oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Benar-benar menyedihkan jika
mahasiswa digunakan dan bersedia digunakan atau tertipu oleh
kepentingan-kepentingan tertentu yang merusakkan nama baik mahasiswa sendiri. Mahasiswa
itu adalah para pelajar yang seharusnya tidak berada di bawah pengaruh siapa pun.
Kalaupun bergerak karena ada sesuatu yang salah, senjatanya adalah moral.
Artinya, kepentingan mereka hanyalah mempertahankan dan memperbaiki moral.
Kalau sudah digunakan untuk membela kelompok tertentu, akan menurunkan
kepercayaan rakyat kepada para mahasiswa. Kalau sudah begitu, sebaiknya
berhenti demonstrasi dan konsentrasilah pada kuliah, selesaikan skripsi dengan
baik.
Demonstrasi yang mereka lakukan dengan mengatasnamakan
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (Bem SI) pada Senin, 27 September
2021, sungguh menyedihkan. Mereka bukan lagi membela rakyat atas dorongan
moral, melainkan membela 56 orang gagal yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan
(TWK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga hari sebelumnya mahasiswa mengancam Presiden
RI Jokowi untuk meloloskan orang-orang gagal tes itu. Jika tidak, mereka akan
turun ke jalan.
Jokowi tidak menggubris mereka. Dia hanya seperti membaca
pesan WA, centang biru, tetapi tidak menanggapi keinginan mahasiswa. Hal itu
mudah dipahami karena tidak perlu selalu harus presiden yang menangani berbagai
hal, apa yang terjadi di KPK sudah sesuai dengan UU ASN, serta sudah sesuai
dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara hukum
sudah sah bahwa 56 orang itu gagal menjadi ASN dan harus dipecat dari KPK.
Mau apa lagi kalau sudah begitu?
Akan menjadi hal yang salah jika Jokowi mengikuti
keinginan mahasiswa karena hal itu akan menjadi pelanggaran pada hukum yang
sudah ditetapkan.
Lagian, orang-orang pintar yang lulus tes jauh lebih
banyak, yaitu sejumlah 1.271 orang. Mereka sah untuk bekerja di KPK sebagai
petugas resmi.
Untuk apa membela 56 orang gagal yang ngotot itu?
Mereka seharusnya malu kepada Presiden. Anak perempuan
Jokowi, Kahiyang Ayu yang tidak lulus dalam tes CPNS. Kahiyang tidak ngotot.
Jokowi pun tidak menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan anaknya menjadi
pegawai negeri. Padahal, kalau mau, Jokowi tinggal menjentikkan jarinya untuk
membuat anaknya menjadi pegawai negeri. Akan tetapi, dia tidak melakukannya.
Gagal ya gagal saja.
Kahiyang juga tidak ngotot-ngototan. Dia selesaikan
kuliahnya, menikah, dan kini suaminya menjadi Walikota Medan. Begitu takdirnya.
Orang-orang ngotot itu juga seharusnya malu kepada rakyat
biasa yang pernah gagal dalam berbagai tes. Gagal ya gagal saja.
Saya juga pernah gagal dalam beberapa tes. Ya, sudah,
gagal ya gagal saja. Kalau masih ada kesempatan ikut tes lagi pada periode
berikutnya, ya ikut lagi saja sambil mempersiapkan diri untuk lebih baik.
Pernah juga beberapa kali lulus tes untuk kepentingan tertentu, alhamdulillaah.
Gagal dan lulus tes itu biasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak perlu
ngotot-ngototan apalagi mengerahkan mahasiswa. Kasihan mahasiswa, kelihatan
sekali mereka seperti ditungganggi orang-orang gagal. Mahasiswa itu pelajar
yang belum tentu lulus juga kuliahnya, belum tentu selesai juga skripsinya.
Seharusnya, mereka dikasih pencerahan, bukan dicekoki informasi semrawut dan
menyesatkan.
Wajar jika orang menduga keras bahwa aksi mahasiswa itu
ditungganggi kelompok tertentu dan dibiayai orang-orang tertentu. Paling tidak,
diduga ditunggangi orang-orang gagal itu. Dari profil orang-orang gagal itu,
kita bisa lihat siapa saja orang yang punya banyak uang di balik mereka. Mudah
kok melihatnya, tinggal susun saja puzzle yang berserakan itu di seputar
mereka, lalu terbukalah gambar jelasnya.
Untunglah, aksi yang digelar di depan gedung KPK itu
jumlahnya paling hanya seribuan orang. Polisi yang menjaganya juga hanya 600
orang. Artinya, mahasiswa yang masih punya akal sehat dan bermartabat jauh
lebih banyak berkali-kali lipat.
Gerakan mahasiswa yang bermoral tinggi dan berhasil
mengubah keadaan adalah masih dipegang oleh gerakan mahasiswa 1966, 1974, dan
1998. Jangan bermimpi untuk bisa menjadi seperti mereka jika kompas gerakannya
bukan moral.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment