oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beredar kabar Senin, 11
April 2022, akan ada demonstrasi besar-besaran oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
Seluruh Indonesia (Bem SI) entah di mana saja. Bisa hanya di Jakarta, bisa juga
serentak pada beberapa kota lainnya.
Sebetulnya, demonstrasi itu boleh dan berhak dilakukan
siapa saja di Indonesia ini. Akan tetapi, adanya demonstrasi itu menunjukkan
ada kegagalan komunikasi antara rakyat dengan para wakil rakyat. Seharusnya,
mereka yang berteriak-teriak itu adalah para wakil rakyat, ada DPR RI, DPD RI,
DPRD, dan MPRI RI. Para wakil rakyat itulah yang seharusnya setiap saat
menyuarakan aspirasi rakyat dan mendesak pemerintah untuk selalu berpihak
kepada rakyat sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Para wakil rakyat itu
adalah orang-orang yang dibayar dan digaji untuk mengawasi dan mengontrol
pemerintahan. Artinya, jika banyak demonstrasi, berarti ada ketidaknyambungan
antara rakyat dengan wakilnya. Rakyat atau mahasiswa lebih memilih
berdemonstrasi daripada menitipkan keinginannya kepada para wakil rakyat.
Untuk apa menggaji dan membayar wakil rakyat jika
mahasiswa atau rakyat masih harus turun ke jalan?
Para wakil rakyatlah yang wajib berteriak mendesak
pemerintah itu. Sayang uang jika harus menggaji wakil rakyat, tetapi tidak
mampu mewakili rakyat.
Soal demonstrasi yang digelar Bem SI, mahasiswa khususnya
Bem SI harus waspada agar menjaga dirinya untuk tetap murni sebagai gerakan
mahasiswa, bukan terkesan pesanan atau ditunggangi pihak lain yang ingin
membuat rusuh situasi yang mempermalukan mahasiswa sendiri. Kalau saya, gampang
saja melihatnya. Jika tuntutan mahasiswa adalah menginginkan Jokowi mundur dari
kepresidenan dan menginginkan tegaknya sistem kekhalifahan, itu jelas bukan
aspirasi akademis. Itu hanya senilai dengan teriakan emak-emak yang sakit hati,
morang-maring, mobat-mabit, nggak karuan karena kebodohannya.
Untungnya, tuntutan Bem SI tidak ada yang seperti itu.
Paling tidak, itu yang saya perhatikan dari penuturan koordinator Bem SI
Kaharudin dalam berita yang dilansir Kompas. Ada enam tuntutan Bem SI, yaitu
mendesak presiden untuk menolak penundaan pemilu dan masa jabatan tiga periode;
menunda dan mengkaji ulang UU IKN; menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan
bahan pokok di masyarakat; mengusut mafia minyak goreng dan mengevaluasi
kinerja menterinya; penyelesaian konflik agraria; menuntaskan janji-janji
kampanye sebagai presiden dan wakil presiden.
Dari keenam tuntutan itu, tidak ada tuntutan Jokowi
mundur dan tegaknya sistem kekhalifahan. Mahasiswa lumayan cerdas. Jadi, kalau
ada poster, iklan, ajakan, atau provokasi untuk berdemonstrasi menurunkan
Jokowi dan menegakkan kekhalifahan, itu bukan dari mahasiswa, melainkan dari
emak-emak yang sakit hati dan tidak mau menerima kegagalan dan kekalahan
dirinya. Meskipun mereka katanya laki-laki dengan daster putih dan berjubah
ditambah janggut, bagi saya mereka sama saja dengan emak-emak yang sakit hati
mobat-mabit itu.
Daripada ngikutin emak-emak itu, mendingan konsentrasi
menjalankan ibadat Ramadhan dengan baik agar mendapatkan pahala yang banyak,
baik, dan mengantarkan kita menjadi orang yang lebih baik lagi. Dengan
demikian, kita akan menciptakan diri dan lingkungan kita sebagai tempat yang
lebih baik dalam hidup ini.
Saya hanya titip pesan kepada para mahasiswa agar jangan
malu-maluin. Kalian harus mempelajari segala sesuatunya dengan baik sebelum
berdemonstrasi, apalagi ada kaitannya dengan undang-undang. Jangan seperti
demonstrasi RUU Omnibuslaw kemarin-kemarin itu. Ternyata, mahasiswa tidak baca
dulu undang-undangnya. Penafsirannya juga salah. Itu malu-maluin. Ketika
dihadapkan kepada para pembuat undang-undangnya, tidak jelas dalil dan
hujahnya. Ditayangin lagi di televisi. Malu-maluin. Nggak ada hasilnya demonstrasi
itu, cuma bikin nama baik mahasiswa yang jadi negatif.
Apa coba hasilnya demo kemarin itu? Tidak ada, kan?
Kalau ada, kasih tahu saya.
Di samping itu, jangan suka mengklaim jumlah massa besar
kalau hanya sedikit. Bilangnya tujuh juta padahal hanya lima ribu. Bilangnya
seribu, padahal hanya dua ratus. Jangan begitu, memalukan.
Saya suka dengan semangat mahasiswa. Paling tidak,
semangat yang dikatakan Kaharudin bahwa mahasiswa berdiri tegak sebagai
oposisi, sebagai pengawas, dan pengontrol kebijakan pemerintah. Akan tetapi,
sesungguhnya itu adalah pekerjaannya para wakil rakyat karena digaji untuk itu.
Mahasiswa secara moral sangat baik memposisikan dirinya seperti itu. Akan
tetapi, tugas utama mahasiswa itu adalah kuliah dengan baik karena mereka
adalah pelajar. Selesaikan kuliah hingga tuntas, jangan sampai tidak selesai.
Malu-maluin. Demonstrasi berteriak memajukan rakyat, tetapi dirinya sendiri
nggak maju-maju, bahkan gagal kuliah. Malu-maluin. Apalagi yang mendapatkan
beasiswa dari negara, kuliahnya wajib selesai. Kalau tidak selesai kuliahnya,
tetapi sudah menggunakan dan memakan uang beasiswa, memalukan sekali jika
terus-terusan demonstrasi.
Hidup mahasiswa!
Saya juga mau jadi mahasiswa lagi da. Lagi ngumpulin
tenaga buat kuliah lagi.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment