oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam menanggapi kisruh
perhabiban atau perulamaan ini, sangat banyak habib, ulama, kiyai, atau ustadz
yang shaleh-shaleh berdiam diri, sunyi, tidak ikut bersuara. Saya melihatnya
mereka bersikap seperti itu disebabkan tidak mengikuti perkembangan yang
terjadi; tidak memahami situasi; ketakutan; menjaga kemuliaan dirinya.
Menurut Habib Muhsin Labib, banyak habib yang tidak
mengetahui kondisi yang terjadi karena sibuk dengan urusan keluarganya masing-masing.
Banyak yang hidup miskin sehingga tidak memikirkan hal lain, kecuali bekerja
sebagaimana orang-orang lainnya. Akan tetapi, mereka sekarang mulai terusik
karena banyak yang menghujat habib disebabkan para oknum habib yang
memanfaatkan kehabibannya untuk memperkaya diri, mencari penghormatan orang, membuat
perpecahan di antara masyarakat, dan melakukan pelanggaran hukum.
Banyak
sekali hujatan dari masyarakat dan ini sangat mengganggu keluarga dan anak-anak
mereka. Hal ini mirip anak-anak dan cucu-cucu koruptor yang mendapatkan bulian
dari teman-teman di sekolahnya. Kalau koruptor, agak mendingan bisa dipahami
karena ulah mereka mengakibatkan keluarganya mendapatkan cacian. Kalau para
habib shaleh ini, sangat dirugikan karena bukan mereka yang melakukan
keburukan, tetapi keluarganya mendapatkan bulian akibat para habib lain berperilaku
buruk yang tidak mereka kenal sama
sekali. Para habib itu tidak punya korps atau persatuan dan mereka banyak yang tidak
saling kenal. Akan tetapi, ketika ada habib yang buruk, mereka pun kena
getahnya.
Ada
pula habib atau ulama yang ketakutan. Jika mereka menanggapi atau menyuarakan
kebenaran, mereka takut akan dibuli, dipersekusi, dicaci, dan dihina. Apalagi
kalau kita dengar ancaman Bahar yang kata orang habib itu akan mendatangi dan
menghabisi mereka satu per satu karena dianggap mengkhianati Rizieq Shihab.
Ketakutanlah mereka, lalu berdiam diri.
Banyak
pula habib, ulama, kiyai, ustadz, dan orang-orang shaleh lainnya yang paham
situasi, tidak pernah merasa takut, tetapi diam karena menjaga kemuliaan
dirinya. Mereka berbicara mungkin hanya di kalangan terbatas, misalnya, di
keluarga mereka, di jamaah masjid mereka, atau di pesantren-pesantren mereka.
Akan tetapi, mereka menahan diri untuk tidak berbicara di masyarakat yang lebih
luas.
Hal
ini memang sesuai dengan anjuran Imam Syafii, “Sikap diam terhadap orang bodoh
adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu
kebaikan.”
Bahar
dan orang-orang sejenisnya adalah orang bodoh, saya sudah ceriterakan sedikit
kebodohannya. Kalau mau, saya bisa tambah banyak lagi menulis soal
kebodohannya. Orang-orang shaleh ini diam terhadap ucapan, sikap, dan perilaku
Bahar dan sejenisnya untuk memuliakan diri dan menjaga kehormatannya.
Hal
seperti ini pun pernah disampaikan oleh Budha Sidharta Gautama, “Dengan
orang-orang bodoh, tak ada persahabatan. Lebih baik seseorang hidup sendiri
daripada hidup dengan para lelaki egois, angkuh, pemberontak, dan kepala batu.”
Ini
bagus dan sangat baik. Akan tetapi, permasalahannya orang-orang bodoh di
Indonesia ini bisa tambah banyak karena ditipu oleh para penjual agama yang
menginginkan kekayaan, kehormatan, kedudukan, dan hal-hal duniawi lainnya.
Orang-orang shaleh yang mencintai perdamaian, kasih sayang, dan keharmonisan
hidup sudah saatnya lebih banyak bersuara untuk menyelamatkan masyarakat.
Mengembalikan masyarakat pada jalan yang lurus dan benar.
Saya
sangat bersyukur. Sedikit-sedikit, perlahan-lahan orang-orang baik ini mulai
buka suara meskipun tidak meledak-ledak. Banyak yang dulu tidak dikenal, eh ternyata
dia habib, misalnya, Abdillah Toha yang dulu saya ikuti dari rapat ke rapat,
dari hotel ke hotel, dari gedung ke gedung, dari jalanan ke jalanan
memperjuangkan agenda reformasi, ternyata habib juga. Ada Habib Husein Baagil dan
Habib Kribo Zen Assegaf.
Ada
pula Habib Muhdlor guru ngaji yang sederhana mengecam pencatutan namanya. Dia
dijadikan alasan Gunung Semeru meletus. Kata orang yang mengaku-aku ulama
Gunung Semeru meletus karena orang-orang di lereng Gunung Bromo mengusir Habib
Muhdlor. Disebutnya Semeru meletus karena dirinya sebagai habib diusir oleh
empat puluh warga. Kemudian, warga yang mengusirnya hilang. Kenyataannya, Habib
Muhdlor memang pergi dengan sukarela karena dia menempati rumah punya orang lain,
lalu keluarga pemilik rumah itu akan menggunakannya. Dia lalu pindah ke tempat
lain. Dia ingin namanya jangan lagi dibawa-bawa karena tidak ada hubungannya
dengan Gunung Semeru.
Lagian,
dia pergi dari Gunung Bromo, tetapi Gunung Semeru yang meletus?
Bodor.
Harusnya, Gunung Bromo yang meletus karena dia tinggal di Gunung Bromo. Aneh
tuh orang-orang.
Orang
pun jadi tahu bahwa vokalis band God Bless Ahmad Albar adalah seorang habib
pula. Meskipun habib, ternyata dia pernah terjerat kasus Narkoba. Akan tetapi,
kesalahannya sudah diselesaikan dengan baik dan dia meneruskan berkarya di
dalam bidang musik. Nanti, insyaallah,
akan banyak habib bermunculan dengan pikiran-pikiran yang jernih dan lebih
bersih.
Orang-orang
shaleh harus bicara dengan bijaksana. Kalau perlu tegas dan keras, lakukanlah
sepanjang berada dalam koridor Al Quran dan hadits. Kalau sudah maksimal,
jangan pedulikan lagi orang-orang bodoh itu. Biarkan hukum dan penegak hukum
bekerja menangani mereka.
Hal
itu sesuai dengan firman Allah swt dalam QS Al Araf : 199, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Yuk, ah.
No comments:
Post a Comment