, diiming-imingi pesantren gratis, serta hal-hal lainnya yang
membuat para santriwati tertekan, terancam, dan terkendalikan. Para santriwati
itu masih di bawah umur, anak-anak berusia antara 13 s.d. 16 tahun yang jauh
dari perlindungan orangtua dan kerabat di kampungnya.
Kebejatan Herry ini sudah berlangsung dari 2016 sampai dengan
dibongkar para netizen pada akhir 2021. Artinya, sudah lima tahun dia melakukan
kejahatan itu terhadap murid-muridnya yang seharusnya dia lindungi dan dia
siapkan masa depannya dengan lebih baik. Dalam lima tahun dia telah membuat
belasan anak-anak perempuan kehilangan keperawanannya, merusakkan jiwanya,
menganggu masa depannya, menghancurkan harapan para orangtua, merusakkan nama
baik para ustadz, merendahkan kesucian pesantren, dan merontokkan hal-hal
lainnya. Berbeda dengan saya yang dalam lima tahun bisa membuat belasan, bahkan
puluhan perempuan menjadi sarjana (sombong dikit pada para penjahat boleh kan?).
Bahkan, ke depan mungkin ratusan perempuan bisa jadi sarjana (berharap boleh kan?),
insyaallah.
Bagi saya, perilaku
seperti yang dilakukan Herry ini adalah penghinaan kepada Islam. Dia
menggunakan agama untuk kepentingan uang dan hasrat seksual yang tak terkendali.
Dia menggunakan istilah kelembagaan pendidikan Islam, tetapi justru lembaganya
digunakan untuk melakukan pelanggaran dan penentangan terhadap ajaran Islam.
Seharusnya, mereka yang gemar berteriak-teriak di jalanan dengan menuduh orang
sebagai penghina Islam, juga ikut menyuarakan penghinaan yang dilakukan
orang-orang semacam Herry sebagai penista agama, bukannya diem-diem bae. Kita
semua warga bangsa harus bersama-sama mengatasi hal ini karena ini menentukan
masa depan bangsa Indonesia.
Kepada siapa lagi kita menitipkan bangsa ini kalau bukan
kepada anak-anak kita yang sekarang masih duduk di bangku sekolah?
Bagaimana jadinya masa depan negeri ini jika generasi
muda kita dirusakkan oleh kita sendiri?
Pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan, rakyat, dan kita
semua harus sensitif terhadap hal-hal seperti ini. Jangan sampai
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, terutama pesantren menjadi buruk citranya
karena sesungguhnya sangat banyak pesantren yang diasuh oleh orang-orang baik,
teruji, terpercaya, dan telah melahirkan lulusan-lulusan yang memberikan
manfaat besar kepada masyarakat dan bangsa. Bagi masyarakat yang ingin
menitipkan anak-anaknya ke pesantren, teliti dulu lembaga itu dengan baik.
Jangan hanya karena iming-iming gratis dan janji-janji palsu, tergiur untuk
membiarkan anak-anaknya diasuh oleh para penjahat.
Sampurasun.
https://www.youtube.com/watch?v=QCz7eu57yj4
No comments:
Post a Comment