oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setelah Cina berulang-ulang
melakukan pencurian di kawasan perairan hak berdaulat Indonesia, Laut Natuna
Utara, diperlukan langkah-langkah yang lebih tegas untuk memastikan bahwa
kawasan itu tidak diganggu lagi oleh siapa pun, terutama Cina. Di samping
melakukan patroli laut lebih rutin, meningkatkan modernitas aparat dan kelengkapannya,
menambah banyak nelayan Indonesia yang beraktivitas di sana, juga diperlukan
lebih banyak kegiatan dan pembangunan ekonomi di kawasan Natuna. Upaya ini dilakukan
Jokowi dengan mengundang Jepang untuk berinvestasi di Natuna, tepat dua hari
setelah mengunjungi Natuna.
Upaya yang dilakukan Jokowi ini sangat menarik untuk
diduga-duga, dianalisis, karena kita kan tidak tahu apa yang ada dalam kepala
Jokowi. Kita hanya bisa menduga-duga, kecuali kalau Jokowi sendiri yang
mengatakan alasannya mengajak Jepang untuk berinvestasi di Natuna.
Saya menduga bahwa Jokowi sengaja mengundang Jepang
karena di samping memang untuk kepentingan bisnis, juga alasan keamanan. Jokowi
menawarkan proyek-proyek pada Jepang di Natuna. Jika proyek pembangunan itu
berjalan, Jepang jelas akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Demikan pula
Indonesia, akan mendapatkan keuntungan, bahkan dua kali lipat, yaitu keuntungan
ekonomi dan keuntungan keamanan.
Kita berhak menduga, kenapa Jepang yang diundang
berinvestasi di Natuna?
Kenapa bukan Amerika Serikat, Singapura, Inggris,
Belanda, atau negara lainnya?
Jika kita melihat perselisihan antara Indonesia dan Cina
di Laut Natuna Utara, memilih Jepang sebagai investor adalah sangat tepat. Hal
itu disebabkan Jepang pun pernah berkonflik dengan Cina dalam perebutan kepulauan
“Senkaku”. Bahkan, Jepang dan Cina
hampir saja berperang. Berbeda dengan Indonesia, tidak separah pertengkaran
mereka. Indonesia hanya kasus pencurian ikan dan penyelesaiannya berupa
penegakan hukum, bukan perang. Hal itu memiliki arti bahwa jika Cina bikin ulah
di wilayah Natuna, Jepang pun akan berusaha melindungi Natuna karena memiliki
berbagai proyek di Natuna.
Itulah yang saya sebut akrobat politik internasional Jokowi. Secara tidak langsung,
pengamanan di kawasan Natuna terbantu pula oleh keberadaan Jepang di Natuna
yang ikut membangun di Natuna.
Akrobat politik ini mirip yang dilakukan Presiden RI
sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika Alutsista Indonesia
diembargo oleh Amerika Serikat yang membuat Indonesia kesulitan memperkuat TNI
Angkatan Udara, SBY membeli pesawat tempur Sukhoi
dari Rusia. Bedanya, SBY lebih terang-terangan, mudah dibaca. Adapun Jokowi
lebih halus, tersembunyi, dan baru bisa diduga-duga.
Sekarang, tinggal Jepang, apakah mereka tertarik atau
tidak atas tawaran Jokowi untuk berinvestasi di Natuna. Kalau tertarik,
Indonesia mendapat dua keuntungan, yaitu ekonomi dan keamanan karena Jepang
adalah seteru Cina dalam perebutan wilayah Senkaku. Yang penting, apapun yang
dilakukan Jokowi harus atas dasar kepentingan bangsa dan Negara Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment