Thursday, 30 December 2021

Kapan Orang Sunda Menyembah Pohon?


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak yang marah kepada Bahar bin Smith. Banyak yang tersinggung dan menganggap rasis, merendahkan bangsa Indonesia dan meninggikan Arab. Perilaku memuja suatu bangsa dan merendahkan suatu bangsa atas dasar kesukuan dan kelahirannya memang tindakan rasis. Banyak sekali yang ingin melaporkan Bahar atas dugaan menghina bangsa Indonesia itu. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada yang melaporkannya atas dugaan penghinaan rasis yang jelas berbau Sara itu. Baru Habib Husein Shihab yang melaporkannya ke polisi, tetapi bukan tentang rasisme, melainkan dugaan provokasi yang bisa membahayakan masyarakat dan stabilitas kehidupan. Di samping itu, ada pula relawan Jokowi yang melaporkannya atas dugaan penghinaan Bahar kepada Presiden.

Kalimat ini yang diucapkan Bahar dan menyinggung perasaan banyak orang, “Kalau tidak ada para ulama, para habaib yang datang dari Arab ke Indonesia, Si Dudung masih nyembah pohon.”

            Dari kalimat itu, banyak orang menyimpulkan bahwa Bahar mengagungkan Arab dan merendahkan bangsa Indonesia. Yang Bahar maksud Si Dudung itu adalah Kasad TNI Jenderal Dudung Abdurachman.

            Kalau orang lain mau melaporkan karena merasa tersinggung, terserahlah. Itu akan diurus kepolisian. Kalau memang ada tindakan pelanggaran hukumnya, harus diteruskan ke pengadilan. Kalau tidak ada, ya tidak akan diproses. Akan tetapi, bagi saya, lebih suka didiskusikan saja atau diperdebatkan dengan cara yang baik agar didapat pengetahuan baru dan tidak lagi salah berpikir.

            Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang bejat dan jahiliyah. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw diturunkan untuk menghentikan kerusakan Arab. Nabi saw tidak diturunkan di Indonesia karena bangsa Indonesia itu bangsa yang sudah baik dan islami. Begitu kira-kira yang dikatakan oleh Habib Kribo Zen Assegaf.

            Dudung adalah orang Sunda, saya juga orang Sunda. Jadi, wajar jika ada anggapan bahwa berdasarkan kata-kata Bahar, orang Sunda dulu menyembah pohon. Wajar pula jika orang Sunda banyak yang marah.

            Pertanyaan saya, kapan orang Sunda menyembah pohon seperti yang dikatakan Bahar?

            Ada yang punya bukti bahwa orang Sunda pernah menyembah pohon?

            Ada yang punya data berupa foto, lukisan, atau ajaran dalam pemujaan terhadap pohon?

            Kalau tidak punya, kenapa atuh sok tahu mengatakan bahwa orang Sunda pernah menyembah pohon?

            Makanya, sebelum berbicara dan bertindak itu harus “iqra” dulu. Itu kan perintah Allah swt, ayat yang paling pertama. Kalau tidak iqra dulu, ya bodohlah jadinya.

            Dari dulu juga orang Sunda tidak pernah menyembah pohon. Orang Sunda itu sudah “monotheisme”, ‘bertuhan satu’. Oleh sebab itu, sangat mudah menerima Islam karena konsep ketuhanannya sama. Orang banyak yang mengatakan bahwa orang Sunda dulu itu agamanya adalah “Sunda Wiwitan”.

            Saya kasih tahu ya, saya pernah baca suatu naskah tentang ajaran Sunda Wiwitan yang didasarkan pada catatan “Prabu Munding Laya bin Gajah Agung bin Cakrabuana bin Aji Putih, Raja Sumedang Larang”. Orang Sumedang harus bantu saya kalau saya salah menerjemahkan. Kalau data ini salah, kasih tahu saya data yang benarnya dari keturunan Raja Sumedang Larang. Saya berterima kasih untuk itu kalau memang ada. Jauh sebelum para habib dan orang Arab datang, orang Sunda sudah menyembah Tuhan Yang Satu.

            Perhatikan.

            “Dina Agama Sunda Wiwitan, aya anu unina kieu, ‘Nya inyana anu muhung di ayana, aya tanpa rupa, aya tanpa waruga, hanteu ka ambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana’.”

            Artinya.

            “Dalam Agama Sunda Wiwitan (Mula-Mula), ada ajaran seperti ini, ‘Dia-lah Yang Mahaagung dalam keberadaan-Nya, ada tanpa kelihatan rupa-Nya, ada tanpa kelihatan wujud-Nya, tidak tercium keberadaan-Nya, tetapi berkuasa yang kemahakuasaan-Nya adalah sesuai dengan kehendak-Nya’.”

            Ada lagi.

            “Hyang tunggal anu Maha Luhung; satemenna tujuan utama manusa sembah Hyang; henteu boga anak henteu boga dulur; boga baraya jeung batur ogé henteu di jagat jeung ieu alam; anu pangunggulna dina sagala rupa hal; hung, tah éta téh nu ngagem bebeneran sajati, ahung.”

            Artinya.

            “Tuhan Tunggal Yang Mahaagung. Sesungguhnya, Dia-lah yang sebenarnya tujuan penyembahan manusia, tidak punya anak dan tidak punya saudara, punya kerabat dan teman juga tidak di seluruh jagat dan seluruh alam ini. Dia yang paling unggul dalam segala rupa hal. Hung! Itulah agama pegangan kebenaran yang sejati. Ahung!”

            Ada lagi.

            "Utek, tongo, walang, taga, manusa, buta, detia, lukut, jukut, rungkun, kayu, keusik, karihkil, cadas, batu, cinyusu, talaga, sagara, Bumi, langit, jagat mahpar, angin leutik, angin puih, bentang rapang, bulan ngempray, sang herang ngenge nongtoreng, eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal, keur Inyanamah sarua kabeh oge taya bedana."

            Artinya.

            “Cacing-cacing, tungau, belalang, taga, manusia, raksasa, jin, lumut, rumput, semak-semak, kayu, kerikil, cadas, batu, mata air, danau, lautan, Bumi, langit, seluruh dunia, angin kecil, angin topan, bintang bertaburan, Bulan bercahaya, Matahari bersinar terik. Itu semua ciptaan Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Bagi-Nya semua itu tidak ada bedanya.”

            Itu ajaran orang Sunda sebelum orang-orang Arab datang. Sudah islami dari dulu, tetapi tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa Sunda. Jadi, menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu bukan dengan istilah “Allah swt”, melainkan istilah lain, istilah Sunda.

            Dalam naskah “Jatiraga” dituliskan bahwa “Sang Hyang Jatiniskala” benar-benar bersifat “niskala”, tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan.

            “Sebab Aku adalah asli dan dari keaslian. Tidak perlu diubah dalam bentuk benda alam yang tidak asli dan tidak jujur sebab Aku adalah jujurnya dari kejujuran.”

            Dalam naskah itu Allah swt disebut Sang Hyang Jatiniskala, ‘Tuhan Yang Tidak Dapat Dibayangkan’.

Pernyataan “diri” yang juga sama tegasnya ada dalam naskah “Sang Hyang Raga Dewata”.

            “Hanteu nu ngayuga Aing. Hanteu manggawe Aing. Aing ngaranan maneh, Sanghiyang Raga Dewata.”

            Artinya.

            “Tidak ada yang menjadikan Aku. Tidak ada yang menciptakan Aku. Aku menamai diri sendiri, Sang Hyang Raga Dewata.”

            Dalam naskah itu, Allah swt disebut Sang Hyang Raga Dewata, ‘Tuhan dengan Raga Tuhan’. Jadi, beda dengan raga ciptaan-Nya.

Sifat-sifat Sang Hyang Raga Dewata pun dijelaskan sebagai berikut.

            “Datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat, perkataan (senantiasa) benar. Rupa direka karena ada. Aku-lah yang menciptakan, tetapi tak terciptakan, Aku-lah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Aku-lah yang menggunakan, tetapi tidak digunakan.”

            Begitulah sifat-sifat Sang Hyang Tunggal, tak ada bedanya dengan konsep ketuhanan dalam Islam yang saya yakini sekarang.

            Balik lagi ke pertanyaan awal, sejak kapan orang Sunda menyembah pohon?

            Jawabannya, tidak pernah!

            Sebelum orang-orang Arab itu datang, orang Sunda sudah bertauhid karena ada nabi bersuku bangsa Sunda yang diutus Allah swt. Perhatikan QS Ibrahim 14 : 4.

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

Ada berapa bahasa dan kaum di dunia ini?

Sejumlah itulah rasul yang diutus Allah swt. Untuk orang Sunda, ya rasul yang berbahasa Sunda.

Perhatikan lagi QS Yunus 10 : 47.

“Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.”

Ada berapa umat di seluruh dunia?

Sejumlah itulah rasul diutus Allah swt. Untuk umat Sunda, ya orang Sunda-lah.

Banyak sekali naskah dan ayat yang menguatkan hal itu. Saking banyaknya, saya bisa bikin sebuah buku untuk menerangkannya. Akan tetapi, sebagian kecil ini pun rasanya cukup kalau memang ingin mengerti.

Jadi, orang Sunda tidak pernah menyembah pohon. Bahar bin Smith dan orang-orang sejenisnya itu salah besar. Mereka sok tahu, bodoh, karena tidak iqra dulu sebelum ngomong.

Eh, kalau ada data yang lain kasih tahu saya ya, mau nambahin yang menguatkan atau data yang berbeda. Jadi, diskusinya jadi enak. Kalau mau itu juga.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment