oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Judul ini mah nanya, bener
nanya, bukan mengkritik. Nanya, sumpah.
Akan tetapi, sebelum ke pertanyaan, saya pengen ceritera
dulu. Banyak status di Medsos hari ini, 31 Desember 2019, yang bersyukur dan
berharap, malah berdoa agar hujan terus turun. Banyak juga yang berharap malah
bersiap-siap bisa liburan dengan memanfaatkan momen malam tahun baru. Pastinya,
mereka ini berharap hari tidak hujan. Kalau saya, tidak ada bedanya, mau hujan
atau tidak, jika memungkinkan, saya pergi ke luar. Saya ini kan penulis dan
masih punya kartu pers yang berlaku. Saya bisa ceriterakan suasana tahun baru
di tempat-tempat yang saya kunjungi, baik sisi positifnya maupun negatifnya.
Bahkan, saya bisa ceriterakan ketika terjadi teror bom di bawah mobil “tvOne” di depan pendopo walikota
Bandung ketika masih zaman Ridwan Kamil. Saya ada di tempat itu.
Kembali ke pertanyaan judul. Beberapa hari terakhir ini
Medsos banyak diisi oleh tulisan atau status tentang tidak bolehnya merayakan
tahun baru. Ada yang menyatakan haram, kafir, murtad, bahkan harus syahadat
lagi jika merayakan tahun baru masehi. Akan tetapi, beberapa hari terakhir
pula, tepatnya mulai 21 Desember 2019 muncul berita bahwa Provinsi DKI Jakarta
berbenah dan mempersiapkan diri untuk menyambut pergantian tahun baru 2019 ke
2020. Gubernur DKI itu jelas Anies Baswedan.
Kalau rakyat biasa merayakan tahun baru dicap haram, kafir,
atau murtad, bagaimana dengan Anies Baswedan?
Gubernur Indonesia, Pujaan Umat, Goodbener Anies Baswedan
itu memfasilitasi malam tahun baru dengan hadirnya beberapa titik panggung
hiburan, seperti, di Jln. Thamrin, Jln. Sudirman, dan Bundaran HI. Di samping
itu, diadakan pula pesta kembang api yang megah.
Bisakah dikatakan bahwa Gubernur DKI itu memfasilitasi
dan memberikan ruang kepada rakyat untuk melakukan kegiatan yang haram sehingga
menjadi kafir atau murtad?
Kasihan sekali dia kalau begitu.
Bagi saya, Anies adalah orang cerdas.
Bagi saya, malam tahun baru itu hanya sebuah momen.
Berdosa atau tidaknya kita di malam itu bergantung bagaimana kita mengisinya.
Jika kegiatan kita positif, ya bagus dan berpahala. Jika negatif, ya jadi buruk
dan berdosa. Kita bisa berada di masjid, tausiyah, berdoa, berdzikir, dan lain
sebagainya. Bisa pula mengadakan kegiatan positif di tempat orang ramai,
misalnya, pada tahun-tahun lalu para mahasiswa ITB unjuk kebolehan di sepanjang
Jl. Braga, Bandung dengan berbagai karya; warga Jl. Braga mengisahkan sejarah,
perkembangan, dan masalah Jl. Braga melalui bioskop gratis di dalam bus; para
seniman Sunda memperkenalkan seni Sunda yang hampir punah pada anak-anak muda.
Siapa bilang itu jelek?
Positif-negatif, bukan karena momen, melainkan perilaku
kita sendiri.
Sampurasun.