oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Lucu
juga banyak orang yang kebingungan karena doanya tidak dikabulkan ketika
terjadi pertandingan sepak bola antara Timnas Vs Thailand. Mereka tak punya jawaban
atas hal itu.
Ada yang mengatakan bahwa doa kita kurang
serius untuk memenangkan Timnas.
Ada yang merasa menyesal, “Mengapa sih
kita kalah sama kafir?”
Umat Islam Indonesia yang mayoritas ini
harus kalah bertanding dengan Thailand yang umat Islam-nya sedikit. Doa-doa dan
bacaan-bacaan rupa-rupa sudah diucapkan, tetapi tetap kalah.
Persoalannya bukan ada di doa
sebetulnya. Akan tetapi, ada di bagaimana kita mengurus sepak bola kita. Mau doa
dari ulama sehebat apa pun, tetap saja tidak akan membuat Timnas menang jika
sepak bola kita tidak diurus dengan baik. Saya bukan ahli sepak bola dan tidak
terlalu memperhatikan soal persepakbolaan, tetapi kerap mendengar atau membaca
informasi yang tidak bagus tentang urusan olah raga dan sepak bola di
Indonesia. Ada banyak korupsi, ada rebutan posisi, orang-orang politik masuk
ikut campur, rendahnya kualitas pemain, kurang terjaminnya hidup para pemain,
suap menyuap antara klub dengan wasit, dan lain sebagainya.
Jika dilihat dari masyarakat Indonesia
yang berminat untuk menjadi pemain sepak bola saja, sudah sangat rendah. Di
negara-negara Eropa itu penduduknya hanya jutaan atau puluhan juta dalam satu negara,
tetapi orang yang ingin menjadi pemain sepak bola itu jumlahnya sangat banyak,
bisa puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan mencapai satu juta. Indonesia memiliki
penduduk 273 juta, tetapi orang yang berminat untuk menjadi pemain sepak bola
kalau tidak salah, tidak mencapai angka sepuluh ribu orang. Maaf ya kalau data
ini kurang tepat karena saya menggunakan data beberapa tahun yang lalu. Dari
minat individu ini saja sudah kelihatan
bahwa persaingan untuk menjadi pesepakbola andal di Indonesia sangat rendah
karena jumlahnya sedikit. Berbeda dengan Eropa karena jumlahnya lebih banyak, persaingan
pun semakin ketat dan setiap orang berusaha lagi lebih keras untuk menjadi
unggul. Kurangnya minat ini mungkin diakibatkan orang Indonesia melihat bahwa
menjadi pemain sepak bola bukanlah jalan hidup yang bisa memberikan penghidupan
hingga sejahtera sampai tua.
Belum lagi jika dilihat dari fasilitas
lapang yang ada dengan jumlah kompetisi yang dijalankan. Indonesia masih sangat
kurang. Berbeda dengan jumlah lapang bulu tangkis yang selalu ada hampir di
setiap kelurahan, bahkan sampai di tingkat RW. Malah, tanah kosong milik orang
lain pun sering digunakan untuk lapang bulu tangkis. Kompetisi-kompetisi bulu
tangkis pun lebih sering dilakukan, mau antarkelurahan, antarsekolah, antarintansi,
antarperusahaan, dan lain sebagainya. Pengurusan dan pembinaan bulu tangkis pun
lebih baik dibandingkan sepak bola. Oleh sebab itu, tak heran jika dalam bidang
bulu tangkis, kita sering menjadi juara dunia.
Kalau sepak bola?
Apakah kita punya lapang sepak bola di
setiap kelurahan? Di setiap kecamatan?
Seberapa sering kita melangsungkan
kompetisi atau liga sepak bola di wilayah kita masing-masing?
Seberapa terjamin hidup para pemain
sepak bola kita di tempat masing-masing?
Semuanya sangat minim. Persaingan untuk
menjadi yang terbaik pun menjadi sangat rendah.
Banyak pengamat yang mengatakan bahwa
pembinaan, fasilitas, pengurusan, dan jumlah kompetisi di Jepang, Vietnam, dan
Thailand lebih bagus dibandingkan dengan di Indonesia. Indonesia hanya bisa
dikatakan lebih bagus jika dibandingkan dengan Laos dan Kamboja. Bahkan,
Myanmar pun sudah menunjukkan perbaikan dalam persepakbolaannya.
Rakyat Indonesia sangat ingin Timnas
menang karena terlalu cinta negaranya. Kecintaan ini harus didukung oleh
pemerintah, para politisi, dan para profesional. Jangan buat rakyat yang
penuh cinta ini selalu patah hati dengan
menyaksikan secara langsung kekalahan negaranya.
Kalaupun kita kalah dari Thailand, jujur
saja, menurut saya itu wajar karena Thailand lebih baik dalam mengurus sepak
bola. Meskipun demikian, jangan patah semangat, tetap kobarkan cinta, dan
selalu berdoa. Semua itu tetap memiliki nilai untuk kita semua, tetap cinta
Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment