oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak yang marah kepada
Bahar bin Smith. Banyak yang tersinggung dan menganggap rasis, merendahkan
bangsa Indonesia dan meninggikan Arab. Perilaku memuja suatu bangsa dan
merendahkan suatu bangsa atas dasar kesukuan dan kelahirannya memang tindakan
rasis. Banyak sekali yang ingin melaporkan Bahar atas dugaan menghina bangsa
Indonesia itu. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada yang melaporkannya atas
dugaan penghinaan rasis yang jelas berbau Sara itu. Baru Habib Husein Shihab yang melaporkannya ke polisi, tetapi bukan tentang rasisme, melainkan
dugaan provokasi yang bisa membahayakan masyarakat dan stabilitas kehidupan. Di
samping itu, ada pula relawan Jokowi yang melaporkannya atas dugaan penghinaan Bahar
kepada Presiden.
Kalimat
ini yang diucapkan Bahar dan menyinggung perasaan banyak orang, “Kalau tidak ada para ulama, para habaib
yang datang dari Arab ke Indonesia, Si Dudung masih nyembah pohon.”
Dari kalimat itu, banyak orang menyimpulkan bahwa Bahar
mengagungkan Arab dan merendahkan bangsa Indonesia. Yang Bahar maksud Si Dudung
itu adalah Kasad TNI Jenderal Dudung Abdurachman.
Kalau orang lain mau melaporkan karena merasa
tersinggung, terserahlah. Itu akan diurus kepolisian. Kalau memang ada tindakan
pelanggaran hukumnya, harus diteruskan ke pengadilan. Kalau tidak ada, ya tidak
akan diproses. Akan tetapi, bagi saya, lebih suka didiskusikan saja atau
diperdebatkan dengan cara yang baik agar didapat pengetahuan baru dan tidak lagi
salah berpikir.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang
bejat dan jahiliyah. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw diturunkan untuk
menghentikan kerusakan Arab. Nabi saw tidak diturunkan di Indonesia karena
bangsa Indonesia itu bangsa yang sudah baik dan islami. Begitu kira-kira yang
dikatakan oleh Habib Kribo Zen Assegaf.
Dudung adalah orang Sunda, saya juga orang Sunda. Jadi, wajar
jika ada anggapan bahwa berdasarkan kata-kata Bahar, orang Sunda dulu menyembah
pohon. Wajar pula jika orang Sunda banyak yang marah.
Pertanyaan saya, kapan orang Sunda menyembah pohon
seperti yang dikatakan Bahar?
Ada yang punya bukti bahwa orang Sunda pernah menyembah
pohon?
Ada yang punya data berupa foto, lukisan, atau ajaran
dalam pemujaan terhadap pohon?
Kalau tidak punya, kenapa atuh sok tahu mengatakan bahwa
orang Sunda pernah menyembah pohon?
Makanya, sebelum berbicara dan bertindak itu harus “iqra” dulu. Itu kan perintah Allah swt,
ayat yang paling pertama. Kalau tidak iqra dulu, ya bodohlah jadinya.
Dari dulu juga orang Sunda tidak pernah menyembah pohon.
Orang Sunda itu sudah “monotheisme”, ‘bertuhan
satu’. Oleh sebab itu, sangat mudah menerima Islam karena konsep ketuhanannya
sama. Orang banyak yang mengatakan bahwa orang Sunda dulu itu agamanya adalah “Sunda Wiwitan”.
Saya kasih tahu ya,
saya pernah baca suatu naskah tentang ajaran Sunda Wiwitan yang didasarkan pada
catatan “Prabu Munding Laya bin Gajah
Agung bin Cakrabuana bin Aji Putih, Raja Sumedang Larang”. Orang Sumedang
harus bantu saya kalau saya salah menerjemahkan. Kalau data ini salah, kasih
tahu saya data yang benarnya dari keturunan Raja Sumedang Larang. Saya berterima
kasih untuk itu kalau memang ada. Jauh sebelum para habib dan orang Arab
datang, orang Sunda sudah menyembah Tuhan Yang Satu.
Perhatikan.
“Dina
Agama Sunda Wiwitan, aya anu unina kieu, ‘Nya inyana anu muhung di ayana, aya
tanpa rupa, aya tanpa waruga, hanteu ka ambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa
di sagala karep inyana’.”
Artinya.
“Dalam
Agama Sunda Wiwitan (Mula-Mula), ada ajaran seperti ini, ‘Dia-lah Yang
Mahaagung dalam keberadaan-Nya, ada tanpa kelihatan rupa-Nya, ada tanpa
kelihatan wujud-Nya, tidak tercium keberadaan-Nya, tetapi berkuasa yang
kemahakuasaan-Nya adalah sesuai dengan kehendak-Nya’.”
Ada lagi.
“Hyang
tunggal anu Maha Luhung; satemenna tujuan utama manusa sembah Hyang; henteu
boga anak henteu boga dulur; boga baraya jeung batur ogé henteu di jagat jeung
ieu alam; anu pangunggulna dina sagala rupa hal; hung, tah éta téh nu ngagem
bebeneran sajati, ahung.”
Artinya.
“Tuhan
Tunggal Yang Mahaagung. Sesungguhnya, Dia-lah yang sebenarnya tujuan
penyembahan manusia, tidak punya anak dan tidak punya saudara, punya kerabat
dan teman juga tidak di seluruh jagat dan seluruh alam ini. Dia yang paling
unggul dalam segala rupa hal. Hung! Itulah agama pegangan kebenaran yang
sejati. Ahung!”
Ada lagi.
"Utek,
tongo, walang, taga, manusa, buta, detia, lukut, jukut, rungkun, kayu, keusik,
karihkil, cadas, batu, cinyusu, talaga, sagara, Bumi, langit, jagat mahpar,
angin leutik, angin puih, bentang rapang, bulan ngempray, sang herang ngenge
nongtoreng, eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal, keur Inyanamah sarua kabeh
oge taya bedana."
Artinya.
“Cacing-cacing,
tungau, belalang, taga, manusia, raksasa, jin, lumut, rumput, semak-semak,
kayu, kerikil, cadas, batu, mata air, danau, lautan, Bumi, langit, seluruh
dunia, angin kecil, angin topan, bintang bertaburan, Bulan bercahaya, Matahari
bersinar terik. Itu semua ciptaan Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa).
Bagi-Nya semua itu tidak ada bedanya.”
Itu ajaran orang
Sunda sebelum orang-orang Arab datang. Sudah islami dari dulu, tetapi tidak
menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa Sunda. Jadi, menyebut Tuhan Yang Maha
Esa itu bukan dengan istilah “Allah swt”,
melainkan istilah lain, istilah Sunda.
Dalam naskah “Jatiraga” dituliskan
bahwa “Sang Hyang Jatiniskala” benar-benar bersifat “niskala”,
tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan.
“Sebab
Aku adalah asli dan dari keaslian. Tidak perlu diubah dalam bentuk benda alam
yang tidak asli dan tidak jujur sebab Aku adalah jujurnya dari kejujuran.”
Dalam naskah itu Allah swt disebut Sang Hyang
Jatiniskala, ‘Tuhan Yang Tidak Dapat Dibayangkan’.
Pernyataan “diri” yang
juga sama tegasnya ada dalam naskah “Sang Hyang Raga Dewata”.
“Hanteu
nu ngayuga Aing. Hanteu manggawe Aing. Aing ngaranan maneh, Sanghiyang Raga
Dewata.”
Artinya.
“Tidak
ada yang menjadikan Aku. Tidak ada yang menciptakan Aku. Aku menamai diri
sendiri, Sang Hyang Raga Dewata.”
Dalam naskah itu, Allah swt disebut Sang Hyang Raga
Dewata, ‘Tuhan dengan Raga Tuhan’. Jadi, beda dengan raga ciptaan-Nya.
Sifat-sifat Sang Hyang
Raga Dewata pun dijelaskan sebagai berikut.
“Datang
tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat, perkataan (senantiasa) benar. Rupa direka
karena ada. Aku-lah yang menciptakan, tetapi tak terciptakan, Aku-lah yang
bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Aku-lah yang menggunakan, tetapi tidak
digunakan.”
Begitulah sifat-sifat Sang Hyang Tunggal, tak ada bedanya
dengan konsep ketuhanan dalam Islam yang saya yakini sekarang.
Balik lagi ke pertanyaan awal, sejak kapan orang Sunda
menyembah pohon?
Jawabannya, tidak pernah!
Sebelum orang-orang Arab itu datang, orang Sunda sudah
bertauhid karena ada nabi bersuku bangsa Sunda yang diutus Allah swt.
Perhatikan QS Ibrahim 14 : 4.
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ada
berapa bahasa dan kaum di dunia ini?
Sejumlah
itulah rasul yang diutus Allah swt. Untuk orang Sunda, ya rasul yang berbahasa
Sunda.
Perhatikan
lagi QS Yunus 10 : 47.
“Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka
apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan
adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.”
Ada
berapa umat di seluruh dunia?
Sejumlah
itulah rasul diutus Allah swt. Untuk umat Sunda, ya orang Sunda-lah.
Banyak
sekali naskah dan ayat yang menguatkan hal itu. Saking banyaknya, saya bisa
bikin sebuah buku untuk menerangkannya. Akan tetapi, sebagian kecil ini pun
rasanya cukup kalau memang ingin mengerti.
Jadi,
orang Sunda tidak pernah menyembah pohon. Bahar bin Smith dan orang-orang
sejenisnya itu salah besar. Mereka sok tahu, bodoh, karena tidak iqra dulu
sebelum ngomong.
Eh,
kalau ada data yang lain kasih tahu saya ya, mau nambahin yang menguatkan atau data
yang berbeda. Jadi, diskusinya jadi enak. Kalau mau itu juga.
No comments:
Post a Comment