oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Alkisah. Dulu sebelum jalan
Tol Seroja ada, kalau Persib main di Stadion Jalak Harupat dan menang, selalu
disambut arak-arakan warga. Sepanjang Jalan Kopo, Bandung, macet luar biasa.
Saya
sempat terjebak dalam keriuhan itu. Ketika terjebak itu, ada dua anak muda
dengan rambut dicat warna-warni bergaya “punk”,
mendekati mobil saya yang jendela depannya sengaja saya buka.
Salah
seorang dari kedua orang itu berkata, “A, minta uang.”
Saya
lirik mereka yang jelas penggemar Persib dan ikut arak-arakan itu sejak dari
Stadion Jalak Harupat.
“Buat
apa?” tanya saya.
“Belum
makan A, dari pagi.”
“Kalian
belum makan, tapi bisa beli tiket nonton Persib? Kenapa uangnya nggak dibeliin
makanan? Penting mana nonton Persib sama makan?”
“Nggak
A, saya mah nggak beli tiket, loncat pagar stadion.”
Bisa
aja nih anak ngeles.
“Terus,
itu kenapa rambut dicat warna-warni begitu? Kalian mah kalau dikasih uang juga
bukan buat makan, tapi buat ngecat rambut.”
Mereka
terdiam, tetapi tidak meninggalkan mobil saya.
“Ya
sudah, nih saya ada uang, tapi bukan untuk ngecat rambut. Beli nasi, terus
makan. Awas jangan dibeliin cat, ya.”
“Iya
A, makasih,” katanya sambil cium tangan saya, terus mereka pergi.
Kisah
ini tiba-tiba saja saya ingat karena kemarin-kemarin viral ada mural di tempat publik
Tangerang dengan tulisan “TUHAN, AKU
LAPAR!!”
Ini sama anehnya dengan anak-anak muda yang minta uang buat makan sama saya waktu dulu. Kalau minta sama Tuhan, ya berdoa di tempat ibadat atau di rumah. Kalau lapar, beli beras, lalu makan. Kalau nggak punya uang, cari Bansos, minta perhatian sama pengurus RT, RW, DKM, saudara, tetangga, dll. Sudah tahu lapar, malah beli cat. Coba kalau uangnya dipakai beli beras, mungkin cukup untuk satu bulan daripada dibeliin cat lalu bikin tulisan di tempat publik.
Meskipun
demikian, kita bisa tahu bahwa itu adalah aktivitas politik yang menipu.
Pengennya sih mengkritik pemerintah, tetapi membodohi masyarakat. Seolah-olah
pemerintah itu harus memberi makan ketika masyarakat sedang lapar atau memberi
uang ketika rakyat butuh. Memang sudah menjadi kewajiban pemerintah memastikan
kesejahteraan masyarakatnya, tetapi bukan begitu caranya.
Pemerintah
itu kewajibannya membangun infrastruktur jalan dan jembatan agar aktivitas
masyarakat lebih cepat dan nyaman sehingga kebutuhan bisnis, kerja, kesehatan,
dan pendidikan dapat terpenuhi. Pemerintah wajib membangun sekolah dan
Diklat-Diklat agar masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
berguna untuk kehidupannya. Pemerintah wajib membangun pasar agar terjadi
transaksi ekonomi antara pembeli dan penjual. Pemerintah wajib menjaga
harga-harga agar dapat dijangkau oleh masyarakat. Pemerintah wajib memudahkan
izin usaha agar iklim bisnis lebih cepat dan lancar. Pemerintah wajib
menggunakan pajak untuk kepentingan rakyat. Pemerintah wajib melindungi warga
negaranya dari serangan pasukan asing dan dari kejahatan para kriminal. Masih banyak
kewajiban pemerintah yang bisa ditulis, tetapi akan terlalu panjang. Jadi,
pemerintah itu memakmurkan rakyatnya bukan dengan cara bagi-bagi makanan atau
uang secara langsung, melainkan memberikan fasilitas dan kemudahan bagi
aktivitas masyarakat.
Akan
tetapi, dalam keadaan tertentu, memang pemerintah wajib memberikan uang
langsung atau makanan langsung, misalnya, di tengah bencana, pandemi, atau
memang ada rakyat yang tergolong fakir miskin dan wajib dibantu karena tidak
memiliki kemampuan untuk menopang hidupnya sendiri.
Jadi, kalau lapar, jangan beli cat, tetapi beli beras, terus makan. Kalau berdoa kepada Tuhan, jangan pakai mural, berdoa di tempat ibadat atau di rumah.
Sekarang,
tulisan itu sudah tidak ada lagi, dihapus oleh pemerintah setempat karena
mengganggu masyarakat. Kalaupun mau menulis, ya di rumah sendiri atau di kamar
sendiri, jangan di tempat umum.
No comments:
Post a Comment