Tuesday, 24 August 2021

Kalau Lapar, Beli Beras, Jangan Beli Cat

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Alkisah. Dulu sebelum jalan Tol Seroja ada, kalau Persib main di Stadion Jalak Harupat dan menang, selalu disambut arak-arakan warga. Sepanjang Jalan Kopo, Bandung, macet luar biasa.

Saya sempat terjebak dalam keriuhan itu. Ketika terjebak itu, ada dua anak muda dengan rambut dicat warna-warni bergaya “punk”, mendekati mobil saya yang jendela depannya sengaja saya buka.

Salah seorang dari kedua orang itu berkata, “A, minta uang.”

Saya lirik mereka yang jelas penggemar Persib dan ikut arak-arakan itu sejak dari Stadion Jalak Harupat.

“Buat apa?” tanya saya.

“Belum makan A, dari pagi.”

“Kalian belum makan, tapi bisa beli tiket nonton Persib? Kenapa uangnya nggak dibeliin makanan? Penting mana nonton Persib sama makan?”

“Nggak A, saya mah nggak beli tiket, loncat pagar stadion.”

Bisa aja nih anak ngeles.

“Terus, itu kenapa rambut dicat warna-warni begitu? Kalian mah kalau dikasih uang juga bukan buat makan, tapi buat ngecat rambut.”

Mereka terdiam, tetapi tidak meninggalkan mobil saya.

“Ya sudah, nih saya ada uang, tapi bukan untuk ngecat rambut. Beli nasi, terus makan. Awas jangan dibeliin cat, ya.”

“Iya A, makasih,” katanya sambil cium tangan saya, terus mereka pergi.

Kisah ini tiba-tiba saja saya ingat karena kemarin-kemarin viral ada mural di tempat publik Tangerang dengan tulisan “TUHAN, AKU LAPAR!!”


Foto: detikNews-Detikcom

Ini sama anehnya dengan anak-anak muda yang minta uang buat makan sama saya waktu dulu. Kalau minta sama Tuhan, ya berdoa di tempat ibadat atau di rumah. Kalau lapar, beli beras, lalu makan. Kalau nggak punya uang, cari Bansos, minta perhatian sama pengurus RT, RW, DKM, saudara, tetangga, dll. Sudah tahu lapar, malah beli cat. Coba kalau uangnya dipakai beli beras, mungkin cukup untuk satu bulan daripada dibeliin cat lalu bikin tulisan di tempat publik.

Meskipun demikian, kita bisa tahu bahwa itu adalah aktivitas politik yang menipu. Pengennya sih mengkritik pemerintah, tetapi membodohi masyarakat. Seolah-olah pemerintah itu harus memberi makan ketika masyarakat sedang lapar atau memberi uang ketika rakyat butuh. Memang sudah menjadi kewajiban pemerintah memastikan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi bukan begitu caranya.

Pemerintah itu kewajibannya membangun infrastruktur jalan dan jembatan agar aktivitas masyarakat lebih cepat dan nyaman sehingga kebutuhan bisnis, kerja, kesehatan, dan pendidikan dapat terpenuhi. Pemerintah wajib membangun sekolah dan Diklat-Diklat agar masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk kehidupannya. Pemerintah wajib membangun pasar agar terjadi transaksi ekonomi antara pembeli dan penjual. Pemerintah wajib menjaga harga-harga agar dapat dijangkau oleh masyarakat. Pemerintah wajib memudahkan izin usaha agar iklim bisnis lebih cepat dan lancar. Pemerintah wajib menggunakan pajak untuk kepentingan rakyat. Pemerintah wajib melindungi warga negaranya dari serangan pasukan asing dan dari kejahatan para kriminal. Masih banyak kewajiban pemerintah yang bisa ditulis, tetapi akan terlalu panjang. Jadi, pemerintah itu memakmurkan rakyatnya bukan dengan cara bagi-bagi makanan atau uang secara langsung, melainkan memberikan fasilitas dan kemudahan bagi aktivitas masyarakat.

Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, memang pemerintah wajib memberikan uang langsung atau makanan langsung, misalnya, di tengah bencana, pandemi, atau memang ada rakyat yang tergolong fakir miskin dan wajib dibantu karena tidak memiliki kemampuan untuk menopang hidupnya sendiri.

Jadi, kalau lapar, jangan beli cat, tetapi beli beras, terus makan. Kalau berdoa kepada Tuhan, jangan pakai mural, berdoa di tempat ibadat atau di rumah.


Foto: Tangerang News

Sekarang, tulisan itu sudah tidak ada lagi, dihapus oleh pemerintah setempat karena mengganggu masyarakat. Kalaupun mau menulis, ya di rumah sendiri atau di kamar sendiri, jangan di tempat umum.

Sampurasun.

No comments:

Post a Comment