Sunday, 25 July 2010

Demokrasi Jadikan Indonesia Bangsa Rusuh yang Tidak Beradab

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kita menyangka bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang paling agung dan luhur. Bangsa ini sangat percaya dan berharap bahwa demokrasi mampu menyelesaikan kemelut dan berbagai kesulitan yang diderita. Akan tetapi, sesungguhnya kita semua telah tertipu dengan sistem politik demokrasi yang sebenarnya berbau busuk dan merendahkan martabat kemanusiaan itu. Sampai kapan pun demokrasi tak akan pernah mampu menyelesaikan masalah, bahkan akan menambah masalah dan menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang yang lebih menyedihkan.

Sesungguhnya, sistem politik demokrasi itu adalah sistem yang kampungan, rendah, tidak terpelajar, dan cenderung biadab. Jika mau diuraikan secara akademis, kebobrokan demokrasi sangatlah bisa. Yang sulit adalah menyadari dan mengakui diri bahwa kita telah melakukan kesalahan yang teramat fatal dalam menjalankan proses berbangsa dan bertanah air ini. Dengan tolol dan bodohnya, masih sangat banyak pemimpin dan intelektual yang bersikukuh dengan pendapat bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dan cocok untuk negeri ini. Keangkuhan mereka itu benar-benar membuat kerusakan ke dalam alam pikiran rakyat Indonesia yang berkecenderungan untuk bersikap kumaha nu dibendo, ‘bagaimana pemimpin’ atau bagaimana ‘orang-orang cerdas’ saja.

Sikap bangsa Indonesia yang santun dan mencintai ketertiban itu dimanfaatkan oleh “mereka” yang saat ini sedang populer untuk mendapatkan keuntungan. Mereka sangat paham bahwa bangsa ini sangat tenang dan cenderung mengikuti “arahan”. Dengan demikian, mereka bisa mengarahkan ke mana saja bangsa ini sesuai dengan hawa nafsu dan keterbatasan pemikiran mereka.

Seharusnya, mereka itu tidak perlu terlalu angkuh mempertahankan pendapat yang jelas-jelas telah keliru. Mereka harusnya memiliki “kecintaan” yang lebih terhadap bangsa Indonesia dengan tidak mengarah-arahkan rakyat pada hal-hal yang telah nyata busuk di depan mata.

Sesungguhnya, sistem politik yang kita gunakan sekarang ini bukan hanya tidak cocok bagi bangsa Indonesia, melainkan pula sangat tidak cocok dengan kemanusiaan di muka Bumi ini. Soal demokrasi tidak cocok dengan segala bangsa, dalam situs ini tidak terlalu ditekankan. Dalam berbagai tulisan di dalam blog ini, sengaja difokuskan terhadap kepentingan Negara Indonesia yang kita cintai. Soal negara lain, biarlah urusan penduduknya sendiri. Kita berpikir untuk diri kita sendiri saja.

Saudara pembaca yang budiman, di dalam blog ini terdapat banyak contoh dan alasan logis mengenai kekusutan demokrasi. Tulisan kali ini pun bermaksud lebih membukakan mata kita agar dapat melihat dengan jelas bahwa sistem politik demokrasi itu sangat tidak beradab, bahkan cenderung biadab.

Demokrasi yang dikeramatkan orang itu telah memperlihatkan tabiatnya yang memuakkan. Kita bisa menyaksikan kerusuhan di mana-mana, pertengkaran, adu tegang urat leher, adu jotos, perlombaan jumlah massa, perusakan harta benda dan bangunan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan yang diduga akibat persaingan politik, pemborosan dana dan waktu, dan lain sebagainya yang terjadi akhir-akhir ini adalah diakibatkan oleh sistem politik demokrasi.

Di berbagai tempat telah terjadi perusakan dan atau pembakaran kantor KPU, gedung DPRD, kantor kecamatan, kantor kelurahan; bentrokan dengan aparat dan antarmassa pendukung; perseteruan antarkeluarga/marga; pembakaran kendaraan bermotor; ketidakamanan situasi yang ditandai dengan adanya ronda bersenjata tajam dan penyebaran polisi akibat dari pelaksanaan Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung); kemacetan lalu lintas yang sangat mengganggu aktivitas banyak pihak.

Kekisruhan, kekacauan, kesemrawutan, dan kecarut-marutan yang terjadi itu sangat jelas diakibatkan oleh sistem politik demokrasi yang menjijikan. Masyarakat yang terlibat dalam demokrasi, terutama akhir-akhir ini dalam Pemilihan Kadal menduga dengan keras bahwa telah terjadi kecurangan, tidak puas dengan hasil quick count, fanatisme dukungan terhadap calon yang tidak lolos seleksi dan atau kalah dalam Pemilihan Kadal, kebebasan yang kebablasan, dugaan KPUD tidak netral, masalah dalam intern partai, indikasi keterlibatan anggota dewan dalam memanas-manasi situasi, kerugian materi yang diderita pihak yang kalah dalam jumlah spektakuler, serta perilaku dan mental buruk yang diidap para politisi rendahan.

Situasi yang memprihatinkan, menyesatkan, dan membingungkan ini memicu banyak tokoh untuk berkomentar dan bersikap. Mereka memiliki pandangan dan keinginan untuk meredam situasi yang terjadi. Akan tetapi, sayang, komentar, pemikiran, dan sikap mereka tetap berada dalam koridor demokrasi. Akibatnya, sama sekali tak ditemukan jalan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Mereka hanya berputar-putar tak karuan dan bolak-balik seperti setrikaan yang tak pernah menemukan ujungnya.

Beberapa waktu lalu, di negeri ini telah berdiri organisasi yang bernama Nasional Demokrat atau disingkat Nasdem. Surya Paloh, Sang Pendiri, saya yakin memiliki keinginan yang luhur untuk meredam situasi yang tak menentu dan memajukan Indonesia dengan cara mempersatukan berbagai elemen bangsa dalam satu organisasi. Namun, keinginan luhur itu sama sekali tidak akan membuahkan hasil karena di antara anggotanya banyak anggota partai dan pendukung kekuatan politik tertentu. Para anggota yang masih berada dalam lingkungan partai atau kekuatan politik tertentu itu akan masih sangat setia menjaga fatsun politiknya terhadap kekuatan politik organisasinya, bukan pada Nasdem. Mereka tetap akan bersaing dan berperilaku sebagaimana institusi politik dalam habitat demokrasi yang memuakkan. Hal itu menyebabkan akan masih berlarut-larutnya kekacauan yang terjadi. Kalau soal aksi sosial instan yang dilakukan Nasdem semisal bantuan terhadap bencana alam atau terhadap fakir miskin, itu mah biasa saja, bukan hal yang aneh dan luar biasa. Orang lain dalam berbagai organisasi pun melakukan hal itu, bahkan mungkin lebih banyak jumlahnya dibandingkan Nasdem. Akan tetapi, tujuan Nasdem untuk mempersatukan langkah secara nasional (mungkin), sama sekali tidak akan pernah berhasil. Saya menjamin itu.

Oleh sebab itu, kebingungan Surya Paloh yang sempat berpidato, “.... pasti ada yang salah .... pasti ada yang salah .... pasti ada yang salah ....”, tak akan pernah mendapat jawaban.

Jawaban sesungguhnya terletak dalam dada kita, dada setiap insan Indonesia, yaitu berani keluar dari tempurung kebodohan demokrasi.

Tokoh lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa itu menunjukkan gejala masyarakat yang masih berada di peradaban rendah (27-05-2010, 01 : 24).

Sungguh, pendapat Jimly Asshiddiqie itu teramat keliru, jauh dari kebenaran, dan sangat menyakitkan hati. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbelakang dan kurang beradab. Tak jelas bagi saya, apakah dia itu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa bangsa ini sebenarnya lebih beradab daripada bangsa Barat? Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa saat bangsa Barat tinggal di gua-gua dan pinggir-pinggir sungai dengan berbagai pertarungan hidupnya, kita ini sudah hidup beradab dan tertib. Kita sudah mengenal silih asah silih asih silih asuh, tepo seliro, dan tenggang rasa. Menurut Soekarno, kita menjadi seperti ini adalah akibat dari kejahatan penjajahan yang membuat rakyat negeri ini terjatuh sedalam-dalamnya ke jurang kegelapan.

Bangsa ini sebenarnya sebelum kedatangan Si Anjing VOC, sudah memiliki cara-cara pergaulan yang baik, serasi, harmonis, baik dengan alam maupun sesama manusia. Kita bertahan dan maju dengan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur menuju zaman keemasan dan kejayaan. Sejarah sudah mencatat hal itu. Perdagangan, peningkatan pendidikan, dan kehidupan religi berjalan sangat mengagumkan.

Saudara pembaca yang budiman, pendapat Jimly Asshiddiqie itu sangat salah. Pendapatnya itu sangat terbalik daripada yang seharusnya. Justru dengan digunakannya sistem politik demokrasi, bangsa ini meluncur jatuh ke jurang yang semakin hari semakin sangat tidak beradab. Tidak percaya? Bukankah contohnya sudah begitu gamblang di depan mata kita? Mau bukti apa lagi? Kalau buktinya kurang banyak, tunggu saja hari-hari berikutnya jika kita masih memuja demokrasi yang menyesatkan itu.

"Setelah sekian tahun berjalan, Pilkada sepertinya harus dievaluasi. Salah satunya bisa saja bupati atau walikota dipilih oleh DPRD setempat," kata Jimly pada saat yang sama, "Mekanismenya sudah ada tinggal diefektifkan."

Masyaallah, pendapatnya ini benar-benar keterlaluan. Dia benar-benar seolah-olah mempertontonkan diri sebagai orang yang sangat cepat melupakan sejarah. Bukankah sebelum dilaksanakan Pemilihan Kadal, telah dilangsungkan pemilihan oleh DPRD setempat? Sistem ini bukan terjadi ratusan tahun silam atau pada Orde Lama. Ini terjadi baru-baru ini, tahun-tahun kemarin. Masa sudah lupa?

Pemilihan bupati dan walikota oleh DPRD setempat yang telah dilangsungkan dulu itu, ternyata menuai banyak protes, kecaman, dan kritikan keras. Saya pikir Jimly tahu lebih lengkap mengapa sistem pemilihan itu diubah menjadi pemilihan langsung. Saya hanya tahu beberapa, misalnya, dugaan menyuburkan kolusi, korupsi, pemerasan, money politics, dan “panen” yang dilakukan DPRD pada masa-masa pertanggungjawaban kepala daerah. Masa sudah lupa? Buat apa kita disarankannya untuk kembali pada cara-cara itu? Duh, itulah yang saya sebutkan seperti setrikaan yang bolak-balik tak pernah menemukan ujung dan pangkalnya.

Tokoh lain, pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies (CSIS) J. Kristiadi menuturkan bahwa kejadian-kejadian semacam itu sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab peristiwa itu, di antaranya, elit politik yang tamak kekuasaan mempunyai sifat tak mau kalah, Pemilukada sudah keruh dengan politik uang, serta adanya oknum-oknum KPUD yang sudah terkontaminasi (27-05-2010, 01 : 24).

Penuturan J. Kristiadi tersebut menambah informasi penyebab kekacauan yang terjadi. Ia melihat bahwa para politisi dan penyelenggara pemilihan sudah ada yang mencederai kepercayaan rakyat. Oleh sebab itu, pada beberapa acara dalam tayangan televisi, J. Kristiadi selalu menekankan bahwa diperlukan adanya kesadaran moral dari para politisi untuk benar-benar berpihak kepada rakyat karena rakyatlah yang membuat mereka duduk dalam jabatannya sekarang ini. Namun sayangnya, ia masih juga mempercayai demokrasi sebagai sistem yang cocok untuk diberlakukan di negeri ini, sebagaimana yang sering dituturkannya bahwa partai sangat diperlukan karena partai adalah tiangnya demokrasi. Artinya, tak akan ada demokrasi jika tak ada partai.

Ada persamaan pendapat antara J. Kristiadi dengan Jimly Asshiddiqie. Keduanya meyakini bahwa demokrasi akan berjalan dengan baik jika para elit politik mampu menjaga moralnya, menepati janjinya kepada rakyat, siap menang siap kalah, dan bertanggung jawab jika ada kerusuhan.

Pendapat keduanya itu sama sekali tak akan pernah terwujud dengan nyata. Keinginan keduanya itu hanya akan berjalan dalam alam khayalan. Mimpi di siang bolong dan dengkuran di malam gelap gulita.

Permasalahannya adalah mereka berdua tampaknya menyerah pada diri pribadi politisi dan atau penyelenggara pemerintahan. Artinya, sistem yang berjalan sekarang ini akan selalu terguncang-guncang jika diri pribadi para elit tidak positif, bahkan negatif. Sistem politik yang sekarang berlangsung akan sangat efektif dan berhasil jika diri pribadi para elit dipenuhi nilai-nilai positif.

Sungguh, hal itu baik, tetapi mustahil terjadi. Bagaimana mungkin dapat terjadi jika kedua hal yang takdirnya saling menolak, disatukan?

Saudara pembaca yang budiman, yang namanya diri pribadi yang baik dan positif itu hanya terdapat dalam keluhuran nilai-nilai dan norma-norma yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan kepada kita. Setiap suku bangsa di negeri ini telah memilikinya sebagai bekal untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Tak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang mengajarkan nilai-nilai buruk. Pribadi-pribadi yang baik akan tumbuh dalam lingkungan yang terjaga dalam nilai dan norma tersebut. Adapun demokrasi, justru mengacaukan nilai-nilai dan keluhuran norma-norma kita. Demokrasi sangat menunjung tinggi kebebasan, persaingan, dan kemenangan.

Nilai dan norma yang ada dan tersebar di seluruh Nusantara itu telah dikristalkan ke dalam Pancasila. Pancasila itu jika diperas akan menjadi Trisila. Trisila jika diperas lagi akan menjadi Ekasila. Ekasila itu adalah gotong royong. Adapun demokrasi, intinya adalah kompetisi.

Gotong royong dan persaingan itu adalah dua hal yang bertolak belakang, mustahil untuk dikawinkan. Yang satu mengajarkan untuk saling membantu, yang satu lagi mengajarkan saling bersaing untuk menang.

Dalam gotong royong, terkandung banyak energi positif, baik dalam niat, perencanaan, pelaksanaan, pencapaian, maupun evaluasi. Dalam kompetisi, terkandung sangat banyak energi negatif, baik dalam niat, perencanaan, pelaksanaan, pencapaian, maupun evaluasi.

Akan menjadi upaya yang sia-sia jika berusaha melaksanakan sistem politik yang sarat energi negatif dengan bersandar pada keluhuran nilai dan norma yang dipenuhi energi positif. Itulah yang saya katakan berkali-kali sebagai kekusutan pikiran.

Hal yang harus dilakukan adalah kita secepatnya membangun sistem politik yang berasal dari dalam jiwa bangsa sendiri, bukan mengadopsi perilaku orang luar yang jelas memiliki sejarah dan budaya yang berbeda dengan kita. Pancasila adalah rumusan yang sangat tepat untuk memulai segalanya. Segeralah keluar dari demokrasi, lalu laksanakan Pancasila tanpa demokrasi. Jangan paksakan pendapat bahwa Pancasila sangat mengamini demokrasi. Kata demokrasi sama sekali tidak terdapat dalam Pancasila. Pun tidak perlu takut jika negeri ini akan represif jika melaksanakan Pancasila dengan tidak berdemokrasi. Kalaulah saat Orde Baru yang sering meneriakkan Pancasila berlaku represif, yang salah bukan Pancasila, tetapi rezimnya. Pancasila sendiri sebenarnya dirugikan karena hanya digunakan sebagai kedok untuk kepentingan penguasa.

Intinya adalah kembali pada jati diri dan buang jauh-jauh demokrasi ke dalam tong sampah kemanusiaan. Hanya dengan itulah kita akan mampu mengatasi kesulitan dan menjadi bangsa yang besar.

Friday, 16 July 2010

Jika Tak Segera Berubah, Kita Bakal Ditimpa Bencana Besar

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saudara pembaca yang budiman, sudah seharusnya dan secepatnya para profesor, akademisi, ulama, rohaniwan, budayawan, tokoh masyarakat, aktivis, para bangsawan, birokrat, teknokrat, politisi, serta elemen penting lainnya bersatu, berpikir untuk mengubah segalanya. Gunakan semua sarana spiritual dan akal kita untuk segera keluar dari lingkaran syetan demokrasi ini. Tak ada gunanya meneruskan cara-cara hidup demokrasi yang sudah terlihat rapuh ini.

Untuk hal tersebut, yang harus dijadikan sandaran adalah budaya dan sejarah kita sendiri, kemudian dilengkapi dengan pemikiran-pemikiran Barat jika dianggap perlu sekali. Kalau tidak perlu-perlu amat, perilaku dan pemikiran Barat sama sekali jangan digunakan.

Mungkin ada yang heran, mengapa di blog ini tidak ditulis saja sekalian sistem politik yang baru sebagai pilihan atas sistem sekarang sebagai perbandingan dan rujukan pemikiran?

Saudara pembaca yang budiman, sesungguhnya, saya, sebagai penulis, sejak tulisan ini masih dalam konsep sudah ada kekhawatiran. Khawatir jika banyak orang tercengang, kaget, kemudian dengan spontan melakukan hal-hal buruk di luar dugaan. Misalnya, penyangkalan berlebihan dan pengingkaran atas kenyataan. Negeri ini sudah terbiasa dengan perilaku angkuh yang ditunjukkan dengan menolak sesuatu yang baru dan benar. Akibatnya, peristiwa-peristiwa buruk menimpa bangsa ini.

Sungguh, jika tulisan ini salah atau sarat kekeliruan, itu berasal dari kebodohan dan ketololan penulis sendiri. Akan tetapi, jika tulisan ini benar dan penuh dengan kebaikan, itu berasal dari Allah swt.

Apabila memang isi blog ini salah, tak terlalu masalah. Bahayanya, jika isi blog ini benar, lalu para tokoh dan orang-orang berpengaruh di negeri ini membantah, menyangkal, mengingkari, bahkan mengejek dan mendustakan, Allah swt akan menurunkan bencana yang luar biasa bagi Indonesia. Bencana itu bisa berupa bencana alam, bencana kemanusiaan, kalang kabutnya kemasyarakatan, dan bisa pula hancurnya negeri sampai berkeping-keping ibarat tanaman padi yang telah dituai, lalu mengering, dan tidak akan pernah bisa hidup lagi.

Dengan demikian, blog ini untuk sementara ini hanya cukup untuk memberikan peringatan bahwa kita telah tersesat terlalu jauh dengan menggunakan cara-cara hidup yang salah serta mengajak untuk segera kembali pada kesucian Ibu Pertiwi. Adapun soal sistem politik alternatif, terlalu berat untuk diuraikan di sini. Artinya, penulis terlalu khawatir jika terjadi penyangkalan dan pengingkaran yang tentunya bisa berakibat lebih buruk bagi bangsa ini.

Sudah menjadi kebiasaan Allah swt jika ingin menghancurkan negeri-negeri, jika hendak menurunkan azab, jika berketetapan menjatuhkan bencana, terlebih dahulu memberikan peringatan agar kaum dimaksud kembali ke jalan yang benar. Jika kaum itu mematuhi seruan Allah swt, selamatlah. Jika tidak, Allah swt akan menghancurkannya.

“Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberikan peringatan.” ( QS Asy Syu’araa : 208)

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al Israa : 16)

“Tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS Al Qashash : 59)

Masih banyak sesungguhnya ayat Al Quran yang bernada ancaman tersebut, tetapi cukuplah tiga ayat untuk menyadarkan kita bahwa Allah swt benar-benar akan mengazab kita jika kita mendustakan kebenaran yang nyata dan menghalangi sampainya kebenaran kepada umat manusia.

Kita menyaksikan pada masa ini Indonesia ditimpa banyak bencana alam, bencana kemanusiaan, bencana ekonomi, bencana politik, dan berbagai bencana lainnya yang agaknya setiap hari selalu ada di bagian-bagian Bumi Pertiwi ini. Hal itu semua tidak terlepas dari kehendak Allah swt. Boleh jadi bencana-bencana itu akibat dari kita yang terlalu sering mendustakan kebenaran dan mengingkari kebaikan.

Sudah berapa banyak orang baik-baik yang dihukum di negeri ini? Ada berapa banyak para penjahat negeri berkeliaran karena dibiarkan bebas? Sudah berapa ratus kali negeri ini menjatuhkan hukuman kepada yang tidak bersalah dan membebaskan para pendosa? Sudah berapa ribu, berapa juta nyawa tak berdosa melayang akibat pertikaian politik? Sudah berapa juta triliun kekayaan alam negeri ini dirampok dan atau diselundupkan? Sudah berapa kalimat dusta yang diumbar-umbarkan demi keuntungan duniawi? Sudah berapa juta ton makanan dan minuman haram yang dimakan di negeri ini?

Jika mau disebutkan satu per satu, niscaya negeri ini tampak kotor dan hina. Sementara itu, orang baik-baik yang menyuarakan kebenaran disebut sampah dan pengacau negara. Oleh sebab itu, tak heran jika Allah swt terus-menerus menjatuhkan bencana dan tak akan pernah berhenti sampai kita sadar kembali pada kebenaran-Nya.

Kita semua tentunya berharap bahwa bencana-bencana yang datang itu bukan berasal dari kebencian Allah swt kepada kita, melainkan atas dasar kasih sayang-Nya. Dia menginginkan kita kembali kepada-Nya. Dia Yang Mahaluhur berharap dengan datangnya bencana, membuat kita semakin dekat kepada-Nya. Semakin sering kita memanggil-Nya, menyerah kepada-Nya, meminta kepada-Nya, Allah swt semakin senang dan semakin cinta kepada kita.

“Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Kami cobai mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk agar mereka kembali pada kebenaran.” (QS Al A’raaf : 168)

Mudah-mudahan Allah swt sedang menguji kita agar kita kembali kepada-Nya, bukan hendak menghancurkan kita berkeping-keping.

Apabila ada yang mengejek atau menantang agar ditunjukkan bukti kapan bencana itu akan datang, sebenarnya bencana itu sudah datang dan akan datang bertubi-tubi lagi. Apalagi jika terus-menerus menentang kebenaran. Bencana atau azab itu akan datang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan-Nya.

“Sesungguhnya, Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.

Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhan-Nya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya, Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya, dan Kami letakkan pula sumbatan di telinga mereka. Kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.

Tuhanmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentunya Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Akan tetapi, bagi mereka ada waktu yang tertentu untuk menerima azab yang mereka sekali-kali tidak akan mendapatkan tempat berlindung darinya.

Penduduk negeri itu telah kami binasakan ketika mereka berbuat zalim dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS 18 : 54 – 59).

Begitulah Allah swt berkehendak. Kita tak perlu menantang-Nya karena pasti akan dilumatkan-Nya.

Kalau Allah swt berkehendak kebaikan kepada negeri ini karena penduduknya berupaya keras untuk berubah baik, kebaikan itu pun akan datang. Jika tidak, Allah swt akan menyesatkannya dengan cara dalam hati dan pikiran kita terus ditanamkan bahwa cara-cara hidup berbangsa dan bernegara kita sudah benar.

“…. Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun yang datang dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS 5 : 41)

Saudara-saudara pembaca yang budiman, sekali lagi hendaknya kita semua, seluruh kekuatan bangsa ini, mulai menggali dan terus menggali berbagai hal yang berasal dari dalam diri sendiri untuk dijadikan sistem politik kita. Akan tetapi, jangan terlalu lama karena setiap hari ada yang kelaparan, menderita, stress, serta putus asa menghadapi hari esok.

Dengan sikap kita yang masih menganggap bahwa pemikiran orang luar itu lebih hebat dibandingkan diri sendiri, sudah pasti akan menimbulkan banyak keraguan. Buang pikiran itu jauh-jauh, percayakan kepada Allah swt bahwa kita akan ditolong-Nya.

Soekarno mengajari kita,“Tidak bolehlah kita membeo saja pada semboyan-semboyan yang dipakai oleh perjuangan-perjuangan rakyat di lain negeri, tidak boleh kita meng-over saja segala leuzen zonder meng-analyseer sendiri. Pergerakan Indonesia haruslah memikir sendiri, mengupas soal-soalnya sendiri, mencari semboyan-semboyannya sendiri, menggembleng senjata-senjatanya sendiri. Hanya dengan cara demikianlah kita bisa menjauhi segala pemborosan tenaga!

Dengan lebih teguh keyakinan bahwa nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri ..., dengan lebih teguh keinsyafan bahwa kita harus percaya terhadap kepandaian dan tenaga kita sendiri ..., dengan menolak tiap-tiap politik opportunisme dan tiap-tiap politik possibilisme, yakni tiap-tiap politik yang menghitung-hitung ini tidak bisa dan itu tidak bisa, maka kita bersama Mahatma Gandhi berkata, ’Siapa mau mencari mutiara, haruslah berani selam ke dalam laut yang sedalam-dalamnya. Siapa yang dengan kecil hati berdiri di pinggir saja dan takut terjun ke dalam air, ia tak akan dapat sesuatu apa!’

Siapa yang menangkap dan kadang-kadang luput tangkapannya adalah lebih utama daripada siapa yang tidak menangkap sama sekali karena takut jika luput tangkapannya!

Kita toh tidak heran kalau ada setengah orang yang mendakwa kita ‘terlalu keras’ dan mendakwa kita seorang politikus yang tak mengetahui batas. Memang, hal baru selamanya membuat onar. Memang, mata kita belum semuanya dapat menerima tajamnya sorot baru. Memang, manusia selamanya tak gampang terlepas dari ikatan suatu kebiasaan!

Belum pernah sejarah dunia menyaksikan bahwa suatu pergerakan yang mau membongkar adat-adat salah dan ideologi-ideologi salah yang telah berwindu-windu serta berabad-abad bersulur dan berakar pada suatu rakyat tidak membangunkan reaksi hebat dari pihak jumud yang membela adat-adat ideologi-ideologi itu.

Kaum kukuk beluk yang ada di tempat-tempat gelap menjadi kaget dan geger kalau ada sinar terang jatuh memasuki kegelapannya itu.”

Waspadalah

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Bangsa ini harus selalu waspada karena terlalu cantik, terlalu seksi, menggiurkan, mengundang banyak orang untuk memilikinya. Pihak-pihak yang sejak dulu menunggu waktu yang tepat, akan bergerak cepat untuk menguasainya. Lihat saja setiap ada pergolakan politik di negeri ini, selalu dibarengi kekerasan fisik dan aksi pemisahan diri. Saat baru merdeka saja, sudah terjadi pemberontakan-pemberontakan di daerah. Di balik pemberontakan itu, ada pihak-pihak asing bermain, tujuannya adalah membuat bangsa ini menjadi sapi perahan mereka. Saat peralihan dari Orla ke Orba pun demikian, ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dan tentunya kekerasan berdarah. Apalagi pada awal masa reformasi, separatisme menunjukkan aktivitasnya yang mencolok dan tentunya berdarah juga. Beruntung kita selalu bersatu hati untuk tidak membiarkan bagian-bagian dari Indonesia terlepas meskipun harus rela berpisah dengan Timor Timur. Urusan Timor Timur itu tidak terlalu masalah karena berbeda sejarah dengan kita. Mereka bersatu dengan Indonesia karena Amerika bisiki Orde Baru untuk mengurus Timtim yang kacau balau ditinggalkan Portugis. Namun anehnya, Amerika juga yang getol melancarkan fitnah kepada Indonesia agar melepaskan Timtim. Amerika memang pengacau.

Kewaspadaan ini harus lebih ditingkatkan jika kita benar-benar akan membuang demokrasi dalam tong sampah. Soalnya, isu yang dikembangkan Barat di dunia saat ini adalah demokrasi yang tujuannya agar mudah menguasai negara-negara lain. Dengan meninggalkan demokrasi, berarti salah satu alat mereka untuk menguasai Indonesia tak ada lagi. Mereka pasti rugi. Karena rugi, pasti akan mendorong aksi-aksi aneh misterius dan tentunya jahat-jahat seperti yang sudah-sudah. Negeri ini harus selalu siap sedia melindungi dirinya sendiri. Untuk itulah, diperlukan kesadaran dan kebersamaan semua pihak yang ingin Indonesia Merdeka Jaya Makmur Sentosa.

Laki-Laki Dunia

oleh Tom Finaldin


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam sejarah dunia, selalu akan lahir orang terbaik (primus inter pares) di kalangan bangsanya. Pada saat yang tepat ia akan muncul. Ketika rakyat Indonesia sudah benar-benar terlalu-lalu sangat-sangat menderita sekali, ia akan muncul. Ia bisa seseorang ataupun sekelompok orang. Soekarno mengatakannya sebagai laki-laki dunia.

Pada saat historiche momenten, menurut riwayat dunia, hanyalah satu partai yang dianggap oleh massa, ‘Itulah Laki-laki Dunia.’ Marilah mengikut laki-laki dunia itu!

Laki-laki dunia itulah yang memiliki gambar jelas dan kemauan yang kuat untuk memimpin negeri ini menjadi bangsa besar yang bukan hanya dalam retorika, melainkan pula dalam kenyataan. Ia harus tahan bantingan dan mewakafkan dirinya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan-Nya dengan cara mengusir kejahatan dan meninggikan derajat bangsa.

Siapakah laki-laki dunia itu? Allah swt pasti akan mengirimkannya sebagaimana yang dilakukan-Nya pada bangsa-bangsa di dunia ini sejak dahulu sampai dengan sekarang.

Soal pemimpin agung ini memang sudah menjadi urusan Allah swt.

“Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di Bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi Bumi.” (QS Al Qashash : 5)

“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS As Sajdah : 24)

“….Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al An’am : 83)

“Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di Bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu….” (QS Al An’am : 165)

“…Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian lain beberapa derajat agar mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain ….” (QS Az Zukhruf : 32)

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di Bumi sebagaimana Dia menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa yang tetap (kafir) sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur : 55)


Benar, Allah swt akan meninggikan seseorang atau sekelompok orang yang dikehendaki-Nya untuk memimpin negeri ini sebagai figur ayah yang kita rindukan. Akan tetapi, kita tidak boleh berdiam diri. Kita harus menunjukkan keseriusan kita kepada Allah swt dengan cara melakukan apa saja yang menurut kita baik agar benar-benar keluar dari gigitan syetan ini. Allah swt tak akan mengubah nasib kita jika kita sendiri tidak menunjukkan keseriusan untuk mengubah nasib kita. Hentikan demokrasi. Caranya, jauhi setiap aktivitas demokrasi!

Kita Memerlukan Ayah

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Untuk bisa melangsungkan pemerintahan baru di Indonesia dengan sistem politik yang bersumber dari jiwa bangsa, bukan dari menjiplak orang lain, diperlukan figur ayah yang dapat diterima semua komponen bangsa. Sang Ayah ini menjadi tumpuan semuanya. Akan tetapi, figur ayah ini harus benar-benar ayah sebagaimana ayah yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, bukan ayah seperti yang dulu, ‘dipaksa-paksakan’ meskipun memalukan, seperti, Bapak Ini, Bapak Itu.

Semua orang sepakat tentang figur ayah yang baik, yaitu kepala rumah tangga yang mau dan mampu menanggung beban bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Ia harus bersedia berletih-letih untuk membangun keluarganya. Ia juga yang berada di depan untuk melindungi keluarga jika terdapat ancaman. Di samping itu, Sang Ayah rela mendapat kritikan dari anggota keluarganya meskipun dalam keadaan lelah setelah bekerja seharian. Dengan demikian, ia akan terus mendapat tempat terhormat di dalam keluarganya, tidak seperti ayah yang tidak bertanggung jawab. Ayah yang tidak bertanggung jawab sudah pasti tidak akan mau dan tidak akan mampu menanggung beban bagi hidup keluarganya. Ia mungkin mengandalkan istrinya, mertuanya, orang tuanya, atau kerabatnya yang lain. Bahkan, yang lebih mengerikan adalah ia bukannya mencari nafkah untuk keluarga, melainkan memeras keluarganya untuk kepentingan dirinya sendiri. Akan tetapi, anehnya ia ingin mendapat tempat khusus dalam keluarganya. Ia bukanlah figur ayah yang baik.

Ayah yang baik akan mampu memberikan hukuman dan hadiah atas dasar cinta dan kasih sayang, bukan dendam atau pilih kasih. Ia akan menjadi rujukan seluruh keluarga.

Ki Ageng Suratmo Suriokusumo, pendiri dan Ketua Pinisepuh pertama Taman Siswa, dalam tulisannya yang terbit 1920, Sabdo Pandito Ratoe, mengakui keagungan persamaan sesama manusia berdasarkan persamaan sumber yang satu. Akan tetapi, kehidupan mengenal berbagai ragam manifestasi, jadi tidaklah sama semua. Dalam rangka ini, kompetisi bebas akan senantiasa mengalahkan Si Lemah. Oleh sebab itu pula, persamaan hak tidak pada tempatnya. Muncul ketidakwajaran bila seorang pandai dihadapkan pada seorang yang bodoh, seorang yang bekerja dengan akal dengan seorang tenaga kasar, seorang yang bermoral tinggi dengan yang bejat.

Suriokusumo mempersamakan kehidupan bersama suatu masyarakat dengan kehidupan suatu keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga mempunyai kedudukan tertentu. Dalam keluarga Si Ayah menentukan, berdasarkan pendapat bahwa ia yang di dalam keluarga tersebut yang bijaksana. Sebaliknya, dengan persamaan hak dalam demokrasi yang dikembangkan di Barat hanya yang kuatlah yang kuasa dengan kemungkinan bahwa yang lemah akan tertindas. Sebenarnya, kata Suriokusumo, tidak ada salahnya kalau yang kuat berkuasa asalkan kebijaksanaannya yang bicara dan bukan nafsu kehewanannya. Untuk jatuh pada kehewanan seperti ini, akan mudah saja.

Oleh sebab itu, yang penting ialah kebijaksanaan dan ini diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang bijaksana. Ialah yang harus dipercayakan memegang kekuasaan. Ia dipilih oleh orang-orang yang bijaksana pula, bukan oleh rakyat umumnya (Deliar Noor: 1986).

Sabdo Pandito Ratoe-nya Suriokusumo ini tidak mendapat tentangan. Akan tetapi, sejak dulu sampai sekarang menimbulkan banyak pertanyaan. Siapakah yang bijaksana ini? Bagaimana mencarinya? Suriokusumo sendiri tidak memberikan jawaban.

Kita pun yang hidup di zaman ini merindukan figur ayah tersebut. Rasanya, kita akan merasa aman dan nyaman jika berada dalam pelukannya.

Untuk mendapatkan Sang Ayah dari sistem demokrasi, sangatlah tidak mungkin. Paling banter kita hanya akan punya ayah yang rapuh serapuh demokrasi itu sendiri. Ayah yang rapuh akan membuat pula keluarganya rapuh. Pantas kalau negeri ini rapuh.

Bagikan Tanah secara Gratis

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Untuk menjadikan Negara Indonesia kembali pada masa keemasannya, tentunya seluruh rakyat harus dilibatkan dalam pembangunan. Tak satu orang pun yang termasuk usia angkatan kerja diperbolehkan menganggur. Semua harus produktif. Untuk menjadi produktif, tentu harus punya hal yang dikerjakan. Oleh sebab itulah, sistem politik Indonesia yang baru, kelak, harus mampu mengembalikan tanah kepada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat Indonesia.

Dari dulu Tuhan menciptakan tanah ini untuk kepentingan manusia secara gratis. Namun, tiba-tiba keserakahan manusia membuat tanah ini harus diperjualbelikan. Banyak orang bertanya, sejak kapan tanah yang pasti dulunya gratis ini diperjualbelikan? Kok tiba-tiba ada yang ngaku milik Si Ini milik Si Itu?

Saudara-saudara Pembaca yang budiman, dulu sekali nenek moyang kita membuka lahan-lahan pertanian untuk kelangsungan hidupnya, baik dari rawa atau hutan. Saat itu pertanian masih menggunakan sistem berladang pindah. Masyarakat akan menggarap tanah yang sudah dibukanya itu selama tanah itu masih subur. Ketika tingkat kesuburannya berkurang, mereka berpindah tempat ke tanah lain yang masih subur. Tanah yang dulu ditinggalkan selama tiga sampai tujuh tahun hingga menjadi gembur kembali, kemudian digarap lagi, demikian seterusnya. Pada masa itu tidak dikenal adanya hak milik individu. Tanah dianggap sebagai milik komunal, milik bersama. Tanah subur yang ditinggalkan oleh penggarapnya, bisa digarap oleh orang lain dan menjadi milik orang lain itu selama digarap.

Seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat kekuasaan, pihak keraton pun cukup rajin membuka lahan-lahan pertanian. Rakyat diperbolehkan menggarap tanah milik istana tersebut dengan syarat memberikan upeti dari hasil pertaniannya. Semakin banyak rakyat yang bertani, baik itu dengan cara mengelola tanah keraton, maupun membuka tanah sendiri, semakin senang pula para raja. Hal itu disebabkan jumlah rakyatnya semakin banyak. Artinya, tanah di wilayah kekuasaannya akan lebih produktif serta kerajaannya bertambah kuat. Oleh sebab itu, setiap raja selalu mengingatkan pejabat bawahannya agar tidak membuat “lari” rakyat dari negerinya. Memang saat itu jika pihak penguasa dipandang tidak adil, rakyat protes dengan cara pindah ke kerajaan lain. Kalau sudah begitu, apa artinya sebuah kerajaan yang hanya memiliki sedikit rakyat atau bahkan sama sekali tidak memiliki rakyat?

Ketika kekuatan Islam semakin meningkat yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, semakin intensif pula masyarakat diajari bagaimana caranya mengolah tanah dengan sistem sawah atau menggarap tanah yang sama secara terus menerus tanpa harus berpindah-pindah. Dengan demikian, setiap bidang tanah dapat terus produktif dan tanah yang lain dapat dipergunakan lagi untuk mengembangkan kekuatan kerajaan.

Memang di setiap wilayah di Nusantara ini terdapat perbedaan soal penggarapan dan pemilikan tanah, tetapi garis besarnya sama, yaitu tanah adalah milik bersama, bukan milik individu. Artinya, tak ada jual beli tanah. Semua bisa memanfaatkan tanah, semua bisa punya tempat tinggal. Tanah yang sudah tidak digarap oleh pemiliknya dapat dipergunakan oleh orang lain yang menggarapnya kemudian. Pada masa-masa itulah negeri-negeri di Nusantara ini hidup dengan makmur, zaman keemasan-kejayaan.

Saat Belanda datang dengan ambisi menjajahnya, dimulailah praktik-praktik pemaksaan terhadap masyarakat yang tengah berkembang dengan nilai-nilai dirinya itu. Pemerintahan kolonial tentunya ingin dapat mengontrol masyarakat seluruhnya. Oleh sebab itu, pada beberapa daerah rakyat ditarik mendekat terkonsentrasi ke pusat kekuasaannya. Mereka tampaknya kesulitan jika harus menguasai rakyat yang terbiasa berpindah-pindah dan jaraknya jauh-jauh. Hal yang sangat jelas dalam urusan ini adalah penjajah ingin lebih mudah dan lebih cepat menarik pajak dari rakyat.

Di Jawa Barat penjajah rakus itu menggunakan Undang-undang Agraria (Agrarischwet) tahun 1870 untuk menetapkan hubungan antara tanah dengan orang-orang yang menempati, menggarap, atau mengusahakannya. Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah kolonial seolah-olah membagikan tanah kepada rakyat sebagai tanah milik untuk keperluan pertanian. Setiap kepala keluarga mendapat satu bau (500 tumbak atau ± 7.000 m²) tanah. Rakyat yang mendapat tanah secara demikian disebut “cap singa” (Adiwilaga, 1975: 3).

Cap singa adalah istilah saat itu yang didapat dari gambar yang tertera pada cap stempel surat izin yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Gambar singa adalah lambang Kerajaan Belanda.

Sesungguhnya, sistem pemilikan atas tanah di Jawa Barat itu, umumnya di Pulau Jawa yang ditetapkan dengan undang-undang merupakan perkembangan dari keinginan pemerintah, baik pemerintah kolonial maupun bumiputera agar penduduk di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah pedalaman, tidak berpindah-pindah tempat lagi, tetapi menetap di suatu lokasi tertentu dan mengolah tanah di lokasi itu. Undang-undang Agraria tahun 1870 dapat dipandang sebagai alat untuk memaksa penduduk wilayah Jawa Barat agar menetap di suatu lokasi tertentu dan memiliki bidang tanah tertentu.

Sejak saat itulah timbul keruwetan-keruwetan. Ketidakpastian dalam menentukan tanah kesultanan, tanah pusaka, tanah yasa, upeti dan kerjabakti, kebijakan kolonial yang sering berubah, kondisi ekonomi sosial masyarakat, dan makin meluasnya akibat perekonomian uang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah melalui sistem gadai dan sistem jual-beli. Kecenderungannya adalah makin terjadinya pemusatan pemilikan tanah pada orang-orang tertentu yang mengakibatkan timbulnya petani-petani yang tidak memiliki lahan pertanian lagi. Pemilik tanah luas disebut Tuan Tanah, sedangkan petani yang tidak memiliki tanah lagi disebut petani penggarap atau buruh tani (Edi S. Ekadjati: 1993).

Di samping jatuhnya rakyat ke dalam kemiskinan karena tidak lagi memiliki lahan, juga mendorong timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Rakyat sama sekali tidak mengerti mengapa mereka yang dulunya aman-aman saja menggarap tanah, membuka hutan, berbagi dengan sesama, dan mengirimkan sepersepuluh dari hasil pertaniannya kepada sultan, tiba-tiba harus membayar pajak tinggi yang disertai dengan kerja rodi untuk kepentingan Belanda? Mengapa lahan-lahan jadi sangat terbatas?

Pemberontakan yang cukup terkenal karena lahan ini adalah Gerakan Petani Saminis. Mereka meneriakan slogan lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe, ‘tanah, air, hutan adalah milik semua orang’.

Kalaulah ada orang yang mengatakan bahwa Belanda mengeluarkan aturan-aturan itu untuk kepentingan rakyat dan lestarinya alam sekitar dari penjarahan rakyat, berarti orang itu cukup pintar, tetapi sudah teramat jauh dari kebenaran itu sendiri. Coba saja lihat orang Baduy. Mereka tidak mengenal krisis ekonomi, tak pernah kelaparan, tak ada anarkisme, dan mampu seimbang dengan alam, tak ada alam yang rusak. Mereka punya hutan larangan yang sama sekali tidak boleh disentuh. Jangankan untuk menebang pohon, hanya sekedar mengambil ranting kering yang patah dari hutan itu, mereka tidak berani. Cukup satu kata, pamali, dari pemimpinnya, rakyatnya akan mematuhinya dengan kata teu wasa (tak kuasa untuk melanggar pemali itu). Hasilnya, semua aman-aman saja, senang-senang saja, dan teratur lebih tertib dibandingkan komunitas yang terdiri atas banyak jebolan perguruan tinggi. Mereka pun punya rumah yang juga pake kata pamali jika menggunakan paku. Rumah-rumah mereka dibangun dengan cara menggunakan tali ijuk. Kata pamali itu bermaksud agar rumah-rumah mereka tidak roboh jika terjadi gempa. Dengan membangun seperti itu, rumah mereka lebih tahan gempa karena elastis.

Berbeda jauh dengan kondisi di luar Baduy yang terus meluncur ke arah kemiskinan. Tampaknya, kondisi kehidupan rakyat yang serba miskin ini pun diakibatkan oleh tidak berubahnya atau tidak dikembalikannya tanah kepada rakyat. Artinya, peraturan penggunaan dan kepemilikan tanah yang ada sekarang merupakan perpanjangan kisah dari aturan-aturan yang dipaksakan penjajah itu. Tak heran jika saat ini banyak pengangguran, tak punya tempat tinggal, harus bayar sewa meskipun harus ngos-ngosan, tinggal di emperan toko, kolong jembatan, dan luntang-lantung tak karuan.

Adalah kenyataan yang sangat ironis di daerah-daerah tertentu ada satu kamar yang disewa oleh dua pasang suami-istri. Mereka hanya memisahkan kamar itu dengan menggunakan kain kebaya. Sementara itu, banyak rumah yang besar-besar hanya diisi oleh beberapa gelintir orang, bahkan ada yang sama sekali tidak ditempati.

Adalah pelanggaran terhadap Pancasila ketika banyak orang yang kelaparan, megap-megap, banyak tanah yang mestinya bisa produktif dibiarkan kosong tak dimanfaatkan, tetapi dimiliki oleh orang-orang kaya.

Nah, pemerintah Pancasilais adalah yang mampu mengembalikan kejayaan negeri ini diawali dengan membagikan tanah secara gratis kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Urusan ini harus disadari oleh semua pihak, seluruh elemen bangsa karena dalam pemerintahan yang baru sudah tidak boleh ada satu orang pun yang menguasai tanah sejengkal pun dari Bumi Pertiwi ini. Semuanya milik bersama. Tak ada satu orang pun yang berhak memiliki tanah, termasuk orang No. 1 di Indonesia.

Pemerintah Pancasilais harus mampu mencari cara untuk itu karena hanya dengan cara itulah kita bisa kembali, bahkan lebih kaya dan lebih makmur dibandingkan zaman keemasan dulu.

Semua orang, semua keluarga, harus punya tempat tinggal. Tentunya, harus diatur dengan baik seadil mungkin. Misalnya, sebuah keluarga yang menggantungkan hidupnya pada pengolahan tanah secara langsung mendapat hak untuk menggarap tanah 2,5 ha, sedangkan untuk keluarga yang penghasilannya dari upah sebagai karyawan pabrik tentunya tidak seluas itu, cukup 100 m². Demikian pula dengan jabatan-jabatan tertentu, disesuaikan dengan baik dan layak. Jika hendak pindah atau tidak lagi menggarap tanahnya, dipersilakan mencari tempat lain dengan membiarkan tanah miliknya yang dulu digunakan untuk orang lain. Misalnya, sebagaimana hadits Nabi, tanah atau rumah yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun atau lebih akan menjadi milik penggarap berikutnya.

Dengan pengaturan seperti itu, akan didapat efek-efek positif lainnya, yaitu hemat energi, lalulintas tertib, daya dan semangat kerja tinggi, sehat, silaturahmi semakin sering, dan sebagainya. Logikanya adalah jika diatur dengan baik, semua orang pasti berharap dapat tinggal dekat dengan tempatnya bekerja, dosen dekat dengan kampusnya, pegawai negeri dekat dengan kantornya, karyawan dekat dengan pabriknya, petani ada di lahan pertaniannya, dan lain sebagainya. Sekarang ini terbalik, orang harus menempuh jarak dan waktu lama dari rumahnya untuk sampai ke tempat kerjanya. Akibatnya, boros energi, macet, mudah lelah, gampang sakit, semakin individualistis, dan boros biaya.

Selintas seperti khayalan, namun toh sejarah kita menunjukkan hal seperti itu. Kejahatan penjajahlah yang menjadikan kita seperti sekarang ini. Dalam praktiknya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi akan ringan jika semua elemen bangsa mau menyadarinya.

Upaya pengembalian tanah menjadi milik semua akan sangat berguna juga untuk menguji seluruh orang Indonesia, apakah benar ingin maju dan berkorban untuk kepentingan bersama atau hanya teriak-teriak dengan penuh kepalsuan menipu rakyat?

Wajib Mencari Sistem Politik Baru

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dari seluruh diskusi mengenai hal-hal yang ada di dalam blog ini, tak ada satu orang pun yang membantah bahwa memang kita harus menghentikan demokrasi. Akan tetapi, rata-rata semua kebingungan, sistem politik apa yang harus dijalankan untuk menggantinya. Demikian pula saya yakin seluruh pembaca yang budiman bertanya-tanya, kalau kita mengubah sistem politik saat ini, sistem politik yang bagaimana yang seharusnya digunakan di Indonesia?

Sebenarnya, banyak sekali sistem politik dalam buku-buku politik. Akan tetapi, itu semua juga berasal dari cara-cara hidup orang lain. Artinya, dari teori-teori asing. Kita harus mampu menggali sendiri sistem politik yang sesuai dengan jiwa bangsa, mengambil nilai dan norma yang telah ada sejak dalam kandungan. Dasar negara sudah tepat, Pancasila. Tinggal kita harus membuatnya menjadi Pancasila Sakti. Bangunan politik negaralah yang masih belum ada dalam arti belum sesuai jiwa bangsa.

Sistem politik yang harus dibangun adalah sistem yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai penguasa, berdaulat setiap hari, bahkan setiap saat. Demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai penguasa bohongan dalam waktu amat sempit, yaitu saat pemilihan. Disebut bohongan karena dalam pemilihan pun rakyat sudah dicekoki dengan berbagai dusta dan money politics. Demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai alat para politisi untuk menjadi penguasa. Demokrasi tak pernah akan mampu menjadikan rakyat sebagai penguasa sejati. Adapun yang harus dibangun di Bumi Pertiwi ini adalah sistem yang benar-benar menjadikan rakyat berdaulat sepenuhnya. Kuncinya ada pada Pancasila.

Dalam tulisan sebelumnya, saya mengajukan usul untuk segera memperkuat TNI dan Polri. Kedua lembaga ini harus menjadi yang terkuat segala-galanya dibandingkan departemen lain. Hal itu disebabkan merekalah yang harus paling depan menjadi contoh pelaku-pelaku Pancasila sejati. Mereka harus mampu membuang jauh-jauh perilaku-perilaku yang bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan omong kosong. Mereka harus benar-benar menunjukkan jalan dan arah kepada masyarakat sekaligus mengaturnya agar sesuai dengan Pancasila. Sebagaimana tadi disebutkan bahwa dengan Pancasila seluruh hak dan kewajiban masyarakat akan dapat terpenuhi. Kalau dulu, hanya omong doang. Tidak perlu khawatir mereka akan melakukan lagi seperti yang dulu-dulu, represif. Mereka pun tak ingin menjadi musuh rakyat. Semua elemen bangsa ini sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ingin bersama-sama maju menjadi besar, terhormat, dan mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan.

Sunday, 11 July 2010

Berani Melangkah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Keberanian adalah modal mutlak yang harus dimiliki sebuah bangsa yang ingin maju. Pemimpin adalah orang yang paling berani dalam bertindak untuk memutuskan sesuatu demi kepentingan bangsanya. Pemimpin yang selalu menghitung untung rugi, ini tidak bisa, itu tidak bisa bukanlah pemimpin agung. Ia hanya pemimpin kelas pedagang yang kata Soekarno bagai Tukang Kedai yang takut hilang uangnya sekeping.

Kita ini ibarat ikan di samudera luas. Negeri kapitalis, terutama Amerika adalah pemancing ikan. Ia memang sejak dulu menebar pancingnya di seluruh muka Bumi. Ada yang memang telah berhasil dia tangkap, ada yang tidak, ada pula yang seperti Indonesia, sedang tarik-menarik.

Umpan kapitalis sudah kita makan. Kini di moncong kita sudah tertancap kait tajam yang tak mudah dilepaskan. Umpan yang tak seberapa itu telah membuat kita jadi tertarik-tarik, terseok-seok, sementara itu Sang Pemancing sedang asyik menggulung senarnya agar kita lebih tertarik lagi untuk akhirnya dimiliki. Dalam kondisi seperti ini, tak banyak pilihan kita. Hanya ada dua. Pertama, membiarkan diri kita menyerah pada tali pancingan untuk kemudian dimiliki, ditangkap, selanjutnya dicincang hingga benar-benar mati. Kedua, berupaya terus melawan dengan cara membiarkan mulut kita terluka, robek, berdarah, tetapi terlepas dari kait tajam itu untuk kemudian bebas sebebas yang kita yakini. Sakit memang, tetapi mau pilih mati atau sakit kemudian sembuh?

Pilihan pertama sudah tentu tidak perlu dikisahkan karena tak ada gunanya, toh kematian hina yang akan kita temui. Pilihan kedua adalah pilihan bangsa berani, bangsa terhormat yang memiliki harga diri. Sudahkah kita lupa dengan teriakan kakek dan orangtua kita dulu? Merdeka atoe mati! Pilihan ini harus ditempuh bagaimana pun beratnya. Kita memang sudah sangat tergantung kepada pihak-pihak asing sehingga jika kita dengan mendadak menghentikannya, akan terjadi guncangan yang cukup berarti. Akan tetapi, itu semua tetap harus dilakukan agar bangsa ini bisa lebih cepat keluar dari kemelut yang membingungkan ini.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah meyakini bahwa demokrasi itu adalah anjing yang digunakan syetan untuk menggigit dan melukai bangsa ini. Untuk itu, kita harus menghentikan praktik-praktik demokrasi semacam itu. Hentikan demokrasi dan jangan tinggalkan serpihan-serpihannya, buang ke dalam tong sampah kemanusiaan.

Kedua, mengubah sistem politik, sistem pemerintahan yang sekarang sedang berlangsung. Jangan takut. Ubah sampai benar-benar sesuai dengan jiwa asli bangsa Indonesia atau membentuk pemerintahan berdasarkan nila-nilai dan norma-norma yang ada sejak zaman dulu. Berulang kali sejarah menunjukkan bahwa di sanalah kita menemukan kejayaan dan kemakmuran. Hindari perilaku menjiplak cara-cara hidup orang lain. Kita bukanlah mereka.

Kalau ada orang yang sok pintar mengatakan bahwa tindakan kembali adalah keliru karena menganggap bahwa memandang masa lalu adalah sikap yang terbelakang, kita sebut saja orang itu brengsek dan idiot. Apa salahnya memang dengan masa lalu? Mungkin masa lalu dia yang penuh dengan keburukan. Salahkah bila seseorang yang telah jauh dari ibunya, kemudian tersesat di tengah hidup, lalu kembali mohon maaf karena telah merendahkan nasihat-nasihat ibunya? Di samping itu, jika dia bertahan dengan demokrasi karena dianggap maju, harusnya dia ingat bahwa demokrasi itu sistem pemerintahan usang yang kolot sekali, dilahirkan lima ratus tahun sebelum Yesus lahir. Dari segi waktu, masih lebih modern bangsa Indonesia. Kalaupun memang demokrasi mengalami perkembangan, tetap saja bertitik tolak dari Athena itu.

Ketiga, laksanakan Pancasila tanpa demokrasi. Kalau pada zaman Orde Baru kita ditekan untuk berdemokrasi Pancasila, sekarang sudah saatnya kita melaksanakan Pancasila tanpa harus ada demokrasi. Dengan Pancasila yang benar-benar asli, artinya bukan hanya slogan, seluruh hak dan kewajiban rakyat akan bisa terpenuhi. Itu pasti.

Keempat, perkuat TNI. TNI harus menjadi institusi terkuat di negeri ini, bukan hanya senjata, melainkan pula dalam kesejahteraan dan lain sebagainya. TNI adalah lambang kewibawaan negara. TNI yang lemah menunjukkan kelemahan Negara Indonesia. Kini tak ada lagi negara yang merasa gentar terhadap Indonesia. Mereka tahu tentara Indonesia adalah tentara rombengan. Kapal patroli polisi lautnya saja kalah cepat dengan kapal penyelundup asing. Pesawat udaranya saja menyedihkan, tidak seperti dulu No. 4 terkuat di dunia hingga Belanda tak mau bertempur lagi rebutan Irian Barat.

TNI sudah demikian tersudut. Institusi ini sudah merasakan akibat kekeliruan pada masa lalu. Kini saatnya mengembalikan TNI menjadi prajurit-prajurit yang disegani dan dihormati, baik di dalam maupun di luar negeri. Rakyat Indonesia pasti tidak akan berkeberatan jika negeri ini mendahulukan kepentingan TNI karena dengan memiliki tentara yang kuat, bangsa ini lebih tenang dan lebih punya harga diri dalam melakukan berbagai aktivitasnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kelima, perkuat kepolisian. Kepolisian adalah institusi yang harus diperkuat sebagaimana TNI, namun kepentingannya berada di bawah urutan TNI. Lembaga ini harus menjadi lembaga yang dihormati dan mampu memberikan solusi untuk berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat. Merekalah yang sebenarnya harus mampu mengendalikan masyarakat. Mereka juga yang memiliki kewajiban untuk selalu berada di tengah-tengah masyarakat jika terjadi perselisihan, bukan menjadi biang keributan. Di samping itu, kepolisian harus mampu mendeteksi pihak-pihak asing yang ingin menguasai negeri ini, bukannya menjadi kaki tangan pemerintahan kapitalis.

Apabila kita mampu melakukan kelima hal di atas, berarti kita sudah mulai mampu melepaskan diri dari segala ketergantungan kepada pihak asing. Artinya, bangsa ini secara bertahap tentunya akan dapat menggali potensi diri dan potensi sumber daya alam untuk kemakmuran bersama.

Kelima langkah di atas harus diambil dengan berani tanpa harus menghitung-hitung ini itu. Terlalu banyak pertimbangan akan menyebabkan bertambahnya waktu kemelaratan negeri ini.

Angklung Pancasila

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dengan adanya P4, Pancasila seolah-olah merupakan bagian tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pancasila menjadi ajaran baru yang harus dipahami oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia tanpa kecuali. Orang diseragamkan cara pikir dan tingkah lakunya, padahal bangsa ini majemuk.

Pancasila yang diakui sendiri oleh Soekarno dan para founding father lainnya adalah berasal dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Artinya, sudah tertanam kuat berurat berakar dalam setiap jiwa insan Indonesia. Dengan demikian, rakyat tidak perlu ditatar, diteter, dititir, ditutur, atau ditotor lagi tentang Pancasila, nilai-nilai dasar pembentukannya sudah sejak dulu ada.

Untuk melaksanakan Pancasila, seharusnya rakyat didorong agar kembali pada nilai-nilai luhurnya masing-masing, kemudian pelaksanaannya disempurnakan oleh agama masing-masing pula. Tidak perlu aneh jika di setiap daerah akan terjadi perbedaan pelaksanaan. Asal terikat pada Proklamasi, Preambul UUD 1945, Sumpah Pemuda, dan Bhineka Tunggal Ika, semuanya akan berlangsung indah. Dengan demikian, Pancasila bukan merupakan suatu ajaran yang ditanampaksakan. Ia akan cair dalam perilaku bangsa kita dan akan menjadi ciri khas yang unik, tidak akan ditemukan di bangsa mana pun. Artinya, rakyat ini akan hidup dengan dirinya sendiri. Dengan itulah kita akan menjadi bangsa terkuat dan dihormati.

Dalam konteks bernegara, tentunya harus ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Untuk hal ini, sangatlah baik jika kita belajar pada kesenian angklung. Setiap pemain angklung memegang angklung dengan nada masing-masing, tak ada batasan untuk jumlah pemain angklung, makin banyak makin bersemangat. Seluruh mata pemain angklung terarah pada satu orang pemimpin yang berada di depannya. Sang Pemimpin memiliki cara-cara khusus yang dimengerti oleh setiap pemain untuk memainkan angklung yang sedang dipegangnya. Ketika pemimpin mengangkat tangan dengan posisi telapak miring, akan ada pemain angklung yang menggoyangkan alatnya hingga terdengar bunyi nada tertentu. Demikian pula, ketika tangan pemimpinnya mengepal, ada lagi bunyi nada yang lain. Dengan cara itulah mengalun lagu-lagu merdu dan menyenangkan, baik bagi pendengar maupun pemainnya sendiri. Setiap pemain tak boleh dan tak ingin menggoyangkan angklungnya tanpa ada perintah dari pemimpin karena sedikit saja salah, satu orang saja salah, kerusakan akan ditanggung semuanya, lagunya bisa berantakan. Tak ada satu orang pemain pun yang merasa iri kepada yang lainnya hanya karena dalam satu lagu ia hanya tiga kali menggoyangkan alatnya, sementara yang lain sepuluh kali. Begitu juga sebaliknya. Seluruhnya menyadari posisi dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan arahan pemimpin. Dengan demikian, lagu pun bisa mengalun dengan indahnya.

Begitu pula semestinya kita dalam hal bernegara. Kita harus memiliki pemimpin yang tahu lebih dulu gambar atau wujud Indonesia yang akan dibangun, sebagaimana pemimpin angklung yang lebih dulu tahu lagu yang akan dimainkannya. Pemain angklung tanpa harus tahu dulu lagu yang akan dialunkan asal mengikuti pemimpinnya, maka ia akan menjadi bagian penting dari lagu yang belum diketahuinya itu dan pasti akan melaksanakan tugasnya secara sempurna.

Bagaimana mungkin kita akan maju menjadi bangsa besar jika pemimpinnya sendiri tak tahu arah? Saat kampanye bolehlah kalimat-kalimat menuju kemajuan, perubahan untuk maju, maju bersama rakyat digembar-gemborkan, namun majunya itu ke mana? Bagaimana? Apanya yang maju?

Bersama kita bisa!

Bisa apa? Yang jelas dong kalau teriak!

Di sinilah kita mesti punya pemimpin yang di kepalanya sudah ada gambar Indonesia Merdeka Jaya Makmur Sentosa. Semua elemen bangsa mengarahkan potensinya sesuai dengan gambar itu. Gambar itu hanya akan bisa terlaksana jika kita kembali pada keluhuran dan kesucian jati diri sendiri. Pancasila adalah dasar yang merupakan gabungan dari seluruh nilai yang ada di Nusantara. Itu baru sakti.

Kondisi sekarang ini tak jelas arah dan gambarnya. Retorikanya memang berbunyi reformasi, tetapi konkretnya seperti apa belum diketahui secara jelas. Bangsa Indonesia tengah berada dalam era peralihan, bukan lagi Orde Baru, Orde Lama, atau Orde Reformasi (Nurcholish Madjid: 2004).

Jika kita memperhatikan saat ini, Indonesia sangat bisa menjadi kaki tangannya kapitalis. Kuku mereka sudah sangat kuat mencengkeram. Benar, kita bisa beralih bukan menjadi kapitalis, melainkan menjadi kambingnya kapitalis.

Pancasila Sakti

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Orde Soekarno adalah orde yang terdekat dengan kelahiran Pancasila, bahkan membidaninya. Lihat, bagaimana dengan semangat Pancasila Indonesia berhasil menggebrak dunia dengan Nonblok, merangkai blok ketiga di antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia menjadi pemimpin yang berada di tengah kedua kekuatan jahat itu. Harus diakui bahwa pengaruh Indonesia sangatlah besar di dunia saat itu, baik di Blok Barat dan Timur yang selalu ketar-ketir, maupun di blok ketiganya sendiri.

Dengan berada di tengah keduanya, bukankah sebagai bangsa beragama mayoritas Islam telah hampir mampu menjadi umat pertengahan, ummatan wasathon, sebagaimana yang diinginkan Allah swt?

Bukan hanya di tengah, melainkan pula menyuarakan pentingnya perbaikan dalam organisasi PBB. Bahkan, Indonesia mengajak negeri-negeri lain untuk bersatu menentang kejahatan tingkat dunia.

Seandainya saja, Pemimpin Besar Revolusi kita tidak bawa-bawa Nasakom, tidak terlalu melindungi komunis/PKI, tentu sejarah akan berbicara lain. Indonesia akan menjadi negara yang sangat dihormati di dunia. Di samping itu, pembangunan kemakmuran bangsa akan lebih baik karena tidak terganggu oleh pertikaian politik dunia yang merembes ke tanah air antara kapitalis dan komunis.

Komunis adalah ajaran yang berantagonis dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Walaupun komunisme yang dogmatis itu dapat bertoleransi dan menerima Pancasila, pasti tidak akan mungkin mengakui kebenaran dan keagungan seluruh kesatuan sila dari Pancasila itu (O. Hashem: 1984).

Dengan jatuhnya Soekarno, jatuh pula giginya Nonblok, Nefos, atau Asia Afrika. Kalaupun masih ada, mereka cuma melaksanakan tradisi zaman dulu, pangemut-ngemut. Memang ada beberapa pertemuan di antara mereka dan melahirkan berbagai kerja sama, tetapi hasil-hasil itu sangatlah sulit untuk terlaksana berhubung di setiap negara di dunia ini terkena wabah penyakit kapitalis, komunis, dan demokratis. Hal itu menjadi sebab pula dunia menjadi dua blok yang berseteru, tanpa ada penengah. Kini malah blok itu tak ada, kapitalis telah menjalarkan kekuasaannya.

Sudah saatnya kita kembali menjadi orang adil. Artinya, kalau benci orangnya, jangan benci ajarannya atau dasar hidupnya. Kita benci rezim, tetapi salah jika membenci juga Pancasila. Semestinya, kita mulai melaksanakan Pancasila sebagaimana yang diinginkan oleh Pancasila sendiri.

Pancasila akan menjadi sakti jika ada pendukung yang setia terhadapnya.

Kesulitan bangsa ini untuk melaksanakan Pancasila disebabkan pula belum adanya orang yang dapat dijadikan figur sebagai Pancasilais. Berbeda dengan Islam, siapa pun yang ingin mengamalkan Islam dengan baik, hendaknya ber-uswah kepada Muhammad saw. Rasulullah adalah Al Quran berjalan. Seluruh perilakunya adalah wahyu. Dengan demikian, umat Islam akan menjadikannya sebagai contoh hidup.

Adakah orang yang bisa kita sebut Pancasilais? Coba tunjuk hidungnya dan sebutkan namanya. Soeharto? Cape deh…. Pasti tidak ada.

Meskipun demikian, kita tidak perlu berkecil hati. Jika kita mau kembali kepada diri sendiri, pasti Allah swt akan memberikan jalan. Jalan itu kerap datang dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Kita memang harus kembali pada kekuatan diri sendiri. Bukankah Islam mengajarkan bahwa siapa pun yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya? Arti kebalikannya adalah siapa pun tak akan mengenal Tuhannya jika tak mengenal dirinya sendiri. Dengan kembali mengenali diri, maka semakin dekat kita kepada Tuhan dan semakin dekat pula dengan kebenaran hakiki. Itulah sakti.

Kebencian pada Pancasila

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Rasa benci dan enggan kepada Pancasila tampak mengemuka pada masa Orde Baru. Penguasa saat itu hanya menjadikan Pancasila sebagai lips service, verbalisme, dan sloganisme. Pada masa itu Pancasila senantiasa hadir dalam setiap kata-kata yang diucapkan pejabat, tetapi pelaksanaannya nol besar. Tidak ada sikap dan tindakan pemerintah dan kalangan elite politik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Rakyat dipasung dan dipaksa menerima Pancasila sesuai penafsiran pemerintah. Selain itu, pemerintah Orde Baru hanya menjadikan Pancasila sebagai alat penyeragaman berbagai hal yang berbeda. Pemerintah secara otoriter menekankan bahwa kebenaran hanya datang dari pemerintah, bukan dari rakyat. Tak heran bila kemudian timbul dendam rakyat terhadap penguasa, bahkan ada sekelompok masyarakat yang melampiaskan dendam dengan memilih jalan kekerasan.

Karena dianggap sebagai ideologi politik rezim Orde Baru yang sentralistik, keberadaan Pancasila di era transisi reformasi justru menjadi bias. Di kalangan masyarakat terjadi penolakan yang luar biasa terhadap Pancasila. Bahkan, ada anggapan bahwa mengakui Pancasila sebagai ideologi politik negara berarti mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru yang serba represif. Alasannya, kesaktian Pancasila hanya mitos ciptaan Orde Baru yang dipelihara demi kelanggengan status quo.

Dalam rezim Orde Baru, politik nasional dan setiap perbedaan dalam berbangsa ditiadakan melalui indoktrinasi P4 sehingga segalanya terbentuk dalam wujud monokultur di bidang militer, hukum, birokrasi, dan identitas. Kontrol pemerintah yang berlebihan terhadap kesenian daerah menyangkut isi, moral, kepatuhan, dan politik, telah melahirkan peta semu keindonesiaan dengan tameng Pancasila.

Masyarakat kini enggan karena melihat Pancasila sebagai bagian dari rezim. Pancasila dicap sebagai hegemoni, bagian dari rezim, dan ideologi politik penguasa. Saat ini telah terjadi kelesuan pemahaman mengenai Pancasila. Suara-suara yang mengandung spirit dan semangat Pancasila tenggelam dalam percaturan politik negara. Tampak jelas betapa Pancasila terus terpuruk seiring ambruknya rezim Orde Baru (R. Soeprapto: 20004).

Orde Baru sama dengan Pancasila. Begitu kira-kira yang ada di benak banyak orang. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Pancasila adalah anugerah Allah swt untuk merekatkan seluruh bangsa ini serta menjadi dasar dan tujuan gambar abstrak dari penyelenggaraan berbangsa dan bertanah air. Pancasila Sakti menjadi Pancasila Sial karena perilaku-perilaku penguasa yang sama sekali bertentangan dengan Pancasila.

Tidak adil rasanya jika Pancasila dituding sebagai penyebab kerusakan bangsa, padahal Pancasila sendiri dirugikan oleh penguasa. Justru negeri ini akan semakin rusak jika benar-benar telah memuseumkan Pancasila.

Pemimpin Pelacur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dengan ditinggalkannya Pancasila, bahkan dilukainya, mata kita tertutup oleh kabut semu. Semua orang berlomba meniru gaya hidup orang lain, gaya hidup kapitalistis. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri ini banyak pemimpin yang telah berbuat cabul dengan negeri-negeri kapitalis. Sudah banyak instansi, baik swasta maupun negeri yang mendapat “sokongan” dana dari pihak asing kapitalis.

Orang biasanya berpendapat ambil saja uangnya atau bantuannya, itu kan menguntungkan kita. Saya tegaskan sekali lagi, dalam dunia kapitalis berlaku no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’, semua yang dilakukannya harus ada timbal balik yang lebih tinggi. Kita jangan menyamakan kata ‘bantuan’ dari asing dengan bantuan dari dalam negeri sendiri. Kalau kita membantu tetangga atau kerabat yang sedang kesulitan, biasanya memang dengan rela atas dasar kasih sayang. Berbeda dengan bantuan yang diberikan negara lain. Mereka menginginkan sesuatu yang lebih manis dari Indonesia, tidak tulus.

Kucuran-kucuran dana dari pihak asing itu memang juga lezat rasanya, tetapi penuh dengan racun. Kita bisa diperbudak selama-lamanya. Dengan demikian, kita sudah tidak lagi bisa menggunakan akal dan pikiran kita dengan jernih. Semuanya sudah terkooptasi oleh perilaku-perilaku yang dipengaruhi kepentingan kapitalis. Jadilah kita pelacur-pelacur dunia.

Soal pelacuran pemimpin-pemimpin negeri sudah disebutkan dalam Injil pasal Wahyu (17: 1-6).

Lalu datanglah seorang dari tujuh malaikat yang membawa ketujuh cawan itu dan berkata kepadaku, “Mari ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu putusan atas Pelacur Besar yang duduk di tempat yang banyak airnya. Dengan dia raja-raja di Bumi telah berbuat cabul dan penghuni-penghuni Bumi telah mabuk oleh anggur percabulannya. Perempuan itu memakai kain ungu dan kain kirmizi yang dihiasi dengan emas, permata, dan mutiara. Di tangannya ada suatu cawan emas penuh dengan segala kekejian dan kenajisan percabulannya. Pada dahinya tertulis suatu nama rahasia, suatu rahasia ‘Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian di Bumi’. Aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus.”

Inijl pasal Wahyu (17: 15-18) meneruskan keterangannya.

Lalu ia berkata kepadaku, “Semua air yang telah kaulihat di mana pelacur itu duduk adalah bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum dan bahasa… dan perempuan yang telah kaulihat itu adalah kota/negeri besar yang memerintah atas raja-raja di Bumi.”

Menurut Pendeta Mark Hitchcock dalam bukunya Bible Prophecy, Pelacur Besar atau perempuan sundal diidentikkan dengan New York City (USA), Gereja Katolik Roma, dan Vatikan.

Maksud dari duduk di tempat yang banyak airnya adalah gambaran geografi Amerika yang terletak di daerah yang banyak airnya di antara Samudera Pasifik dan Atlantik.

Arti dari raja-raja di Bumi telah berbuat cabul dengannya adalah menunjukkan sudah sangat banyak presiden atau pemimpin negara yang melakukan dusta dan rekayasa merusakkan hidup manusia dengan cara berkolusi, berlacur dengan Amerika Serikat.

Babel adalah adalah nama sandi untuk Roma, New York (USA), dan Yerusalem.

Darah orang-orang kudus adalah orang-orang tak berdosa yang beriman dan telah menjadi korban pembunuhan yang dilakukan pihak Amerika. Amerika pun tampaknya mabuk kepayang dengan hasil gemilang pembantaiannya itu.

Darah saksi-saksi Yesus adalah orang-orang beriman yang mencintai, menghormati Isa as dan telah pula menjadi korban pembantaian Amerika Serikat (Wisnu Sasongko: 2003).

Bagaimana dengan Indonesia, sudah berapa banyak pemimpin dan pejabat yang melacurkan diri dengan Amerika?