oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beberapa minggu terakhir ini
hutang keluarga dan kroni Soeharto, Presiden ke-2 RI, diburu pemerintah Jokowi.
Mereka mengemplang hutang selama 22 tahun pada negara dan belum dituntaskan
hingga hari ini. Oleh sebab itu, negara, terutama duet Menkopolhukam Mahfud
M.D. dan Menkeu Sri Mulyani getol memburu hutang tersebut. Beberapa aset para
pengemplang hutang yang belum bayar lunas ini sudah disita, sisanya terus dikejar.
Para aktivis 1998 yang masih setia pada cita-cita
reformasi seharusnya senang dengan upaya perburuan itu karena memang salah satu
hal yang membuat rakyat marah adalah perilaku-perilaku penguasa pada masa Orde
Baru yang seolah-olah memperlakukan negara sebagai miliknya sendiri. Kemudian,
melakukan kolusi untuk mendapatkan uang negara untuk kepentingan diri,
keluarga, dan kelompoknya sendiri. Aneh jika ada aktivis 1998 yang tidak mendukung
upaya pemerintah dalam hal ini.
Perilaku buruk penguasa Orde Baru saat itu terasa hingga
ke tulang sumsum rakyat, baik secara ekonomi yang tidak merata dan tidak
memberikan ruang kepada orang-orang berprestasi untuk berkembang, maupun secara
politik dan sosial yang membungkam banyak aspirasi. Jika berbeda dengan
pemerintah, orang bisa hilang atau gila tiba-tiba. Hingga hari ini masih banyak
orang hilang yang entah di mana rimbanya. Kalau mati, tidak jelas kuburannya.
Kalau masih hidup, entah sedang apa dan bagaimana kondisinya.
Inilah yang tidak dipahami banyak mahasiswa zaman
sekarang. Banyak mahasiswa yang bertanya kepada saya.
“Pak, kenapa aksi-aksi mahasiswa sekarang tidak jelas
akhirnya, sering gagal? Kenapa tidak seperti angkatan 1998? Apakah mahasiswanya
yang salah atau pemerintahnya yang tidak mau mendengar aspirasi? Contohnya,
aksi omnibus law yang tidak jelas hasilnya.”
Jawabannya, ya seperti yang saya tadi ceriterakan. Rakyat
tidak merasakan penderitaan hingga ke tulang sumsumnya hal yang menjadi tema
aksi mahasiswa. Malah, banyak rakyat yang menganggap aksi mahasiswa itu sebagai
gangguan bagi perkembangan bangsa dan negara. Di samping itu, banyak peserta aksi
yang tidak paham apa sebetulnya yang sedang diperjuangkan, tidak menjelaskan
dengan benar apa kesalahan yang dilakukan pemerintah. Kalaupun menjelaskan
kesalahannya, ternyata kesalahan itu tidak dilakukan oleh pemerintah. Banyak
pula yang tidak membaca dan tidak paham undang-undang atau peraturan yang jadi
bahan untuk protes sehingga membingungkan. Hal itu menjadikan lemah banyak aksi
dan sangat mudah dipatahkan oleh pemerintah. Berbeda dengan aksi 1998,
jangankan rakyat, pemerintah sendiri sebetulnya paham bahwa dirinya salah dan
telah melakukan banyak kesewenang-wenangan sehingga di dalam tubuh pemerintah
sendiri, dalam lingkaran para menteri, terjadi penolakan terhadap Soeharto.
Jadi, Soeharto lemah di dalam pemerintahnya dan lemah dalam hubungannya dengan
rakyat. Jatuhlah dia.
Kembali ke soal hutang kroni dan keluarga Soeharto yang
jumlahnya mencapai triliunan atau mungkin puluhan triliun, saya tidak tahu
benar jumlahnya kalau semua digabungkan. Penagihan atau pengejaran hutang itu
dilakukan untuk menciptakan keadilan, mewujudkan wibawa pemerintah, membantu
keuangan negara yang terkuras akibat Covid-19, serta beberapa kalangan
menyebutkan untuk menghentikan aksi-aksi demonstrasi yang tidak jelas dan
cenderung membuat kekacauan. Memang dugaan bahwa kroni dan keluarga Soeharto
banyak membiayai aksi-aksi jalanan yang mengganggu ketertiban sangat kuat. Tujuan
mereka adalah membuat rakyat semrawut sehingga pemerintahan jatuh. Tak heran
iklan mereka adalah “penak jamanku to?”.
Orang yang tidak tahu dan tertipu pasti iya iya saja, tetapi yang pernah hidup
mengalami penderitaan zaman Orde Baru berbeda lagi pandangannya.
Hutang-hutang pada negara harus ditagih untuk kepentingan
rakyat, tindakan curang pada negara pun semacam korupsi harus ditindak tegas.
Informasi-informasi hoax dan penuh kepalsuan tidak perlu lagi dijadikan
landasan untuk bertindak dan melakukan demonstrasi. Kepentingan rakyat adalah
hukum yang paling tinggi dan tujuan utama hidup adalah mengabdikan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment