oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Selepas aksi demonstrasi 11
April 2022, hanya beberapa jam sejak itu, tuntutan mahasiswa sudah tidak
penting lagi, tidak lagi menjadi perhatian rakyat, menguap, dan seolah-olah
terlupakan. Coba saja perhatikan dunia maya dan media elektronik, sudah
melupakannya. Justru berbagai media, termasuk media sosial saat ini dipenuhi
oleh berita tentang penganiayaan yang dialami oleh dosen UI dan pegiat media
sosial Ade Armando.
Sejujurnya, bagi saya pribadi, tuntutan mahasiswa itu
sama sekali tidak penting karena jawabannya sudah ada sejak lama dan upaya
pemecahan masalahnya sedang berjalan diupayakan. Tuntutan tentang penolakan
presiden tiga periode, Jokowi sudah menjelaskannya lebih dari lima kali seingat
saya, BBM naik harga karena pasokan dunia berkurang gara-gara perang
Rusia-Ukraina, daya beli masyarakat untuk minyak goreng dikuatkan untuk
masyarakat lemah dengan bantuan tunai Rp300.000,-. Demikian pula, tuntutan
lainnya mudah sekali dijelaskan. Ini bisa didiskusikan kasus per kasus.
Lalu, apa?
Seperti demonstrasi yang lalu-lalu, tidak ada hasilnya.
Malah, semakin mencoreng nama baik mahasiswa. Oleh sebab
itu, saya menulis pada tulisan yang lalu bahwa mahasiswa jangan malu-maluin,
pelajari dulu dengan benar dan cermat isu yang akan didemonstrasikan. Sekarang,
para penyusup dan penumpang gelap membuat narasi dan video bahwa mahasiswa
adalah pelaku penganiayaan terhadap Ade Armando. Cek saja sendiri di FB, grup
WA, youtube, twitter, dan lain sebagainya, justru penganiayaan ini yang menjdi
viral. Sementara itu, tuntutan mahasiswa menguap entah ke mana.
Saya berulang-ulang menyaksikan penganiayaan itu dari
berbagai kanal.
Awalnya, saya senang mellihat mahasiswa mengalihkan
sasaran demo dari istana ke gedung DPR RI. Hal itu disebabkan memang para wakil
rakyatlah yang seharusnya menjadi sasaran tepat demontrasi berdasarkan tuntutan
mahasiswa sesuai dengan azas “trias
politica” yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga: eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Itu pertanda mahasiswa mulai cerdas.
Pada
saat demonstrasi pun tertib, terpelajar. Setelah ditemui oleh perwakilan dari
DPR RI, mahasiswa pun perlahan membubarkan diri. Cerdas sekali. Bagi mahasiswa,
demonstrasi itu sudah selesai.
Akan
tetapi, sayangnya, para penumpang gelap, perusuh, dan para penjahat ini kecewa
dengan sikap mahasiswa yang mulai membubarkan diri. Mulailah mereka melakukan
aksi-aksi anarkis dengan melemparkan batu, botol, berteriak-teriak kasar
menyatukan kalimat Allahu Akbar dengan makian anjing, memacetkan jalan tol,
malahan membakar pos polisi. Cek saja sendiri, viral kok. Termasuk pula
melakukan penganiayaan brutal kepada Ade Armando, padahal ini Bulan Suci
Ramadhan.
Ade Armando
itu datang untuk mendukung mahasiswa karena dia menentang perpanjangan masa
jabatan presiden dan penundaan Pemilu. Jadi, tidak mungkin mahasiswa menganiaya
dia. Lagian peristiwa itu terjadi ketika mahasiswa mulai selesai dengan
demonstrasinya. Artinya, yang tersisa di depan Gedung DPR RI Senayan adalah
massa yang tidak dikenal. Awal kejadiannya, Ade Armando dimaki emak-emak yang
dari suara dan bahasanya bukanlah mahasiswa, lalu terdengar ucapan provokasi
penista agama! pukul Ade Armando! bunuh Ade Armando! Dari wajah-wajah dan usia
para pelakunya, mereka bukanlah mahasiswa. Mereka orang-orang yang tidak punya
otak dan berpikir kampungan. Seorang terpelajar tidak mungkin melakukan itu.
Ini tahun 2022 yang menyandarkan situasi pada aturan hukum dan bukan kebuasan,
bukan tahun 40-an yang menyandarkan situasi pada perkelahian dan adu otot.
Ade
Armando itu adalah seorang dosen senior berusia lebih dari 60 tahun yang dari
mulutnya keluar banyak ilmu pengetahuan dan melahirkan banyak sarjana yang
sudah dan sedang berkarya di lembaga pemerintahan dan lembaga swasta. Soal
perbedaan pendapat, itu hal yang wajar. Saya juga pernah saling adu argumen
dengan Ade Armando dulu tentang LGBT. Dia membela LGBT dan menyatakan bahwa
LGBT itu ada yang sudah jadi sejak dilahirkan bahkan sejak dalam kandungan
menurut banyak penelitian. Adapun saya tidak percaya penelitian itu karena
penelitinya sendiri adalah para homoseks. Bagi saya, LGBT adalah orang-orang
berpenyakit yang harus dirawat dan disembuhkan. Perbedaan pendapat itu biasa,
tidak perlu harus dilakukan dengan pemukulan. Kalaupun ada yang menganggap dia
telah melakukan penistaan agama, serahkan saja kepada kepolisian. Jika polisi
mendapatkan cukup bukti yang kuat, nasibnya tidak akan berbeda dengan M. Kace,
Ferdinand Hutahaean, atau Saifudin Ibrahim, jadi buronan kemudian dijatuhi
hukuman. Jika belum punya bukti yang kuat, polisi pasti kesulitan untuk
menggusurnya ke pengadilan karena bakal kalah di hadapan hakim dan itu
mempermalukan pihak kepolisian.
Memang
kalian siapa punya kewenangan menghukum dan menyatakan bersalah orang lain
tanpa proses pengadilan?
Sekolah
hukum juga enggak kalian itu.
Kalian
hanya orang-orang bar-bar tak punya otak, tak punya hati, dan tak punya
pengetahuan yang menganggap diri sebagai orang-orang yang sudah dipastikan
masuk surga.
.
Memangnya kalian pernah ketemu dengan Malaikat Ridwan dan sudah lihat daftar
nama siapa saja yang masuk surga?
Bisa-bisa
kalian namanya sudah ada di tangan Malaikat Malik sebagai calon penghuni
neraka.
Beberapa
saat lagi setelah saya menulis ini, sudah pasti ada perkembangan tentang kasus
Ade Armando. Polisi sudah bergerak sangat cepat dan menangkap beberapa pelaku
penganiayaan. Dari sana polisi akan mendapatkan banyak informasi tentang pelaku
lainnya, para mentornya, dan organisasi asal mereka. Itu jelas telah merupakan
pelanggaran hukum.
Kegembiraan
para perusuh di grup-grup media sosial hanya akan berlangsung sesaat karena
akan menyaksikan banyak penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Sayangnya,
berita ini akan semakin viral. Padahal, sesungguhnya yang diharapkan viral itu
adalah tindak lanjut dan perkembangan dari tuntutan mahasiswa. Sayang sekali,
daya kreativitas mahasiswa yang positif tertutupi kasus penganiayaan Ade
Armando.
Sekali
lagi, jangan bermimpi untuk bisa hebat seperti mahasiswa angkatan 1998.
Angkatan saya itu telah berhasil menghentikan legalitas perjudian, menghentikan
pembasmian etnis muslim Bosnia, dan meruntuhkan Soeharto. Satu yang tersisa
hingga hari ini, yaitu membebaskan Rohingya dari kekejaman militer Myanmar.
Palestina juga. Mahasiswa sekarang tidak mungkin seperti mahasiswa angkatan
lalu karena situasinya berbeda, masalahnya berbeda, zamannya juga berbeda.
Jadi, gerakannya tidak boleh sama dengan mahasiswa angkatan lama, harus ada
terobosan baru untuk membangun dan menyelamatkan bangsa dan negara yang kita
cintai ini.
Perhatikan
berita hari-hari berikutnya, bukan isu tuntutan mahasiswa yang marak, melainkan
kasus Ade Armando.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment