Monday 27 September 2021

Demonstrasi Mahasiswa Menyedihkan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Benar-benar menyedihkan jika mahasiswa digunakan dan bersedia digunakan atau tertipu oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang merusakkan nama baik mahasiswa sendiri. Mahasiswa itu adalah para pelajar yang seharusnya tidak berada di bawah pengaruh siapa pun. Kalaupun bergerak karena ada sesuatu yang salah, senjatanya adalah moral. Artinya, kepentingan mereka hanyalah mempertahankan dan memperbaiki moral. Kalau sudah digunakan untuk membela kelompok tertentu, akan menurunkan kepercayaan rakyat kepada para mahasiswa. Kalau sudah begitu, sebaiknya berhenti demonstrasi dan konsentrasilah pada kuliah, selesaikan skripsi dengan baik.

            Demonstrasi yang mereka lakukan dengan mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (Bem SI) pada Senin, 27 September 2021, sungguh menyedihkan. Mereka bukan lagi membela rakyat atas dorongan moral, melainkan membela 56 orang gagal yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga hari sebelumnya mahasiswa mengancam Presiden RI Jokowi untuk meloloskan orang-orang gagal tes itu. Jika tidak, mereka akan turun ke jalan.

            Jokowi tidak menggubris mereka. Dia hanya seperti membaca pesan WA, centang biru, tetapi tidak menanggapi keinginan mahasiswa. Hal itu mudah dipahami karena tidak perlu selalu harus presiden yang menangani berbagai hal, apa yang terjadi di KPK sudah sesuai dengan UU ASN, serta sudah sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara hukum sudah sah bahwa 56 orang itu gagal menjadi ASN dan harus dipecat dari KPK.

            Mau apa lagi kalau sudah begitu?

            Akan menjadi hal yang salah jika Jokowi mengikuti keinginan mahasiswa karena hal itu akan menjadi pelanggaran pada hukum yang sudah ditetapkan.

            Lagian, orang-orang pintar yang lulus tes jauh lebih banyak, yaitu sejumlah 1.271 orang. Mereka sah untuk bekerja di KPK sebagai petugas resmi.

            Untuk apa membela 56 orang gagal yang ngotot itu?

            Mereka seharusnya malu kepada Presiden. Anak perempuan Jokowi, Kahiyang Ayu yang tidak lulus dalam tes CPNS. Kahiyang tidak ngotot. Jokowi pun tidak menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan anaknya menjadi pegawai negeri. Padahal, kalau mau, Jokowi tinggal menjentikkan jarinya untuk membuat anaknya menjadi pegawai negeri. Akan tetapi, dia tidak melakukannya. Gagal ya gagal saja.

            Kahiyang juga tidak ngotot-ngototan. Dia selesaikan kuliahnya, menikah, dan kini suaminya menjadi Walikota Medan. Begitu takdirnya.

            Orang-orang ngotot itu juga seharusnya malu kepada rakyat biasa yang pernah gagal dalam berbagai tes. Gagal ya gagal saja.

            Saya juga pernah gagal dalam beberapa tes. Ya, sudah, gagal ya gagal saja. Kalau masih ada kesempatan ikut tes lagi pada periode berikutnya, ya ikut lagi saja sambil mempersiapkan diri untuk lebih baik. Pernah juga beberapa kali lulus tes untuk kepentingan tertentu, alhamdulillaah. Gagal dan lulus tes itu biasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak perlu ngotot-ngototan apalagi mengerahkan mahasiswa. Kasihan mahasiswa, kelihatan sekali mereka seperti ditungganggi orang-orang gagal. Mahasiswa itu pelajar yang belum tentu lulus juga kuliahnya, belum tentu selesai juga skripsinya. Seharusnya, mereka dikasih pencerahan, bukan dicekoki informasi semrawut dan menyesatkan.

            Wajar jika orang menduga keras bahwa aksi mahasiswa itu ditungganggi kelompok tertentu dan dibiayai orang-orang tertentu. Paling tidak, diduga ditunggangi orang-orang gagal itu. Dari profil orang-orang gagal itu, kita bisa lihat siapa saja orang yang punya banyak uang di balik mereka. Mudah kok melihatnya, tinggal susun saja puzzle yang berserakan itu di seputar mereka, lalu terbukalah gambar jelasnya.

            Untunglah, aksi yang digelar di depan gedung KPK itu jumlahnya paling hanya seribuan orang. Polisi yang menjaganya juga hanya 600 orang. Artinya, mahasiswa yang masih punya akal sehat dan bermartabat jauh lebih banyak berkali-kali lipat.

            Gerakan mahasiswa yang bermoral tinggi dan berhasil mengubah keadaan adalah masih dipegang oleh gerakan mahasiswa 1966, 1974, dan 1998. Jangan bermimpi untuk bisa menjadi seperti mereka jika kompas gerakannya bukan moral.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment