Tuesday, 14 December 2021

Pengangguran Akibat Medsos

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa hari lalu saya mengikuti “Capacity Building” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Al Ghifari yang isinya memberikan pelatihan bagi para dosen untuk menjadi peneliti yang baik. Dalam pelatihan itu, saya sebagai orang yang dilatih sempat berkomunikasi dengan seorang pemberi materi atau pelatih tentang hal yang membuat saya tertarik. Hal itu adalah sekarang ini banyak peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang meneliti perilaku netizen di Media Sosial. Hasil penelitiannya digunakan oleh instansi-instansi pemerintah dan perusahaan swasta yang besar-besar untuk merekrut pegawai atau karyawan.

            Saya baru mendengar ada hal semacam ini dan sangat mengagetkan. Jadi, ketika kita melamar suatu pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri atau swasta, di samping ada serangkaian tes yang biasa dilakukan, juga perilaku kita di media sosial semacam facebook, instagram, twitter, dan whatsapp, akan dijadikan pertimbangan dalam penilaian untuk diterima atau tidak. Bahkan, diri kita diteliti dari akun-akun kita sejak dari sekolah dasar. Mereka akan melihat dan menilai status-status yang kita buat, foto-foto yang kita upload, narasi-narasi yang kita posting, serta komentar-komentar yang kita tujukan pada status orang lain dan narasi-narasi yang kita sebarkan. Apa yang kita perbuat di Medsos milik kita akan jadi penilaian instansi pemerintah dan atau perusahaan swasta ketika kita melamar pekerjaan kepada mereka.

            Hal ini sangat terutama untuk membendung pikiran-pikiran dan aktivitas radikal yang ada di samping watak, sikap,  dan cara berbahasa kita. Mereka tidak akan mau menerima orang yang berpikiran radikal dengan sikap dan bahasa yang buruk. Hal itu disebabkan, baik instansi pemerintah maupun swasta tidak akan mau menerima orang yang akan menimbulkan masalah di tempat pekerjaan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta.

            Dari dulu saya sering mengingatkan untuk bijak dalam bermedsos, seperti, jangan berbohong, memfitnah, menyebarkan hoax, memposting ujaran kebencian, dan bikin huru-hara. Hal itu bisa menyebabkan pelanggaran hukum. Akan tetapi, banyak orang yang tidak menggubrisnya. Akibatnya, kita tahu banyak sekali orang yang ditangkap dan dihukum gara-gara itu. Sekarang saya ingatkan lagi bahwa perilaku, bahasa, pikiran, dan dukungan kita kepada pihak-pihak yang dianggap penyakit masyarakat akan membuat kita menjadi pengangguran. Jangan kaget ketika kita ditolak bekerja di mana-mana karena perilaku buruk kita di Medsos. Jangan heran pula ketika kita melihat teman atau kenalan yang kita anggap lebih bodoh dibandingkan kita atau tidak berpengalaman seperti kita, malah diterima kerja dengan baik. Jangan salahkan siapa-siapa pula ketika kita bekerja, tetapi karir kita terhenti di sana dan tidak pernah naik jabatan atau naik gaji. Itu semua bisa terjadi karena perilaku kita di media sosial.

            Hentikan memosting hal-hal yang membuat citra diri kita sendiri buruk. Hapus postingan dan komentar yang akan menghambat dunia kerja kita. Meskipun postingan dan komentar itu tetap masih bisa ditampilkan kembali walaupun sudah dihapus, minimal kita berupaya memperbaik citra diri kita. Postingan dan komentar itu masih bisa ditampilkan meskipun sudah dihapus, kecuali di-replace, begitu teorinya.

            Segera perbaiki citra diri kita di media sosial sehingga orang lain menyukai kita dan memudahkan kita dalam berbisnis. Kalau tidak, ya ada risiko yang harus kita tanggung dan itu menyusahkan.

            Jika kita selalu bersama orang-orang yang tidak baik, lalu kita mendapatkan kesulitan dalam hidup kita, apakah mereka bertanggung jawab atas diri kita?

            Apakah ketika kita terluka dan terjatuh dalam hidup, mereka ada untuk kita?

            Hati-hati menggunakan Medsos, jadilah manusia yang lebih baik lagi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya supaya kita lebih mudah dalam menjalani hidup.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment