oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Soal nonton bareng (Nobar) film G-30-S PKI selalu menjadi
polemik setiap September. Akan tetapi, semakin ke sini semakin berkurang
keributan soal itu. Baguslah.
Bagi yang mau nonton, boleh. Tidak nonton pun tidak
apa-apa. Itu cuma film. Lagian bukan film dokumenter. Saya pertama kali nonton ketika
film itu masih dalam minggu perdana tayang pada berbagai bioskop di Indonesia.
Saat itu saya masih SMP, nonton bareng teman-teman di bioskop yang ada di Pasar
Kosambi, Bandung. Durasinya empat jam tanpa dipotong iklan. Di bioskop kan
nggak pake iklan, kita bayar tiket.
Tahun-tahun selanjutnya, film itu diputar di televisi setiap
September. Setiap stasiun televisi seolah-olah diwajibkan untuk memutar film
tersebut. Sekarang tidak diwajbkan lagi.
Entah kenapa saat ini, mendekati masa-masa Pemilu,
terutama saat pemilihan presiden, penghentian atau tidak diminatinya lagi film
itu dikait-kaitkan dengan kebangkitan PKI. Itu kan cuma film. Bagi saya, cukup
satu kali nonton film itu di bioskop. Bosen terus-terusan mah.
Masalah itu kemudian melebar dengan adanya usulan untuk
mencabut ketetapan MPRS tentang larangan mengajarkan ajaran marxisme,
leninisme, dan atau Frederich Engels karena mengandung ajaran komunisme. Hal
itu pun disebut-sebut sebagai kebangkitan PKI. Kemudian, diisukan PKI akan
kembali menguasai Indonesia.
Dari mana keyakinan kebangkitan PKI itu berasal?
Aneh.
Hal yang saya ketahui adalah justru pada saat Presiden
Soeharto masih berkuasa Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro sempat
berbicara kepada Soeharto agar film G-30-S PKI itu ditinjau ulang. Hal itu saya
pahami untuk meluruskan sejarah dan membuat film itu sesuai dengan perkembangan
film dalam zaman teknologi ini.
Setelah Soeharto lengser atau lungsur, diganti Presiden
Habibie. Menurut Usman Hamid, aktivis Amnesty International, Jenderal Angkatan
Darat Menteri Penerangan RI Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono
Sudarsono menghentikan kewajiban untuk memutar film itu di setiap stasiun televisi.
Artinya, boleh diputar, boleh tidak. Boleh nonton, boleh tidak.
Yunus Yosfiah dan Juwono Sudarsono bukan PKI. Mereka
menteri pada masa Habibie. Mereka bagian dari pemerintah. Yunus Yosfiah adalah
jenderal angkatan darat, Juwono Sudarsono adalah profesor yang dijadikan
rujukan banyak orang, termasuk oleh Gus Dur.
Usulan pencabutan ketetapan MPRS tentang larangan
mengajarkan komunisme itu berasal dari Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dia
mengkhawatirkan ketetapan itu menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat
yang dituduh PKI.
Gus Dur bukan PKI. Dia keturunan kiyai. Dia sendiri
kiyai.
Tak ada hubungannya soal penghentian pemutaran film dan
minat untuk menonton film G-30-S PKI dengan PKI. Hal itu disebabkan PKI sudah
dibubarkan, tak ada lagi. Kalau ada, segera laporkan, pasti diberangus.
Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang sering
menghembuskan isu adanya kebangkitan PKI sendiri tidak pernah menangkap satu
orang pun PKI. Padahal, ketika dia berkuasa memiliki kewenangan, alat, dan
prajurit yang sangat patuh kepada dirinya.
Kalau memang PKI ada, kenapa tidak dia tangkap?
Itu artinya kebangkitan PKI itu hanya isu yang makin lama
makin basi.
PKI sudah tidak ada. Kalau ada, cegah, laporkan, tangkap,
dan berangus.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment