oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi dikenal
menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana sehingga mengantarkan negaranya
mencapai kegemilangan, keemasan, dan kemakmuran tiada tara yang diimpi-impikan
banyak orang untuk terulang kembali. Kemegahan dan kejayaan negara dan
rakyatnya benar-benar terwujud sepanjang Nabi Prabu Siliwangi hidup dan terus
berlangsung beberapa periode berikutnya sepanjang dipimpin oleh orang-orang
yang memegang teguh ajaran Prabu Siliwangi. Akan tetapi, kemudian terjadi
penurunan karena mulai tidak mematuhi lagi ajaran Prabu Siliwangi hingga
berakhir penuh kedurhakaan yang menimbulkan kemurkaan Allah swt. Kemurkaan
Allah swt mengakibatkan Benua Sundaland hancur berkeping-keping menjadi
kepulauan seperti sekarang ini. Akibatnya, seluruh kejayaan masa lalu hancur
dan terkubur di dalam tanah. Hanya ajaran Prabu Siliwangi yang sebagian masih
dikenang orang-orang baik dengan nama Sunda
Wiwitan yang tersisa agar kita dapat menelusuri keberadaan kejayaan Prabu
SIliwangi as.
Sistem pemerintahan Prabu Siliwangi dapat dijelaskan
dengan menggunakan Teori Kedaulatan
Tuhan. Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam
sejarah. Teori ini mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapat kekuasaan
tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (causa prima). Menurut Teori Kedaulatan Tuhan, kekuasaan yang
berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih yang secara
kodrati diterapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan
di dunia.
Hal tersebut dapat dilihat dari pokok-pokok dasar ajaran
keagamaan yang diuraikan dalam Sang Hiang
Siksa Kanda ng Karesian (TBG.L.IV: 438) yang terangkum lengkap dalam
sepuluh dasar/sila kebaktian (dasa
pabekti) yang dikutip dalam makalah Antara
Senjata Kudyang dengan Senjata-Senjata Tajam Berpamor Lainnya susunan Haris
Sukanda Natasasmita (1991).
Dasa pabekti itu adalah:
1. Anak bakti di bapa
2. Ewe bakti di laki
3. Hulun bakti di pantjadaan
4. Sisa bakti di guru
5. Orang tani bakti di
dewata
6. Wadon bakti di mantri
7. Mantri bakti di
mangkubumi
8. Mangkubumi bakti di ratu
9. Ratu bakti di dewata
10. Dewata bakti di Hiyang
Kesepuluh dasar kebaktian ajaran keagamaan itu
menunjukkan bahwa agama Sunda Wiwitan menjadi jiwa sekaligus dasar dalam
berbangsa dan bernegara. Untuk berbakti kepada Tuhan, setiap orang haruslah
berbakti kepada orang yang berada di atas dirinya karena orang yang berada di
atasnya akan berbakti kepada orang yang lebih tinggi hingga berujung berbakti pada
pemimpin negara yang berbakti kepada Tuhan.
Apabila kita pahami sesuai dengan kondisi hierarki
eksekutif di Indonesia saat ini dasar-dasar kebaktian keagamaan itu adalah anak berbakti pada orangtua, istri berbakti
pada suami, suami berbakti pada RT, RT berbakti pada RW, RW berbakti pada lurah/Kades,
Kades/lurah berbakti pada camat, camat berbakti pada walikota/bupati,
walikota/bupati berbakti pada gubernur, gubernur berbakti pada menteri, menteri
berbakti pada presiden, presiden berbakti pada malaikat (Jibril), Jibril berbakti
pada Allah swt. Dengan demikian, kebaktian anak kepada orangtua sama
bernilai sama dengan berbakti kepada Allah swt karena orangtuanya berbakti
kepada orang yang di atasnya yang berujung pada berbakti pada presiden yang
berbakti pada Jibril yang berbakti pula kepada Allah swt. Demikian pula bakti
seorang bupati kepada gubernur bernilai sama dengan berbakti pada Allah swt
karena gubernur berbakti pada menteri yang berbakti pada presiden yang berbakti
pada Jibril yang pasti berbakti pada Allah swt.
Meskipun demikian, ada profesi yang diistimewakan dalam
ajaran ini, yaitu petani. Para petani itu disamakan dengan ratu/presiden/raja
karena tidak perlu berbakti kepada orang yang di atasnya, melainkan langsung
berbakti pada Jibril yang berbakti pada Allah swt. Hal itu sebagaimana yang
disebut dalam dasa pabekti poin lima, yaitu orang
tani bakti di dewata. Petani adalah orang dan profesi yang dimuliakan
negara, tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang petani adalah orang dan
profesi yang dikorbankan oleh para tengkulak dan para mafia beras. Benar-benar
durhaka orang-orang saat ini. Pantas saja jika hidup ditemani rupa-rupa bencana
alam.
Kesepuluh dasar pengabdian itu benar-benar bisa
dilaksanakan dengan baik dan sempurna dalam memakmurkan bangsa dan negara apabila
memang pemimpin tertingginya adalah benar-benar orang pilihan Tuhan secara
langsung. Dia harus seorang nabi yang langsung mendapatkan bimbingan dari Allah
swt dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya sebagai bukti kenabian dirinya.
Artinya, Teori Kedaulatan Tuhan akan berjalan sangat efektif apabila
pemimpinnya adalah nabi.
Para nabi ini telah bekerja dan berperan dalam kehidupan
dunia dengan sangat baik di timur, barat, utara, dan selatan. Karya-karya
kenegarawanan mereka menjadi catatan tersendiri dalam sejarah manusia.
Kepemimpinan model para nabi dalam teori ini masih akan berjalan efektif
sepanjang diteruskan oleh generasi berikutnya dengan kepatuhan yang tinggi pada
ajaran para nabi itu. Ketika kepatuhan itu berkurang, berkurang pulalah
kejayaan dan kemakmuran negeri itu. Kenyataannya pun memang demikian, tak
pernah ada ajaran para nabi yang dipatuhi sekuat ketika para nabi itu hidup.
Seluruhnya berkurang dan semakin rusak. Bahkan, para penguasa berikutnya kerap
bertingkah dan mengklaim diri lebih dipercaya Tuhan sehingga mengakibatkan
pemerintahan yang bersifat arogan dan tiran. Ketika sudah sangat rusak,
orang-orang mencari jalan untuk memperbaiki kerusakan itu dengan rupa-rupa
teori dan macam-macam pendapat yang tak pernah mencapai kata sepakat karena
jauh dari ajaran para nabi itu. Satu-satunya jalan adalah menunggu Allah swt
mengirimkan orang kuat-Nya untuk menegakkan ajaran para nabi dalam
menyelamatkan kehidupan seluruh manusia dan alam semesta sambil tetap berbuat
baik setiap hari agar tidak ditimpa bencana, baik bencana pribadi, bencana
sosial, maupun bencana alam.
Islam
Menyempurnakan Sunda Wiwitan
Dasa pabekti atau sepuluh
dasar pengabdian itu disempurnakan oleh Islam yang dibawa Muhammad saw. Kalau
dalam dasar pengabdian yang dibawa Prabu Siliwangi bersifat “mutlak” dalam arti
setiap orang harus berbakti kepada orang yang berada di atasnya secara “mutlak”
agar bernilai sama dengan mengabdi
kepada Allah swt, Muhammad saw menyempurnakan dasar pengabdian itu menjadi “tidak
mutlak”. Kepatuhan dan kebaktian kepada orang yang berada di atasnya tetap ada
dan dipertahankan, tetapi menjadi “tidak mutlak”. Hal itu disebabkan Allah swt
tidak akan lagi menurunkan para nabi. Artinya, ajaran Allah swt sudah selesai
sempurna. Semua orang diperintahkan untuk patuh dan setia pada orang yang di
atasnya sepanjang orang yang di atasnya itu patuh kepada Allah swt. Semua orang
bisa langsung patuh secara pribadi kepada Allah swt tanpa harus melalui
pengabdian kepada orang lain terlebih dahulu. Bahkan, setiap orang boleh tidak
patuh, boleh membantah, dan “wajib tidak setia” jika orang yang berada di
atasnya tidak patuh kepada Allah swt dalam arti menyimpang dari ajaran Allah
swt. Untuk hal ini, Allah swt menurunkan QS Al Ashr, yaitu surat yang
mewajibkan setiap orang beriman untuk saling
mengkritik, saling menasihati, saling mengingatkan agar hidup dan kehidupan
menjadi kuat, sabar, utuh, dan mencapai kebaikan di dunia dan akhirat.
Islam menyempurnakan seluruh ajaran para nabi dengan
adanya Al Quran, hadits, dan orang-orang berilmu yang hatinya selalu terikat
kepada Allah swt untuk menjadi rujukan segala dinamika kehidupan ini. Setiap
orang boleh langsung mengabdi kepada Allah swt dan setiap orang wajib saling
mengingatkan siapa pun, baik yang berada di atasnya, di bawahnya, maupun satu
level agar selalu berada dalam jalan Allah swt. Kepatuhan dan kebaktian kepada
orang yang berkuasa bersifat mutlak jika para penguasa itu patuh kepada Allah
swt. Sebaliknya, kepatuhan dan kebaktian itu menjadi “tidak mutlak”, bahkan
wajib “dihilangkan” jika para penguasa atau pemimpin tidak mematuhi Allah swt.
Sampurasun