Wednesday 29 September 2021

Nobar G-30-S PKI Boleh, Nggak Juga Boleh

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Soal nonton bareng (Nobar) film G-30-S PKI selalu menjadi polemik setiap September. Akan tetapi, semakin ke sini semakin berkurang keributan soal itu. Baguslah.

            Bagi yang mau nonton, boleh. Tidak nonton pun tidak apa-apa. Itu cuma film. Lagian bukan film dokumenter. Saya pertama kali nonton ketika film itu masih dalam minggu perdana tayang pada berbagai bioskop di Indonesia. Saat itu saya masih SMP, nonton bareng teman-teman di bioskop yang ada di Pasar Kosambi, Bandung. Durasinya empat jam tanpa dipotong iklan. Di bioskop kan nggak pake iklan, kita bayar tiket.

            Tahun-tahun selanjutnya, film itu diputar di televisi setiap September. Setiap stasiun televisi seolah-olah diwajibkan untuk memutar film tersebut. Sekarang tidak diwajbkan lagi.

            Entah kenapa saat ini, mendekati masa-masa Pemilu, terutama saat pemilihan presiden, penghentian atau tidak diminatinya lagi film itu dikait-kaitkan dengan kebangkitan PKI. Itu kan cuma film. Bagi saya, cukup satu kali nonton film itu di bioskop. Bosen terus-terusan mah.

            Masalah itu kemudian melebar dengan adanya usulan untuk mencabut ketetapan MPRS tentang larangan mengajarkan ajaran marxisme, leninisme, dan atau Frederich Engels karena mengandung ajaran komunisme. Hal itu pun disebut-sebut sebagai kebangkitan PKI. Kemudian, diisukan PKI akan kembali menguasai Indonesia.

            Dari mana keyakinan kebangkitan PKI itu berasal?

Aneh.

            Hal yang saya ketahui adalah justru pada saat Presiden Soeharto masih berkuasa Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro sempat berbicara kepada Soeharto agar film G-30-S PKI itu ditinjau ulang. Hal itu saya pahami untuk meluruskan sejarah dan membuat film itu sesuai dengan perkembangan film dalam zaman teknologi ini.

            Setelah Soeharto lengser atau lungsur, diganti Presiden Habibie. Menurut Usman Hamid, aktivis Amnesty International, Jenderal Angkatan Darat Menteri Penerangan RI Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono menghentikan kewajiban untuk memutar film itu di setiap stasiun televisi. Artinya, boleh diputar, boleh tidak. Boleh nonton, boleh tidak.

            Yunus Yosfiah dan Juwono Sudarsono bukan PKI. Mereka menteri pada masa Habibie. Mereka bagian dari pemerintah. Yunus Yosfiah adalah jenderal angkatan darat, Juwono Sudarsono adalah profesor yang dijadikan rujukan banyak orang, termasuk oleh Gus Dur.

            Usulan pencabutan ketetapan MPRS tentang larangan mengajarkan komunisme itu berasal dari Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dia mengkhawatirkan ketetapan itu menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat yang dituduh PKI.

            Gus Dur bukan PKI. Dia keturunan kiyai. Dia sendiri kiyai.

            Tak ada hubungannya soal penghentian pemutaran film dan minat untuk menonton film G-30-S PKI dengan PKI. Hal itu disebabkan PKI sudah dibubarkan, tak ada lagi. Kalau ada, segera laporkan, pasti diberangus.

            Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang sering menghembuskan isu adanya kebangkitan PKI sendiri tidak pernah menangkap satu orang pun PKI. Padahal, ketika dia berkuasa memiliki kewenangan, alat, dan prajurit yang sangat patuh kepada dirinya.

            Kalau memang PKI ada, kenapa tidak dia tangkap?

            Itu artinya kebangkitan PKI itu hanya isu yang makin lama makin basi.

            PKI sudah tidak ada. Kalau ada, cegah, laporkan, tangkap, dan berangus.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment