Monday, 27 December 2021

Diamnya Orang-Orang Shaleh

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menanggapi kisruh perhabiban atau perulamaan ini, sangat banyak habib, ulama, kiyai, atau ustadz yang shaleh-shaleh berdiam diri, sunyi, tidak ikut bersuara. Saya melihatnya mereka bersikap seperti itu disebabkan tidak mengikuti perkembangan yang terjadi; tidak memahami situasi; ketakutan; menjaga kemuliaan dirinya.

            Menurut Habib Muhsin Labib, banyak habib yang tidak mengetahui kondisi yang terjadi karena sibuk dengan urusan keluarganya masing-masing. Banyak yang hidup miskin sehingga tidak memikirkan hal lain, kecuali bekerja sebagaimana orang-orang lainnya. Akan tetapi, mereka sekarang mulai terusik karena banyak yang menghujat habib disebabkan para oknum habib yang memanfaatkan kehabibannya untuk memperkaya diri, mencari penghormatan orang, membuat perpecahan di antara masyarakat, dan melakukan pelanggaran hukum.

Banyak sekali hujatan dari masyarakat dan ini sangat mengganggu keluarga dan anak-anak mereka. Hal ini mirip anak-anak dan cucu-cucu koruptor yang mendapatkan bulian dari teman-teman di sekolahnya. Kalau koruptor, agak mendingan bisa dipahami karena ulah mereka mengakibatkan keluarganya mendapatkan cacian. Kalau para habib shaleh ini, sangat dirugikan karena bukan mereka yang melakukan keburukan, tetapi keluarganya mendapatkan bulian akibat para habib lain berperilaku buruk yang  tidak mereka kenal sama sekali. Para habib itu tidak punya korps atau persatuan dan mereka banyak yang tidak saling kenal. Akan tetapi, ketika ada habib yang buruk, mereka pun kena getahnya.

Ada pula habib atau ulama yang ketakutan. Jika mereka menanggapi atau menyuarakan kebenaran, mereka takut akan dibuli, dipersekusi, dicaci, dan dihina. Apalagi kalau kita dengar ancaman Bahar yang kata orang habib itu akan mendatangi dan menghabisi mereka satu per satu karena dianggap mengkhianati Rizieq Shihab. Ketakutanlah mereka, lalu berdiam diri.

Banyak pula habib, ulama, kiyai, ustadz, dan orang-orang shaleh lainnya yang paham situasi, tidak pernah merasa takut, tetapi diam karena menjaga kemuliaan dirinya. Mereka berbicara mungkin hanya di kalangan terbatas, misalnya, di keluarga mereka, di jamaah masjid mereka, atau di pesantren-pesantren mereka. Akan tetapi, mereka menahan diri untuk tidak berbicara di masyarakat yang lebih luas.

Hal ini memang sesuai dengan anjuran Imam Syafii, “Sikap diam terhadap orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.”

Bahar dan orang-orang sejenisnya adalah orang bodoh, saya sudah ceriterakan sedikit kebodohannya. Kalau mau, saya bisa tambah banyak lagi menulis soal kebodohannya. Orang-orang shaleh ini diam terhadap ucapan, sikap, dan perilaku Bahar dan sejenisnya untuk memuliakan diri dan menjaga kehormatannya.

Hal seperti ini pun pernah disampaikan oleh Budha Sidharta Gautama, “Dengan orang-orang bodoh, tak ada persahabatan. Lebih baik seseorang hidup sendiri daripada hidup dengan para lelaki egois, angkuh, pemberontak, dan kepala batu.”

Ini bagus dan sangat baik. Akan tetapi, permasalahannya orang-orang bodoh di Indonesia ini bisa tambah banyak karena ditipu oleh para penjual agama yang menginginkan kekayaan, kehormatan, kedudukan, dan hal-hal duniawi lainnya. Orang-orang shaleh yang mencintai perdamaian, kasih sayang, dan keharmonisan hidup sudah saatnya lebih banyak bersuara untuk menyelamatkan masyarakat. Mengembalikan masyarakat pada jalan yang lurus dan benar.

Saya sangat bersyukur. Sedikit-sedikit, perlahan-lahan orang-orang baik ini mulai buka suara meskipun tidak meledak-ledak. Banyak yang dulu tidak dikenal, eh ternyata dia habib, misalnya, Abdillah Toha yang dulu saya ikuti dari rapat ke rapat, dari hotel ke hotel, dari gedung ke gedung, dari jalanan ke jalanan memperjuangkan agenda reformasi, ternyata habib juga. Ada Habib Husein Baagil dan Habib Kribo Zen Assegaf.

Ada pula Habib Muhdlor guru ngaji yang sederhana mengecam pencatutan namanya. Dia dijadikan alasan Gunung Semeru meletus. Kata orang yang mengaku-aku ulama Gunung Semeru meletus karena orang-orang di lereng Gunung Bromo mengusir Habib Muhdlor. Disebutnya Semeru meletus karena dirinya sebagai habib diusir oleh empat puluh warga. Kemudian, warga yang mengusirnya hilang. Kenyataannya, Habib Muhdlor memang pergi dengan sukarela karena dia menempati rumah punya orang lain, lalu keluarga pemilik rumah itu akan menggunakannya. Dia lalu pindah ke tempat lain. Dia ingin namanya jangan lagi dibawa-bawa karena tidak ada hubungannya dengan Gunung Semeru.

Lagian, dia pergi dari Gunung Bromo, tetapi Gunung Semeru yang meletus?

Bodor. Harusnya, Gunung Bromo yang meletus karena dia tinggal di Gunung Bromo. Aneh tuh orang-orang.

Orang pun jadi tahu bahwa vokalis band God Bless Ahmad Albar adalah seorang habib pula. Meskipun habib, ternyata dia pernah terjerat kasus Narkoba. Akan tetapi, kesalahannya sudah diselesaikan dengan baik dan dia meneruskan berkarya di dalam bidang musik. Nanti, insyaallah, akan banyak habib bermunculan dengan pikiran-pikiran yang jernih dan lebih bersih.

Orang-orang shaleh harus bicara dengan bijaksana. Kalau perlu tegas dan keras, lakukanlah sepanjang berada dalam koridor Al Quran dan hadits. Kalau sudah maksimal, jangan pedulikan lagi orang-orang bodoh itu. Biarkan hukum dan penegak hukum bekerja menangani mereka.

Hal itu sesuai dengan firman Allah swt dalam QS Al Araf : 199, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

            Yuk, ah.

            Sampurasun

No comments:

Post a Comment